Tampilkan postingan dengan label film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label film. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Agustus 2013

Give Navis a Reason

"Just give me a reason, Just a little bit's enough

Just a second we're not broken just bent
And we can learn to love again
It's in the stars, It's been written in the scars on our hearts
We're not broken just bent, And we can learn to love again"

Begitu antusias Navis bernyanyi. Suaranya tak mau kalah dengan suara kedua kakaknya yang sangat lantang melafalkan lirik lagu "Give Me a Reason" yang dipopulerkan oleh Pink. Meski baru berumur 7 tahun, Navis fasih betul mendendangkan lagu itu. Tak lupa, penuh ekspresi dan gaya bak penyanyi roker. 

"Aku sengaja cari video lagu ini tapi bukan yang video klip aslinya. Soalnya video klip lagu ini kan sensor buat anak-anak," jelas Mbak Helyn, ibu dari ketiga bocah itu. 

Hmm..., benar juga sih. Video klip lagu Pink yang ini memang agak "heboh" alias penuh adegan sensual yang kalo di dunia broadcast dapat bakal dapat label 17+, hehehe... Nah, dari situ muncul ide iseng. Gimana kalo aku bikin video klip lagungya Pink dengan sentuhan kartun, khusus buat Navis. 

Dan setelah berkutat dengan kertas, lem, kamera, dan laptop selama 12 jam, jadilah ini dia video klipnya. voila! 


Enjoy it Navis...
-yudathant- 
.

Senin, 19 November 2012

Salah Kamar



Ini mungkin aja kisah lucu sekaligus bodoh minggu ini. Akibat salah komunikasi bercampur keterbatasan alat komunikasi. Ujung-ujungnya adalah salah kamar, alias masuk ke ruangan yang bukan seharusnya dimasuki. Ckckckc..., *geleng-geleng kepala. Lha kok bisa?

Awal kisah (ala-ala OVJ), kita bertujuh mau nonton film yang lagi happening, Breaking Down-part 2. Jam di tangan Diyan sudah menunjukkan pukul 12.30, atau 15 menit sebelum film main. Kita berlima bergegas naik ke lantai 3, untuk bertemu dengan dua teman lagi yang bertugas membeli tiket. Ternyata, yang dicari malah lagi jalan-jalan. Tepat pukul 12.45, mereka berdua nongol. Setelah mendapat tiket, aku dan seorang teman bergegas menunggu di depan studio 1, sedangkan Diyan, Fika, dan Dian, malah membeli camilan.

Kebetulan lima tiketnya aku bawa. Menunggu mereka di depan pintu studio 1, membuat gelisah, apalagi terdengar suara-suara dari dalam studio. Film sudah mulai. Tapi, mereka bertiga belum dateng-dateng juga! Makin gelisah, 3 menit film sudah berjalan. Aku dan Mas Alim pun memutuskan untuk masuk lebih dulu, dan berpesan kepada dan menitipkan tiket kepada mbak-mbak yang jaga tiket di pintu masuk. “Mbak ini tiket tiga teman saya. Semuanya perempuan pake jilbal. Namanya Fika,” ujarku buru-buru meluncur ke dalam studio.

Sesampai di dalam, aku bilang sama Mas Alim supaya kirim pesan ke Fika, nomor kursi, yakni H-10/11/12. Sudah 5 menit sejak aku duduk, tapi mereka bertiga belum juga masuk. “Mas udah kirim bbm nya?” tanyaku. “Udah. Tapi kok malah dia nanya kursi apa yah?” jawab Alim. “Lho?? Apa gak salah orang kirim bbm nya?” tanya aku lagi. “Ini bbm si Fika kan?” sambil menunjukkan nomor Fika. “Hmm.., mungkin aja mas,” jawabku tidak yakin, karena aku tidak membawa hp ke dalam bioskop.

Gak sampai 5 menit, aku melihat ada tiga perempuan berjilbab masuk, tapi duduk di depan, bukan di sebelah kami. Karena agak gelap, dan yakin warna jilbab yang dipakai mereka sama dengan Fika, Diyan, dan Dian. Mungkin karena sudah telat, mereka milih duduk sembarang, pikirku. Ya sudahlah, yang penting mereka dah masuk.

Setelah film selesai, aku pun kaget. Tiga cewek yang tadi masuk ternyata bukan Diyan dkk. Mereka malah duduk di bangku lain, paling depan sendiri. “Saya baru lihat, mereka masuk 30 menit sebelum film selesai,” ujar Mas Alim, sedikit bingung.

“Pokoknya kamu kudu tanggung jawab” protes mereka bertiga setelah aku samperin mereka. “Kita salah masuk studio...!! Kita nontonnya jadi gak full nih..,” protes Fika. Aku dan Mas Alim pun tertawa lebar, antara kasihan dan lucu.

Ternyata, setelah membeli camilan, mereka masuk ke studio 2, yang kebetulan juga memutar Breaking Down, tapi 30 menit lebih awal. Setelah masuk studio 2, BB Fika menerima pesan dari Mas Alim dimana lokasi tempat duduknya. Tapi karena gelap, mereka pilih duduk sembarang. “Kita bertanya-tanya, kok tiba-tiba filmnya udah sampai sini yah? Kita dah curiga, kok ini film cepat sekali alur ceritanya” kata Dian. Mereka pun lanjut nonton sampai selesai.

Sewaktu film selesai, mereka bar sadar kalo aku, Mas Alim, dan dua teman lagi tidak di studio yang sama tempat mereka nonton. Mereka pun lalu masuk ke studio 1. “Kita jadinya nonton 30 menit bagian akhir dua kali, gara-gara salah masuk kamar,” ujar Dian. “Tapi tetap ajah kita gak nonton bagian awalnya. Pokoknya, kamu harus download-in film ini supaya kita bisa nonton awal filnya,” protes Dian sambil merajuk. 

“Tadi pas kita masuk gak ada mbak-mbak yang jaga di pintu, jadi kita langsung masuk ajah. Kalo aja ada yang jaga, pasti kita gak akan salah masuk studio. Di studio satu lagi juga gak ada yang jaga, kita bisa langsung masuk ajah,” tambah Fika. 

So, there are some rules when you go to cinema with your colleague. 1st, jangan tinggalin temen lu masuk ke studio tanpa lebih dulu membagikan tiketnya. 2nd, jangan belanja makanan/minuman mepet sebelum filmnya main. 3rd. bawa ponsel yang gak lowbat. 4th, pastikikan kamu tahu tempat duduk lu dimana. 

Terlepas dari kebodohan ini, film Breaking Down part 2 aku kasih 7 dari 10 bintang. Lebih banyak adegan romantisnya, kurang adegan fight-nya. Cerita sih lumayan, tp kurang apa yah..., kurang greget gitu deh.


-yuda thant-

Sabtu, 10 November 2012

Soerabaia Kampunge Pahlawan

Besok, katanya Presiden SBY bakal sowan ke Kota Surabaya, untuk menghadiri peringatan Hari Pahlawan, 10 November. Pawai, doa bersama, dan pesta rakyat, katanya bakal digelar untuk mengenang perjuangan arek-arek Suroboyo  yang sudah mati-matian alias pantang menyerah mempertahankan kotanya dari invasi para penjajah. "Merdeka ataoe Mati" begitu pekik semangat juang mereka. 

Tak muluk lah jika Surabaya kita sebut Kota Pahlawan, atau setidaknya kampung pahlawan. Sebab, semangat juang arek-arek Suroboyo ini menginspirasi pergerakan kemerdekaan di kota dan daerah lain. Hebatnya, perjuangan ini bukan dilakukan sepenuhnya oleh tentara terlatih yang andal pegang senjata. Tapi sebagian besar rakyat dan penduduk kota yang tak ingin penjajah terus bercokol di jagad tanah air. 

"Halah, baru kali ini lho bapak nyekel bedhil," kata seorang istri yang menyambut suaminya pulang berperang. "Gak bojone sampeyan thok sing jektas nyekel bedhil, awak-awak dhewe yo gak tau nyekel yu," ujar teman-teman si suami menimpali perkataan wanita tadi. 


Begitulah secuil dialog dalam film Soerabaia 45, film karya Imam Tantowi yang dirilis tahun 1990. Film ini mengisahkan pergerakan rakyat dan tentara rakyat di Surabaya, mengusir tiap penjajah yang bertahan di kota ini. Mulai dari pasukan Jepang, Belanda, sampai tentara Sekutu Inggris yang datang mengambil alih dan menyerahkan lagi Surabaya ke Belanda.

Setting film ini berkisar tahun 1942-1945. Di awali berkuasanya Jepang dan penyerahan tanpa syarat mereka dengan desakan rakyat Surabaya yang terus mengepung markas-markas Jepang di Surabaya. Sepanjang 2 jam film ini tak pernah berhenti dari aksi tembak-tembakan, yang mungkin pada tahun 1990-an sudah keren banget. Kedatangan Tentara Sekutu yang membonceng NICA, membuat rakyat Surabaya makin gerah! (padahal Surabaya sendiri sudah panah minta ampun). 

Penolakan terus dilakukan, dengan diplomasi maupun agresi yang dilakukan rakyat. Gelora semangat rakyat yang bosan hidup dalam kurungan penjajah berkecamuk dan berujung pada aksi penyerangan. Salah satu aksi heroik yang terus dikenang adalah perobekan bendera Belanda (merah-putih-biru), dirobek warna birunya, di Hotel Oranje (Yamato) yang kini dikenal dengan nama Hotel Majapahit, tanggal 18 September 1945, di dekat Tunjungan Plaza. Hanya berbekal 5-8 tangga bambu, belasan pemuda merambati tembok Hotel Oranje, menuju puncak atap, sedangkan ratusan pemuda lain bersorak-sorak di bawah, memekik kata "merdeka!"

"Londo edan..., Londo edan.., Londo edan... Mereka masang gendero dang Hotel Yamato," teriak sejumlah rakyat sebelum peristiwa perobekan bendera itu terjadi. (red-sebelumnya, tanggal 1 September 1945, ditetapkan bendera merah putih adalah bendera Indonesia). 

Bermodal bambu runci, golok, parang, atau senjata tajam seadanya, rakyat tetap maju perang. "Merdeka atau mati," dan "Allahuakbar," itulah modal juang mereka. Agar mampu menghadapi tentara penjajah yang piawai memegang senjata, rakyat pun dilatih singkat tentang menembak, melempar granat, juga taktik perang sederhana.Namanya juga rakyat, yang biasa pegang kemudi becak, jualan soto, manggul karung beras, atau bercocok tanam, tiba-tiba diajak berperang. Banyak kelucuan campur keluguan dari rakyat yang berperang dipotret dalam film ini. 

"Jancok, iki laopo seh?" begitu gerutu salah seorang rakyat yang sedikit tersiksa harus berlatih merangkak. Protes salah satu rakyat yang mengetahui ternyata senapan yang dipakainya buatan tahun 1989. "Gak ono sing anyar ta?" Atau kepanikan saat senapannya macet, padahal di tengah peperangn. "Paling bedhil mu kepanasan, makane macet. Wis uyuhono ae ben (adem) iso digawe maneh," ujar temannya memberi saran asal-asalan. 

Satu lagi ikon perjuangan Surabaya adalah Bung Tomo, yang pidatonya mampu membakar semangat juag arek-arek Suroboyo tetap maju bertempur meski dalam keterbatasan dan jepitan penderitaan. Ada juga Gubernur Suryo, gubernur pertama Surabaya yang turut memompa perjuangan semua lapisan masyarakat di Surabaya. Tak ketinggalan, para ibu-ibu yang setia di dapur menyokong perjuangan dengan nasi bungkus bagi pejuang. (red-soal nasi bungkus ini pun terus berlanjut sampai sekarang, seperti dalam demo-demo revormasi di Jakarta beberapa tahun lalu).

Hebatnya film ini tak hanya bi-lingual, tapi tri-lingual, atau mungkin lebih. Dalam film ini, rakyat dan prajurit menggunakan bahasa Suroboyoan, sedangkan tentara dan pejuang Indonesia lainnya menggunakan bahasa Indonesia. Sementara tentara Jepang, Inggris, dan Belanda, menggunakan bahasa mereka masing-masing. 

Well, kangen juga lihat film perjuangan kayak gini yang udah jarang dibuat apalagi ditayangin di bioskop dan tv. Untung ajah ada kesempatan nonton film Soerabaia 45 gratisan di BG Junction. Kalau gak salah, dulu ada sederet film perjuangan seperti Janur Kuning, Cut Nyak Dien, November 1928, sampai yang terakhir Gie. Tahun-tahun 1980-an sampai 1990-an, film bertema perjuangan cukup banyak dibuat. Gak seperti sekarang, produser dan sutradara lebih doyan bikin film horor atau seks-komedi, yang lebih deras duitnya.

Oke, balik lagi soal Surabaya kampungnya pahlawan. Semua orang emang bisa jadi pahlawan, termasuk rakyat yang kadang dipandang sebelah mata. Kita pun bisa jadi pahlawan. Gak usah muluk-muluk buat negara, tapi buat diri sendiri, orang tua, keluarga, atau masyarakat di sekitar kita. Dan apa yang kita lakukan pun gak harus yang super wah atau sampai harus bikin koprol dan semua orang bilang "wow". Cukuplah yang simple but usefully for  others. Satu lagi, kalau udah jadi pahlawan, tentu aja jangan mengharapkan imbalan yah. Karena hasilnya bakal lebih hebat, hehe.. 



"Now, it's your time to be hero"


-yuda thant-