Tampilkan postingan dengan label tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tradisi. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Mei 2013

Menikmati Budaya dan Bunga di Surabaya


Ribuan orang sudah membanjiri Jalan Gubernur Suryo, saat matahari mulai condong ke arah barat. Cuaca Minggu (5/5) singa ini sangat cerah, malah kelewat cerah. Sebab, matahari sepertinya ikut gembira menyambut acara Parade Budaya dan Bunga 2013, menyambut HUT Kota Surabaya yang ke 720. Teriknya sengatan sang surya itu pun masih membekas sampai pulang dari pawai tahunan tersebut.

Bukan hanya di jalan di depan Grahadi ini yang dipadati manusia, tapi di sepanjang jalan dari Tugu Pahlawan-Kramat Gantun-Tunjungan-Gubernur Suryo-Yos Sudarso-Balai Kota, juga kebajiran penduduk Kota Surabaya. Mereka datang bersama keluarga, sahabat, teman sekampus, teman sehobi, kekasih, atau pun tetangga sekampung. Jalan yang biasanya padat kendaraan bermotor, kita dipadati manusia yang menikmati kemeriahan parade ini. “Gak apa-apalah, sekali-kali berjemur,” ujar seorang pengunjung yang berteduh di bawah payung warna-warninya.

Ratusan remaja putra-putri melenggak-lenggok di aspal yang panas mengenakan kostum yang bertabur bunga, kain warna-warni, pita, dan ornamen-ornamen lainnya. Ada yang menyerupai bunga mawar, kupu-kupu, buaya, burung garuda, sampai putri merak. Meski harus menahan ribuan watt sorotan matahari, mereka tetap tersenyum dan melayani warga yang tertarik ingin berfoto dengannya. Ketika ratusan fotografer mendekati mereka, sontak mereka langsung pose dan tersenyum renyah.

Setelah deretan remaja yang melenggangkan adibusana, giliran mobil hias yang melintas. Setidaknya ada 30-an unit mobil berhiaskan bunga dan miniatur bangunan atau binatang buas. Mobil-mobil hias ini bukan hanya saja dari Surabaya, tapi juga ada yang datang dari perwakilan Bandung, NTT, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah mobil hias dari NTT sebab memberi suguhan patung komodo yang merayap di atas mobil. Selain itu ada juga sosok garuda wisnu kencana yang berjalan pelan sangat gagahnya di jalanan aspal. Tak ketinggalan merak cantik berwarna kuning dari Kota Surabaya yang ditunggangi Cak dan Ning Surabaya.

Mobil maupun para peraga adibusana itu terpaksa jalan perlahan dan tersendat karena jalan selebar lebih dari 15 meter itu hanya disisakan sekitar 3-6 meter oleh penduduk yang antusias menonton. Makanya, berkali-kali petugas barikade berteriak-teriak kepada warga agar memberi ruang yang lebar kepada para kontestan. Penonton berebut ingin berfoto dengan tiap peraga yang melintas dengan busana yang unik, menarik, dan meriah. Atau dengan latar mobil hias yang melintas perlahan. Aku pun gak mau ketinggalan. “Tolong fotoin yah...,” pintaku kepada salah seorang teman kampus yang ikut menonton. (hehehehe..., narsis dikit bolehkan. kapan lagi foto-foto dengan model yang cantik dan ganteng-ganteng, hahaha..).

Boleh dibilang, peserta pawai ini seperti festival di Jember atau di Solo. Namun, yang menarik, di festival budaya ini, semua budaya yang ada di Kota Surabaya disuguhkan. Etnis Jawa memang mendominasi di Surabaya, namun sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, tak dipungkiri penduduk dari semua etnis di Indonesia ada dan hidup harmonis di kota ini. Keharmonisan dengan etnis tionghoa pun terlihat lebur dalam festival ini. Salah satunya Masjid Ceng Ho yang ditampilkan pada mobil hias salah satu kontestan. Tak ketinggalan barongsai dan liong juga ikut memeriahkan pesta budaya ini.

Bulan ini Surabaya berulang tahun. Serangkaian pesta digelar di sepanjang bulan. Selain pesta diskon di pusat-pusat perbelanjaan, pesta budaya juga ikut disajikan. Pekan depan dan selanjutnya, akan ada festival rujak uleg dan festival pariwisata. Jika masih bingung mau kemana selama bulan Mei, datang saja ke Surabaya. Dijamin Anda akan menikmati kepuasan. Surabaya memang tak punya pemandangan gunung dan pantai yang “cetar membahana” seperti kata Syahrini, tapi Surabaya punya banyak cerita yang bisa Anda bawa pulang. Come, enjoy and have fun in Surabaya.


  -yudathant-


Jumat, 30 November 2012

Goes to Kediri (part 3)



Anak Gunung Kelud
“Selamat Datang di Festival Gunung Kelud.” Sebuah spanduk terbentang melebar di bawah langit mendung di atas jalan aspal mulus menuju ke Gunung Kelud. “Wah, ada festival nih, bakal keren pasti di sana.” Pikir ku pun melayang, membayangkan festival di Gunung Kelud akan serupa ritual Kasada di Gunung Bromo.

Namun sayang, lagi-lagi kami disambut gerimis yang kian deras memasuki kawasan Gunung Kelud di Kecamatan Ngancar. Dan tidak beruntungnya lagi, pas kami tiba di pelataran parkir Gunung Kelud, ritual larung saji Gunung Kelud baru saja bubar jalan. Peserta dan tamu undangan festival, belum ada setengah jam yang lalu meninggalkan lokasi festival. Yang tersisa hanya hiasan-hiasan festival, seperti janur dan sesaji yang tergeletak di arena larung, pengisi acara yang sibuk melepas kostum, dan hujan yang tak kunjung berhenti.

Ternyata, festival itu dimulai pukul 11.00, tepat saat kami baru berangkat dari Kota Kediri. Jadi wajar kalau kami telat banget, hehe... Sembari menunggu hujan yang tak kunjung menepi, kami pun membuka bekal makan siang yang sudah disiapkan oleh ibunya Arya. Nasi ayam goreng dengan sambal yang pedasnya mantab (angkat dua jempol). Perut kenyang, hati senang. Waktunya menikmati Gunung Kelud.

Konon, ritual larung sesaji untuk menolak bala atau bencana ini terkait dengan legenda Gunung Kelud, yakni pengkhianatan cinta seorang putri dari Kerajaan Majapahit kepada Lembu Sura. Dyah Ayu Pusparini, putri Raja Majapahit Brawijaya ini, menolak dinikahi lelaki berkepala kerbau (lembu) yang telah berhasil memenangi sayembara dari Raja Brawijaya untuk mencari jodoh putrinya. Putri Dyah Ayu, dibantu Raja Brawijaya, menjebak Lembu Sura dengan menguburnya di dalam lubang sumur yang dibuat untuk tempat mandi mereka berdua nanti setelah menikah. Ketika terkubur, Lembu Sura sempat bersumpah, bahwa setiap dua windu sekali, dia akan merusak wilayah Kerajaan Kediri. Makanya, supaya tidak tertimpa musibah, Brawijaya melakukan ritual larung saji guna meredam kemarahan dan sumpah Lembu Sura. (http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore)

Selain legendanya yang mirip Roro Jonggrang, Gunung Kelud yang tingginya 1.730 meter, itu menampilkan fenomena alam yang menakjubkan, yang terjadi tepat lima tahun lalu. Kalau kamu pernah datang atau berwisata ke Gunung Kelud sebelum tahun 2007, pasti menjumpai sebuah danau kawah Kelud yang berwarna hijau terang. Namun, pemandangan itu tidak lagi tampak. Sebab, tanggal 5 November 2007 lalu, muncul Anak Kelud dari dalam kawah. Anak gunung yang berdiameter 100 m dan tinggi 20 m, di awal kemunculannnya, itu terus membesar. Kalau tidak salah, diperkirakan diameternya sudah mencapai 200 m. Dan seperti yang kami lihat, asap belerang masih terus mengepul tipis dari celah-celah bebatuan Anak Kelud.

Melihat lampu-lampu yang terpasang di sekitar Anak Kelud, ternyata banyak wisatawan yang datang pada malam hari dan menikmati keindahannya dalam soroton lampu. Kadang, warna merah dari buliran larva, mampu menambah kesan eksotis Anak Kelud ini. Wisata Kelud malam hari memang sedang dirintis dan digalakkan. Namun, bagi kamu yang tidak tahu medan dan jalan menuju ke Kelud, sebaiknya menyewa mobil rental plus supirnya, yang sudah hapal kondisi jalan ke sana. Sebab, ada beberapa tikungan curan yang perlu diwaspadai saat malam hari, apalagi jika kabut merambat turun.

Untuk menuju ke lokasi Anak Kelud, kami harus menembus gelapnya terowongan sepanjang 400 meter. Saat terowongan berkelok, cahaya matahari di ujung terowongan menghilang, berganti temaram dan pekatnya gulita. Hanya berkas sinar lampu-lampu yang menempel di dinding terowongan, menjadi penerang di terowongan yang tinggi lengkung atasnya sekitar 3 meter dari lantainya.
  
Di ujung lorong, jalan membelah. Kanan menuju salah satu area yang digunakan ritual larung sesaji, sedangkan kiri menuju anak Kelud dan gardu pandang. “Aduh.., tangga lagi. Jangan dong, udah gak kuat nih,” komentar teman-teman. Karena hujan dan keletihan, akhirnya diputuskan kami tidak naik ke gardu pandang, dan hanya beraksi narsis di depan anak Kelud.

Hujan rupanya ingin terus mengiringi perjalanan kami di Kediri. Sampai petang, hujan terus berderai membasahi Kediri. Maklumlah, jika berwisata di bulan November, risikonya adalah berbasah-basah ria. November sampai Maret, adalah bulan hujan di Indonesia. Akhirnya, kami memilih bersantai di rumah Mbak Intan, sambil menunggu Mbak Jujuk dan Mbak Galuh yang ingin bertemu kami.


Gerbang Perancis
“Diyan..., ayoooo banguuunn..., banguuunn.., banguuunn..,” ajak Fika yang membangunkan Diyan, dengan suara menirukan Ojan di program Sketsa TransTV. Setelah packing, lalu menyantap habis gurame goreng dan berpamitan kepada keluarganya Mbak Intan, kami meluncur ke Simpang Lima Gumul (SGL), salah satu ikon Kediri.

Monumen yang menyerupai gerbang di Prancis (L’Arch de Triomphe Paris) itu dibangun sejak 2003 hingga tahun 2008, dan menghabiskan anggaran dana miliaran rupiah. Tujuan monumen yang menghubungkan jalan menuju ke Pesantren, Pare, Gurah, Pagu, dan Kota Kediri, ini untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Kediri. Di pelataran parkir khusus SGL, pada Minggu pagi itu dipenuhi dengan penjual makanan dan kebutuhan sandang. Yah, hampir seperti pasar kaget di Taman Bungkul Surabaya, atau di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya. 

Bangunan berbentuk kubah dengan 4 sisi terbuka ke arah 4 penjuru mata angin itu, katanya dibangun dengan filosofi Kerajaan Kediri. Tinggi monumennya 25 meter yang disangga dengan 3 tangga, dan luas seluruh SGL 804 meter persegi. Itu semuanya melambangkan periode berdirinya Kabupaten Kediri. Jadi, gak heran kalau di sudut-sudut SLG ada patung ganesha yang juga merupakan lambang Kabupaten Kediri.

Dari parkiran ke monumen, ada underpass (jalan bawah tanah) sebagai penghubungnya. Ada 3 underpass penghubung menuju ke monumen itu. Saat memasuki underpass, aku langsung teringat underpass di Stasiun Kota Jakarta. Kawasan SGL nantinya bakal jadi nadi perekonomian Kediri. Di sini, juga sering dihelat event-event lokal dan nasional. Sebab, lokasinya memang luas, dan secara visual menunjang. Meski kaki kami masih jarem-jarem (pegel) akibat mendaki ratusan anak tangga di Kelud dan Dolo, tetap aja, kalau urusan foto kami tetap dan akan selalu eksis dan tampil luar biasa, termasuk dengan gaya levitasi melayang di depan SLG. 


Gua Putus Cinta
“Ayo kita ke Gua Selomangleng. Masih ada waktu kan,” ajak Mbak Intan. Ya, masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum kereta kami kembali ke Surabaya berangkat. Makanya, kami pun bergegas menuju obyek wisata gua yang terletak di depan kampus Universitas Kadiri, di daerah Gunung Klothok. Suami mbak Intan pun segera melajukan mobilnya membawa kami ke guna yang konon menjadi tempat pertapaan Dewi Kalisuci (Sanggaramawijaya Tunggadewi), putri mahkota Raja Airlangga. Putri yang terkanal welas asih ini menolak menerima tahta kerajaan yang diwariskan kepada dirinya. Dia lebih memilih menjauh dari kehidupan duniawi, sehingga bertapa di gua ini.

Di depan jalan menuju ke gua, berdiri anggun patung Dewi Sekartaji. Patung ini jadi perlambang kisah Panji Sumirang, yang berkembang di masa Kerajaan Kediri. Panji yang dimaksud adalah Panji Asmarobangun yang menjalin kisah cinta dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana.  

Selomangleng berasal dari susunan kata, Selo = batu ; Mangleng = menggantung. Jadi bisa diartikan batu yang menggantung. Celah yang berlubang di batu andhesit ini dulu dianggap kawasan yang angker. Konon, ada mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa jangan sekali-sekali datang ke gua ini dengan pasangan kamu. Sebab, nantinya jalinan cinta kalian tidak akan awet, alias putus setelah pulag dari Gua Selomangleng.

Melongok ke dalam gua, beberapa petak dindingnya dipenuhi relief yang menyerupai wajah manusia. Ini yang menambah kesan mistis dan angker gua yang terbagi menjadi tiga ruang sempit itu. “Aku gak mau masuk ke dalam ah,” kata salah satu teman, yang bertahan di mulut gua. Dia pun menolak ikut berfoto-foto di dalam gua. Tapi di luar gua, dia tetap eksis dengan gayanya, hehehe.. Selain gua, terdapat juga Museum Airlangga, kolam renang dan wahana bermain di sekitar lokasi wisata Gua Selomangleng.  


Final Step 
25 menit sebelum KA Rapih Dhono tujuan Surabaya tiba, kami sudah sampai di Stasiun Kediri. Mbak Intan pun pamit lebih dulu, tidak menunggu keberangkatan kami, karena dia masih ada urusan keluarga. Kediri yang hari ini terik sekali, membuat kerongkongan terasa kering. Kerupuk pasir pemberian Mbak Ema, yang kucamil karena kelaparan, menambah kering kerongkongan. Minuman soda dingin pun jadi solusinya. Oh ya, aku hampir lupa. Soal oleh-oleh khas Kediri, kerupuk pasir adalah salah satunya, selain tahu kediri warna kuning yang sudah terkanal itu.

Masih ada lagi pecel tumpang dan kerupuk bekicot. Nah, yang terakhir ini aku penasaran, karena belum sempat mencicipinya. Kalau sate bekicot dengan bumbu pecel, yang awalnya terasa geli untuk menyantapnya, ternyata nikmat juga. Rasanya hampir sama seperti siput atau empal. Kenyal-kenyal gimana gitu. “Emang enak ya?” tanya Fika lagi dengan muka sedikit kecut, karena belum yakin untuk menyantap 50 tusuk sate bekicot yang kami beli seharga Rp 16.000.

“Itu keretanya sudah datang,” ujarku kepada teman-teman, sambil menunjuk ke dalam peron. Lima menit menunggu di dalam peron, akhirnya kereta yang akan membawa kami berhenti bertualang di Kediri datang juga. Siang itu, hujan tak mengantar kepergian kami kembali ke Surabaya. Peluh yang mengucur dan garis bibir yang melengkung ke arah atas, mengiringi kegembiraan berkelana ala “mbambungpacker” kami di Kediri.

-yuda thant- 

Kamis, 09 Agustus 2012

Berpuasa dengan Pantun Arguni

(tulisan ini adalah pengalaman unik yang aku rasakan di sebuah pulau kecil berpenduduk kurang dari 100 keluarga, di negeri cenderawasih, dimana nafas ramadhan terasa hangat menyelimuti kedamaian hidup beragama)

Pukul satu setengah dua, pukul tiga hampir siang. Masak nasi berpanas kuah, orang puasa kita semua,” suara remaja lelaki bergema di tengah malam. Tak sampai lima detik, balasan sajak berima pun terlontar dari suara remaja laki-laki lainnya. “Bulan ramadhan bulan yang mulia, umatnya islam wajib berpuasa. Sebulan lamanya menahan dahaga, lapar dan haus napsu amarah.”

Seperti itulah, puisi-puisi Arguni yang disajakkan oleh belasan remaja kampung untuk membangunkan warga Kampung Arguni, di Fakfak, Papua Barat, bulan puasa tahun lalu. Suara rebana dan tifa yang dipukuli penuh semangat, menambah gairah balas pantun itu. Tidak hanya berkoar-koar kata“sahur”, tapi mereka berbalas pantun dengan indahnya. 


Saling bersahutan, dan diselingi shalawat nabi dengan iringan rampak rebana. Cara pantun yang didendangkan ternyata mirip seperti lantunan pantun melayu di Aceh. Mendayu-dayu dan cengkoknya sangat khas. Bagi mereka, berpantun bak menyanyi koor tanpa pembagian nada kaku itu adalah bentuk ibadah menambah pahala bulan ramadhan, sekaligus pelestarian tradisi kampung agar tak susut oleh zaman. 

Lagunya (pantun) ada 20-an lebih, tapi dorang (kami/saya) hanya hapal sebagian saja. Yang dorang tahu, itu yang dinyanyikan,” kata Haris Patiran, salah seorang remaja yang bertugas mendendangkan syair pantun.

Menurut Raja Arguni (pemimpin adat di kampung itu), Hanafi Paus Paus, tradisi pantun sahur sudah berlangsung ratusan tahun. Tidak tahu bagaimana muasalnya, namun sejak dia belum lahir, kata orang tuanya, sudah dilagukan saat bulan puasa. Syair yang dipantunkan adalah ayat dan hadist dalam Al’quran, dan ajaran-ajaran islam juga kaidan berpuasa.
 
Dulu, para pelantun pantun sahur berdiri di beberapa rumah. Setelah mengetok pintu, dimulailah pantun pertama dari rumah paling ujung kampung. Pantun berlanjut dinyanyikan oleh pelantun yang ada berdiri di rumah sebelahnya. Bahkan, jika pemilik rumah tahu atau hapal syair pantunnya, dia bisa ikut berbalas pantunnya. Tapi sekarang, cara itu tak lagi diterapkan. Repot mungkin.

Sekarang, bahasa yang dipakai bukan bahasa daerah, tapi bahasa Indonesia. Bahkan, tak banyak lagi yang hapal pantun-pantunnya karena tidak dipelajari secara khusus. “Dulu kan orang pandai mengaji, jadi mereka bisa membalas pantunnya,” ujar Machmud Paus Paus, sesepuh adat Kampung Arguni. 


Meski memudar, tradisi pantun sahur Arguni tetap dilakoni. Tradisi ini sebenarnya juga ada lho di Kampung Baru dan Kampung Kokas, sekitar 15-30 menit jarak tempuhnya dari Pulau Arguni, dengan menggunakan perahu kayu kecil yang disebut katingting. Menurut Siti Iha, warga Kampung Baru, cara membangunan orang sahur semacam itu sudah turun temurun. Sayangnya, beberapa tahun terakhir tak ada. Gak tahu apa penyebabnya.
 
Tradisi unik lainnya yang masih lestari di Pulau Arguni adalah bersih-bersih makam keluarga pada hari ke-25 bulan puasa. Malamnya, yakni di malam lailatul qadar, mereka membakar kemenyan dan menyalakan obor tempurung kelapa. Obornya berupa tumpukan batok kelapa ditusukkan pada kayu atau besi setinggi satu meter. Obor dinyalakan jika usai adzan dari masjid dikumandangkan oleh empat muadzin secara berbarengan. 
 
Machmud bercerita, tradisi ini disebut malam damar. Dilihat dari kaca mata adat, malam damar bermaksud untuk menerangi jalan leluhur yang kuburannya telah dibersihkan. Bukan hanya leluhur, tapi nyala api obor yang diletakkan di depan tiap rumah untuk menerangi sekaligus menuntun umat islam di malam-malam ramadhan. Minimal, tiap rumah memasang dua obor sebagai perlambang pasangan hidup dalam satu keluarga. Dulunya, bukan minyak tanah yang dipakai untuk bahan bakar, tapi getak pohon damar. 

Soal mengapa harus menunggu adzan empat muadzin, konon begutulah tradisinya. Empat muadzin melambangkan pilar-pilar pada kabah dan empat elemen kehidupan di bumi, yaitu air, api, angin, dan tanah, yang saling bersahabat.  Sedangkan soal pembakaran kemenyan, itu sih bentuk ritual untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal. “Bakar kemenyan itu tradisi bangsa Arab yang masuk ke Papua dalam penyebaran agama islam,” tambah kakek yang pernah merantau dan bekerja di Jawa selama beberapa tahun saat masih muda. 

Sensasi berpuasa di tiap daerah tentulah berbeda-beda, demikian pula di kampung nelayan  Pulau Arguni. Yang penting niatnya. Seperti dendang pantun sahur ini yang dinyanyikan Haris bersama teman-temannya, “Jika puasa kita selamat, mendapat kemenangan bangkit kiamat. Di bawah bendera Nabi Muhammad, mendapat Tuhan yang penuh rahmat.”

-yuda thant-

Selasa, 17 Juli 2012

Yuk Nonton Tari Panji Remeng

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan melestarikan tradisi budayanya.” Begitulah kutipan yang sering terdengar dari pidato-pidato yang biasa disampaikan oleh pejabat pemerintahan atau statement public figure. Pernyataan itu memang klasik, tapi 100 persen benar adanya. Kok bisa sih? 

Di tengah era globalisasi, keterbukaan informasi, dan pasar bebas, lalu lintas budaya (culture) sulit dibendung. Siapa saja bisa mencari tahu, mengakses, mengadopsi, dan meniru sebuah budaya yang dianggap sesuai dengan identitasnya.  Tak jarang, budaya yang diaplikasikannya, berlawanan bahkan menyimpang dari tradisi budaya tanah airnya. 

Tren semacam ini akan makin menjamur dan ditiru oleh publik, khususnya generasi muda, yang tak memiliki pengenalan, pengetahuan, dan pencintaan yang cukup pada budaya leluhurnya. Sikap acuh, wabah galau, dan kurangnya presentasi tradisi budaya dalam kehidupan harian anak-anak muda ini, kian membuat mereka jauh dengan budayanya. Akibatnya, mereka lebih hafal dan nyaman dengan gaya atau budaya impor, atau yang bisa disebut pop culture

Kiblatnya bukan lagi Amerika, seperti tahun 1980-an sampai 1990-an. Tapi, sudah bergeser ke Eropa, seperti Inggirs (British pop), atau juga ke wilayah Asia, seperti Jepang dan Korea. Komik dan kartun Jepang (manga) mencekoki imajinasi anak-anak, serta gaya hidup, busana, dan percintaan para remaja yang berkiblat pada selebritis Korea. 

Makanya, alih-alih suka dengan budaya kampung halaman, yang ada mereka malah mencemooh dan menganggap “katrok” jika ada acara pagelaran budaya di kotanya. Ambil contoh gampangnya saat ada pertunjukan boy band Korea, Super Junior, betapa ribuan remaja rela mengantre dan berebut tiket konser boy band itu. Diperkirakan jumlah penontonnya 28.000 orang yang membayar tiket mulai dari Rp 500 ribu sampai Rp 1,7 juta. 


Akan tetapi apa yang terjadi pada pertunjukan tradisional (folk culture)? Jangan bayangkan antrean panjang, penonton histeris dan jatuh pingsan, atau ruangan penuh sesak penonton. Di pertunjukan dan pentas budaya cenderung sepi. Terbukti pada sejumlah pertunjukkan tari-tarian di acara Temu Karya Taman Budaya, 11-15 Juli kemarin, di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Meski gratis, aula pertunjukan masih terlihat longgar, Sabtu (14/7) malam. 

Padahal, menu pertunjukan yang disajikan selama empat hari itu terbilang menarik, dan tidak saban minggu bisa dinikmati di Surabaya. Maklum, yang tarian yang ditampilkan berasal dari 28 provinsi yang punya Taman Budaya. Diantaranya, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, Bali, dan tuan rumah Jawa Timur. 

Saya hanya berkesempatan menonton pada hari Sabtu dan Minggu, sayang pada dua hari itu, menu yang disajikan lebih sedikit dari dua hari sebelumnya. Padahal, Sabtu dan Minggu adalah hari libur, kemungkinan mendatangkan penonton lebih ramai dari pada hari kerja. Meski demikian, kami cukup puas. 

Dari sekitar 10 penampilan yang sempat kami tonton selama dua hari, pengetahuan dan informasi tentang budaya dari provinsi lain pun bertambah. Khasanah musik melayu dari Bangka Belitung yang mengiringi tarian Alu, yang kental dengan akordion-nya, benar-benar membuat kepala dan badan saya bergoyang. 

Demikian pula saat 12 laki-laki penari dari Jawa Timur beratraksi menarikan Kiprah Glipang (dari Kabupaten Probolinggo) membuat penonton bersorak sorai. Tepuk tangan meriah pun dihaturkan kepada penari-penari dari tanah Cenderawasih yang menampilkan tarian Pangkur Sagu. Sedangkan lantunan lagu para sinden dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, sempat menghipnotis saya karena membuat hati terenyuh. 

Dan, yang paling membuat kami kagum adalah tarian garapan berjudul Panji Remeng. Selain memperhatikan detail, konsep cerita dan interaksi dengan penonton membuat tarian ini serasa tak berjarak. Tarian ini sedikit menyindir realitas kehidupan masyarakat yanng dipenuhi dengan kedok (topeng). Tiap orang memiliki kedok dalam tiap suasana dan habitatnya. Tak jarang, ada yang berjuang mati-matian untuk membeli kedok itu agar terlihat statusnya. "Rai.. rai (wajah, dalam bahasa Jawa).., kedok.. kedok..., siapa yang mau beli kedok," ujar salah seorang penari menjajakan topengnya kepada penonton. 


Jadi, sebenarnya seni dan tradisi budaya nenek moyang kita pun, jika dinikmati dengan sungguh-sungguh, akan terasa indah dan megah. Tak sekadar berjoged kanan-kiri, karena tiap gerak yang diperagakan dan lagu yang dituturkan, itu bermakna dalam. Ayo kita ramai-rame nonton pentas dan pertunjukan kesenian tradisional. 


-yuda thant-