Tampilkan postingan dengan label road clips. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label road clips. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Mei 2017

45 Jam Jakarta-Lampung-Jakarta

Aku menyeruput kopi sachet yang diseduh di gelas kecil. Terakhir kali sebelum kami benar-benar meninggalkan warung roti panggang yang menempel di pinggir kosan Enda dan Saiful. Malam sudah beralih ke dini hari, dan rintik air dari langit mulai menitik samar-samar. "Kita doa dulu ya sebelum jalan. Semoga kita selamat dalam perjalan pergi dan pulang," ujar Saiful.

Kemana sebenarnya kami akan pergi? Mengapa kami harus berangkat dini hari, pukul 01.00 WIB?


Ya, kami akan pergi ke Lampung. Menempuh 612 km - pergi pulang - dengan menaiki sepeda motor, dua hari dua malam. Melelahkan? Iya. Menantang? Tentu. Mengasyikkan? Sangat!


Kali ini kami pergi berdelapan, dengan empat sepeda motor. Aku membonceng Enda, Reza dengan Rina, Moemoe berduet dengan Fajri, dan Bang Saiful mengajak Altaf, anaknya. Etape pertama kami starts dari Kosambi (Jakarta Barat) ke Pelabuhan Merak, sekitar 125 kilometer jarak tempuhnya. Waktu yang dibutuhkan adalah 3,5 jam, itu sudah termasuk istirahat dan mengisi bensin di SPBU. Rutenya Jakarta - Tangerang - Balaraja - Cikande - Serang - Cilegon - Merak.


Kami harus berangkat selepas tengah malam karena kami ingin menikmati sunrise di atas kapal yang menyeberangkan kami dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakaheuni. Sesuai rencana, kami tiba di pelabuhan pukul 04.35 WIB. Pelabuhan terlihat ramai dengan mobil pribadi dan sepeda motor. Rupanya banyak juga rombongan touring yang terlihat sedang mengantre tiket di jalur gardu tiket khusus motor.



Tiap sepeda motor harus membayar Rp 45.000 (sudah termasuk pengendaranya) untuk menumpang kapal ferry. Sebelum membayar siapkan KTP yang nanti dicatat oleh petugas tiket. Sewaktu akan membayar empat motor sekaligus, petugas menolak. "Saya minta satu-satu saja mas bayarnya, jangan digabung, supaya tertib," ujar petugas tegas. Dan akhirnya, Enda pun membagikan uang Rp 50.000 ke tiap "pilot" untuk membayar sendiri tiket kapalnya.


Pukul 05.09 WIB kapal ferry yang sudah tua dan kurang perawatan ini pun melepas sauh, mulai berlayar. Waktu yang dibutuhkan menyeberangi Selat Sunda yang berjarak 27-30 km itu sebenarnya sekitar 1,5 jam. Namun karena harus mengantre masuk ke dermaga, butuh ekstra 30-40 menit untuk bisa turun dari kapal. Ini adalah etape kedua kami.


Pagi itu di Selat Sunda langit masih gelap, meski jam di tangan menunjukkan 06.15 WIB. Awan mendung menyebar di langit, menutupi matahari yang enggan bangun pagi itu. Akibatnya, cahaya sunrise yang kami tunggu pun tak kunjung muncul. Hanya langit gelap dengan semburat jingga yang tampak. Bukan sunrise yang sempurna.



Pagi makin terang saat kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Bakaheuni. Ternyata perut tak mampu menahan lapar. Si perut sudah butuh asupan sarapan. Warung Padang terdekat pun jadi sasaran mengatasi kelaparan. Kenyang dengan makan seharga Rp 20.000, murah dan kenyang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional Way Kambas, melihat kampung gajah di Tanah Sumatera.



Menuju ke Way Kambas, kami menyusuri sisi timur Lampung, Raya Lintas Pantai Timur Sumatera. Jarak yang kami tempuh adalah 105 km, atau sekitar 2,5-3 jam. Perjalanan sedikit lebih lama, karena kami berhenti menepi berteduh dari hujan sembari menikmati pisang, tempe, dan tahu goreng di daerah Maringgai. Kami berisitirahat dua kali di etape ketiga ini, sebab Altaf mengantuk, sehingga Bang Ipul harus memindahkannya duduk di bangku depan.



Di sepanjang jalan yang kami lintasi, kami seperti berpindah dari pulau ke pulau. Sebab, dari kampung yang penuh dengan arsitektur bangunan dan ornament Bali, kami beralih ke daerah yang banyak terpampang papan nama bertuliskan kota-kota di Jawa Barat, seperti Warung Ciamis, Banten.



Konon, kawasan Lampung adalah salah satu wilayah tujuan transmigrasi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1900-an, di masa kolonial Belanda, dilanjutkan pada masa awal pemerintahan Indonesia 1950-1970. Pada era penjejahan Belanda, pemindahan penduduk dari Jawa adalah untuk penyediaan tenaga buruh di perkebunan. Namun, setelah tahun 1950-an, tujuannya beralih menjadi pemerataan penduduk dan merelokasi penduduk yang terkena musibah bencana alam di Jawa, Bali, dan Madura. Alhasil, penduduk Lampung pun beragam. Akulturasi budaya bercampur harmonis. 



Dari patung gajah  di pinggir jalan Lintas Timur Sumatera menuju gerbang masuk ke Taman Nasional Way Kambas sekitar 10 km, dengan jalan yang separuh rusak. Tiket masuk dibayarkan di gerbang selamat datang. Tiap sepeda motor (termasuk dua penumpang) ialah Rp 19.000. Tidak mahal. Namun, di dalam kami harus bayar Rp 5.000 lagi untuk biaya parkir.



Way Kambas adalah sebuah taman nasional seluas 1.300 km persegi dengan satwa utama yang mendiaminya adalah populasi Gajah Sumatera. Tapi, selain gajah juga ada Harimau dan Badak Sumatera. Kawasan yang biasa dikunjungi wisatawan adalah Pusat Pelatihan Gajah. Di sana, pengunjung dapat menunggangi gajah. Biaya sekali naik Rp 150.000 per orang untuk rute keliling hutan selama 45 menit; dan Rp 20.000, berkeling di taman selama 15-20 menit.



Tujuan kami datang ke Way Kambas adalah ingin melihat dan memotret gajah mandi. Sebab, dari sejumlah foto yang kami lihat di media social, moment gajah mandi sangat keren sekali. "Kalau gajah mandi nanti jam 15.30 sampai jam 16.00. Tunggu aja. Nanti gajah mandi di kolam sebelah sana," ujar salah seorang petugas sambil menunjuk sebuah danau buatan.



Sayangnya, siang menjelang pukul 14.00, hujan deras mengguyur Way Kambas. Mendekati waktu gajah-gajah mandi, hujan tak kunjung reda. malah makin deras. Hujan reda setelah lewat pukul 16.00. Fajri dan Moemoe sempat mengintip ke arah danau dan melihat seekor gajah mandi. "Ada tapi tidak ramai. Soalnya lagi hujan," ujar Moemoe.



Karena tak ingin kemalaman tiba di tempat kami menginap, yakni di Kalianda, kami harus bergegas melewati etape keempat, dari Way Kambas menuju Kota Bandar Lampung, dilanjutkan ke Kalianda. Jarak Way Kambas, lewat Metro dan Branti sekitar 102 km yang ditempuh sekitar 3 jam. Sedangkan jarak Bandar Lampung ke Kalianda adalah 60 km, ditempuh selama 2 jam.

Gerimis dan jalan becek menjadi teman perjalanan. Jas hujan terpasang rapat menutupi tubuh agar tak basah. Jalanan yang pada mulai dari Branti ke Bandar Lampung, akhirnya kami dapatkan. Truk barang dan bus penumpang harus kami lalui dan salip agar laju motor stabil menderu di kisaran 60-80 km/jam.



Memasuki Kota Bandar Lampung, aku kagum dan takjub. Ternyata Bandar Lampung tak kalah dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Gemerlap dan hidup. Jalanan di kota ramai dengan lalu langan kendaraan. Pusat pertokoan ramai pengunjung. "Kita makan di Bakso Sony. Terkenal di Lampung. Ayo aku tahu tempatnya," ujar Fajri. Lagi-lagi, hari ini nasib baik belum berpihak kepada kami. Warungnya baru saja tutup karena sudah habis. Terpaksa mencari warung makan terdekat agar perut tidak kelaparan dan tidak masuk angin.



Setelah makan, kami melanjutkan perjalan menuju Kalianda. Butuh waktu hampir 2 jam tiba di penginapan kami di Kalianda, Penginapan Way Urang. Pak Agus, salah satu petugas penginapan menyambut kami. Dia langsung mengantar kami ke tiga kamar yang telah kami pesan sebelum berangkat. Harga per kamar ber-AC yang lumayan nyaman untuk merebahkan badan ini hanya Rp 250.000 per malam. Sudah dengan sarapan nasi uduk, air panas untuk kopi/teh di tiap kamar.



Dugaan kami, ini adalah salah satu penginapan tua di Kalianda. Sebab bentuknya seperti rumah yang kemudian dibuatkan kamar-kamar. Totalnya ada 15 kamar yang selalu siap menyambut tamu. "Kalau ada apa-apa, minta ke saya langsung ya mas. Sarapan mau jam berapa besok," tanya Pak Agus dengan ramah.




Paginya, setelah sarapan, kami menuju deretan pantai yang ada di Kalianda. Menurut Pak Agus, banyak sekali pantai bagus di Kalianda, bahkan ada kawasan sumber air panas di dekat dermaga. Kali ini, kami memutuskan ke Pantai Laguna.



Sebelum sampai di Pantai Laguna, kami melewati Pantai Kedu dan Pantai Batu Rame. Di Pantai Kedu, pantai yang baru dibuka untuk wisata, terdapat sebuah kapal karam yang terseret hingga ke pinggir pantai. Menurut cerita warga, itu adalah kapal nelayan Malaysia yang karam lalu terseret ombak hingga terdampar di pantai itu. Selain menikmati kapal karam dengan latar belakang Gunung Kalianda dan Gunung Anak Krakatau, pengunjung dapat mencoba mengendarai motor ATV mini di medan berpasir. Sementara di Pantai Batu Rame, hamparan karang membentang dihempas ombak yang terlalu kencang. Lagi-lagi, bayang-bayang Gunung Anak Krakatau di seberang lautan menjadi latar keindahan pantai ini.



Pantai terakhir yang kami datangi adalah Pantai Laguna, yang merupakan kawasan Alau-Alau Boutique Resort. Hamparan pasir putih dengan ombak biru menyatu dengan langit membentuk keindahan pesisir teluk Lampung. Meskipun indah, pengunjung tidak boleh mandi di pantai ini, sebab ada arus bawah pantai yang dapat membahayakan orang yang berenang. Akibatnya, bendera-bendera bertuliskan "larangan berenang" ditancapkan di sepanjang pantai.



Akan tetapi ada hal kurang sedap yang tampak di pantai ini, adalah sampah laut. Menurut salah seorang petugas di pantai, sampah-sampah ini adalah sampah kiriman yang selalu muncul setiap beberapa hari sekali. Sampah terus berputar mengikuti arus di area pantai itu, hingga terhempas ke pinggiran pantai. "Setiap hari harus dibersihkan sampahnya," tambah petugas itu.



Siang makin terik. Saatnya kembali meneruskan perjalanan, yakni pulang ke Jakarta. Kami mengejar kapal yang berangkat pukul 14.00 WIB dari Bakaheuni ke Merak. Etape kelima kami adalah Kalianda-Bakaheuni-Merak, yang diperkirakan menempuh waktu 4 jam. Sebenarnya dari Kalianda ke Bakaheuni tidak jauh hanya 30 km, atau 1 jam perjalanan.


Siang ini kami lebih beruntung dari kemaren waktu berangkat. Kami menumpang kapal ferry yang jauh lebih bagus. Semua dek ber-AC, bahkan ada area permainan anak-anak dan cinema bagi penumpang. Di Kapal Mutiara Persada 2, yang kami tumpangi, sebagian ada yang tidur namun sebagian dari kami bermain kartu Uno hingga kapal berlabuh di Merak.


Setelah mengisi bensin untuk yang terakhir, kami melanjutkan perjalanan etape terakhir, yakni Merak-Serang-Tangerang-Jakarta. Butuh waktu sampai 4 jam menyusuri jalan yang ramai di kala petang dan malam. Belum lagi jalan yang bergelombang di sepanjang Serang-Tangerang, membuat kami lebih berhati-hati di perjalanan menuju pulang ini.

Akhirnya, setelah 612 km dan 45 jam di jalan, kami kembali ke titik semua, Duri Kosambi, Jakarta Barat. Perjalanan ke Lampung pun diakhir dengan letih dan bahagia bercampur jadi satu. "Lalu, selanjutnya kita kemana setelah Lampung? Kita mau touring kemana lagi?" tanya Rina sambal tersenyum.

(video perjalanan 45 jam) 


                                                                                                       -- yudathant --

Rabu, 11 Desember 2013

24 Hour to Prigi Beach

Kami sudah kelelahan. Waktu di hp menunjukkan waktu hampir pukul 21.00. Mata Erik dan Fadil sudah merah. Wajah Nana dan Ade tampak loyo. Rona keletihan juga terpancar di wajah Ajiz dan Iwan. Masjid yang di pinggir jalan, di daerah Jombang, terasa menggoda untuk disinggahi. 

"Istirahat 10-15 menit yah. Lalu kita jalan lagi," ujar Fadil. Tanpa suara, kami menyetujui dan mulai merebahkan badan. Iwan, Fadil, dan Ajiz yang selesai salat pun langsung meluruskan punggung di atas lantai marmer masjid. 

Kelelahan kami muncul karena perjalanan panjang yang kami tempuh. Sedikitnya 350 km sudah kami tempuh sampai pukul 21.00 ini. Waktu yang kami lalu pun sudah 21 jam. 

*** 

"Mas kita mau Pantai Popoh, ikut yuk!" ajak Fadil. "Kita naik motor. Sudah ada tiga orang yg mau berangkat nih. Kamu ikut yah," pesan dari Fadil  masuk berentet di ponsel. 

Sepertinya tawaran yang menarik. Pantai Popoh di Tulungagung, katanya bagus dengan tanjung yang selalu ramai dengan kapal-kapal nelayan. "Kamu yakin naik motor? Perjalanan bakal jauh lho. Kalo aku hitung sekitar 150-an km, itu baru sampe Tulungagung. Jadi kalo ditotal-total lama perjalnan naik motor bisa 6-7 jam," aku membalas SMS Fadil. 

"Gak apa-apa. Kita lagi pengen jalan-jalan pake motor. Soalnya si Erik pengen banget. Kita berangkat malem ini mas. Soalnya kan besok libur tuh," jawab Fadil. Aku pikir anak-anak ini nekad banget yah. Tapi, berhubung ada yang nantangi nge-bolang naik motor, kenapa tidak. "Oke," kita nanti ngumpul di rumah Ginong. 

Sekitar jam 21.00, satu-satu personil mulai berdatangan. Tapi kurang satu, kurang Ade, yang baru pulang dari Jakarta. "Kita jemput Ade dulu, baru langsung kita berangkat ke Kediri," jelas Fadil. Kami menggunakan empat motor, dengan 7 orang peserat "touring". 1 motor GL, dan 3 motor matic. Dan, setelah menjemput Ade, yang ternyata ketiduran sehingga kamarnya harus digedor-gedor, kami pun meninggalkan Surabaya pukul 23.30, menuju Kediri, destinasi kami yang pertama. Di sana, kami akan "numpang" tidur di rumah Mbak Galuh. 

Antusias teman-teman nge-bolang naik motor terlihat sekal, sampai-sampai kami terpisah selepas keluar dari Surabaya. Erik-Nana dan Ajiz-Iwan lewat jalur Watu Kosek, sedangkan aku dan Fadil-Ade lewat Krian. Setelah terpisah sekitar 1,5 jam, kami bertemu di Mojokerto, setelam Museum Trowulan, Mojokerto. Kami istirahat sekitar 30 menit lalu melanjutkan lagi perjalanan. "Mas arek-arek laper, kita makan dulu ya," ajak Fadil. Dan, kami pun menepi di sebuah warung pecel yang buka 24 jam di pinggir jalan setelah masuk perbatasan Kabupaten Kediri-Jombang. 

Kami tiba di rumah Mbak Galuh tepat saat adzan subuh berkumandang. "Ayo-ayo, abis salat langsung tidur, soalnya besok kita masih jalan jauh lagi lho. Pantai Popoh masih 2 jam-an dari Kediri," aku mengingatkan teman-teman yang berada di ambang semangat dan mengantuk. Sayangnya, tidak semua bisa tidur dan memanfaatkan waktu 3 jam ini untuk istirahat. Erik, ternyata memilih "begadang" dan menghisap batang-batang rokoknya. Sedangkan Nana, karena asma-nya kambuh, terpaksa hanya tidur sekejap. 

Paginya, mbak Galuh menyuguhi kami dengan nasi bungkus plus mangga muda untuk bekal kami di pantai. Matahari yang terik mengantar perjalanan kita. "Waduh, lupa bawa sun-block nih. Bisa item kulit," ujar Nana. 

Rupanya, karena Erik kelelahan, dia jadi tidak fokus. Rencana perubahan rute tujuan, yakni pantai Popoh yang diganti Pantai Prigi, tidak tercerna dengan baik oleh Erik. Akibatnya, saat di persimpangan, Erik belok ke kiri (arah Pantai Popoh), padahal seharusnya lurus. Kami pun menunggu Erik selama 30 menit, dan ternyata dia memilih istirahat sejenak di masjid untuk menghilangkan kantuknya. "Sudah kita tunggu Erik di pantai aja," usul Fadil. Dan kami pun menyetujuinya. 

Jalan dari Kediri menuju Pantai Popoh (Tulungagung) maupun Prigi (Trenggalek) relatif mudah karena sudah banyak petunjuk jalan yang mengarahkan wisatawan. Jalanan menuju kesana juga tidak terlalu ramai, bahkan sudah beraspal semua. Di dekat Pantai Prigi, ada dua pantai lain yang juga saling berdekatan, yaitu Pantai Pasir Putih dan Pantai Karang Gongso. Seperti yang aku pernah tulis di beberapa tulisan sebelumnya, bahwa wilayah selatan Jawa Timur menyimpan deretan pantai yang elok. Tak kalah elok dengan pantai-pantai yang berderet di Jogjakarta dan Jawa Barat. Pantai Prigi di Trenggalek salah satunya. 

Pantai Prigi berada di Desa Tasikmadu, Kecamatan Watulimo. Kalau dihitung jaraknya dari Kota Trenggalek sekitar 60 km. Pantai ini terletak dekat dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi. Jadi, tidak heran begitu masuk ke kawasan pantai Anda akan disambut dengan pasar ikan yang menyajikan ikan-ikan segar olahan. Warung-warung makan yang menyajikan menu ikan bakar dan olahan lainnya yang bakal memuaskan indera pengecap. "Sruuuppp..., nyam nyam nyam..." 

Lagi-lagi kami tiba terlalu siang. Kami sampai di sana sekitar pukul 11.00. Namun, rugi rasanya jika sudah sampai panti tidak bermain air ala-ala petualang "Pirates of Caribbean." Deburan ombak di pantai berpasir ini memang kencang, tipikal pantai selatan Jawa. Tanpa ba bi bu, aku pun langsung menceburkan diri. Gak mikir kulit gosong atau tidak. Hehehe.., toh makin hitam makin seksi (#perspekstif bule). 

Kami pun sempat memainkan game "lari estafet." Tim A (Fadil, Ade, Ajiz) melawan tim B (aku, Iwan, dan Nana), dan tentu saja tim B dong yang menang, hahaha..., soalnya kita tim paling keren (#tepok jidat yg belang karena gosong terpapar sengatan matahari).  

Setelah salat Ashar dan makan sore dengan menu ikan bakar, kami meninggalkan pantai ini. Oh ya, sebelum pulang, nasib mujur rupanya masih menyertai aku. Sebab, hp "lumpia" ku yang tertinggal di dekat masjid ditemukan oleh anak-anak masjid. Aku tidak sadar kalau hp itu tertingal. Aku baru sadar setelah Fadil menerima telpon dari nomor ku, padahal aku ada di depan dia. Sontak, aku ingat kalau hp itu tertinggal di masjid. Untunglah, masih banyak orang baik dan jujur di muka bumi ini, sehingga alat komunikasi satu-satunya milikku itu tidak raib. "Terima kasih pak ustad, dan adik-adik yang baik. GBU," ucapku setelah menerima hp itu. 

Sekitar pukul 17.00 kami sudah keluar dari pantai. Kami melewati Gua Lowo, yang terletak di bukit sebelum masuk ke kawasan pantai. Sebenarnya penasaran seperti apa rupa gua itu, tapi karena teman-teman tidak suka dengan gua yang pasti berbau menyengat tai kelelawar, jadi rasa penasaran ku itu tidak terjawab. 

Sempat dua kali berhenti, dan bertukar posisi pengemudi motor -- kecuali aku yang terpaksa nonstop nyetir karena gak ada yang bisa gantiin -- kami sampai di Kabupaten Kediri. "Mas kita mau lewat mana? lewat Kota atau lewat Pare, jalan alternatif yang bisa tembus ke Jombang?," tanya Fadil. Karena aku ragu, aku pun mencoba bertanya kepada pemilik toko yang kami lewati. Si pemilik toko menyarankan untuk lewat kota. Selain jalannya mulus, terang, dan lebih rame. Jalan alternatif Pare-Jombang sebenarnya mulus juga, tapi memang lebih sepi. Jika naik mobil, pasti lebih cepat jika lewat Pare. Waktu tempuh bisa beda 15-30 menit. 

Selepas Kediri, masuk Kertosono, personil sudah mulai kelelahan. Semua tampak loyo. Menggunakan sisa-sisa tenaga yang tersimpan. Aku terpaksa bolak-balik ke depan dan ke belakang iring-iringan motor kami. Aku sudah seperti "gembala bebek", menggiring 3 motor matic supaya stabil lajunya dan memastikan sopir-sopirnya tidak ngantuk. Dan sampailah kami di masjid di depan Alfamart, di daerah Jombang, yang menjadi "pos" pemberhentian terakhir sebelum sampai di Surabaya. 

Dari rencana awal istirahat 15-30 menit, ternyata kami kebablasan. Semua personil terlelap dalam kantuk. Kami terjaga sekitar 1,5 jam kemudian. Seperti BB yang di-charge tapi tidak full, begitulah kami. Dengan "power" yang paling hanya 20% kami menuntaskan perjalanan touring ini. Lagi-lagi untungnya, arus lalu lintas malam itu tidak ramai, sehingga perjalanan kami relatif cepat, hanya sekitar 1,5 jam. Selain itu, kecepatan motor kami juga dipercepat, jadi di atas 80 km/jam. Pokoknya tarik jabrik, geber abis, supaya cepat sampai di Surabaya. 

Dengan mempertahankan model "gembala bebek" rombongan kami pun sampai di lokasi start, rumah Ginong, pukul 23.45. Semua dalam kondisi lelah bercampur puas. Kelopak mata sudah memaksa untuk ditutup. Dan berakhir lah perjalanan nekat 24 jam Surabaya-Prigi-Surabaya. "Waduh.., besok aku ada kuliah. Matek kon!! Aku ngantuk...," ujar ku. "Mas kami besok juga masuk kerja jam 8," ujar Iwan dan Ajiz yang satu kantor. "Hahahaha....," tawa kami dalam lelah. 

nb: 

Perjalanan ini hanya menghabiskan Rp 75.000-Rp 100.000/motor. 
Memang betul-betul ngebolang yang murah-meriah, plus lelah. 
Tapi, tetep asik dan menantang kok. Try and fell it!! 

- yuda thant -

Kamis, 18 Juli 2013

Ujung Indonesia di "Maroka Ehe"


Setelah setahun lamanya, akhirnya aku kembali ke tanah Papua. Tepatnya 15 bulan aku meninggalkan bumi Cenderawasih ini. Yah, waktu yang tidak sebentar untuk sebuah cerita kehidupan seorang anak adam.

Kali ini, aku kembali tidak untuk sejenak. Rencananya hanya 4-5 hari saja, untuk membantu proyek seorang teman melakukan survei media di Papua bagian selatan. “Ada lima daerah yang rencananya kita mau datangin mas,” ujar Ika penuh semangat melalui teleponnya. Tapi ada kemungkinan tidak semua tempat akan kita datangi, lihat situasi dan kondisi juga sih,” tambahnya.

Setelah menentukan lokasi dan waktu keberangkat, Sabtu sore aku berangkat dari Juanda, Surabaya menuju ke Jakarta untuk bertemu Ika dan berangkat dari sana menuju ke Jayapura, Papua. Perjalanan Surabaya-Jakarta-Jayapura cukup melelahkan. Dari jam 4 sore berangkat, kemudian transit lima jam di Soekarno-Hatta, akhirnya pesawat Lion Air membawa kami menumpuh perjalanan lima jam di udara menuju Jayapura.

Sekitar pukul 07.00 waktu setempat kami berdua selamat tiba di Bandara Sentani, Papua. “Wuah.., aku menghirup udara dan menginjakkan kaki lagi di tanah Papua,” batin ku riang saat turun dari pesawat. Kondisi bandara sudah lebih bersih dan rapi dibandingkan 1,5 tahun lalu saat aku singgah di Bandara Sentani untuk menuju ke Merauke.

Projek Ika kali ini adalah menemui sejumlah jurnalis di tanah Papua untuk melakukan survei media. Jadi, aku akan membantunya mewawancara sekaligus menganalisis hasil wawancara mendalam kami. Gak terlalu susah, tapi gak gampang juga. Sebab, waktu untuk ketemu dengan para jurnalis ini tidak bisa pagi atau siang, sebab mereka sedang memburu berita. Jadi, kebanyakan bisa dilakukan siang menjelang sore, atau malam hari.

Terlepas dari proyek Ika, aku ingin berbagi sedikit tentang sejengkal tanah Papua yang kami sambangi kali ini. Dimulai dari Sentani dan berakhir di Merauke.

Sentani
Kota Sentani adalah salah satu kota teramai di Provinsi Papua. Distrik ini merupakan ibu kota dari Kabupaten Jayapura, yang letaknya sekitar 40 km dari Kota Jayapura. Sentani merupakan lokasi bandara utama di provinsi ini, dan sebelum mendarat di bandara, kita akan disuguhi keindahan Danau Sentani yang menakjubkan. “Jepret-jepret-jepret...,” jangan lupa memotret danau ini dari ketinggian.

Sialnya, saat kami datang, Festival Danau Sentani belum dimulai. Rencananya masih dua pekan lagi dari saat kami datang, yakni tanggal 19-22 Juni. Padahal, kami di Papua hanya 4-5 hari, jadi bakal tidak sempat menikmati salah festival budaya di Papua yang sudah menjadi agenda nasional di tiap bulan Juni ini.

Dalam FDS, akan ditampilkan beragam adat-istiadat unik suku yang tinggal di sekitar Danau Sentani, maupun suku lain di tanah Papua. Danau ini sendiri terletak di atas ketinggian 75 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan luasnya sekitar 245.000 ha dengan latar pemandanan Pegunungan Cycloops. Terdapat sekitar 22 pulau-pulau kecil yang tersebar di Danau Sentani dengan 24 kampung adat yang ada di sekitar danau. Perpaduan gunung dan danau inilah yang membuat keindahan Danau Sentani layak dikunjungi.

Tari-tarian, nyanyian, dan cerita rakyat adalah suguhan utama dalam FDS. Salah satu tarian yang jadi daya pikatnya adalah tarian perang felabhe. Namun yang tak kalah menarik adalah berlayar mengelilingi Danau Sentani. Wisatawan seperti kita bisa menginap di hotel atau penginapan di Kota Sentani, atau di Kota Abepura, yakni kota antara Sentani dan Jayapura. Di kedua kota ini sudah ramai pertokoan dan hotel, jadi tak perlu khawatir untuk mencari semua kebutuhan. Semua yang ada di tanah Jawa, bisa kita jumpai di Sentani maupun Abepura. Tarif hotel memang sedikit mahal, mulai dari Rp 400.000-an, untuk kamar dengan fasilitas bintang satu.  

Untuk bahan informasi. transportasi dari Jawa menuju Papua biayanya memang sedikit mahal. Beruntung kami kemarin dapat tiket dengan harga yang relatif murah sewaktu berangkat, yakni Rp 1,8 juta dari Jakarta-Merauke. Tapi, sewaktu pulang, tarif pesawatnya melonjak mencapai Rp 2,6 juta per orang (Merauke-Jakarta). Kadang, jika musim liburan, seperti natal dan lebaran, harga tiket bisa menembus Rp 3 juta sekali berangkat. Biaya transportasi memang paling menguras dompet jika plesir ke tanah Papua ini. Itu baru ongkos trasportasi Jakarta-Merauke. Untuk mencapai distrik dan kota-kota lain di Papua, 75 persen masih harus ditempuh dengan jalur udara, karena jalur daratnya belum tersambung. 




Merauke
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia..,” sebuah lagu nasional yang dulu sering aku nyanyikan saat masih duduk di bangku SD, tiba-tiba mencuat dalam memori ini kala kaki ini menginjak landasan Bandara Mopah, Merauke.

Yup.., kota kedua yang kami singgahi adalah Merauke. Sejak dai kecil, yang aku kenal dari Papua adalah Merauke. Karena Merauke-lah yang selalu berkumandang dalam lagu “Dari Sabang sampai Merauke” karya R Suharjo. Coba, kamu masih ingat gak sambungan dari lagu yang aku dendangkan di atas?? 

Konon, nama Merauke ini berasal dari kata "Maroka ehe," yang artinya ini sungai Maro, yakni nama sungai besar yang ada di Merauke. Kata itu muncul setelah terjadinya dialog antara orang Belanda yang pertama kali mendarat di Sungai Maro tahun 1902 dan bertemu dengan penduduk lokal. Mereka bertanya nama daerah ini, dan dijawab "Maroka ehe." 

Wilayah di ujung timur Indonesia ini menjadi destinasi kami. Dibandingkan dua tahun lalu, jelas banyak kemajuan yang terlihat. “Bupatinya sudah ganti. Yang sekarang lebih bagus,” ujar salah seorang rekan jurnalis. Ya. Kalau aku bandingkan dengan dua tahun lalu, sepertinya kondisi kota jauh lebih bersih dan ramai. Meski demikian, tidak banyak terlihat lalu lalang wisatwan di kota ini. Merauke mungkin saja belum semenarik Raja Ampat atau Danau Sentani. Namun, Merauke menawarkan keindahan alam savana dan rawa yang menantang nan eksotis di Taman Nasional Wasur.

Di TNW terdapat ribuan jenis burung, bahkan burung-burung dari Benua Australia yang bermigrasi untuk mencari makan di daratan Wasur. Buaya, rusa, dan walabi (sejenis kangguru tanah yang ada di tanah Papua) adalah satwa liar yang bisa dijumpai di TNW. Jadi, bagi Anda yang menyukai hobi mengamati burung dan satwa liar, Wasur adalah tempatnya. Untuk menjelajahinya, Anda butuh mobil dobel gardan yang banyak disewakan seharga sampai Rp 2 juta per hari, yang sudah termasuk sopirnya.

Salah satu yang unik lagi adalah Tugu Nol Kilometer, di Distrik Sota. Jika belum singgah ke tugu ini, berarti Anda belum sah datang ke Merauke. Jaraknya memang cukup jauh, sekitar 30 km, melintas sebagian kecil TNW, melintasi jalan trans Papua yang menuju Boven Digul. Di sepanjang perjalanan menuju Sota, mata Anda akan dimanjakan dengan deretan apartemen rumah semut, atau yang lazim disebut musamus. Aku sebut apartemen karena bentuknya memang mirip sekali dengan gedung apartem di kota-kota besar lengkap dengan kamar-kamar tempat tinggal semut dan labirin yang ruwet. Tinggi musamus ini ada yang sampai 2,5 meter. “Woowww...” Bayangkan, yang membuat itu semut lho!!

Setelah pantat sedikit panas, karena perjalanan 1,45 jam tanpa henti menuju Sota, akhirnya kami melihat tugu yang menjadi perbatasan Indonesia dengan Papua New Guine (PNG). Jangan bayangkan tugu yang dimaksud adalah tugu yang besar seperti tugu monas atau tugu jogja. Tugu ini sangat sederhana sekali. Jalan yang memisahkan Indonesia-PNG pun bukan jalan raya besar, tapi jalan kampung, sedangkan di wilayah PNG malah jalan setapak.

“Orang-orang PNG sering datang ke sini untuk belanja. Kalau bukan hari libur, biasanya pasar ramai,” ujar salah seorang bapak-bapak (penduduk lokal suku Marind) yang bertugas menjadi penjaga di kawasan tugu itu. Konon, banyak juga ojek sembako yang lalu lalang Indonesia-PNG. Ojek ini mengantar sembako dari Indonesia ke perkampungan-perkampungan di PNG. Tukang ojeknya kebanyakan orang Jawa, yang sudah lama menetap di Merauke.

Anyway , ada satu kalimat yang tertulis di bangku di perbatasan, yang menarik perhatianku. Yaitu “Izakod Bekai Izakod Kai,” yang artinya satu hati satu tujuan.  Kalimat sederhana, tapi sarat makna bagi bangsa kita yang saat ini sepertinya kehilangan rasa kesatuan untuk membangun bangsanya sendiri. (duh..., kok tiba-tiba jadi nasionalis yah, hehehe..)


Mengingat lagi lagu “Dari Sabang sampai Merauke,” aku jadi penasaran dengan Kota Sabang. Sebab, ujung timur Indonesia sudah aku datangi. Saatnya, ujung barat Indonesia menjadi destinasi berikutnya, hehehe... Sabang, here I come...!!

-yuda thant- 

Kamis, 07 Februari 2013

Without You

Suatu malam yang larut, aku tertegun mengisi malam yang senyap. Terdengar sayup lantunan nyanyian dari arah ponsel yang sejak tadi berdendang dengan bisikan. Lagu milik penyanyi bule yang membuatku melamun. Melamun lebih dalam. Lebih dalam lagi. Lagi, dan lagi. Dan akhirnya pun tertidur pulas. Zzzz.. Grrookk... 






       "Without You"


I can't win, I can't reign. I will never win this game
Without you, without you. I am lost, I am vain,
I will never be the same. Without you, without you


I won't run, I won't fly. I will never make it by
Without you, without you. I can't rest, I can't fight
All I need is you and I, Without you, without you

Can't erase, so I'll take blame. But I can't accept that we're estranged
Without you, without you. I can't quit now, this can't be right
I can't take one more sleepless night. Without you, without you

I won't soar, I won't climb. If you're not here, I'm paralyzed
Without you, without you. I can't look, I'm so blind
I lost my heart, I lost my mind. Without you, without you

I am lost, I am vain, I will never be the same
Without you, without you. Without...you

*** 


Aslinya lagu ini dinyanyikan sama Usher dengan aransemen musik ala-ala disko-nya David Guetta. Tapi yg ini versi cover by Boyce Evenue Acoustic) dan aku lebih suka yang versi ini, karena lebih menyentuh, hehehe... this song specially for you (?)

-yuda thant-


Senin, 19 November 2012

Salah Kamar



Ini mungkin aja kisah lucu sekaligus bodoh minggu ini. Akibat salah komunikasi bercampur keterbatasan alat komunikasi. Ujung-ujungnya adalah salah kamar, alias masuk ke ruangan yang bukan seharusnya dimasuki. Ckckckc..., *geleng-geleng kepala. Lha kok bisa?

Awal kisah (ala-ala OVJ), kita bertujuh mau nonton film yang lagi happening, Breaking Down-part 2. Jam di tangan Diyan sudah menunjukkan pukul 12.30, atau 15 menit sebelum film main. Kita berlima bergegas naik ke lantai 3, untuk bertemu dengan dua teman lagi yang bertugas membeli tiket. Ternyata, yang dicari malah lagi jalan-jalan. Tepat pukul 12.45, mereka berdua nongol. Setelah mendapat tiket, aku dan seorang teman bergegas menunggu di depan studio 1, sedangkan Diyan, Fika, dan Dian, malah membeli camilan.

Kebetulan lima tiketnya aku bawa. Menunggu mereka di depan pintu studio 1, membuat gelisah, apalagi terdengar suara-suara dari dalam studio. Film sudah mulai. Tapi, mereka bertiga belum dateng-dateng juga! Makin gelisah, 3 menit film sudah berjalan. Aku dan Mas Alim pun memutuskan untuk masuk lebih dulu, dan berpesan kepada dan menitipkan tiket kepada mbak-mbak yang jaga tiket di pintu masuk. “Mbak ini tiket tiga teman saya. Semuanya perempuan pake jilbal. Namanya Fika,” ujarku buru-buru meluncur ke dalam studio.

Sesampai di dalam, aku bilang sama Mas Alim supaya kirim pesan ke Fika, nomor kursi, yakni H-10/11/12. Sudah 5 menit sejak aku duduk, tapi mereka bertiga belum juga masuk. “Mas udah kirim bbm nya?” tanyaku. “Udah. Tapi kok malah dia nanya kursi apa yah?” jawab Alim. “Lho?? Apa gak salah orang kirim bbm nya?” tanya aku lagi. “Ini bbm si Fika kan?” sambil menunjukkan nomor Fika. “Hmm.., mungkin aja mas,” jawabku tidak yakin, karena aku tidak membawa hp ke dalam bioskop.

Gak sampai 5 menit, aku melihat ada tiga perempuan berjilbab masuk, tapi duduk di depan, bukan di sebelah kami. Karena agak gelap, dan yakin warna jilbab yang dipakai mereka sama dengan Fika, Diyan, dan Dian. Mungkin karena sudah telat, mereka milih duduk sembarang, pikirku. Ya sudahlah, yang penting mereka dah masuk.

Setelah film selesai, aku pun kaget. Tiga cewek yang tadi masuk ternyata bukan Diyan dkk. Mereka malah duduk di bangku lain, paling depan sendiri. “Saya baru lihat, mereka masuk 30 menit sebelum film selesai,” ujar Mas Alim, sedikit bingung.

“Pokoknya kamu kudu tanggung jawab” protes mereka bertiga setelah aku samperin mereka. “Kita salah masuk studio...!! Kita nontonnya jadi gak full nih..,” protes Fika. Aku dan Mas Alim pun tertawa lebar, antara kasihan dan lucu.

Ternyata, setelah membeli camilan, mereka masuk ke studio 2, yang kebetulan juga memutar Breaking Down, tapi 30 menit lebih awal. Setelah masuk studio 2, BB Fika menerima pesan dari Mas Alim dimana lokasi tempat duduknya. Tapi karena gelap, mereka pilih duduk sembarang. “Kita bertanya-tanya, kok tiba-tiba filmnya udah sampai sini yah? Kita dah curiga, kok ini film cepat sekali alur ceritanya” kata Dian. Mereka pun lanjut nonton sampai selesai.

Sewaktu film selesai, mereka bar sadar kalo aku, Mas Alim, dan dua teman lagi tidak di studio yang sama tempat mereka nonton. Mereka pun lalu masuk ke studio 1. “Kita jadinya nonton 30 menit bagian akhir dua kali, gara-gara salah masuk kamar,” ujar Dian. “Tapi tetap ajah kita gak nonton bagian awalnya. Pokoknya, kamu harus download-in film ini supaya kita bisa nonton awal filnya,” protes Dian sambil merajuk. 

“Tadi pas kita masuk gak ada mbak-mbak yang jaga di pintu, jadi kita langsung masuk ajah. Kalo aja ada yang jaga, pasti kita gak akan salah masuk studio. Di studio satu lagi juga gak ada yang jaga, kita bisa langsung masuk ajah,” tambah Fika. 

So, there are some rules when you go to cinema with your colleague. 1st, jangan tinggalin temen lu masuk ke studio tanpa lebih dulu membagikan tiketnya. 2nd, jangan belanja makanan/minuman mepet sebelum filmnya main. 3rd. bawa ponsel yang gak lowbat. 4th, pastikikan kamu tahu tempat duduk lu dimana. 

Terlepas dari kebodohan ini, film Breaking Down part 2 aku kasih 7 dari 10 bintang. Lebih banyak adegan romantisnya, kurang adegan fight-nya. Cerita sih lumayan, tp kurang apa yah..., kurang greget gitu deh.


-yuda thant-

Sabtu, 04 Agustus 2012

Step Forward and Rolling

"Because It's Me..!" 

Ayo, sekali lagi meneriakkan kalimat itu lantang-lantang, meski hanya tersuarakan dalam hati. "becuase it's me..!, yeahhh..." 

Senang rasanya membaca notice seorang teman yang mengatakan ada kompetisi blog yang diadakan oleh FemaleDaily.com kerja bekerja dengan Sony VAIO. Hadiahnya, wuihhh, menggiurkan (sampai-sampai harus menelan ludah masuk ke kerongkongan). Jujur ajah, bukan hadiah yang ditarget, tapi kesempatan berkreativitas "liar" yang sudah lama ingin disalurkan. Maklum, dulu di kantor tempat kerja hanya nulis yang "lurus-lurus" ajah, dan gak punya waktu berekspresi semau otak dan udel gue, hehe.. 

Tagline "Because It's Me" memang cerdas menurutku. Sebab, kita (saya, khususnya) diajak kembali mengingat bahkan memahami apa dan bagaimana jati diri kita sebenarnya. Jadi, semoga karya film pendek racikan saya ini bisa memuaskan kreativitas saya, anda, tentunya pihak penyelenggara kompetisi. Enjoy the film...




Sekali lagi, karya sederhana ini bukan sekadar untuk berlomba di "Blog Competition Because It's Me by FemaleDaily dan Sony VAIO," tapi juga ajang berkreativitas diri. 




-yuda thant-