Sabtu, 18 November 2017

Tujuh ke Tiga


Akhir November ini, kontrak bekerjaku berakhir. Selembar surat legalitas yang mengikat aku dengan kantor ini pun sampai di ujung perjalanan. Tak ada lagi surat yang berisi klausa-klausa “abu-abu” yang menuntut aku bekerja penuh pengabdian. Tiga tahun. Apakah ini sudah cukup? Atau aku masih ingin bertahan lagi di kontrak yang rapuh itu?  

Keputusan aku untuk mengakhiri “kisah romantis” dengan kantor ini mungkin sedikit nekad. Tanpa memiliki pijakan yang baru dan kondisi badan yang masih ringkih, aku memutuskan untuk berhenti. Aku sudah lelah bekerja dengan tidak profesional. Aku mau lebih dihargai secara profesional dan “serius” sebab aku kerja penuh semangat dan tekad.  

Itu kan hanya kontrak. Tapi di sini, kamu harus mengerjakan semuanya. Tidak hanya pada satu klien saja,” begitu ujar pihak manajemen.  

Hal inilah yang membuat aku harus memutuskan berhenti mengabdi. Usulanku untuk mengubah isi kontrak tidak disetujui. Bahkan, untuk menambah masa kerja hingga enam bulan, hingga projek yang aku kerjakan sampai di titik teraman pun ditolak. Aku hanya diberi waktu tiga bulan. “Oke pak jika maunya demikian,” ujar aku. Dengan begitu, aku hanya diberi kesempatan bekerja ekstra dari September sampai November.  

Dibandingkan dengan masa kerja sebelumnya, periode kerja kali ini lebih pendek, hanya tiga tahun. Padahal, di kantor lama, aku mampu bertahan dan mengabdi sampai tujuh tahun.  

Meski hanya tiga tahun, pencapaian yang aku dapatkan cukup besar. Cita-cita menberikan perubahan secara langsung kepada orang lain, pun terwujud. Aku masih ingat pertanyaan salah satu “pioneer” di kantor ini yang mewawancarai aku sebelum akhirnya menerimaku bekerja. “Kamu pilih mana, ingin menjadi akademisi atau praktisi? Jika akademisi, mungkin dosen adalah jawaban yang tepat. Namun, jika praktisi, di sini mungkin jawabannya,” ujar dia meyakinkan. Dan itu ternyata benar.  

Terlebih lagi, aku mendapat kesempatan belajar banyak hal yang selama ini menjadi keinginan yang terpendam dalam diriku. Bahkan, seorang guru dan mentor menjadi teladan selama aku bekerja. Dia menularkan semua yang dia ketahui, dan aku menyerap semua yang dia curahkan. Bagai bambu, aku diasah menjadi lebih runcing untuk menjadi senjata perang yang sederhana namun mematikan.  

Waktu berjalan, atau mungkin berlari, begitu cepat. Tiga tahun tidak terasa. Tujuh tahun saja tidak, apalagi tiga. Tiba-tiba aku kembali dihadapkan di meja pencari kerja.  

Kemana lagi perjalanan ku akan berlanjut?


Ini belum berakhir!
@yudathant