Selasa, 30 Juni 2015

Cita Rasa di Ujung Madura

   Setelah berulang kali menimbang layaknya hakim di ruang sidang kasus perdata, dan berdiskusi alot bak anggota dewan kala sidang paripurna, akhirnya kami memutuskan Madura! Zul, Ade, Nana, dan aku akhirnya menemukan kata sepakat kami akan “berkelana” di Madura. Yakni di ujung timur Pulau Madura, atau di Sumenep tepatnya, situs kota sejarah peninggalan kerajaan yang dibangun Arya Wiraraja.


Persiapan perjalanan 3 hari 2 malam pun selesai. Mbak Nelita, teman kampus kami yang asli Sumenep, sudah kami kontak dan bersedia menampung kami selama 2 malam. Motor sudah diservis, duit yang “pas-pasan” untuk isi bensin, makan siang, dan tiket-tiket lokasi wisata sudah ada di dompet. Waktunya berangkat. “Besok kita berangkat pagi yah! Biar gak kesiangan. Soalnya di Madura mataharinya ada tiga, hehe..,” ujar salah satu dari kami.
Waktu tempuh perjalanan dari Surabaya ke Sumenep sekitar 3 jam, dengan kecepatan laju sepeda motor 60-80 km/jam. Selepas dari Jembatan Suramadu yang membentang kokoh di Selat Madura, kami melewati Kabupaten Bangkalan. Dari Bangkalan menuju Sumenep, lebih dulu kami melintasi Kabapaten Sampang. Di sini, kami sempat mampir di sate kambing di daerah Tana Mera, yang cukup terkenal. Rasa satenya sih lumayan enak, tapi sayang warungnya kurang bersih.
Lewat jam 1 siang, kami akhirnya tiba di rumah Mbak Nelita, di Kecamatan Saronggi, yang berjarak 8-10 km sebelum Kota Sumenep. “Sudah.., kalian istirahat dulu, makan-makan dulu, lalu kita jalan ke museum dan masjid agung. Mau gak?,” ucap Mbak Neli dengan ramah, khas warga Sumenep.
Oh ya, penduduk Sumenep memang sedikit berbeda dengan kebanyakan karakter orang Madura yang biasa ditampilkan di media layar kaca. Tutur kata dan cara bertutur orang asli Sumenep lebih halus dan “mengalun,” tidak meledak-ledak atau lantang. Karakter mereka pun lebih ramah, seperti orang Solo di tanah Jawa. Tak hanya itu, dari beberapa orang Sumenep yang aku kenal, dari ciri fisiknya, lebih banyak yang berkulit terang, dan cantik-cantik (hehehe..., kalo ini subjektif lah). Konon, hal ini dipengaruhi oleh sejarah ratusan silam, yakni adanya kerajaan dan keraton besar di Sumenep.

Kolam Jodoh atau...?
Baiklah, perjalan hari pertama kami ada tiga, yakni ke Museum dan Istana Kerajaan Sumenep, Masjid Agung, dan Pantai Slopeng. Musem dan Keraton letaknya berhadap-hadapan. Sebagian ruang di Keraton juga dijadikan ruang pamer perabotan dan artefak peninggalan kerajaan. Beberapa benda yang menarik di museum adalah Al-Quran raksasa, dengan tinggi hampir 3 meter, kereta kencana, stempel kerajaan, dan senjata-senjata kerajaan.
Keraton Sumenep atau dulu disebut Karaton Songennep tahun 1781, dengan arsitek seorang keturunan tionghoa, Lauw Piango. Komplek keraton tidak terlalu besar. Bagian depan terdapat gerbang besar, selanjutnnya pendapa besar yang digunakan untuk menyambut tamu. Bangunan di sebelah kiri digunakan sebagai ruang pamer pusaka dan peninggalan keraton, sedangkan bagian belakang masih diperuntukkan tempat tinggal keluarga keraton. 

Salah satu bagian di Keraton yang menarik minat adalah, kolam pemandian, “Taman Sare”. Konon, bagi siapa yang mandi di kolam ini, harapan dan niat baik mereka akan terkabul. Terdapat tiga deretan anak tangga jalan masuk menuju kolam pemandian. Tiap jalan masuk diyakini punya tujuan yang berbeda-beda, seperti harapan awet muda dan kemudahan jodoh; harapan enteng rejeki dan kejayaan; serta kemudahan karier atau pekerjaan. 


“Hmmm..., pilih yang mana yah?”
“Aku semua aja deh,” ujar Nana.
“Gak bisa lah, pilih satu dong!” kata Ade.
“Ok ok, aku lewat yang sini aja deh (jodoh dan awet muda),” tunjuk Nana sembari menuruni anak tangga dengan gaya ala-ala “maju mundur chantik.”
Aku pun bimbang untuk memilih. Kiri, tengah, atau kanan. Rejeki, jodoh, atau karier? Aku mau duit banyak. Kawin, sapa yang gak pengen. Tapi, kerja juga butuh. Waduh....
Kalau kamu kira-kira bakal pilih kolam yang mana?

Lokasi berikutnya adalah Masjid Agung di depan Alun-alun Kota Sumenep. Masjid ini punya gerbang depan dan pagar benteng yang indah. Perpaduan warna kuning dan putih pada gerbang ini sangat apik menjadi objek foto. Sayangnya, saat kami datang sedang ada perbaikan, sehingga kami tidak bisa masuk dan mengeksplorasi lebih jauh. “Jepret, jepret, jepret...,” dan 10 menit kemudain kami pun lantas pergi, meluncur ke Pantai Slopeng. 

Kami sedikit terlambat datang di Pantai Slopeng yang berjarak 20 km ke arah utara dari pusat kota. Matahari pun sudah malas bersinar, dan awan sore bertaburan menutupi sinarnya. Jadi, pantai berpasir putih dengan barisan pohon cemara udang pun kurang terlihat indah. “Gak apa-apa, besok kita ke Pantai Lombang. Tempatnya gak kalah bagusnya,” hibur Mbak Neli.


Mengintip Pulau Talango
Hari kedua, pagi hari, langit kurang bersahabat. Mendung dan hujan deras mengguyur Sumenep. Rencana berangkat pagi pun batal. Akhirnya, kami berangkat sekitar pukul 9 pagi. Tujuan kami adalah ke Pulau Talango, salah satu pulau besar di Madura.  Untuk sampai di pulau itu, kami harus menyeberang lebih dulu di Pelabuhan Kalianget, salah satu pelabuhan tertua dan bersejarah di Madura.

Kawasan Kalianget adalah kawasan kota tua di Sumenep. Bangunan-bangunan bekas peninggalan kolonial Belanda masih terlihat kokoh, meski sebagian tampak lusuh, kotor, dan tak terawat. Sisa-sisa gudang pabrik gula, pabrik garam, atau rumah “pembesar” pejabat Belanda meninggalkan kesan klasik dan antik di Kalianget. Rasanya, tangan ini gatal untuk menjepret semua objek “tua” di Kalianget, tapi kami berkejaran dengan waktu.

Mbak Nelita punya banyak sahabat di Pulau Talango. Mereka adalah sahabat sewaktu masa sekolah SMA. Dulu, bahkan masih hingga sekarang, anak remaja yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah atas harus menyeberang pulau, dan bersekolah di kota. Sebab, tidak ada sekolah SMP dan SMA di Pulau Talango. Kapal kayu akan menyeberangkan sepeda, sepeda motor, bahkan mobil dengan tarif mulai dari Rp 5.000 per kendaraan.
Kami pun di bawa ke salah satu lokasi terindah di Pulau Talango, di sisi tenggara pulau. Sebuah tebing batu karang. Di bagain bawah tebing terdapat pantai karang yang cantik. Saat senja, keindahan matahari terbenam bakal terpotret dengan sangat indah. Sebuah kapal kayu yang melintas di depan mentari yang hendak ditelan laut di ufuk barat, tiba-tiba terbayang di imajiku.

Teman Mbak Nelita bercerita. Masih ada lagi dua pulau kecil yang indah dan menawarkan keindahan koral dan taman laut di sebelah selatan dan tenggara Talango. Untuk mencapai ke sana harus dengan kapal selama 1-2 jam. Tarif sewa kapalnya aku lupa, tapi sekitar Rp 500.000 jika tidak salah. Jika ingin kesana harus menginap agar puas menikmati keindahan laut dan pantainya. Maksud hati ingin kesana, tapi apa daya duit di dompet tak berdaya, hehe... “Next time kita bakal ke sana yah,” hibur diri kami masing-masing.


Tujuan selanjutnya setelah kembali ke kota, adalah ke Pantai Lombang. Benar apa yang dikata Mbak Nelita bahwa Pantai Lombang lebih indah. Deretan pohon cemara udang yang teduh sudah menyapa setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari kota. 


Pantai Lombang yang berpasir putih berada di sisi timur laut kota Sumenep. Di sana fasilitas wisata sudah jauh lebih lengkap, termasuk perahu bagi turis yang ingin jalan-jalan di laut selama 30 menit. Dengan membayar Rp 50.000 satu perahu, kapal akan membawa Anda berselancar di laut hingga 500-800 meter dari garis pantai.

Sejumlah penduduk di sekitar pantai juga menjajakan pohon cemara pantai dengan harga beragam. Cemara udang atau Casuarina equisetifolia linn, adalah jenis cemara dengan batang yang besar dan daun berujung lancip seperti jarum. Di dunia botani hias, cemara udang banyak dibuat bonsai karena hasilnya sangat menarik dan unik.  “Banyak orang-orang Surabaya atau dari luar Madura yang beli pohon cemara pantai buat ditanam di taman mereka. Soalnya bagus kalau untuk taman,” ujar salah seorang warga di Lombang. 

Malam hari sebelum pulang istirahat, suami Mbak Nelita mengajak kami mampir ke Rumah Makan Kartini, untuk mencicipi "cake" (dibaca dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris. Makanan berkuah, seperti karee, ini adalah salah satu menu khas dari Sampang. Tambah lezat jika ditambah cincangan cabe rawit. 



Marcusuar Cinta
Saat kami pun kembali ke Surabaya. Tapi sebelum pulang, kami sempatkan mampir ke sebuah lokasi marcusuar tua di dekat rumah Mbak Nelita. Dengan suaminya, Mbak Nelita mengantar kami menikmati marcusuar tersebut. Dilihat dari lokasinya, marcusuar ini seperti cocok buat foto prewedding atau sesi pemotretan yang lainnya. Hamparan batu karang, membentang luas di bawah marcusuar berwarna putih yang menjulang setinggi gedung delapan lantai.


Puas mengabadikan momen di marcusuar, kami singgah di sebuah perajin batik Sumenep yang ternama, Zaini, Batik Melati. Menurut anak menantu pemilik gerai batik, batik Sumenep berbeda dengan batik Madura lainnya. Batik Sumenep tidak banyak menampilkan warna yang cerah dan terang, tetapi lebih condong ke gelap dan lembut, seperti hijau tua, ungu, merah marun, biru, dan coklat. Motifnya juga lebih kaya, karena ada unsur keraton yang menghiasi motif batik Sumenep. Motifnya ada yang komplek, namun ada juga yang sederhana. Perpaduan warna yang lembut dan gelap, serta adanya kesan elegan, mewah, dan glamor, membuat batik Sumenep cocok sekali jika dikenakan pada acara pesta atau upacara resmi.

Batik yang kami buat sudah dipakai oleh Miss Universe dan juga Putri Indonesia. Batik Sumenep beda dan punya ciri khas yang unik dibanding dengan batik Madura yang lain,” ujar pemilik gerai.

“Sebentar, aku beliin dulu buat kakakku,” ujar Nana, setelah berjibaku dengan tumpukan kain batik di hadapannya. “Setelah belanja baru kita pulang yah. Bentar lagi yah teman-teman,” pinta Nana.


Kemewahan batik Sumenep melengkapi perjalanan kami di ujung timur Pulau Madura. Belum puas memang, tapi kami berjanji lain waktu akan berkunjung dan lebih jauh menjelajahi Sumenep. Jadi, tunggulah aku ya Sumenep... “Ngeeeenggg...,” bunyi knalpot motor kamu pun ketika melaju kencang meninggalkan Sumenep.
-- yudathant--