Jumat, 23 Agustus 2013

Menduniakan Batik Lewat XL

Beberapa scene Julia Roberts di film "Eat, Pray, Love"

Dengan dress batik warna biru turquoise, Julia Robert mengayuh sepedanya menyusuri jalanan desa yang kanan-kirinya dihiasi pemandangan sawah. Wajahnya yang cantik tersapu angin dan mentari pagi, tampak bahagia saat mencari kisah cintanya di Pulau Dewata.

Itulah salah satu scene dalam film “Eat, Pray, Love” yang dirilis tahun 2010 lalu. Yang menarik dalam scene ini, dress batik yang dikenakan Julia. Sepertinya, ini film pertama Hollywood yang menyuguhkan batik menjadi kostum bagi pemeran utamanya. Batik masuk film Hollywood, meski hanya tampil sebagai “figuran.”

Saat ini, makin banyak pesohor dunia yang menggemari batik. Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela yang menggemari batik sejak 15 tahun silam, salah satunya. Selebritis dunia, seperti Jessica Alba dan Heidi Klum pun demikian. Batik juga mulai masuk ke butik-butik di luar negeri, yang menjadi destinasi selebritis jagad raya ini belanja. Batik makin mendunia, dan dunia mulai mengenal batik Indonesia.

Sejak disahkan sebagai warisan budaya tak benda (intengible cultural heritage) oleh UNESCO tahun 2009, industri batik di tanah air bergeliat. Jika dibandingkan dengan tahun 2006, pertumbuhan industri batik tahun 2010 melejit di atas 56 persen. Bahkan, batik mampu menyumbang pendapatan negara yang tidak sedikit. Kontribusi batik dari hasil ekspor sebesar  69 juta dolar AS, dan diperkirakan tiap tahun pendapatan dari produksi batik mencapai Rp 100 miliar. Hal ini dilihat dari sumbangan industri fashion tahun 2011 saja sebesar Rp 147 triliun atau 28 persen dari total PDB industri kreatif.

Sebagai salah satu produk subsektor indsutri kreatif, industri batik mampu menyerap 3,5 juta orang tenaga kerja. Ini belum termasuk dengan tenaga kerja tidak langsung yang mendukung industri batik. Pihak Kementerian Perindustrian memperkirakan sekitar 7 juta orang tenaga kerja, yang langsung dan tidak langsung, berkecimpung dalam industri batik. Batik merupakan salah satu lokomotif terkuat industri kreatif di Indonesia.

Umumnya, 99 persen industri batik di Indonesia adalah unit usaha kecil menengah. Sebanyak 55.912 unit usaha tersebar di tanah air dan membentuk sentra industri batik, seperti di Pekalongan dan Solo di Jawa Tengah; Cirebon, Indramayu, dan Garut di Jawa Barat; Madura, Pacitan, danTuban di Jawa Timur; Bantul di Yogyakarta; Serang di Banten; Jambi dan Palembang di Sumatera, juga di Pare-pare Sulawesi.

Potensi pasar batik dalam negeri sendiri juga terus meningkat, sejak pemerintah menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai batik nasional. Euforia masyarakat untuk “berbatik” yang meledak-ledak makin menyuburkan pasar batik di dalam negeri sendiri. Batik tidak lagi menjadi produk fashion yang dikenakan, seperti kemeja, gaun, rok, dan aksesoris busana, tapi sudah merambah ke tas, sepatu, cover laptop, sarung bantal dan hiasan dinding. Malahan, konsep batik diadopsi menjadi ornamen penghias produk, seperti mobil batik dan gitar batik. Konsumen domestik diperhitungkan mencapai 72,8 juta.
Angka 72 juta sebetulnya belum bisa disebut bagus. Sebab, jumlah itu hanya sekitar 30 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dan 26 persen jika dibandingkan dengan 270 juta pengguna ponsel di Indonesia. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pertumbuhan industri batik diyakini bisa meroket lagi. Asalkan, industri batik dalam negeri memaksimalkan layanan dan akses kemudahan yang disediakan oleh operator seluler.

Melalui telepon seluler, pengguna kini dengan gampangnya mengakses internet. Tarif berselancar lewat ponsel pun kian terjangkau, dengan koneksi super cepat. XL dengan “hotrod 3G+” menjanjikan layanan internet yang cepat dan stabil, juga XL Bebas yang memberikan fasilitas internet gratis 6 bulan. Demikian pula operator lain seperti Tri dan Axis yang menawarkan layanan “tidak pernah mati” (always on) dan pulsa gratis.

Situasi seperti ini adalah peluang bagi produsen, distributor, dan desainer batik menjajakan produk kreatifnya. Mereka tidak perlu lagi khawatir dengan biaya iklan yang mahal. Sebab, hanya berbekal internet di ponsel, promosi ke tetangga desa, kerabat di kota lain, sampai ke klien dari negara di ujung dunia pun dengan gampangnya bisa dilakukan. Transaksi jual beli e-commerce juga bisa lewat ponsel. Hanya tinggal tentukan barangnya, jumlahnya, tawar menawar harganya, lalu bayar. Tidak perlu lagi harus bertemu, karena “pasar dunia maya” menawarkan kemudahan yang tak terkira.

Konsumen mancanegara adalah target berikutnya yang bisa dilakukan melalui akses internet di ponsel. Pasar Eropa dan Amerika Serikat adalah sangat menjanjikan. Konsumen di kedua benua itu tidak hanya peduli dengan produk kreatif, namun juga produk bernilai seni budaya, berbahan alam dan ramah lingkungan, yang terwujud dalam sehelai kain atau sebuah gaun batik. Penetrasi internet di kedua benua itu juga sudah tinggi, lebih dari 60 persen, sementara di Asia baru 32 persen dari populasi penduduknya.

 Batik pun dapat menjadi magnet wisatawan mancanagara datang ke Indonesia. Proses produksi dan filosofi membatik merupakan daya tarik wisata yang elok ditawarkan kepada mereka. “Banyak kok bule yang suka membatik. Mereka bikin batik, terus hasilnya mereka bawa pulang,” ujar salah seorang pemandu wisata di kawasan Taman Sari Yogyakarta.

Jika hal menarik ini dipromosikan lewat internet, tentu makin banyak bule yang datang. Caranya? Gampang, dan bisa dilakukan sendiri oleh si perajin batik. Cukup rekam gambar proses membatik dan kain-kain batik yang dihasilkan dengan kamera, unggah ke situs Youtube dan Facebook.  Di sinilah peran operator seluler, seperti XL, bisa menjadi kunci pembuka gerbang mendunianya batik. Berperan sebagai prootor dan pemasaran merupakan tanggung jawab pihak swasta, melanjutkan kerja pemerinttah yang telah memudahkan akses produksi perajin dan desainer batik.

Bandingkan, kolom pertama dan kedua
adalah koleksi busana batik, sedangkan
pada kolom ketiga dan empat adalah
busaha koleksi Versace.
Tarif murah dan kecepatan akses internet adalah tawaran terbaik yang diberikan para operator seluler. Harapannya, kemudahan akses internet membuka wawasan dan mengembangkan ide-ide perajin/desainer batik tentang desain baru yang sesuai selera pasar.  Sudah ada batik bermotif logo club bola, mobil (alat transportasi), dan motif lainna yang modern dengan warna-warna cerah. Siapa tahu, sebentar lagi XL bakal meluncurkan simcard bermotif batik.

Dalam film “Eat, Pray, Love” batik memang tampil seklebatan. Namun, jika promosi batik gencar dan berkelanjutan, tentunya melalui ponsel yang kita genggam, yakinlah batik bakal menjadi pemeran utama dalam film-film Hollywood berikutnya. Seperti kain sari di India, batik merupakan jati diri budaya bangsa Indonesia. Namun di saat bersamaan, batik juga layak disandingkan dengan Versace di panggung industri fashion dunia. Maka dari itu, mulailah dari sekarang menduniakan batik dari ponsel Anda.

-yudathant-
 
Tulisan ini diikutkan lomba karya tulis XL Award 2013

Sumber tulisan diambil dari situs:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/146342 Industri Batik Sumbang Ekonomi Kreatif Rp 3 Miliar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar