Tampilkan postingan dengan label pertunjukan seni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pertunjukan seni. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Oktober 2012

Nuit Blanche à Surabaya



Nesser Ali (Methieu Almaric) membayangkan tiga cara untuk bunuh diri. Mulai dari yang tragis, dengan tidur di rel lalu dilindas kereta api yang melintas kencang; cara yang romantis dengan meminum puluhan pil tidur; atau cara klasik dengan menembakkan pistol di kepalanya. Tapi dia ngeri dengan semua cara itu. Meski begitu, 8 hari  kemudian Ali sempat bertemu dengan malaikat pencabut nyawa, dan akhirnya pun mati lalu dimakamkan pada musim dingin yang berselimut salju.
 


Apa alasan Nasser Ali, seorang violist ternama asal Teheran itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Dalam film “Poulet aux Prunes” penonton diajak mengetahui rentetan sebab-akibat kisah dan konflik hidup Ali yang disajikan apik, unik, imajinatif, dan khas gaya-gaya film Prancis. Dari akhir film yang berdurasi 90 menit itu, kesimpulan sederhananya adalah, cinta tak harus memiliki, maka hargailah apa yang sudah kau genggam agar tak ada penderitaan dan penyesalan dalam batinmu. 


Poulet aux Prunes (ayam dengan buah plum), makanan favorit Nasser Ali, merupakan judul film pertama yang diputar pada acara Nuit Blanche atau white night di Institut Francais Indonesia (IFI) Surabaya. Malam itu, panitia menjanjikan akan begadang semalaman untuk menonton film. Dan benar juga, malam itu dari jam 19.30 hingga 02.30, ada 10 film, kebanyakan film independen jadi suguhan penikmat film di Surabaya. 

Selain Poulet aux Prunes, ada film komedi berbahasa Prancis “Holliwoo” yang berhasil mengocok perut penonton malam itu. Sederet film horor bergenre slasher sempat membuat membuat kami bergidik menahan ngeri plus nyeri melihat darah muncrat kemana-mana. Dua film horor/thriller Indonesia juga bikin penonton menjerit, yaitu WAD dan satu lagi aku lupa judulnya, tapi bercerita tentang seorang anak kecil yang ikut terkubur dalam peti mati ayahnya yang sudah mati. 

Sebagai film terakhir, INFIS (panitia acara yang sudah menyelenggarakan Nuit Blanche atau Begadang Surabaya) menyuguhkan “Me + Surabaya” film projek yang didanai Kementerian Luar Negeri Indonesia. Di film ini, 8 seniman asal luar negeri menjadi pemeran utamanya. Alur ceritanya loncat-loncat, dari satu sub-cerita ke sub-cerita lain, yang nanti mengerucut di akhir cerita. Meski susah ditebak maksud filmnya (tipe-tipe film indie), kesimpulan jalan ceritanya adalah ada empat agen perempuan yang berusaha memberantas penjahat-penjahat asing (semuanya laki-laki) bersembunyi di Surabaya. 
 
Sayangnya, acara nonton film ini cuman berlangsung sampe jam 2-an dini hari. Padahal tahun lalu sampai jam 5 pagi. Hehehe..., soalnya tahun lalu kata panitia penontonya pada teler (pusing) semua karena begadang semalaman hanya karena nonton film.


Promosi
Secara rutin, IFI Surabaya menyuguhkan film-film dan pertunjukan seni yang berkualitas. Salah satunya yang selalu digelar tiap tahun adalah festival musim semi, bulan Juli. Untuk pemutaran film, IFI Surabaya tak mau kalah dengan IFI Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tiap bulan, IFI Surabaya selalu menayangkan film-film Prancis yang tak mungkin diputar di bioskop Indonesia. Bahkan, CD film-film itu pun sulit didapatkan di pasaran. Diantaranya Q-movies yang saat ini sedang digelar di Jakarta. 
 
Agar tahu info lengkap tentang agenda pemutaran film atau pertunjukan seni di IFI Surabaya, gak ada salahnya lho buka situs IFI atau gabung dan belajar bahasa Prancis di IFI. Parlez francais est amusant..!! Kalau mau gabung dan belajar bahasa Prancis, langsung aja ke komplek AJBS, Kampus IFI Suarabaya (daerah Nginden). Dengan belajar bahasa Prancis, setidaknya kamu bakal menguasai bahasa internasional lain, selain bahasa Inggris. Jadi, kalo besok sempat melancong ke benua Eropa, gak perlu repot kan cari penerjemah. Soalnya, orang Prancis (katanya) gak mau pake bahasa Inggris kalo di negaranya sendiri (hehehe.., udah pede kali yah kalo bahasanya emang mendunia). Menurut info, untuk belajar bahasa dan budaya Prancis di IFI sekitar Rp 1,4 juta (50 jam/kelas ekstensif) atau Rp 2,5 juta (140 jam/kelas intensif). Lengkapnya sih datang aja langsung ke IFI gan... 
 
- yuda thant - 


Sabtu, 21 Juli 2012

J'adore fait la danse


Siapa bilang menari hanya pandai dilakukan oleh kaum hawa? Buktinya, delapan laki-laki berotot atletis mampu memukau sekitar 200 penonton di auditorium Sheraton Hotel Surabaya, Selasa (5/6/2012). Mereka menampilkan tarian kontemporer yang mengandalkan kecepatan gerak dan dinamika tubuh, serta kelenturan tangan yang mampu meliuk-liuk bak akrobat di arena sirkus.

"Keren banget," begitu riuh suara yang terdengar dari sejumlah penonton yang tak henti-hentinya memberi aplaus selama 5 menit, usai menyaksikan electro dance dari grup "Elektro Kif" yang dikoreograferi oleh Blanca Li.

Atraksi tarian yang berjalan sekitar 50 menit itu terbagi menjadi lima segmen yang saling bertautan, dan terangkai dengan apik tanpa ada kesan terputus. Properti yang dikunakan pun tak banyak, hanya delapan meja dan kursi belajar. Namun, dukungan tata lampu dan suara, mampu memberikan latar yang pas sesuai jalan cerita yang disuguhkan.

Segmen pertama, satu persatu penari muncul dengan menampilkan karakternya masing-masing sebagai delapan siswa. Ada karakter badung, modis dan tampil sok gaul, kutu buku, dan konyol, khas anak-anak di bangku SMA. Dari segmen ini, penonton langsung disuguhi koreografi kelenturan dan kecepatan mereka menggerakkan tangan, tanpa terselip atau "keserimpet". Aksi enam penari yang masing-masing berpasangan, menyatu membentuk sosok dwarf yang menari di atas meja, sempat membuat penonton tertawa.

Latar pun beralih ke lapangan basket. Atraksi bermain-menari basket tanpa bola, tidak terlihat aneh, tapi malah menari. Sebab, dentuman bola yang terpantul, disuarakan dari musik latar, diperagakan pas oleh penari-penarinya. Tak ketinggalan, aksi berantem pun dimunculkan oleh  dua penari yang memadukan ballet dgn electro dance.

Setelah lelah bermain basket, penonton digiring ke ruang kantin, dan berlanjut ke suasana ujian. Para penari mampu menghadirkan suasana ujian yang dipenuhi aksi-aksi mencontek. Tiap penari menunjukkan trik mencontek mereka masing-masing. Ada yang di bawah meja, sepatu, sampai ditulis di dada dan celana dalamnya. (Ckckckck..., kok mirip di sini yah!). Meja dan kursi mereka jadikan sarana untuk menari sekaligus bermain musik perkusi. Sederhana, tapi pas dan apik.

Menjelang segmen terakhir, seluruh penari bertelanjang dada dan membalutkan kausnya menjadi ikat kepala, sehingga terkesan seperti rombongan serdadu mesir. Apalagi, gaya tarian yang mereka tampilkan mirip tentara mesir yang muncul di video klip Michael Jackson, belasan tahun lalu.

Adegan terakhir yang ditampilkan delapan penari itu adalah aktivitas berselancar di internet. Gongnya, semua berkumpul di salah satu komputer siswa, yang sepertinya sedang membuka situs dewasa. Itu terlihat dari ekspresi dan gestur mereka yang tiba-tiba merapat dan bermimik sedikit mesum. Hehehehe..., gak di sini gak di sana, siswa emang pengen tahu kalau yang namanya situs dewasa, betul gak??

Tepuk tangan penonton pun akhirnya reda, setelah delapan penari itu, Jeremi Albberge, Khaled Abdulahi, Arnaud Bacharach, Roger Bepet, William Falla, Slate Hemedi, Alou Sidibe, dan Adrien Sissoko, meninggalkan panggung. "Mantab," begitulah kata penonton yang keluar dari ruangan auditorium itu, dalam rangkaian acara "printemps francais" yang digelar oleh Institut Francais Indonesia.
 

(tulisan ini aku comot dari notes di FB-ku yg aku tulis Juni lalu) 


-yuda thant-


Selasa, 17 Juli 2012

Yuk Nonton Tari Panji Remeng

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan melestarikan tradisi budayanya.” Begitulah kutipan yang sering terdengar dari pidato-pidato yang biasa disampaikan oleh pejabat pemerintahan atau statement public figure. Pernyataan itu memang klasik, tapi 100 persen benar adanya. Kok bisa sih? 

Di tengah era globalisasi, keterbukaan informasi, dan pasar bebas, lalu lintas budaya (culture) sulit dibendung. Siapa saja bisa mencari tahu, mengakses, mengadopsi, dan meniru sebuah budaya yang dianggap sesuai dengan identitasnya.  Tak jarang, budaya yang diaplikasikannya, berlawanan bahkan menyimpang dari tradisi budaya tanah airnya. 

Tren semacam ini akan makin menjamur dan ditiru oleh publik, khususnya generasi muda, yang tak memiliki pengenalan, pengetahuan, dan pencintaan yang cukup pada budaya leluhurnya. Sikap acuh, wabah galau, dan kurangnya presentasi tradisi budaya dalam kehidupan harian anak-anak muda ini, kian membuat mereka jauh dengan budayanya. Akibatnya, mereka lebih hafal dan nyaman dengan gaya atau budaya impor, atau yang bisa disebut pop culture

Kiblatnya bukan lagi Amerika, seperti tahun 1980-an sampai 1990-an. Tapi, sudah bergeser ke Eropa, seperti Inggirs (British pop), atau juga ke wilayah Asia, seperti Jepang dan Korea. Komik dan kartun Jepang (manga) mencekoki imajinasi anak-anak, serta gaya hidup, busana, dan percintaan para remaja yang berkiblat pada selebritis Korea. 

Makanya, alih-alih suka dengan budaya kampung halaman, yang ada mereka malah mencemooh dan menganggap “katrok” jika ada acara pagelaran budaya di kotanya. Ambil contoh gampangnya saat ada pertunjukan boy band Korea, Super Junior, betapa ribuan remaja rela mengantre dan berebut tiket konser boy band itu. Diperkirakan jumlah penontonnya 28.000 orang yang membayar tiket mulai dari Rp 500 ribu sampai Rp 1,7 juta. 


Akan tetapi apa yang terjadi pada pertunjukan tradisional (folk culture)? Jangan bayangkan antrean panjang, penonton histeris dan jatuh pingsan, atau ruangan penuh sesak penonton. Di pertunjukan dan pentas budaya cenderung sepi. Terbukti pada sejumlah pertunjukkan tari-tarian di acara Temu Karya Taman Budaya, 11-15 Juli kemarin, di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Meski gratis, aula pertunjukan masih terlihat longgar, Sabtu (14/7) malam. 

Padahal, menu pertunjukan yang disajikan selama empat hari itu terbilang menarik, dan tidak saban minggu bisa dinikmati di Surabaya. Maklum, yang tarian yang ditampilkan berasal dari 28 provinsi yang punya Taman Budaya. Diantaranya, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, Bali, dan tuan rumah Jawa Timur. 

Saya hanya berkesempatan menonton pada hari Sabtu dan Minggu, sayang pada dua hari itu, menu yang disajikan lebih sedikit dari dua hari sebelumnya. Padahal, Sabtu dan Minggu adalah hari libur, kemungkinan mendatangkan penonton lebih ramai dari pada hari kerja. Meski demikian, kami cukup puas. 

Dari sekitar 10 penampilan yang sempat kami tonton selama dua hari, pengetahuan dan informasi tentang budaya dari provinsi lain pun bertambah. Khasanah musik melayu dari Bangka Belitung yang mengiringi tarian Alu, yang kental dengan akordion-nya, benar-benar membuat kepala dan badan saya bergoyang. 

Demikian pula saat 12 laki-laki penari dari Jawa Timur beratraksi menarikan Kiprah Glipang (dari Kabupaten Probolinggo) membuat penonton bersorak sorai. Tepuk tangan meriah pun dihaturkan kepada penari-penari dari tanah Cenderawasih yang menampilkan tarian Pangkur Sagu. Sedangkan lantunan lagu para sinden dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, sempat menghipnotis saya karena membuat hati terenyuh. 

Dan, yang paling membuat kami kagum adalah tarian garapan berjudul Panji Remeng. Selain memperhatikan detail, konsep cerita dan interaksi dengan penonton membuat tarian ini serasa tak berjarak. Tarian ini sedikit menyindir realitas kehidupan masyarakat yanng dipenuhi dengan kedok (topeng). Tiap orang memiliki kedok dalam tiap suasana dan habitatnya. Tak jarang, ada yang berjuang mati-matian untuk membeli kedok itu agar terlihat statusnya. "Rai.. rai (wajah, dalam bahasa Jawa).., kedok.. kedok..., siapa yang mau beli kedok," ujar salah seorang penari menjajakan topengnya kepada penonton. 


Jadi, sebenarnya seni dan tradisi budaya nenek moyang kita pun, jika dinikmati dengan sungguh-sungguh, akan terasa indah dan megah. Tak sekadar berjoged kanan-kiri, karena tiap gerak yang diperagakan dan lagu yang dituturkan, itu bermakna dalam. Ayo kita ramai-rame nonton pentas dan pertunjukan kesenian tradisional. 


-yuda thant-