Selasa, 25 Desember 2012

Diskon Tutup Tahun, Why Not?

Seperti rutinitas harian, diskon akhir tahun pun sudah jadi jadwal tahunan yang hukumnya (mungkin) wajib dilakukan di bulan Desember. Semua pusat pertokoan, pusat perbelanjaan, juga toko dan outlet memajang label dan papan iklan terbesar yang mereka miliki, dengan tulisan dua huruf vokal dan empat huruf konsonan, yakni "D.I.S.K.O.N". Ribuan bola mata yang melintas, pasti akan melirik, melihat, dan memelototi tulisan itu, terlebih jika ada angka-angka besar ikut terpampang. "Mulai dari 25%, 50%, dan 70%" begitu bunyi tulisan di papan iklan itu. 

Siapa yang tak tergiur diskon? Tidak ada yang tidak. Hampir semua orang yang nyawa-nya masih genap, pasti "ngiler" kalau ada label kata diskon bertengger di produk yang ingin dibelinya. Gak tua, gak muda, gak laki-laki, gak perempuan. Semuanya tiba-tiba "gila belanja" kalau ada iming-iming potongan harga. "Lumayan kan bisa hemat Rp 50 ribu,"seloroh pembeli yang sibuk memilih-milih baju. 

Ibarat keping mata uang, diskon pun bisa menguntungkan, bisa pula merugikan kita sebagai konsumen. Menguntungkan, karena harga yang perlu dibayar tak semahal dari yang seharusnya. Lalu, bisa membeli barang bermerek dengan harga yang "miring", dan memperbanyak peluang kuantitas produk yang bisa dibeli dengan "isi dompet" yang terbatas. 

Namun, bisa juga merugikan karena "nafsu" belanja tiba-tiba mengelora, sehingga kalap, dan borong sana borong sini, beli semua produk yang berlabel diskon. Dalihnya, "mumpung diskon bro, kapan lagi kalau gak beli sekarang." Kadang kita terjebak membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, malah tidak kita sukai, hanya karena barang itu lagi didiskon. Akibat belanjanya gak diperhitungkan, anggaran pun membengkak dan alhasil, duit untuk kebutuhan lain ikut terpakai. Misal duit untuk bayar sekolah,  bayar cicilan rumah,  bayar arisan, duit untuk traveling, atau duit tabungan dan asuransi. "Sialan!, tagihan kartu kredit bengkak lagi nih," begitu keluhan yang kadang terlontar dari seorang kawan. 

"Sayang kan kalo gak belanja... Lagi diskon nih," rayu seorang gadis kepada kawan kampusnya. Keinginan belanja diskonan memang sulit dibendung, tapi bisa juga kok dikendalikan. Biar gak terjebak "lingkaran diskon kuntilanak" jadilan konsumen yang pintar, alias belanja pintar. 

1. Sebelum pergi ke pusat perbelanjaan, cek berapa besar anggaran yang dimiliki untuk belanja akhir tahun. Syukur-syukur kalau ada tunjangan hari raya atau bonus akhir tahun, jadi barang yang diburu bisa lebih banyak, atau lebih berkualitas. 

2. Buat daftar belanjaan berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Soalnya, kalau berpatokan pada keinginan, gak akan ada habisnya barang yang akan dibeli. Misalnya, kalau butuh celana kerja ya beli celana kerja, bukan celana jins, atau malah jaket kulit. Gak usah malu kalo pas belanja bawa kertas kecil isinya daftar belanjaan. (Eiittss..., nulis di kertas kecil, hidup di jaman apa lu?? kan bisa nulis di hp atau ipad atau tab, hehehe...)

3. Fokus pada daftar belanjaan, meski ada godaan diskon sebesar gajah bengkak. Sebab, belum tentu barang yang didiskon itu, yang bermerek, modelnya bagus, atau buatan pabrik favoritmu, itu kamu butuhkan. Makanya, pertimbangkan isi lemari di rumah/kamar, siapa tahu barang yang sejenis itu sudah menumpuk dan malah jarang dipakai. 

4. Jika sudah menentukan tempat belanjanya, karena kamu yakin koto/outlet/supermarket itu harga dan barangnya berkualitas, manfaatkan momen-momen diskonnya. Lebih untung lagi kalau kamu punya kartu member yang bisa menikmati diskon yang lebih besar lagi. Manfaatkan pula fasilitas diskon dari kartu kredit yang bekerja sama dengan merchant/toko/outlet tempat kamu belanja. 

5. Sekali lagi, cek barang yang sudah dimasukkan dalam keranjang belanjaan dengan "kadar" finansial dalam dompet. Jika barang yang dibeli melebihi kuota anggaran, mulailah menyortir. Mana yang harus ditunda belinya, atau apakah harus membeli barang yang merek mahal, padahal merek lain lebih bagus kualitasnya dan lebih murah. (buat apa beli merek kalau ternyata dipakainya gak nyaman!). Bila uang masih berlebih, dan semua kebutuhan dalam daftar belanja sudah terpenuhi, bolehlah mulai belanja sesuai keinginan. Tapi ingat, jangan kebablasan belanjanya ya mas bro dan mbak bro... 

"Eh sebentar, kita mau belanja di mana nih? aku mau cari celana pendek buat liburan besok?" tanya aku pada teman-teman yang lain. "Udah belanja di ITC ajah. Murah-murah kok, harga grosir. Mungkin malah ada diskon sekarang. Kan akhir tahun," usul Dian. "Yowis lah, kita kesana aja," aku mengiyakan. "It's time to shopping..."



 - yuda thant - 

Selasa, 18 Desember 2012

Bohong Bikin Bolong

   "Kok hp-nya sibuk terus. Aku telpon-telpon gak bisa-bisa. Lagi nelpon siapa?" tanya Ang kepada Wu. Dengan sedikit gugup, Wu menjawab "Barusan Abah telpon, jadi ngobrol lama." Gak mau kalah, karena merasa curiga, Ang bertanya lagi, "Beneran kamu tadi ditelpon Abah?." Wu kembali menimpali "Iya kok. Abah yang telpon."

   Karena belum yakin, lagi, Ang mengorek jawaban yang sejatinya dari Wu. "Yang bener? soalya aku lho barusan nelpon Abah tanya kabar kamu," Deg..., seperti derit belati yang menghujam ke jantung hati Wu. Hening sekian detik pun mengudara dan mengisi kekosongan sinyal di antara dua telepon seluler yang berjarak 95 km. Tak ada yang bersuara, baik Wu maupun Ang, yang diselimuti tirai kedustaan dalam jalinan asmara mereka.

   Hubungan kedua insan ini, salah satunya temanku, sedang bergulir di papan kayu jungkat-jangkit yang lapuk. Naik-turun, menunggu waktu untuk retak dan terbelah berkeping-keping. Lagi-lagi, kesetiaan dan pilihan adalah penyebabnya. Bumbu-bumbu kebohongan lah yang meperuncing kenikmatan gelora cinta segitiga itu.

   Wu, tak bisa lagi berdusta. Kebohongan kecilnya soal siapa yang menelpon, terbongkar! Padahal, Wu sudah susah payah mencoba menutupi siapa di balik telponnya saat Ang, kekeasihnya, belasan kali mencoba menelpon. Dana, lelaki yang mencuri hati Wu selama 4 bulan terakhir, adalah yang sedari tadi berbicara penuh kasih kepada Wu dari ujung telpon di tempat lain di kota yang sama.

   Bukan sekali Wu berbohong. Belasan, atau mungkin sudah puluhan kebohongan yang dia ciptakan untuk menutupi jejak kisah kasihnya yang terlarang dengan Dana. Berderet skenario Wu siapkan demi kisah cintanya yang entah dimana ujungnya. Bohong yang satu, menutup bohong yang sebelumnya. Dusta  yang tadi, akan ditutup dengan dusta yang lainnya nanti.

   Bohong memang asik. Membuat adrenalin yang mengalir di hati hingga otak menegang. Akal berpikir lebih kreatif, dan jantung berdetak lebih kencang saat bibir ini bercuap kata dan kalimat dusta. Entah apa alasan di balik dusta itu, bohong membuat hidup lebih berwarna, menantang, dan penuh jebakan setan. Berbohong juga kadang menjadi candu yang sulit untuk dilepaskan. Candu yang nikmat dilakukan, namun berakhir pada kesakitan yang menyesatkan.

Sssttt..., mengapa berbohong?

   Pasti ada sesuatu yang ditutupi, yang tak ingin orang lain tahu, yang bukan sepatutnya dilakukan, bentuk kesalahan, pelanggaran yang tak boleh diulang, dan atau melindung hal yang tak ingin orang lain nikmati.

   Besar atau kecil kadar bohong, tetap saja namanya berdusta, berkata atau bersikap tak jujur. Ingat tidak dengan dongen dari negeri Menara Pissa, berjudul Pinokio. Hidung bocah kayu ini bertambah panjang setiap dia berbohong. Semakin menumpuk kebohongan yang dibuat, makin panjanglah hidung kayunya. Namun, saat kejujuran yang disampaikannya, hidungnya akan kembali normal.

   Ternyata, teori itu bukan dongeng. Penelitian dari Universitas Granada menyebutkan adanya pinocchio effect, saat orang berbohong. Yang dimaksud efek ini adalah, meningkatnya suhu di hidung akibat rasa gelisah dari berbohong. Selain itu, daerah otot orbital (penggerak bola mata) di sudut mata juga akan bila seseorang berbohong. (Mata emang gak bisa berbohong, "you can see the real truth from his eyes" hehe..)

   Bukan hanya menyakitkan perasaan, penelitian juga mencatat bahwa bohong memberi pengaruh buruk pada kesehatan. Hasil penelitian di Universitas Notre Dame, pada 110 orang yang diwawancarai dan uji polygraph, menunjukkan orang yang berbohong lebih gampang sakit kepala, sakit tenggorokan, dan mudah cemas dan ketegangan, dibandingkan yang berkata jujur. Demikian pula kesehatan mental orang yang berbohong akan mengalami gangguan, akibat tumpukan stress dan depresi dari tiap kebohongan. 

   Tekanan jiwa akibat bohong memicu neurosis (gangguan jiwa) hingga gangguan fisik akibat kejiwaan (psikosomatik). Lazimnya, penyakit akan muncul bila ada faktoe stress yang memicunya. Seperti asam lambung yang akan meningkat jika stress berlebih, sehingga orang bakal mudah diare, atau malah susah buang air besar. Nafsu makan turun, juga susah tidur, kadang sesak napas atau gatal-gatal tampa sebab yang jelas. Sementara yang punya riwayat asma, bakal kambuh, atau malahan ada yang sampai stroke (serangan jantung) akibat depresi dan stress akut. 

   Psikiater dari Lenox Hill Hospital, di New York City, Amerika Serikat, kebohongan bukan hanya mengganggu kesehatan pribadi, tapi juga kualitas hubungan dengan orang lain. "Kebanyakan orang tahu dampak buruk dari kebohongan pada hubungan, tapi tidak mengenali sejauh mana kebohongan dapat menyebabkan stress," kata dia. Malahan, juga dari hasip penelitian, rata-rata orang berbohong sekali dalam sehari, baik itu bohong demi menyelamatkan gengsi, atau berkaitan dengan integritas, loyalitas, dan sebagainya. 

   Gak ada satu pun dari kita yang mau dibohongi. Untuk alasan apapun. Kalau pun ada, pasti nih orang udah terganggu jiwanya (maaf, hehehe...). Jika tak mau diingkari, maka janganlah berbohong pada orang lain. Bohong pada orang lain sama aja berdusta pada diri sendiri. Terus gimana dong menghindar dari kebiasaan atau kegemaran berdusta? 

   Pertama, lihat dan perhatikan efek juga risikonya. Orang yang kita bohongi pasti gak akan respect lagi dengan kita, jika ternyata kalimat yang kita ucapkan ternyata dusta. Sebab, yang dibohongi pasti merasa kecewa, terluka, juga marah (sebel/jengkel). Akibatnya, hubungan yang terjalin pun jadi merenggang. Kedua, hindari sumber-sumber yang membuat kita ingkar, seperti serakah, selingkuh, atau melanggar aturan main. Ketiga, tekankan bahwa bohong itu dosa dan hal yang memalukan, atau gak terhormat. Keempat, terakhir, buat daftar dosa "bohong" yang sudah pernah dirapalkan kepada orang lain. 

   Emang sih, mengubah kebiasaan ingkar, apalagi jamak dilakukan sejak piyik (kanak-kanak), gak seperti balik kanan maju jalan. Empat mantra yang di atas bisa dipakai, asal niatnya sekeras baja hitam. Padat dan solid. Yang jelas, mas bro dan mbak bro kudu step by step. Dijamin, manfaatnya lebih gede setelah hobi bohong itu lenyap dari hidup kita. Bolong-bolong di jiwa karena bohong bakal memudar, dan hidup pun jadi lebih sehat. Sehat raga, dan jiwa pastinya. 

   Kembali pada dilema Wu dan Ang. Teman yang sempat ikut mendengarkan "perang" cinta Wu-Ang, balik bertanya. "Jadi, yang cerita tukaran mobil supaya kalian bisa ke Malang, itu beneran atau cerita bohong?," tanya Lin, yang terkejut bahwa Wu membohongi Ang. "Oh kalau yang tukar mobil itu cerita benar, bukan bohong," jawabku. Pertanyaan Lin seperti jadi contoh bentuk ketidakpercayaan orang kepada seseorang yang telah berbohong. Kalau begitu, masih mau berbohong?

-yuda thant- 



Sabtu, 15 Desember 2012

Membangun Kelompok



Kita adalah makhluk sosial. Kita tak gak hidup tanpa orang lain atau makhluk lain. Mau gak mau, kita bergantung dan menjadi tempat bergantung bagi manusia lainnya. Kita butuh dan dibutuhkan oleh orang lain. Jika bukan menit ini, pasti menit berikutnya kita membantu dan dibantu mereka yang ada di sekeliling.

Sadar atau gak sadar, kita membentuk sebuah kelompok dalam segala aktivitas. Gak bermaksud menyamakan, tapi hampir semua makhluk di muka bumi ini membentuk kelompok, koloni, grup, atau kawanan yang punya satu atau lebih variabel yang sama lho. Seperti sekawanan serigala hutan, koloni semut rang-rang, kelompok singa afrika, kerumunan monyet ekor panjang, sampai sekumpulan remaja gaul yang super galau. Meski kadang berkelana sendri, tapi semua makhluk itu pasti terikat pada salah satu kelompok.

Balik lagi ke kita. Manusia pun membentuk kelompok-kelompok dalam kehidupannya. Mulai dari yang skala kecil dan rumahan, sampai skala masif yang mendunia. Seperti kelompok arisan ibu-ibu, baik yang dikampung dengan bahan arisan panci dan kompor, sampai ibu-ibu gedongan dengan bahan arisan cincin gelang permatan 24 karat (tapi gak karatan lho!). Atau kelompok belajar di kelas/kampus, grup musik atau band, komunitas bike to work, komunitas fotografi, grup jalan-jalan murah alias backpacker, atau genk main.

        Seperti aku bilang di atas, sebuah kelompok pasti punya satu  atau dua variabel yang sama. Misal, sama-sama suka musik dangdut, sama-sama doyan makan es krim, sama-sama suka jalan ke gunung, merasa sama sukunya, merasa sama asal kampungnya, merasa sejalan ide dan pemikirannya, atau pun merasa setara kekayaannya. Sebuah kelompok muncul karena punya tujuan dan dasaran, yang kadang gak sengaja terbentuknya.

Kelompok itu ada yang formal ada juga yang informal. Kalau yang formal bentuknya kelompok tugas dan komando, sedangkan yang informal adalah kelompok kepentingan dan persahabatan. Nah, kalau alasan membentuk sebuah kelompok itu biasanya ada lima, seperti kebutuhan, kedekatan, daya tarik, tujuan kelompok itu sendiri, dan ekonomi. Tiap orang yang ada di dalamnya pun punya peran masing-masing. Ada yang berperan sebagai motor penggerak, penyemangat, penyuplai dana, sampai penggembira. (Lalu, kelompokmu masuk yang jenis apa?)

Dalam kelompok besar, bisa dipastikan ada kelompok-kelompok kecil. Kadang, keberadaan grup-grup kecil ini bisa memperkokoh posisi sebuah kelompok besar, tapi bisa juga sebaliknya, meruntuhkan! Eksisnya kelompok kecil bisa aja jadi modal kekuatan, apabila anggotanya terpuaskan oleh rezim yang menjalankan roda kelompok besar itu. Namun, bisa jadi bumerang jika kelompok kecil tidak puas dan kecewa pada rezim yang berkuasa. Ini lah yang disebut dinamika dalam sebuah kelompok. Naik-turun, pasang-surut, atau timbul-tenggelam.

Agar kelompok ini terus berjaya, kalau kata anak gaul sekarang bilang “tetep eksis,” butuh yang namanya penyamaan “mimpi” dan penyegaran. Makanya, sering-seringlah berkomunikasi aktif antar-anggota kelompok, saling menerima, memberi motivasi, bertanggung jawab menjalankan perannya, dan meningkatkan kepaduan dan kepuasan di dalam kelompok tersebut.

Jadi, jangan heran kalau melihat ada grup band yang bubar, padahal belum ada setahun album perdananya meluncur ke pasar. Genk jaman sekolahan berantakan karena masalah sepele. Atau partai politik yang gak muncul lagi di pemilu 2014 nanti karena pengurusnya udah  bubar jalan sendiri-sendiri. Itu karena manajemen yang buruk dan bad organizing!!!

Seorang sahabat pernah bilang, selalulah berpikir positif supaya bisa menyingkirkan personal dan interpersonal block saat kita berinteraksi dengan orang lain. Punya sikap yang “nerimo” alias terbuka pada tiap pendapat orang lain dan mencoba selalu berempati. Loyalitas dan komitmen pada grup itu juga penting lho. Dan yang gak kalah pentingnya, mampu mengaplikasikan kerja sama dalam tiap pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. (Kalo jurus yang terakhir itu emang agak berat, soalnya kita harus punya rencana, dan leader yang mumpuni, sampai sistem kontrol kelompok yang berkembang).


Salah satu cara memompa semangat dan membangun (kembali) kelompok, adalah dengan proggram outbond atau outing. Bentuk-bentuk itu adalah upaya team building atau membangun kelompok, yang kini banyak dilakukan di perusahaan, instansi, dan lembaga apa pun. Bentuknya dari yang sederhana dengan modal suara dan gerak tubuh, sampai yang paling rumit dengan peralatan keselamatan.

Lalu, kapan kita melakukan team building? Itu sih bergantung dengan kondisi dan situasi dalam kelompok tersebut. Bisa sekarang, bisa besok, bisa juga tahun depan. Bergantung seberapa parah sih kerentanan, ketidakharmonisan, atau keretakan yang menjalar dalam kelompokmu. Lokasinya kegiatan team building pun gak harus di luar ruang, di luar kota, atau di vila di atas gunung. (Boleh lah kalau budget mencukupi, tapi kalau gak ada duit, di halaman kantor juga boleh kok!)

Contoh permainan team building yang paling sederhana adalah “seven-up.” Caranya: bentuk lingkaran, lalu sebutkan angka mulai dari satu dan seterusnya, tiap angka tujuh (7), kelipatan tujuh, atau bilangan yang mengandung angka tujuh, diganti kata “dor”. Peserta yang salah sebut, akan dikeluarkan dari lingkaran, hingga tersisa satu pemain yang paling konsentrasi. Atau “hula-hup,” yakni memindahkan hula-hup dari peserta paling ujung ke peserta di pangkal barisan yang saling bergandengan tangan.   

-yuda thant-



Minggu, 02 Desember 2012

Untuk Angin di Bulan Desember

Apa yang paling hangat dalam pikiran kamu saat ini? Senyum manja istrimu di rumah?, tawa renyah suami yang ada di kantor?, kekasih genit di kampus?, lelaki pujaan yang entah ada di mana?, pizza panas dari oven dengan asap mengepul?, opor ayam buatan mami di rumah?, atau deburan ombak pantai di Pulau Karimunjawa? 

Perut ini memang kosong, tapi bukan makanan yang diinginkan. Otak ini rindu liburan, tapi bukan pantai Kute yang aku idamkan. Tubuh ini memang letih, tapi bukan tukang pijat yang dimaui. Raga ini lagi haus, tapi bukan es teh manis yang dikehendaki. 

Aku memang kosong, haus, letih, juga rindu. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan. Semuanya terasa berhenti, tak bergerak, rusak, bahkan berkarat. Tidak mampu untuk maju, sekalipun mundur. Tidak berdaya untuk bergeser, sekalipun seinci. Tak kuasa untuk melompat, walau sejengkal. Semuanya membeku, kaku. Semuanya kosong, melompong. Semuanya terasa haus, aus. Semuanya pun terasa letih, dan perih. 

Itu karena aku tak pernah ada baginya. Aku hanya bayangan suram, melintas dan hilang. Kabut yang surut saat hujan bertiup. Itu karena aku bukan siapa-siapa baginya. Hanya asap di cermin yang segera diusap, lenyap. 

Untuk angin di bulan Desember. Yang kukenal di ujung waktu yang hendak berganti. Aku hampa tanpa dirimu, karena kau tak lagi mengisinya. Aku lunglai tanpa dirimu, karena kau tak ada tuk meniupnya. Aku tumbang tanpa dirimu, karena kau tak lagi menerbangkannya. 

Aku rindu padamu angin di bulan Desember. Rindu yang tak pernah bertepi. Kepada angin yang kukenal di ujung waktu yang hendak berganti. Pada tahun yang lalu. 

-yuda thant-


Jumat, 30 November 2012

Goes to Kediri (part 3)



Anak Gunung Kelud
“Selamat Datang di Festival Gunung Kelud.” Sebuah spanduk terbentang melebar di bawah langit mendung di atas jalan aspal mulus menuju ke Gunung Kelud. “Wah, ada festival nih, bakal keren pasti di sana.” Pikir ku pun melayang, membayangkan festival di Gunung Kelud akan serupa ritual Kasada di Gunung Bromo.

Namun sayang, lagi-lagi kami disambut gerimis yang kian deras memasuki kawasan Gunung Kelud di Kecamatan Ngancar. Dan tidak beruntungnya lagi, pas kami tiba di pelataran parkir Gunung Kelud, ritual larung saji Gunung Kelud baru saja bubar jalan. Peserta dan tamu undangan festival, belum ada setengah jam yang lalu meninggalkan lokasi festival. Yang tersisa hanya hiasan-hiasan festival, seperti janur dan sesaji yang tergeletak di arena larung, pengisi acara yang sibuk melepas kostum, dan hujan yang tak kunjung berhenti.

Ternyata, festival itu dimulai pukul 11.00, tepat saat kami baru berangkat dari Kota Kediri. Jadi wajar kalau kami telat banget, hehe... Sembari menunggu hujan yang tak kunjung menepi, kami pun membuka bekal makan siang yang sudah disiapkan oleh ibunya Arya. Nasi ayam goreng dengan sambal yang pedasnya mantab (angkat dua jempol). Perut kenyang, hati senang. Waktunya menikmati Gunung Kelud.

Konon, ritual larung sesaji untuk menolak bala atau bencana ini terkait dengan legenda Gunung Kelud, yakni pengkhianatan cinta seorang putri dari Kerajaan Majapahit kepada Lembu Sura. Dyah Ayu Pusparini, putri Raja Majapahit Brawijaya ini, menolak dinikahi lelaki berkepala kerbau (lembu) yang telah berhasil memenangi sayembara dari Raja Brawijaya untuk mencari jodoh putrinya. Putri Dyah Ayu, dibantu Raja Brawijaya, menjebak Lembu Sura dengan menguburnya di dalam lubang sumur yang dibuat untuk tempat mandi mereka berdua nanti setelah menikah. Ketika terkubur, Lembu Sura sempat bersumpah, bahwa setiap dua windu sekali, dia akan merusak wilayah Kerajaan Kediri. Makanya, supaya tidak tertimpa musibah, Brawijaya melakukan ritual larung saji guna meredam kemarahan dan sumpah Lembu Sura. (http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore)

Selain legendanya yang mirip Roro Jonggrang, Gunung Kelud yang tingginya 1.730 meter, itu menampilkan fenomena alam yang menakjubkan, yang terjadi tepat lima tahun lalu. Kalau kamu pernah datang atau berwisata ke Gunung Kelud sebelum tahun 2007, pasti menjumpai sebuah danau kawah Kelud yang berwarna hijau terang. Namun, pemandangan itu tidak lagi tampak. Sebab, tanggal 5 November 2007 lalu, muncul Anak Kelud dari dalam kawah. Anak gunung yang berdiameter 100 m dan tinggi 20 m, di awal kemunculannnya, itu terus membesar. Kalau tidak salah, diperkirakan diameternya sudah mencapai 200 m. Dan seperti yang kami lihat, asap belerang masih terus mengepul tipis dari celah-celah bebatuan Anak Kelud.

Melihat lampu-lampu yang terpasang di sekitar Anak Kelud, ternyata banyak wisatawan yang datang pada malam hari dan menikmati keindahannya dalam soroton lampu. Kadang, warna merah dari buliran larva, mampu menambah kesan eksotis Anak Kelud ini. Wisata Kelud malam hari memang sedang dirintis dan digalakkan. Namun, bagi kamu yang tidak tahu medan dan jalan menuju ke Kelud, sebaiknya menyewa mobil rental plus supirnya, yang sudah hapal kondisi jalan ke sana. Sebab, ada beberapa tikungan curan yang perlu diwaspadai saat malam hari, apalagi jika kabut merambat turun.

Untuk menuju ke lokasi Anak Kelud, kami harus menembus gelapnya terowongan sepanjang 400 meter. Saat terowongan berkelok, cahaya matahari di ujung terowongan menghilang, berganti temaram dan pekatnya gulita. Hanya berkas sinar lampu-lampu yang menempel di dinding terowongan, menjadi penerang di terowongan yang tinggi lengkung atasnya sekitar 3 meter dari lantainya.
  
Di ujung lorong, jalan membelah. Kanan menuju salah satu area yang digunakan ritual larung sesaji, sedangkan kiri menuju anak Kelud dan gardu pandang. “Aduh.., tangga lagi. Jangan dong, udah gak kuat nih,” komentar teman-teman. Karena hujan dan keletihan, akhirnya diputuskan kami tidak naik ke gardu pandang, dan hanya beraksi narsis di depan anak Kelud.

Hujan rupanya ingin terus mengiringi perjalanan kami di Kediri. Sampai petang, hujan terus berderai membasahi Kediri. Maklumlah, jika berwisata di bulan November, risikonya adalah berbasah-basah ria. November sampai Maret, adalah bulan hujan di Indonesia. Akhirnya, kami memilih bersantai di rumah Mbak Intan, sambil menunggu Mbak Jujuk dan Mbak Galuh yang ingin bertemu kami.


Gerbang Perancis
“Diyan..., ayoooo banguuunn..., banguuunn.., banguuunn..,” ajak Fika yang membangunkan Diyan, dengan suara menirukan Ojan di program Sketsa TransTV. Setelah packing, lalu menyantap habis gurame goreng dan berpamitan kepada keluarganya Mbak Intan, kami meluncur ke Simpang Lima Gumul (SGL), salah satu ikon Kediri.

Monumen yang menyerupai gerbang di Prancis (L’Arch de Triomphe Paris) itu dibangun sejak 2003 hingga tahun 2008, dan menghabiskan anggaran dana miliaran rupiah. Tujuan monumen yang menghubungkan jalan menuju ke Pesantren, Pare, Gurah, Pagu, dan Kota Kediri, ini untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Kediri. Di pelataran parkir khusus SGL, pada Minggu pagi itu dipenuhi dengan penjual makanan dan kebutuhan sandang. Yah, hampir seperti pasar kaget di Taman Bungkul Surabaya, atau di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya. 

Bangunan berbentuk kubah dengan 4 sisi terbuka ke arah 4 penjuru mata angin itu, katanya dibangun dengan filosofi Kerajaan Kediri. Tinggi monumennya 25 meter yang disangga dengan 3 tangga, dan luas seluruh SGL 804 meter persegi. Itu semuanya melambangkan periode berdirinya Kabupaten Kediri. Jadi, gak heran kalau di sudut-sudut SLG ada patung ganesha yang juga merupakan lambang Kabupaten Kediri.

Dari parkiran ke monumen, ada underpass (jalan bawah tanah) sebagai penghubungnya. Ada 3 underpass penghubung menuju ke monumen itu. Saat memasuki underpass, aku langsung teringat underpass di Stasiun Kota Jakarta. Kawasan SGL nantinya bakal jadi nadi perekonomian Kediri. Di sini, juga sering dihelat event-event lokal dan nasional. Sebab, lokasinya memang luas, dan secara visual menunjang. Meski kaki kami masih jarem-jarem (pegel) akibat mendaki ratusan anak tangga di Kelud dan Dolo, tetap aja, kalau urusan foto kami tetap dan akan selalu eksis dan tampil luar biasa, termasuk dengan gaya levitasi melayang di depan SLG. 


Gua Putus Cinta
“Ayo kita ke Gua Selomangleng. Masih ada waktu kan,” ajak Mbak Intan. Ya, masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum kereta kami kembali ke Surabaya berangkat. Makanya, kami pun bergegas menuju obyek wisata gua yang terletak di depan kampus Universitas Kadiri, di daerah Gunung Klothok. Suami mbak Intan pun segera melajukan mobilnya membawa kami ke guna yang konon menjadi tempat pertapaan Dewi Kalisuci (Sanggaramawijaya Tunggadewi), putri mahkota Raja Airlangga. Putri yang terkanal welas asih ini menolak menerima tahta kerajaan yang diwariskan kepada dirinya. Dia lebih memilih menjauh dari kehidupan duniawi, sehingga bertapa di gua ini.

Di depan jalan menuju ke gua, berdiri anggun patung Dewi Sekartaji. Patung ini jadi perlambang kisah Panji Sumirang, yang berkembang di masa Kerajaan Kediri. Panji yang dimaksud adalah Panji Asmarobangun yang menjalin kisah cinta dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana.  

Selomangleng berasal dari susunan kata, Selo = batu ; Mangleng = menggantung. Jadi bisa diartikan batu yang menggantung. Celah yang berlubang di batu andhesit ini dulu dianggap kawasan yang angker. Konon, ada mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa jangan sekali-sekali datang ke gua ini dengan pasangan kamu. Sebab, nantinya jalinan cinta kalian tidak akan awet, alias putus setelah pulag dari Gua Selomangleng.

Melongok ke dalam gua, beberapa petak dindingnya dipenuhi relief yang menyerupai wajah manusia. Ini yang menambah kesan mistis dan angker gua yang terbagi menjadi tiga ruang sempit itu. “Aku gak mau masuk ke dalam ah,” kata salah satu teman, yang bertahan di mulut gua. Dia pun menolak ikut berfoto-foto di dalam gua. Tapi di luar gua, dia tetap eksis dengan gayanya, hehehe.. Selain gua, terdapat juga Museum Airlangga, kolam renang dan wahana bermain di sekitar lokasi wisata Gua Selomangleng.  


Final Step 
25 menit sebelum KA Rapih Dhono tujuan Surabaya tiba, kami sudah sampai di Stasiun Kediri. Mbak Intan pun pamit lebih dulu, tidak menunggu keberangkatan kami, karena dia masih ada urusan keluarga. Kediri yang hari ini terik sekali, membuat kerongkongan terasa kering. Kerupuk pasir pemberian Mbak Ema, yang kucamil karena kelaparan, menambah kering kerongkongan. Minuman soda dingin pun jadi solusinya. Oh ya, aku hampir lupa. Soal oleh-oleh khas Kediri, kerupuk pasir adalah salah satunya, selain tahu kediri warna kuning yang sudah terkanal itu.

Masih ada lagi pecel tumpang dan kerupuk bekicot. Nah, yang terakhir ini aku penasaran, karena belum sempat mencicipinya. Kalau sate bekicot dengan bumbu pecel, yang awalnya terasa geli untuk menyantapnya, ternyata nikmat juga. Rasanya hampir sama seperti siput atau empal. Kenyal-kenyal gimana gitu. “Emang enak ya?” tanya Fika lagi dengan muka sedikit kecut, karena belum yakin untuk menyantap 50 tusuk sate bekicot yang kami beli seharga Rp 16.000.

“Itu keretanya sudah datang,” ujarku kepada teman-teman, sambil menunjuk ke dalam peron. Lima menit menunggu di dalam peron, akhirnya kereta yang akan membawa kami berhenti bertualang di Kediri datang juga. Siang itu, hujan tak mengantar kepergian kami kembali ke Surabaya. Peluh yang mengucur dan garis bibir yang melengkung ke arah atas, mengiringi kegembiraan berkelana ala “mbambungpacker” kami di Kediri.

-yuda thant- 

Rabu, 28 November 2012

Goes to Kediri (part 2)


Festival Jalan Dhoho
Derasnya rinai hujan menyambut kedatangan kami di kota Gudang Garam ini. Di teras luar stasiun yang dibangun tahun 1882, kami menunggu kedatangan Arya dan Mbak Ema yang berjanji menjemput. Jam besar di dalam stasiun, yang sempat aku lihat, jarum pendeknya menunjuk angka tiga, dan jarum panjangnya bergelayut di angka delapan. 



Tak sampai 10 menit berdiri menikmati kucuran hujan dari atas atap teras toko di depan stasiun, mereka berdua datang berbalut jas hujan, masing-masing menunggang sepeda motor. “Kita ke depan (jalan raya). Nanti naik angkot ke rumah bulek-ku,” jelas Arya singkat, setelah sedikit berbasa-basi menyambut kami di kotanya.

Karena jadwal keberangkatan kami molor, terpaksa rencana liburan pun berubah. Sore ini, kami tidak kemana-mana, dan kebetulan memang hujan. “Nanti malam kita ke Festival Jalan Dhoho. Festivalnya dimulai hari malam ini sampai besok malam,” ujar Mbak Ema. “Oke mbak,” jawabku, sambil bertanya-tanya kenapa dinamakan Festival Jalan Dhoho. Selepas istirahat sejenak, makan sore, dan mencari pinjaman motor, kami pun menembus petang yang masih diguyur hujan. Tujuan kami adalah Festival Jalan Dhoho.

Saat menyusuri jalan yang telah disulap menjadi semacam pasar malam itu, Mbak Ema menjelaskan secuil informasi tentang Jalan Dhoho. Jalan yang terletak di pusat Kota Kediri ini hampir sama dengan Jalan Malioboro, Yogyakarta, yakni sentra niaga yang menjual berbagai kebutuhan sandang, makanan, juga hiburan. Jalan ini tak pernah sepi. Apa lagi pada malam ini. puluhan kios berderet memanjang di tengah jalan, dan 4 panggung digelar. Salah satu panggung menampilkan tari-tarian tradisional dan satu panggung lagi memberi suguhan semacam wayang kulit kontemporer yang disebut Jemblung. Tujuan perhelatan festival ini ialah memberi wahana bagi UKM-UKM di Kediri mempromosikan produknya, sekaligus menampilkan khasanah budaya dan tradisi yang masih bertahan di Kediri. 

Nama Dhoho, mungkin diambil dari kisah Ki Ageng Dhoho, patih dari Sri Aji Jayabhaya, yang dikenal setia, teguh, dan jujur, dan sebagai penjaga Kediri. Kata Dhoho kemungkinan besar berasal dari kata Daha, yang diambil dari kata Dahanapura, yang berarti “kota api.” Karena lidah orang Jawa yang melafalkan “a” menjadi “o” maka, Daha menjadi Dhoho. Daha sendiri merupakan kota tempat kerajaan Panjalu berkuasa, yang nantinya jadi cikal bakal Kerajaan Kediri.

Kerajaan Kediri, sendiri terbentuk karena adanya pemisahan Kerajaan Mataram yang dilakukan oleh Airlangga, guna menghindari perselisihan anak-anak selirnya, menjadi dua, yakni Kerajaan Jenggala dan Panjalu, di tahun 1042 masehi. Kerajaan Jenggala berpusat di Kahuripan, yang meliputi wilayah (dulu) sampai Surabaya dan Malang, sedangkan Panjalu di Daha, meliputi wilayah Kediri dan Madiun. Salah satu raja ternama Kediri adalah Jayabhaya, yang terkenal dengan ramalan-ramalannya. 

Kerajaan Kediri runtuh pada pemerintahan Raja Kertajaya (1185-1222), melalui Perang Tumapel, dikalahkan Ken Arok, yang kemudian hari membangun Kerajaan Singasari. Kini Kediri telah berkembang menjadi salah satu daerah terpenting di Jawa Timur. Kediri terdiri dari kota & kabupaten. Boleh dibilang, kini Kota Kediri adalah kota besar keempat di Jawa Timur setelah Surabaya, Malang, dan Jember. Kota ini menjadi kiblat bagi kabupaten di sekitarnya, seperti Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, Tulungagung, Pacitan, dan Blitar. Bukan hanya pesat sebagai kota perdagangan, Kediri pun tumbuh menjadi kota industri, seperti adanya pabrik rokok dan besi baja, juga kota pendidikan dengan banyaknya sekolah/akademi kesehatan. 


Kelenteng Makco Kebanjiran
Sayangnya, kemeriahan festival malam ini sedikit terusik hujan yang membuat pengunjung enggan berkeliaran. Kami pun bergeser menuju kelenteng yang tak jauh dari Jalan Dhoho. Kelenteng Tjoe Hwie Kiong, namanya. Hujan sedikit mereda, saat kami meminta izin masuk kepada petugas jaga. Setelah dibolehkan masuk, kami segera pasang aksi di depan kamera. “Boleh masuk tapi hanya di depan kuil saja ya. Malam ini gak boleh masuk ke dalam (ruang ibadahnya),” kata petugas jaga.

Aku sempat ngobrol singkat dengan umat yang sedang duduk-duduk santai di latar ruang ibadah. Menurut cerita tiga orang bapak-bapak yang usianya kuperkirakan di atas 60 tahun itu, kelenteng ini langganan banjir. Dulu, banjir akibat luapan Sungai Brantas, yang terletak persis di sisi barat kelenteng, masuk ke dalam kuil sampai semeter tingginya. Oh ya, Kediri adalah kota yang diapit oleh deretan gunung dan bukit, seperti Gunung Kelud, Klothok, dan Maskumambang. Di bagian tengah kota di belah oleh Sungai Brantas.

“Yang paling parah tahun 1955, 1965, dan 1975. Lalu kelenteng direnovasi dan ditinggikan. Sekarang kalau hujan deras masih banjir sedikit, tapi gak sampai masuk ke dalam,” ujar salah satu bapak yang kepalanya dipenuhi rambut putih.

Dewa yang dipuja oleh umat di kelenteng ini adalah dewa laut. Hal ini mengingat lokasi kelenteng yang dekat/menghadap Sungai Brantas. Dulu, di dekat kelenteng yang dibangun sekitar abad ke 17, ini ada pelabuhan dan banyak pemukiman nelayan. Sebutan dewa laut yang mereka hormati adalah Makco (Ma Cao), sehingga kelenteng ini pun disebut Kelenteng Makco.

Di salah satu sudut kelenteng terdapat patung Makco (Thian Siang Sing Boo) seberat 18,7 ton yang didatangkan dari Desa Buthien, China. Patung Makco yang menjadi perlambang welas asih dan ketentraman tersebut didatangkan tahun 2011 kameren. Kelenteng ini pun sudah terdaftar sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh Pemkot Kediri, sehingga tidak boleh sembarangan dibangun atau dirombak. “Tidak boleh direnovasi lagi, hanya boleh diperbaiki kalau ada yang rusak saja. Soalnya sudah jadi bangunan cagar budaya,” ujar salah satu bapak-bapak itu.


Privat Waterfall
Alarm ponsel berbunyi nyaring. “Ayo bangun, sudah jam 4,” kataku dengan malas. Hari ini kami harus bangun pagi. Sebab, rencananya, jam 05.30 kami akan berangkat ke air terjun Dolo, di Kecamatan Mojo, sekitar 1 jam dari Kota Kediri. Kantuk masih merambat di pelupuk mata. Langit pun masih gelap. Tapi kami harus bersiap-siap, karena pagi ini kami sekalian check-out dari rumah bulek-nya Arya.

Jam 05.00, lewat sedikit, mobil rental yang disewa sudah menunggu di luar pagar. Setelah pamitan, dan mendapat bekal sarapan, kami meluncur ke Dolo. Sejuknya udara pagi Kediri menyapa sepanjang perjalanan menuju lokasi wisata di ketinggian 1.200 dpl. Karena masih terlalu pagi, kami pun masuk ke lokasi wisata itu dengan leluasa. Belum ada petugas loket masuk yang berjaga di posnya.

Tantangan pertama yang harus kami lalui untuk mencapai air terjun Dolo adalah menuruni anak tangga yang jumlahnya mungkin lebih dari 1500 anak tangga. Setidaknya, 3 kali kami harus berhenti untuk menarik nafas karena beberapa teman merasa letih. “Ayo sedikit lagi. Sudah kedengearn kok suara air terjunnya,” ujar Dian menyemangati dirinya dan teman-teman yang lain.

Namun, keletihan menuruni ratusan anak tangga yang mengular itu pun terbayar. Air terjun setinggi lebih 25 meter itu menyapa kami dengan agungnya, meski debit air yang mengucur tidak terlalu besar. Air terjun Dolo serasa milik kami pribadi karena tak ada pengunjung lain yang tampak di sana. Kami pun merasa bebas tertawa dan bermaian di bawah guyuran air terjun itu. Dan yang tak ketinggalan adalah sesi pemotretan ala-ala model majalah dewasa, hehehe...

Puas bermandi deburan air terjun, kami pun menyudahinya. Dan bersiap menghadapi tantangan selanjutnya, yakni menapaki lagi ratusan anak tangga ini untuk menuju ke parkiran. Lebih dari 10 kali rombongan terpaksa berhenti untuk mengatur denyut jantung dan melemaskan otot betis yang menegang. Sampai-sampai, Nana muntah karena tidak kuat menahan letih. Bau minyak kayu putih yang dioleskan di perut, tengkuk, dahi, dan leher untuk mengusir rasa mual akibat keletihan, pun beramburan di udara. 

Walau aku tidak muntah, tapi nasib sial menghampiri. Seekor lintah menempel di jari tengah tangan kiriku, saat kami duduk beristirahat di deretan anak tangga. Lintah yang mulai gemuk oleh darah itu pun aku tarik paksa, sehingga darah segar membanjiri dari jariku. “Wah ini kalau ini ada Bella (Twillight), darahku pasti sudah dihisap habis,” khayalku berimajinasi. Lubang kecil 1 milimeter bekas gigitan lintah itu terus mengucurkan darah sampai 10 jam kemudian. (Bekas gigitan lintah bisa mengucurkan darah sampai 48 jam). “Lain kali bawa tembakau atau garam deh, antisipasi lintah atau pacet,” ujar seorang teman.

Sedikit info soal lintah, atau nama latinnya Hirudo medicinalis, adalah hewan hermaprodit pengisap darah yang memiliki enzim dalam mulutnya yang membuat darah encer (anti-beku darah), sehingga setelah dicabut darah akan terus mengucur. Gigitan lintah yang hidupnya di air menggenang, itu seperti gigitan nyamuk, dan dia mampu menyedot 5ml-15ml darah korbannya. Jika sudah gemuk, lintah susah sekali dilepas atau dicabut. Agar lebih mudah dilepas, taburi dengan tembakau atau minyak kayu putih di sekitar gigitan lintah. Cuci luka, lalu tutup dengan perban atau plester untuk menghentikan pendarahan. Periksa berulang luka itu, dan ganti dengan perban baru sampai darah berhenti menetes.  

Bersambung...
Soal Gunung Kelud dan oleh-oleh khas Kediri, aku bakal cerita di episode selanjutnya. jadi kalau penasaran, baca yang part 3 yah... :)

-yuda thant-

Selasa, 27 November 2012

Goes to Kediri


Changing plan in last minutes, it was always happen

Awalnya, akhie pekan kemaren kita mau pergi ke Gunung Bromo, tapi dalam perencanaan tiba-tiba berubah.  “Khawatirnya, sekarang ini musim hujan. Percuma kalau kita ke Bromo, tapi gak bisa lihat sunrise. Sama juga bohong dong,” itulah yang jadi alasan trip “MbambungPacker” kali ini diubah dari Bromo ke Kediri.

Setelah Kediri ditasbihkan sebagai kota tujuan. Mulailah kita berlima (aku, Ade, Fika, Dian, dan Nana) membuat perencanaan. Namanya juga “mbambung” jadi gimana caranya, kita bisa liburan tapi gak menghabiskan duit. Aku dan Dian mulai berselancar mencari lokasi wisata, Nana, Ade, dan Fika mulai mencari tempat tumpangan untuk menginap selama 2 malam di Kediri. Setelah sms sana, bbm sini, dan telpon sana-sini teman-teman satu kelas yang asli Kediri, akhirnya kami dapat kepastian tempat transit dan menginap selama dua malam. (Asik, misi pertama sudah berhasil).

Mengutip kuliah Administrasi dan Manajemen, semua kegiatan butuh perencanaan agar tujuan bisa tercapai. Gimana caranya, cara yang dilakukan efisien dan efektif. Dalam hal ini, prinsip ekonomi pun ambil bagian, less expense more income, sedikit pengeluaran banyak penghasilan. Dengan rumah tumpangan selama dua hari, Jumat-Minggu, setidaknya kita bisa menghemat biaya hotel dan juga biaya sarapan pagi, hehehe...

Ada enam teman sekelas yang orang asli (berdomisili di) Kediri, yakni Arya, Ema, Mbak Galuh, Mbak Intan, Mbak Cucuk, dan Mas Maksun. Semuanya bersedia kami repotin, tapi setelah menimbang dan menilai, kami memutuskan bermalam di rumah Arya dan Mbak Intan. “Mas, tidurnya di rumah bude ku aja ya. Soalnya ada dua kamar kosong di sana, dan rumahnya agak besar. Gak apa-apa kan?” tanya Arya. Serempak kami pun menjawab, oke. Yang penting kita ada tempat buat tidur, dari pada tidur di masjid atau di stasiun.

Agar tidak ribet soal duit saat berlibur, sebaiknya ditunjuk seorang bendahara. Tugasnya, ngumpulin duit dan membayar semua keperluan, mulai dari tiket, makan, sampai duit toilet. Kalau bisa, teman yang ditunjuk jadi bendahara ini kudu teliti dan cerewet soal duit. Setiap hari, dia pun bikin laporan singkat buat kita, berapa uang yang sudah terpakai, dan berapa sisa duitnya. 

“Kita iuran berapa nih?” tanya Nana yang kami tunjuk jadi bendahara. “Sementara ini kita iuran Rp 150.000 aja gimana. Ntar kalau kurang kita tambah lagi,” kata Dian. “Oke,” jawab kami bergantian. Totalnya, kami berbekal Rp 900.000 untuk enam orang. Uang tersebut kami alokasikan untuk sewa mobil sehari selama di Kediri, tiket kereta, tiket masuk obyek wisata, makan selama hari, dll.

Plan B
“Dimana? Keretanya sudah mau datang. Kita beli tiket sekarang atau gimana?” tanya Fika di ujung telepon. “Sorry, ini ban bocor, lagi ditambal. Bentar lagi kita meluncur ke stasiun (Gubeng). Tunggu kita, jangan beli tiket dulu,” jawabku. Tak sampai 5 menit, tukang tambal ban sudah menyelesaikan pekerjaannya mengganti ban depan motorku yang sobek kena tusuk paku sepanjang 7 cm.

Jam ditangan Diyan, sudah menunjukkan 07.30 WIB. Sekitar 20 menit lagi, Kereta Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Blitar, bakal berangkat dari Stasiun Gubeng. Sedangkan waktu tempuh dari lokasi tambal ban ke stasiun sekitar 20-30 menit.

Govinda aku geber, aku ajak dia lari kencang, meski sedikit tersendat-sendat karena terjebak arus orang berangat kerja. Selama perjalanan ke stasiun, otak berpikir alternatif lain berangkat ke Kediri jika kami ketinggalan kereta. Naik motor atau naik kereta lain. Aku dan Diyan sampai di stasiun pukul 07.55, jalur 1 tidak ada kereta. Aku pun berpikir, kereta sudah berangkat. “Sial, telat nih” umpat aku. Tapi, kok teman-teman gak kelihatan. Sewaktu membuka ponsel, ada pesan. “Kami makan di warung depan stasiun,” bunyi sms itu.

Belum sempat menuju ke warung, terdengar pengumuman dari corong suara di lobi stasiun. “KA Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Kertosono-Blitar akan segera masuk stasiun, penumpang yang telah punya tiket dipersilahkan menunggu di jalur 1,” bunyi pengumuman itu. “Lho ternyata keretanya belum berangkat tho! Tapi teman-teman lagi makan, gak mungkin ini!” Aku sempat menelpon mereka, tapi mereka belum selesai makan. Ya sudah lah, terpaksa kami melewatkan kereta.

Kami akhirnya mengambil keputusan naik KA Rapih Dhoho jam 11.00 WIB. Itu berarti kami harus menunggu 3 jam lagi untuk berangkat ke Kediri. Konsekuensinya, waktu berlibur kami jadi sedikit berkurang. Terpaksa, ada perubahan rencana dan pengurangan lokasi tujuan berwisata di Kediri. Rencananya kami tiba di Kediri jam 12 siang, jadi mundur jam 3 siang, sehingga tujuan ke Air Terjun Dolo yang kami rencanakan Jumat sore, digeser besoknya.

Jam 11.00, kami meninggalkan Surabaya dengan berbekal tiket KA Rapih Dhoho tanpa tempat duduk. Ternyata, dari 5 kereta (gerbong), gerbong depan dan belakang disipakan bagi penumpang tanpa nomor tempat duduk. Beruntung, ada kursi kosong di gerbong belakang. Kami pun bergegas menjajah kursi-kursi kosong itu. Merasa beruntung, kami pun langsung bernarsis ria mengabadikan moment di dalak kereta ekonomi yang harga tiketnya Rp 5.500 dari Surabaya ke Kediri.

Cinta dalam Gerbong
Cinta memang tak bisa diduga kapan dan di mana dia datang. Begitlah cinta, muncul tanpa rencana yang tak disangka. Seperti adegan sebuah sinetron atau FTV di stasiun televisi swasta, Nana bertemu dengan kisah cintanya.

Berawal dari selembar tiket yang dihilangkannya, Nana terpaksa harus berurusan dengan kondektur kereta. Tapi, kesialan itu berujung keberuntungan. Mr kondektur KA Rapih Dhoho yang bertugas siang itu boleh dibilang good looking, alias berwajah rupawan (versi Nana). Negosiasi  soal tiket hilang antara Nana dan Mr Kondektur, yang setelah kami kenal namanya Taufiq, berlanjut dengan obrolan santai dan saling tukar nomor telepon dan pin BB. Meski harus membayar Rp 15.000 untuk mengganti tiket yang hilang, bagi Nana tak mengapa sebab dia bisa berkenalan dengan pria tampan, katanya.

Saling pandang, senyum dan goda sana-sini dengan malu-malu, begitulah adegan yang terekam dalam gerbong belakang KA Rapih Dhoho. Sayang, keintiman itu harus terhenti sesaat, karena stasiun tujuan kami sudah di depan mata. Adegan berikutnya adalah perpisahan di Stasiun Kediri. Peluit kecil yang ditiup Taufiq, memberi aba-aba kereta untuk berangkat.

Binar mata Nana terus tertuju pada lelaki berseragam dan bertopi tersebut. Dari ambang pintu gerbong kereta yang melaju perlahan, Taufiq melirik Nana yang terlihat sendu melepas kepergiannya. Nana pun membalas senyuman dengan memberi kode jari jempol kelingking tangan kanan menempel di telinga dan bibir, jangan lupa telpon, begitu kira-kira arti pesannya. Dan ternyata, pesan ini memang terwujud. Komunikasi mereka via BBM berlanjut selama kami di Kediri hingga kami balik ke Surabaya, bahkan sampai hari ini. “Mas Taufiq lagi di Jogja. Lagi di KA Mutiara Selatan, nanti baliknya tugas di KA Logawa,” ujar Nana dengan gayanya yang sedikit centil.

Bukan Parasit
Kalau ada yang bilang kami tak bermodal, itu memang benar. Tapi kalau Anda bilang kami parasit, eeiitt...! Anda keliru. Berlibur dengan menumpang di rumah kenalan bukan berarti kami parasit. Kami hanya memanfaatkan peluang yang ada, sekaligus mempererat silaturahmi antar teman, juga menambah kenalan baru, dengan keluarga/kerabat di rumah yang kami inapi. Untuk makan, kami masih bermodal lho. Kami beli makanan sendiri. Tapi, kalau ditawari sarapan, makan siang, dan makan malam, kami gak nolak kok.

Malam pertama, kami menginap di rumah milik Bulek-nya Arya. Rumahnya ada dua kamar kosong, milik anak-anaknya yang sudah tidak lagi tinggal di Kediri. Bulek dan Paklek-nya Arya sangat ramah dan gembira kami kunjungi. Kebetulan, karena mereka berdua baru pulang ibadah Haji, banyak kudapan yang bisa kita santap dengan lahap, hahaha... 

Di malam kedua, kami menginap di rumah Mbak Intan, di daerah Pesantren. Kami pun disuguhi gurame goreng, yang dipancing dari kolam di belakang rumah Mbak Intan. Alasan kami berpindah “tempat tidur” karena: 1) sungkan jika terlalu lama merepotkan orang. 2) tawaran baik dari teman jangan sampai ditolak. 3) ganti suasana biar gak bosen, hehe..

Jadi, gak ada salahnya kok kalau kita numpang di rumah saudara, teman, dan kerabat untuk berlibur murah meriah. Balik lagi, biarpun liburan prinsip ekonomi jangan sampai dilupakan. Makanya, mulai sekarang bikin list saudara, teman, atau kenalan yang kota-kota tujuan wisata. Sering-seringlah berkomunikasi meski sekadar menyapa mereka lewat SMS, FB, atau twitter, supaya saat Anda butuh mereka menjadi induk semang selama liburan Anda, itu bisa terwujud. Bukan hanya sahabat/teman di Indonesia, kalau perlu perluas jaringan sampai ke benua lain, siapa tahu next trip kita bisa ber-"MbambungPacker" ke Amerika atau Eropa. (dua jempol ke atas). 

Bersambung...

-yuda thant- 

Rabu, 21 November 2012

Melihat yang Utuh

Melihat sesuatu itu harus utuh! 

Itu mungkin yang ingin disampaikan Prof Pri, pada kuliah hari Senin kemarin. Meski konteks yang dimaksud adalah melihat sebuah pengetahuan, hal ini juga berlaku dalam melihat dan menjabarkan sebuah fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. 

Menurut Prof Pri, setiap pengetahuan atau materi kuliah dapat dijabarkan dengan bentuk pernyataan-pernyataan dan preposisi (kalimat yang kebenarannya telah teruji). Pernyatan terdiri dari empat hal penting, yakni deskripsi, preskripsi, eksposisi pola, dan rekonstruksi historis. Sedangkan preposisi bisa berbentuk asas/prinsip, kaidah/hukum, dan teori. 

Masih bingung? Jangan khawatir, aku bakal jelasin dengan contoh supaya kamu lebih mudah memahami. Contoh yang aku ambil adalah "Perilaku Merokok pada Remaja." -- Kenapa ambil subyeknya remaja? karena remaja itu masa-masa labil dan lebih banyak galau-nya, hehehe... 


Deskripsi
Merokok: membakar & menghisap gulungan tembakau yang mengandung nikotin, bersifat adiktif & susah dihentikan, dan tar yang bersifat karsinogen.
Perilaku: bentuk tanggapan stimulus dari lingkungan, meliputi aktivitas motorik, emosional, dan kognitif, yang mengarah pada kebiasaan yang intensif dan kontinyu. Setiap perilaku memiliki motif & tujuan yang berbeda.
Remaja: periode manusia berusia 11-20  tahun, masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, cenderung suka mencoba hal baru.

= Kebiasaan yang tampak dari remaja, mengonsumsi rokok karena motif tertentu untuk memenuhi suatu keinginan. Kini, hampir 30 persen remaja di dunia merokok. Di AS, tiap hari ada 6 juta remaja mencoba rokok, & 75 persennya berlanjut. 

Preskripsi
Mencegah & mengurangi remaja merokok harus dilakukan holistik, mulai dari orang tua (pemberi contoh pertama), teman sebaya (pemberi alasan penguat mencoba rokok), lingkungan sosial (yang permisif pada perilaku merokok), media iklan & film (perangsang pengonsumsian rokok) & regulasi soal tembakau/rokok. – (eq., wilayah bebas rokok, ruang khusus merokok, batasi tayangan iklan rokok, dll)

Eksposisi Pola
Empat tahapan perilaku merokok;
1.  Preparatory, minat merokok muncul karena gambaran yang menyenangkan ttg merokok
2.  Initiation, menentukan akan terus atau tidak untuk merokok
3.  Becoming a smoker, sudah konsumsi lebih dari 4 batang rokok/hari
4.  Maintenance of smoking, merokok unt medapat efek fisiologis yang menyenangkan

Laventhal & Cleary (1984) motif remaja merokok didasari faktor psikologis dan biologis, diantaranya karena mendapatkan pengakuan; menghilangkan kekecewaan; menyelesaikan tantangan; merasa dewasa & menciptakan daya tarik; menganggap bukan tindakan yang salah (kecanduan). Selain itu adanya pengaruh lingkungan sosial, budaya, dan tradisi yang permisif pada kebiasaan merokok.

Rekonstruksi Historis
Dalam perkembangan zaman, alasan remaja merokok terus berubah. Dulu, alasan merokok ialah pencitraan diri, supaya bisa diterima dalam kelompok, dan solusi krisis identitas. Kemudian berkembang menjadi trend mode, bentuk eksistensi perlawanan, hingga cara diet turunkan berat badan bagi perempuan. Kini, merokok dijadikan solusi peredam stres & gelisah, mencari inspirasi, gaya hidup, sampai bentuk rekreasi pribadi.


Asas Ilmiah (Prinsip)
-  Remaja meniru tindakan/perilaku orang tua dan teman sebayanya, termasuk perilaku merokok
-     Merokok merugikan kesehatan, diri sendiri, dan orang di sekitarnya
-     Selain membuang-buang uang, merokok adalah cara bunuh diri yang pelan-pelan

Kaidah llmiah (Hukum)
· Nikotin membuat kecanduan & ketagihannya sulit dihentikan, butuh proses lama & bertahap supaya bisa terlepas dari sifat candunya.
·    Merokok memberi ketenangan sekaligus kematian karena pada awalnya memang meredam stress, tapi penyakit degeneratif (seperti PJK dan kanker paru) akan muncul dan menggerogoti tubuh.
·   Merokok = pintu masuk kenakalan remaja, bahkan kejahatan; mulai dari alkohol & narkoba. Di AS, remaja yang merokok, cenderng 3x mengonsumsi alkohol, atau 22 kali pakai narkoba.

Selain lingkungan (45%), 3 faktor lain yang pengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah perilaku (30%), pelayanan kesehatan (20%) dan genetika (5%).

Teori Ilmiah (Konsep)
ü Social Cognitive Learning Theory – Perilaku dipelajari melalui observasi tindakan orang lain & lingkungannya, dan bukan hannya meniru tapi juga dikuatkan oleh lingkungan.
ü Planned Behaviour Theory – Perilaku berasal dari niat (baik personal atau refleksi pengaruh sosial) karena alasan dan untuk capai tujuan tertentu.
ü Social Identity Theory – Terkait dengan jati diri dalam interaksi sosial, dan terkait rasa bangga dalam keanggotaan sebuah kelompok.
ü Social Network Theory – Tiap orang hidup saling berketergantungan, dan terjadi pertukaran info dalam hubungan tersebut, baik info buruk/baik, seperti merokok. 


-*-*-*- 

Sudah baca contohnya kan? Kira-kira sudah ngerti belum? Semoga aja sih udah, kalo belum ya lu baca aja lagi sekali lagi, hehe.. Intinya, seperti itulah skema berpikir yang harus dilakukan untuk melihat dan menjelaskan sebuah fenomena hidup. Upayakan tidak memakai kaca mata kuda, atau mengintip dari lobang kunci, karena kesimpulan yang kamu buat akan sempit, tidak pas, atau malah salah kaprah. 

Sempitnya pemikiran seseorang kadang malah membuat dia lebih bodoh, aroggan, masa bodoh, dan (mungkin) picik. Seperti posting-an temenku di akun FB-nya. Dia memajang gambar logo-logo produk asing (Amerika), seperti Coca-cola, Danone, Disney, Revlon, CNN, McD, dll, yang harus kita boikot terkait perang Israel-Palestina. Aku malah jadi bertanya keheranan, apa salahnya itu produk? Ada bukti gak kalo semua produk itu digunakan untuk membiayai perang? (Huhh.., jengkel sendiri jadinya). 

Menurutku, kupas dan preteli satu-satu dong sebelum pasang posting-an itu. Jangan hanya karena "oknum" yang salah, lantas digeneralisasikan bahwa semua yang berasal dari sana itu juga salah atau tidak pantas dihormati. (Udah deh, mendingan gak usah dibahas lagi, karena ntar malah nyangkut ke hal-hal yang berbau SARA -- semoga lu ngerti maksudku). 

Yowis lah..., lepas dari semua kejengkelan di atas, point penting tulisan aku kali ini adalah, melihat sesuatu itu secara holistik (utuh) ojo cuman separuh-separuh tur ora jelas maneh. Kalo bisa, pake aturan main seperti yang aku catat di atas. Wis, selamat mencoba, and have a nice day mas-bro dan mbak-bro... 

- yuda thant -