Selasa, 25 Desember 2012

Diskon Tutup Tahun, Why Not?

Seperti rutinitas harian, diskon akhir tahun pun sudah jadi jadwal tahunan yang hukumnya (mungkin) wajib dilakukan di bulan Desember. Semua pusat pertokoan, pusat perbelanjaan, juga toko dan outlet memajang label dan papan iklan terbesar yang mereka miliki, dengan tulisan dua huruf vokal dan empat huruf konsonan, yakni "D.I.S.K.O.N". Ribuan bola mata yang melintas, pasti akan melirik, melihat, dan memelototi tulisan itu, terlebih jika ada angka-angka besar ikut terpampang. "Mulai dari 25%, 50%, dan 70%" begitu bunyi tulisan di papan iklan itu. 

Siapa yang tak tergiur diskon? Tidak ada yang tidak. Hampir semua orang yang nyawa-nya masih genap, pasti "ngiler" kalau ada label kata diskon bertengger di produk yang ingin dibelinya. Gak tua, gak muda, gak laki-laki, gak perempuan. Semuanya tiba-tiba "gila belanja" kalau ada iming-iming potongan harga. "Lumayan kan bisa hemat Rp 50 ribu,"seloroh pembeli yang sibuk memilih-milih baju. 

Ibarat keping mata uang, diskon pun bisa menguntungkan, bisa pula merugikan kita sebagai konsumen. Menguntungkan, karena harga yang perlu dibayar tak semahal dari yang seharusnya. Lalu, bisa membeli barang bermerek dengan harga yang "miring", dan memperbanyak peluang kuantitas produk yang bisa dibeli dengan "isi dompet" yang terbatas. 

Namun, bisa juga merugikan karena "nafsu" belanja tiba-tiba mengelora, sehingga kalap, dan borong sana borong sini, beli semua produk yang berlabel diskon. Dalihnya, "mumpung diskon bro, kapan lagi kalau gak beli sekarang." Kadang kita terjebak membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, malah tidak kita sukai, hanya karena barang itu lagi didiskon. Akibat belanjanya gak diperhitungkan, anggaran pun membengkak dan alhasil, duit untuk kebutuhan lain ikut terpakai. Misal duit untuk bayar sekolah,  bayar cicilan rumah,  bayar arisan, duit untuk traveling, atau duit tabungan dan asuransi. "Sialan!, tagihan kartu kredit bengkak lagi nih," begitu keluhan yang kadang terlontar dari seorang kawan. 

"Sayang kan kalo gak belanja... Lagi diskon nih," rayu seorang gadis kepada kawan kampusnya. Keinginan belanja diskonan memang sulit dibendung, tapi bisa juga kok dikendalikan. Biar gak terjebak "lingkaran diskon kuntilanak" jadilan konsumen yang pintar, alias belanja pintar. 

1. Sebelum pergi ke pusat perbelanjaan, cek berapa besar anggaran yang dimiliki untuk belanja akhir tahun. Syukur-syukur kalau ada tunjangan hari raya atau bonus akhir tahun, jadi barang yang diburu bisa lebih banyak, atau lebih berkualitas. 

2. Buat daftar belanjaan berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Soalnya, kalau berpatokan pada keinginan, gak akan ada habisnya barang yang akan dibeli. Misalnya, kalau butuh celana kerja ya beli celana kerja, bukan celana jins, atau malah jaket kulit. Gak usah malu kalo pas belanja bawa kertas kecil isinya daftar belanjaan. (Eiittss..., nulis di kertas kecil, hidup di jaman apa lu?? kan bisa nulis di hp atau ipad atau tab, hehehe...)

3. Fokus pada daftar belanjaan, meski ada godaan diskon sebesar gajah bengkak. Sebab, belum tentu barang yang didiskon itu, yang bermerek, modelnya bagus, atau buatan pabrik favoritmu, itu kamu butuhkan. Makanya, pertimbangkan isi lemari di rumah/kamar, siapa tahu barang yang sejenis itu sudah menumpuk dan malah jarang dipakai. 

4. Jika sudah menentukan tempat belanjanya, karena kamu yakin koto/outlet/supermarket itu harga dan barangnya berkualitas, manfaatkan momen-momen diskonnya. Lebih untung lagi kalau kamu punya kartu member yang bisa menikmati diskon yang lebih besar lagi. Manfaatkan pula fasilitas diskon dari kartu kredit yang bekerja sama dengan merchant/toko/outlet tempat kamu belanja. 

5. Sekali lagi, cek barang yang sudah dimasukkan dalam keranjang belanjaan dengan "kadar" finansial dalam dompet. Jika barang yang dibeli melebihi kuota anggaran, mulailah menyortir. Mana yang harus ditunda belinya, atau apakah harus membeli barang yang merek mahal, padahal merek lain lebih bagus kualitasnya dan lebih murah. (buat apa beli merek kalau ternyata dipakainya gak nyaman!). Bila uang masih berlebih, dan semua kebutuhan dalam daftar belanja sudah terpenuhi, bolehlah mulai belanja sesuai keinginan. Tapi ingat, jangan kebablasan belanjanya ya mas bro dan mbak bro... 

"Eh sebentar, kita mau belanja di mana nih? aku mau cari celana pendek buat liburan besok?" tanya aku pada teman-teman yang lain. "Udah belanja di ITC ajah. Murah-murah kok, harga grosir. Mungkin malah ada diskon sekarang. Kan akhir tahun," usul Dian. "Yowis lah, kita kesana aja," aku mengiyakan. "It's time to shopping..."



 - yuda thant - 

Selasa, 18 Desember 2012

Bohong Bikin Bolong

   "Kok hp-nya sibuk terus. Aku telpon-telpon gak bisa-bisa. Lagi nelpon siapa?" tanya Ang kepada Wu. Dengan sedikit gugup, Wu menjawab "Barusan Abah telpon, jadi ngobrol lama." Gak mau kalah, karena merasa curiga, Ang bertanya lagi, "Beneran kamu tadi ditelpon Abah?." Wu kembali menimpali "Iya kok. Abah yang telpon."

   Karena belum yakin, lagi, Ang mengorek jawaban yang sejatinya dari Wu. "Yang bener? soalya aku lho barusan nelpon Abah tanya kabar kamu," Deg..., seperti derit belati yang menghujam ke jantung hati Wu. Hening sekian detik pun mengudara dan mengisi kekosongan sinyal di antara dua telepon seluler yang berjarak 95 km. Tak ada yang bersuara, baik Wu maupun Ang, yang diselimuti tirai kedustaan dalam jalinan asmara mereka.

   Hubungan kedua insan ini, salah satunya temanku, sedang bergulir di papan kayu jungkat-jangkit yang lapuk. Naik-turun, menunggu waktu untuk retak dan terbelah berkeping-keping. Lagi-lagi, kesetiaan dan pilihan adalah penyebabnya. Bumbu-bumbu kebohongan lah yang meperuncing kenikmatan gelora cinta segitiga itu.

   Wu, tak bisa lagi berdusta. Kebohongan kecilnya soal siapa yang menelpon, terbongkar! Padahal, Wu sudah susah payah mencoba menutupi siapa di balik telponnya saat Ang, kekeasihnya, belasan kali mencoba menelpon. Dana, lelaki yang mencuri hati Wu selama 4 bulan terakhir, adalah yang sedari tadi berbicara penuh kasih kepada Wu dari ujung telpon di tempat lain di kota yang sama.

   Bukan sekali Wu berbohong. Belasan, atau mungkin sudah puluhan kebohongan yang dia ciptakan untuk menutupi jejak kisah kasihnya yang terlarang dengan Dana. Berderet skenario Wu siapkan demi kisah cintanya yang entah dimana ujungnya. Bohong yang satu, menutup bohong yang sebelumnya. Dusta  yang tadi, akan ditutup dengan dusta yang lainnya nanti.

   Bohong memang asik. Membuat adrenalin yang mengalir di hati hingga otak menegang. Akal berpikir lebih kreatif, dan jantung berdetak lebih kencang saat bibir ini bercuap kata dan kalimat dusta. Entah apa alasan di balik dusta itu, bohong membuat hidup lebih berwarna, menantang, dan penuh jebakan setan. Berbohong juga kadang menjadi candu yang sulit untuk dilepaskan. Candu yang nikmat dilakukan, namun berakhir pada kesakitan yang menyesatkan.

Sssttt..., mengapa berbohong?

   Pasti ada sesuatu yang ditutupi, yang tak ingin orang lain tahu, yang bukan sepatutnya dilakukan, bentuk kesalahan, pelanggaran yang tak boleh diulang, dan atau melindung hal yang tak ingin orang lain nikmati.

   Besar atau kecil kadar bohong, tetap saja namanya berdusta, berkata atau bersikap tak jujur. Ingat tidak dengan dongen dari negeri Menara Pissa, berjudul Pinokio. Hidung bocah kayu ini bertambah panjang setiap dia berbohong. Semakin menumpuk kebohongan yang dibuat, makin panjanglah hidung kayunya. Namun, saat kejujuran yang disampaikannya, hidungnya akan kembali normal.

   Ternyata, teori itu bukan dongeng. Penelitian dari Universitas Granada menyebutkan adanya pinocchio effect, saat orang berbohong. Yang dimaksud efek ini adalah, meningkatnya suhu di hidung akibat rasa gelisah dari berbohong. Selain itu, daerah otot orbital (penggerak bola mata) di sudut mata juga akan bila seseorang berbohong. (Mata emang gak bisa berbohong, "you can see the real truth from his eyes" hehe..)

   Bukan hanya menyakitkan perasaan, penelitian juga mencatat bahwa bohong memberi pengaruh buruk pada kesehatan. Hasil penelitian di Universitas Notre Dame, pada 110 orang yang diwawancarai dan uji polygraph, menunjukkan orang yang berbohong lebih gampang sakit kepala, sakit tenggorokan, dan mudah cemas dan ketegangan, dibandingkan yang berkata jujur. Demikian pula kesehatan mental orang yang berbohong akan mengalami gangguan, akibat tumpukan stress dan depresi dari tiap kebohongan. 

   Tekanan jiwa akibat bohong memicu neurosis (gangguan jiwa) hingga gangguan fisik akibat kejiwaan (psikosomatik). Lazimnya, penyakit akan muncul bila ada faktoe stress yang memicunya. Seperti asam lambung yang akan meningkat jika stress berlebih, sehingga orang bakal mudah diare, atau malah susah buang air besar. Nafsu makan turun, juga susah tidur, kadang sesak napas atau gatal-gatal tampa sebab yang jelas. Sementara yang punya riwayat asma, bakal kambuh, atau malahan ada yang sampai stroke (serangan jantung) akibat depresi dan stress akut. 

   Psikiater dari Lenox Hill Hospital, di New York City, Amerika Serikat, kebohongan bukan hanya mengganggu kesehatan pribadi, tapi juga kualitas hubungan dengan orang lain. "Kebanyakan orang tahu dampak buruk dari kebohongan pada hubungan, tapi tidak mengenali sejauh mana kebohongan dapat menyebabkan stress," kata dia. Malahan, juga dari hasip penelitian, rata-rata orang berbohong sekali dalam sehari, baik itu bohong demi menyelamatkan gengsi, atau berkaitan dengan integritas, loyalitas, dan sebagainya. 

   Gak ada satu pun dari kita yang mau dibohongi. Untuk alasan apapun. Kalau pun ada, pasti nih orang udah terganggu jiwanya (maaf, hehehe...). Jika tak mau diingkari, maka janganlah berbohong pada orang lain. Bohong pada orang lain sama aja berdusta pada diri sendiri. Terus gimana dong menghindar dari kebiasaan atau kegemaran berdusta? 

   Pertama, lihat dan perhatikan efek juga risikonya. Orang yang kita bohongi pasti gak akan respect lagi dengan kita, jika ternyata kalimat yang kita ucapkan ternyata dusta. Sebab, yang dibohongi pasti merasa kecewa, terluka, juga marah (sebel/jengkel). Akibatnya, hubungan yang terjalin pun jadi merenggang. Kedua, hindari sumber-sumber yang membuat kita ingkar, seperti serakah, selingkuh, atau melanggar aturan main. Ketiga, tekankan bahwa bohong itu dosa dan hal yang memalukan, atau gak terhormat. Keempat, terakhir, buat daftar dosa "bohong" yang sudah pernah dirapalkan kepada orang lain. 

   Emang sih, mengubah kebiasaan ingkar, apalagi jamak dilakukan sejak piyik (kanak-kanak), gak seperti balik kanan maju jalan. Empat mantra yang di atas bisa dipakai, asal niatnya sekeras baja hitam. Padat dan solid. Yang jelas, mas bro dan mbak bro kudu step by step. Dijamin, manfaatnya lebih gede setelah hobi bohong itu lenyap dari hidup kita. Bolong-bolong di jiwa karena bohong bakal memudar, dan hidup pun jadi lebih sehat. Sehat raga, dan jiwa pastinya. 

   Kembali pada dilema Wu dan Ang. Teman yang sempat ikut mendengarkan "perang" cinta Wu-Ang, balik bertanya. "Jadi, yang cerita tukaran mobil supaya kalian bisa ke Malang, itu beneran atau cerita bohong?," tanya Lin, yang terkejut bahwa Wu membohongi Ang. "Oh kalau yang tukar mobil itu cerita benar, bukan bohong," jawabku. Pertanyaan Lin seperti jadi contoh bentuk ketidakpercayaan orang kepada seseorang yang telah berbohong. Kalau begitu, masih mau berbohong?

-yuda thant- 



Sabtu, 15 Desember 2012

Membangun Kelompok



Kita adalah makhluk sosial. Kita tak gak hidup tanpa orang lain atau makhluk lain. Mau gak mau, kita bergantung dan menjadi tempat bergantung bagi manusia lainnya. Kita butuh dan dibutuhkan oleh orang lain. Jika bukan menit ini, pasti menit berikutnya kita membantu dan dibantu mereka yang ada di sekeliling.

Sadar atau gak sadar, kita membentuk sebuah kelompok dalam segala aktivitas. Gak bermaksud menyamakan, tapi hampir semua makhluk di muka bumi ini membentuk kelompok, koloni, grup, atau kawanan yang punya satu atau lebih variabel yang sama lho. Seperti sekawanan serigala hutan, koloni semut rang-rang, kelompok singa afrika, kerumunan monyet ekor panjang, sampai sekumpulan remaja gaul yang super galau. Meski kadang berkelana sendri, tapi semua makhluk itu pasti terikat pada salah satu kelompok.

Balik lagi ke kita. Manusia pun membentuk kelompok-kelompok dalam kehidupannya. Mulai dari yang skala kecil dan rumahan, sampai skala masif yang mendunia. Seperti kelompok arisan ibu-ibu, baik yang dikampung dengan bahan arisan panci dan kompor, sampai ibu-ibu gedongan dengan bahan arisan cincin gelang permatan 24 karat (tapi gak karatan lho!). Atau kelompok belajar di kelas/kampus, grup musik atau band, komunitas bike to work, komunitas fotografi, grup jalan-jalan murah alias backpacker, atau genk main.

        Seperti aku bilang di atas, sebuah kelompok pasti punya satu  atau dua variabel yang sama. Misal, sama-sama suka musik dangdut, sama-sama doyan makan es krim, sama-sama suka jalan ke gunung, merasa sama sukunya, merasa sama asal kampungnya, merasa sejalan ide dan pemikirannya, atau pun merasa setara kekayaannya. Sebuah kelompok muncul karena punya tujuan dan dasaran, yang kadang gak sengaja terbentuknya.

Kelompok itu ada yang formal ada juga yang informal. Kalau yang formal bentuknya kelompok tugas dan komando, sedangkan yang informal adalah kelompok kepentingan dan persahabatan. Nah, kalau alasan membentuk sebuah kelompok itu biasanya ada lima, seperti kebutuhan, kedekatan, daya tarik, tujuan kelompok itu sendiri, dan ekonomi. Tiap orang yang ada di dalamnya pun punya peran masing-masing. Ada yang berperan sebagai motor penggerak, penyemangat, penyuplai dana, sampai penggembira. (Lalu, kelompokmu masuk yang jenis apa?)

Dalam kelompok besar, bisa dipastikan ada kelompok-kelompok kecil. Kadang, keberadaan grup-grup kecil ini bisa memperkokoh posisi sebuah kelompok besar, tapi bisa juga sebaliknya, meruntuhkan! Eksisnya kelompok kecil bisa aja jadi modal kekuatan, apabila anggotanya terpuaskan oleh rezim yang menjalankan roda kelompok besar itu. Namun, bisa jadi bumerang jika kelompok kecil tidak puas dan kecewa pada rezim yang berkuasa. Ini lah yang disebut dinamika dalam sebuah kelompok. Naik-turun, pasang-surut, atau timbul-tenggelam.

Agar kelompok ini terus berjaya, kalau kata anak gaul sekarang bilang “tetep eksis,” butuh yang namanya penyamaan “mimpi” dan penyegaran. Makanya, sering-seringlah berkomunikasi aktif antar-anggota kelompok, saling menerima, memberi motivasi, bertanggung jawab menjalankan perannya, dan meningkatkan kepaduan dan kepuasan di dalam kelompok tersebut.

Jadi, jangan heran kalau melihat ada grup band yang bubar, padahal belum ada setahun album perdananya meluncur ke pasar. Genk jaman sekolahan berantakan karena masalah sepele. Atau partai politik yang gak muncul lagi di pemilu 2014 nanti karena pengurusnya udah  bubar jalan sendiri-sendiri. Itu karena manajemen yang buruk dan bad organizing!!!

Seorang sahabat pernah bilang, selalulah berpikir positif supaya bisa menyingkirkan personal dan interpersonal block saat kita berinteraksi dengan orang lain. Punya sikap yang “nerimo” alias terbuka pada tiap pendapat orang lain dan mencoba selalu berempati. Loyalitas dan komitmen pada grup itu juga penting lho. Dan yang gak kalah pentingnya, mampu mengaplikasikan kerja sama dalam tiap pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. (Kalo jurus yang terakhir itu emang agak berat, soalnya kita harus punya rencana, dan leader yang mumpuni, sampai sistem kontrol kelompok yang berkembang).


Salah satu cara memompa semangat dan membangun (kembali) kelompok, adalah dengan proggram outbond atau outing. Bentuk-bentuk itu adalah upaya team building atau membangun kelompok, yang kini banyak dilakukan di perusahaan, instansi, dan lembaga apa pun. Bentuknya dari yang sederhana dengan modal suara dan gerak tubuh, sampai yang paling rumit dengan peralatan keselamatan.

Lalu, kapan kita melakukan team building? Itu sih bergantung dengan kondisi dan situasi dalam kelompok tersebut. Bisa sekarang, bisa besok, bisa juga tahun depan. Bergantung seberapa parah sih kerentanan, ketidakharmonisan, atau keretakan yang menjalar dalam kelompokmu. Lokasinya kegiatan team building pun gak harus di luar ruang, di luar kota, atau di vila di atas gunung. (Boleh lah kalau budget mencukupi, tapi kalau gak ada duit, di halaman kantor juga boleh kok!)

Contoh permainan team building yang paling sederhana adalah “seven-up.” Caranya: bentuk lingkaran, lalu sebutkan angka mulai dari satu dan seterusnya, tiap angka tujuh (7), kelipatan tujuh, atau bilangan yang mengandung angka tujuh, diganti kata “dor”. Peserta yang salah sebut, akan dikeluarkan dari lingkaran, hingga tersisa satu pemain yang paling konsentrasi. Atau “hula-hup,” yakni memindahkan hula-hup dari peserta paling ujung ke peserta di pangkal barisan yang saling bergandengan tangan.   

-yuda thant-



Minggu, 02 Desember 2012

Untuk Angin di Bulan Desember

Apa yang paling hangat dalam pikiran kamu saat ini? Senyum manja istrimu di rumah?, tawa renyah suami yang ada di kantor?, kekasih genit di kampus?, lelaki pujaan yang entah ada di mana?, pizza panas dari oven dengan asap mengepul?, opor ayam buatan mami di rumah?, atau deburan ombak pantai di Pulau Karimunjawa? 

Perut ini memang kosong, tapi bukan makanan yang diinginkan. Otak ini rindu liburan, tapi bukan pantai Kute yang aku idamkan. Tubuh ini memang letih, tapi bukan tukang pijat yang dimaui. Raga ini lagi haus, tapi bukan es teh manis yang dikehendaki. 

Aku memang kosong, haus, letih, juga rindu. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan. Semuanya terasa berhenti, tak bergerak, rusak, bahkan berkarat. Tidak mampu untuk maju, sekalipun mundur. Tidak berdaya untuk bergeser, sekalipun seinci. Tak kuasa untuk melompat, walau sejengkal. Semuanya membeku, kaku. Semuanya kosong, melompong. Semuanya terasa haus, aus. Semuanya pun terasa letih, dan perih. 

Itu karena aku tak pernah ada baginya. Aku hanya bayangan suram, melintas dan hilang. Kabut yang surut saat hujan bertiup. Itu karena aku bukan siapa-siapa baginya. Hanya asap di cermin yang segera diusap, lenyap. 

Untuk angin di bulan Desember. Yang kukenal di ujung waktu yang hendak berganti. Aku hampa tanpa dirimu, karena kau tak lagi mengisinya. Aku lunglai tanpa dirimu, karena kau tak ada tuk meniupnya. Aku tumbang tanpa dirimu, karena kau tak lagi menerbangkannya. 

Aku rindu padamu angin di bulan Desember. Rindu yang tak pernah bertepi. Kepada angin yang kukenal di ujung waktu yang hendak berganti. Pada tahun yang lalu. 

-yuda thant-