Tampilkan postingan dengan label traveling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label traveling. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Juni 2018

The Other Side of Samosir

Pertama kali mengenal nama Danau Toba adalah saat duduk di bangku SD, ketika membaca sebuah buku yang di dalamnya berisi cerita sejumlah legenda di tanah air, salah satunya legenda Danau Toba. Takjub, rasa yang muncul saat membacanya, dan ternyata lebih takjub saat melihatnya dari dekat. 


Dikisahkan, Toba adalah seorang putri jelmaan ikan yang menikah dengan oleh seorang pemuda desa dan mereka memiliki putra bernama Samosir, yang selalu lapar dan doyan makan.



Karena memakan bekal makan siang ayahnya, Samosir dimaki oleh ayahnya yang kesal, "Dasar kau anak ikan!" Tiba-tiba hujan deras mengguyur dan air menyembur dari dalam tanah, dan sekejap itu area itu terendam dan dipenuhi air. Di saat bersamaan Toba dan Samosir menghilang, lalu muncul pula kecil di tengah danau yang luas. Pulau itu pun diberi nama Samosir, sedangkan danau yang terbentuk diberi nama Toba. 


Danau seluas 1.145 km persegi dengan kedalaman 400 meter, bahkan fakta terbaru disebutkan kedalamannya lebih dari 1.500 meter, ini adalah danau akibat letusan gunung vulkanik purba sekitar 75.000 tahun lalu. Konon, Danau Toba adalah danau terluas di Asia Tenggara. Kehidupan dan isi di dalam danau ini pun masih menjadi misteri dan belum banyak dipetakan. 





Bagi masyarakat di sekitar Toba, danau ini adalah sumber kehidupan. Salah satunya bagi sektor pariwisata. Ribuan wisatawan lokal, nasional, dan internasional berkunjung ke Danau Toba setiap tahunnya. Bahkan, saat aku bertandang ke sini, ada rombongan turis dari China dan Malaysia yang asyik sedang menikmati keindahan danau di atas kapal yang membawa kami menyeberang menuju Pulau Samosir. Langit biru di atas riak tenang air danau yang berwarna hijau emerald bercampur biru samudera. 


Di Pulau Samosir, kehidupan berjalan harmonis nan damai. Modernitas membalut tradisi budaya yang mengakar pada keseharian masyarakat. Tradisi tetap lestari, berjalan bersama teknologi yang mulai menyusup tiap generasi. Kisah masa lalu tersirat di tiap artefak dan arsitekturnya. Drama masa kini tergambar pada alat dan perlengkapan hidupnya. Hitam dan putih, gelap dan terang tampak jelas di sini. Nyata adanya!


Mengelilingi setengah Pulau Samosir dapat dilakukan dalam waktu sehari, dengan motor ataupun mobil. Asalkan berangkat pagi sekali, maka keindahan dan keguyuban masyarakat juga bentang alam pulau ini akan tampak memesona. Bahkan, aku sengaja mengambil jalan ekstrem, yang mungkin tidak akan diambil oleh wisatawan lain, yakni menembus hutan di pulau ini untuk mendapatkan sisi lain Toba dan Samosir. Perjuangan menembus hutan dan jalan tanah pun akhirnya menyuguhkan keindahan itu. Hamparan padang rumput hijau mengelilingi anak danau di bawah bentang cakrawala biru dan taburan awan kapas putih. 


Ternyata tak bisa hanya satu dua hari di pulau ini, harus lebih lama lagi untuk benar-benar bisa menyesapi kehiduapan, keindahan, bahkan kuliner di Samosir ini. Lain waktu, ya, lain waktu aku akan bertandang lagi, kawan!




-- yudathant--
(foto-foto sengaja dibuat hitam-putih) 

Minggu, 18 Juni 2017

Meet the Merlion

Steps to Singapore streets was never bored me. My eyes spoiled with magnificent architecture, buildings, and trees. Old England building or classical Indian and Chinese architecture was side beside with new multilevel glass buildings. In the building, the keep the old and antique material sill function and intact. 









In Singapore, don't forget the trees. They stand firmly, big and tall, also green and lush. Shade the people who walks under it. The government pay a lot of attention to the plants and trees. They build gardens, care the trees (even the oldest trees), and keep it tidy and clean. Once again, walks on Singapore streets was amuse me. They make the streets and city running orderly. 

-- @yudathant-- 

Rabu, 03 Mei 2017

45 Jam Jakarta-Lampung-Jakarta

Aku menyeruput kopi sachet yang diseduh di gelas kecil. Terakhir kali sebelum kami benar-benar meninggalkan warung roti panggang yang menempel di pinggir kosan Enda dan Saiful. Malam sudah beralih ke dini hari, dan rintik air dari langit mulai menitik samar-samar. "Kita doa dulu ya sebelum jalan. Semoga kita selamat dalam perjalan pergi dan pulang," ujar Saiful.

Kemana sebenarnya kami akan pergi? Mengapa kami harus berangkat dini hari, pukul 01.00 WIB?


Ya, kami akan pergi ke Lampung. Menempuh 612 km - pergi pulang - dengan menaiki sepeda motor, dua hari dua malam. Melelahkan? Iya. Menantang? Tentu. Mengasyikkan? Sangat!


Kali ini kami pergi berdelapan, dengan empat sepeda motor. Aku membonceng Enda, Reza dengan Rina, Moemoe berduet dengan Fajri, dan Bang Saiful mengajak Altaf, anaknya. Etape pertama kami starts dari Kosambi (Jakarta Barat) ke Pelabuhan Merak, sekitar 125 kilometer jarak tempuhnya. Waktu yang dibutuhkan adalah 3,5 jam, itu sudah termasuk istirahat dan mengisi bensin di SPBU. Rutenya Jakarta - Tangerang - Balaraja - Cikande - Serang - Cilegon - Merak.


Kami harus berangkat selepas tengah malam karena kami ingin menikmati sunrise di atas kapal yang menyeberangkan kami dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakaheuni. Sesuai rencana, kami tiba di pelabuhan pukul 04.35 WIB. Pelabuhan terlihat ramai dengan mobil pribadi dan sepeda motor. Rupanya banyak juga rombongan touring yang terlihat sedang mengantre tiket di jalur gardu tiket khusus motor.



Tiap sepeda motor harus membayar Rp 45.000 (sudah termasuk pengendaranya) untuk menumpang kapal ferry. Sebelum membayar siapkan KTP yang nanti dicatat oleh petugas tiket. Sewaktu akan membayar empat motor sekaligus, petugas menolak. "Saya minta satu-satu saja mas bayarnya, jangan digabung, supaya tertib," ujar petugas tegas. Dan akhirnya, Enda pun membagikan uang Rp 50.000 ke tiap "pilot" untuk membayar sendiri tiket kapalnya.


Pukul 05.09 WIB kapal ferry yang sudah tua dan kurang perawatan ini pun melepas sauh, mulai berlayar. Waktu yang dibutuhkan menyeberangi Selat Sunda yang berjarak 27-30 km itu sebenarnya sekitar 1,5 jam. Namun karena harus mengantre masuk ke dermaga, butuh ekstra 30-40 menit untuk bisa turun dari kapal. Ini adalah etape kedua kami.


Pagi itu di Selat Sunda langit masih gelap, meski jam di tangan menunjukkan 06.15 WIB. Awan mendung menyebar di langit, menutupi matahari yang enggan bangun pagi itu. Akibatnya, cahaya sunrise yang kami tunggu pun tak kunjung muncul. Hanya langit gelap dengan semburat jingga yang tampak. Bukan sunrise yang sempurna.



Pagi makin terang saat kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Bakaheuni. Ternyata perut tak mampu menahan lapar. Si perut sudah butuh asupan sarapan. Warung Padang terdekat pun jadi sasaran mengatasi kelaparan. Kenyang dengan makan seharga Rp 20.000, murah dan kenyang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional Way Kambas, melihat kampung gajah di Tanah Sumatera.



Menuju ke Way Kambas, kami menyusuri sisi timur Lampung, Raya Lintas Pantai Timur Sumatera. Jarak yang kami tempuh adalah 105 km, atau sekitar 2,5-3 jam. Perjalanan sedikit lebih lama, karena kami berhenti menepi berteduh dari hujan sembari menikmati pisang, tempe, dan tahu goreng di daerah Maringgai. Kami berisitirahat dua kali di etape ketiga ini, sebab Altaf mengantuk, sehingga Bang Ipul harus memindahkannya duduk di bangku depan.



Di sepanjang jalan yang kami lintasi, kami seperti berpindah dari pulau ke pulau. Sebab, dari kampung yang penuh dengan arsitektur bangunan dan ornament Bali, kami beralih ke daerah yang banyak terpampang papan nama bertuliskan kota-kota di Jawa Barat, seperti Warung Ciamis, Banten.



Konon, kawasan Lampung adalah salah satu wilayah tujuan transmigrasi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1900-an, di masa kolonial Belanda, dilanjutkan pada masa awal pemerintahan Indonesia 1950-1970. Pada era penjejahan Belanda, pemindahan penduduk dari Jawa adalah untuk penyediaan tenaga buruh di perkebunan. Namun, setelah tahun 1950-an, tujuannya beralih menjadi pemerataan penduduk dan merelokasi penduduk yang terkena musibah bencana alam di Jawa, Bali, dan Madura. Alhasil, penduduk Lampung pun beragam. Akulturasi budaya bercampur harmonis. 



Dari patung gajah  di pinggir jalan Lintas Timur Sumatera menuju gerbang masuk ke Taman Nasional Way Kambas sekitar 10 km, dengan jalan yang separuh rusak. Tiket masuk dibayarkan di gerbang selamat datang. Tiap sepeda motor (termasuk dua penumpang) ialah Rp 19.000. Tidak mahal. Namun, di dalam kami harus bayar Rp 5.000 lagi untuk biaya parkir.



Way Kambas adalah sebuah taman nasional seluas 1.300 km persegi dengan satwa utama yang mendiaminya adalah populasi Gajah Sumatera. Tapi, selain gajah juga ada Harimau dan Badak Sumatera. Kawasan yang biasa dikunjungi wisatawan adalah Pusat Pelatihan Gajah. Di sana, pengunjung dapat menunggangi gajah. Biaya sekali naik Rp 150.000 per orang untuk rute keliling hutan selama 45 menit; dan Rp 20.000, berkeling di taman selama 15-20 menit.



Tujuan kami datang ke Way Kambas adalah ingin melihat dan memotret gajah mandi. Sebab, dari sejumlah foto yang kami lihat di media social, moment gajah mandi sangat keren sekali. "Kalau gajah mandi nanti jam 15.30 sampai jam 16.00. Tunggu aja. Nanti gajah mandi di kolam sebelah sana," ujar salah seorang petugas sambil menunjuk sebuah danau buatan.



Sayangnya, siang menjelang pukul 14.00, hujan deras mengguyur Way Kambas. Mendekati waktu gajah-gajah mandi, hujan tak kunjung reda. malah makin deras. Hujan reda setelah lewat pukul 16.00. Fajri dan Moemoe sempat mengintip ke arah danau dan melihat seekor gajah mandi. "Ada tapi tidak ramai. Soalnya lagi hujan," ujar Moemoe.



Karena tak ingin kemalaman tiba di tempat kami menginap, yakni di Kalianda, kami harus bergegas melewati etape keempat, dari Way Kambas menuju Kota Bandar Lampung, dilanjutkan ke Kalianda. Jarak Way Kambas, lewat Metro dan Branti sekitar 102 km yang ditempuh sekitar 3 jam. Sedangkan jarak Bandar Lampung ke Kalianda adalah 60 km, ditempuh selama 2 jam.

Gerimis dan jalan becek menjadi teman perjalanan. Jas hujan terpasang rapat menutupi tubuh agar tak basah. Jalanan yang pada mulai dari Branti ke Bandar Lampung, akhirnya kami dapatkan. Truk barang dan bus penumpang harus kami lalui dan salip agar laju motor stabil menderu di kisaran 60-80 km/jam.



Memasuki Kota Bandar Lampung, aku kagum dan takjub. Ternyata Bandar Lampung tak kalah dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Gemerlap dan hidup. Jalanan di kota ramai dengan lalu langan kendaraan. Pusat pertokoan ramai pengunjung. "Kita makan di Bakso Sony. Terkenal di Lampung. Ayo aku tahu tempatnya," ujar Fajri. Lagi-lagi, hari ini nasib baik belum berpihak kepada kami. Warungnya baru saja tutup karena sudah habis. Terpaksa mencari warung makan terdekat agar perut tidak kelaparan dan tidak masuk angin.



Setelah makan, kami melanjutkan perjalan menuju Kalianda. Butuh waktu hampir 2 jam tiba di penginapan kami di Kalianda, Penginapan Way Urang. Pak Agus, salah satu petugas penginapan menyambut kami. Dia langsung mengantar kami ke tiga kamar yang telah kami pesan sebelum berangkat. Harga per kamar ber-AC yang lumayan nyaman untuk merebahkan badan ini hanya Rp 250.000 per malam. Sudah dengan sarapan nasi uduk, air panas untuk kopi/teh di tiap kamar.



Dugaan kami, ini adalah salah satu penginapan tua di Kalianda. Sebab bentuknya seperti rumah yang kemudian dibuatkan kamar-kamar. Totalnya ada 15 kamar yang selalu siap menyambut tamu. "Kalau ada apa-apa, minta ke saya langsung ya mas. Sarapan mau jam berapa besok," tanya Pak Agus dengan ramah.




Paginya, setelah sarapan, kami menuju deretan pantai yang ada di Kalianda. Menurut Pak Agus, banyak sekali pantai bagus di Kalianda, bahkan ada kawasan sumber air panas di dekat dermaga. Kali ini, kami memutuskan ke Pantai Laguna.



Sebelum sampai di Pantai Laguna, kami melewati Pantai Kedu dan Pantai Batu Rame. Di Pantai Kedu, pantai yang baru dibuka untuk wisata, terdapat sebuah kapal karam yang terseret hingga ke pinggir pantai. Menurut cerita warga, itu adalah kapal nelayan Malaysia yang karam lalu terseret ombak hingga terdampar di pantai itu. Selain menikmati kapal karam dengan latar belakang Gunung Kalianda dan Gunung Anak Krakatau, pengunjung dapat mencoba mengendarai motor ATV mini di medan berpasir. Sementara di Pantai Batu Rame, hamparan karang membentang dihempas ombak yang terlalu kencang. Lagi-lagi, bayang-bayang Gunung Anak Krakatau di seberang lautan menjadi latar keindahan pantai ini.



Pantai terakhir yang kami datangi adalah Pantai Laguna, yang merupakan kawasan Alau-Alau Boutique Resort. Hamparan pasir putih dengan ombak biru menyatu dengan langit membentuk keindahan pesisir teluk Lampung. Meskipun indah, pengunjung tidak boleh mandi di pantai ini, sebab ada arus bawah pantai yang dapat membahayakan orang yang berenang. Akibatnya, bendera-bendera bertuliskan "larangan berenang" ditancapkan di sepanjang pantai.



Akan tetapi ada hal kurang sedap yang tampak di pantai ini, adalah sampah laut. Menurut salah seorang petugas di pantai, sampah-sampah ini adalah sampah kiriman yang selalu muncul setiap beberapa hari sekali. Sampah terus berputar mengikuti arus di area pantai itu, hingga terhempas ke pinggiran pantai. "Setiap hari harus dibersihkan sampahnya," tambah petugas itu.



Siang makin terik. Saatnya kembali meneruskan perjalanan, yakni pulang ke Jakarta. Kami mengejar kapal yang berangkat pukul 14.00 WIB dari Bakaheuni ke Merak. Etape kelima kami adalah Kalianda-Bakaheuni-Merak, yang diperkirakan menempuh waktu 4 jam. Sebenarnya dari Kalianda ke Bakaheuni tidak jauh hanya 30 km, atau 1 jam perjalanan.


Siang ini kami lebih beruntung dari kemaren waktu berangkat. Kami menumpang kapal ferry yang jauh lebih bagus. Semua dek ber-AC, bahkan ada area permainan anak-anak dan cinema bagi penumpang. Di Kapal Mutiara Persada 2, yang kami tumpangi, sebagian ada yang tidur namun sebagian dari kami bermain kartu Uno hingga kapal berlabuh di Merak.


Setelah mengisi bensin untuk yang terakhir, kami melanjutkan perjalanan etape terakhir, yakni Merak-Serang-Tangerang-Jakarta. Butuh waktu sampai 4 jam menyusuri jalan yang ramai di kala petang dan malam. Belum lagi jalan yang bergelombang di sepanjang Serang-Tangerang, membuat kami lebih berhati-hati di perjalanan menuju pulang ini.

Akhirnya, setelah 612 km dan 45 jam di jalan, kami kembali ke titik semua, Duri Kosambi, Jakarta Barat. Perjalanan ke Lampung pun diakhir dengan letih dan bahagia bercampur jadi satu. "Lalu, selanjutnya kita kemana setelah Lampung? Kita mau touring kemana lagi?" tanya Rina sambal tersenyum.

(video perjalanan 45 jam) 


                                                                                                       -- yudathant --

Selasa, 30 Juni 2015

Cita Rasa di Ujung Madura

   Setelah berulang kali menimbang layaknya hakim di ruang sidang kasus perdata, dan berdiskusi alot bak anggota dewan kala sidang paripurna, akhirnya kami memutuskan Madura! Zul, Ade, Nana, dan aku akhirnya menemukan kata sepakat kami akan “berkelana” di Madura. Yakni di ujung timur Pulau Madura, atau di Sumenep tepatnya, situs kota sejarah peninggalan kerajaan yang dibangun Arya Wiraraja.


Persiapan perjalanan 3 hari 2 malam pun selesai. Mbak Nelita, teman kampus kami yang asli Sumenep, sudah kami kontak dan bersedia menampung kami selama 2 malam. Motor sudah diservis, duit yang “pas-pasan” untuk isi bensin, makan siang, dan tiket-tiket lokasi wisata sudah ada di dompet. Waktunya berangkat. “Besok kita berangkat pagi yah! Biar gak kesiangan. Soalnya di Madura mataharinya ada tiga, hehe..,” ujar salah satu dari kami.
Waktu tempuh perjalanan dari Surabaya ke Sumenep sekitar 3 jam, dengan kecepatan laju sepeda motor 60-80 km/jam. Selepas dari Jembatan Suramadu yang membentang kokoh di Selat Madura, kami melewati Kabupaten Bangkalan. Dari Bangkalan menuju Sumenep, lebih dulu kami melintasi Kabapaten Sampang. Di sini, kami sempat mampir di sate kambing di daerah Tana Mera, yang cukup terkenal. Rasa satenya sih lumayan enak, tapi sayang warungnya kurang bersih.
Lewat jam 1 siang, kami akhirnya tiba di rumah Mbak Nelita, di Kecamatan Saronggi, yang berjarak 8-10 km sebelum Kota Sumenep. “Sudah.., kalian istirahat dulu, makan-makan dulu, lalu kita jalan ke museum dan masjid agung. Mau gak?,” ucap Mbak Neli dengan ramah, khas warga Sumenep.
Oh ya, penduduk Sumenep memang sedikit berbeda dengan kebanyakan karakter orang Madura yang biasa ditampilkan di media layar kaca. Tutur kata dan cara bertutur orang asli Sumenep lebih halus dan “mengalun,” tidak meledak-ledak atau lantang. Karakter mereka pun lebih ramah, seperti orang Solo di tanah Jawa. Tak hanya itu, dari beberapa orang Sumenep yang aku kenal, dari ciri fisiknya, lebih banyak yang berkulit terang, dan cantik-cantik (hehehe..., kalo ini subjektif lah). Konon, hal ini dipengaruhi oleh sejarah ratusan silam, yakni adanya kerajaan dan keraton besar di Sumenep.

Kolam Jodoh atau...?
Baiklah, perjalan hari pertama kami ada tiga, yakni ke Museum dan Istana Kerajaan Sumenep, Masjid Agung, dan Pantai Slopeng. Musem dan Keraton letaknya berhadap-hadapan. Sebagian ruang di Keraton juga dijadikan ruang pamer perabotan dan artefak peninggalan kerajaan. Beberapa benda yang menarik di museum adalah Al-Quran raksasa, dengan tinggi hampir 3 meter, kereta kencana, stempel kerajaan, dan senjata-senjata kerajaan.
Keraton Sumenep atau dulu disebut Karaton Songennep tahun 1781, dengan arsitek seorang keturunan tionghoa, Lauw Piango. Komplek keraton tidak terlalu besar. Bagian depan terdapat gerbang besar, selanjutnnya pendapa besar yang digunakan untuk menyambut tamu. Bangunan di sebelah kiri digunakan sebagai ruang pamer pusaka dan peninggalan keraton, sedangkan bagian belakang masih diperuntukkan tempat tinggal keluarga keraton. 

Salah satu bagian di Keraton yang menarik minat adalah, kolam pemandian, “Taman Sare”. Konon, bagi siapa yang mandi di kolam ini, harapan dan niat baik mereka akan terkabul. Terdapat tiga deretan anak tangga jalan masuk menuju kolam pemandian. Tiap jalan masuk diyakini punya tujuan yang berbeda-beda, seperti harapan awet muda dan kemudahan jodoh; harapan enteng rejeki dan kejayaan; serta kemudahan karier atau pekerjaan. 


“Hmmm..., pilih yang mana yah?”
“Aku semua aja deh,” ujar Nana.
“Gak bisa lah, pilih satu dong!” kata Ade.
“Ok ok, aku lewat yang sini aja deh (jodoh dan awet muda),” tunjuk Nana sembari menuruni anak tangga dengan gaya ala-ala “maju mundur chantik.”
Aku pun bimbang untuk memilih. Kiri, tengah, atau kanan. Rejeki, jodoh, atau karier? Aku mau duit banyak. Kawin, sapa yang gak pengen. Tapi, kerja juga butuh. Waduh....
Kalau kamu kira-kira bakal pilih kolam yang mana?

Lokasi berikutnya adalah Masjid Agung di depan Alun-alun Kota Sumenep. Masjid ini punya gerbang depan dan pagar benteng yang indah. Perpaduan warna kuning dan putih pada gerbang ini sangat apik menjadi objek foto. Sayangnya, saat kami datang sedang ada perbaikan, sehingga kami tidak bisa masuk dan mengeksplorasi lebih jauh. “Jepret, jepret, jepret...,” dan 10 menit kemudain kami pun lantas pergi, meluncur ke Pantai Slopeng. 

Kami sedikit terlambat datang di Pantai Slopeng yang berjarak 20 km ke arah utara dari pusat kota. Matahari pun sudah malas bersinar, dan awan sore bertaburan menutupi sinarnya. Jadi, pantai berpasir putih dengan barisan pohon cemara udang pun kurang terlihat indah. “Gak apa-apa, besok kita ke Pantai Lombang. Tempatnya gak kalah bagusnya,” hibur Mbak Neli.


Mengintip Pulau Talango
Hari kedua, pagi hari, langit kurang bersahabat. Mendung dan hujan deras mengguyur Sumenep. Rencana berangkat pagi pun batal. Akhirnya, kami berangkat sekitar pukul 9 pagi. Tujuan kami adalah ke Pulau Talango, salah satu pulau besar di Madura.  Untuk sampai di pulau itu, kami harus menyeberang lebih dulu di Pelabuhan Kalianget, salah satu pelabuhan tertua dan bersejarah di Madura.

Kawasan Kalianget adalah kawasan kota tua di Sumenep. Bangunan-bangunan bekas peninggalan kolonial Belanda masih terlihat kokoh, meski sebagian tampak lusuh, kotor, dan tak terawat. Sisa-sisa gudang pabrik gula, pabrik garam, atau rumah “pembesar” pejabat Belanda meninggalkan kesan klasik dan antik di Kalianget. Rasanya, tangan ini gatal untuk menjepret semua objek “tua” di Kalianget, tapi kami berkejaran dengan waktu.

Mbak Nelita punya banyak sahabat di Pulau Talango. Mereka adalah sahabat sewaktu masa sekolah SMA. Dulu, bahkan masih hingga sekarang, anak remaja yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah atas harus menyeberang pulau, dan bersekolah di kota. Sebab, tidak ada sekolah SMP dan SMA di Pulau Talango. Kapal kayu akan menyeberangkan sepeda, sepeda motor, bahkan mobil dengan tarif mulai dari Rp 5.000 per kendaraan.
Kami pun di bawa ke salah satu lokasi terindah di Pulau Talango, di sisi tenggara pulau. Sebuah tebing batu karang. Di bagain bawah tebing terdapat pantai karang yang cantik. Saat senja, keindahan matahari terbenam bakal terpotret dengan sangat indah. Sebuah kapal kayu yang melintas di depan mentari yang hendak ditelan laut di ufuk barat, tiba-tiba terbayang di imajiku.

Teman Mbak Nelita bercerita. Masih ada lagi dua pulau kecil yang indah dan menawarkan keindahan koral dan taman laut di sebelah selatan dan tenggara Talango. Untuk mencapai ke sana harus dengan kapal selama 1-2 jam. Tarif sewa kapalnya aku lupa, tapi sekitar Rp 500.000 jika tidak salah. Jika ingin kesana harus menginap agar puas menikmati keindahan laut dan pantainya. Maksud hati ingin kesana, tapi apa daya duit di dompet tak berdaya, hehe... “Next time kita bakal ke sana yah,” hibur diri kami masing-masing.


Tujuan selanjutnya setelah kembali ke kota, adalah ke Pantai Lombang. Benar apa yang dikata Mbak Nelita bahwa Pantai Lombang lebih indah. Deretan pohon cemara udang yang teduh sudah menyapa setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari kota. 


Pantai Lombang yang berpasir putih berada di sisi timur laut kota Sumenep. Di sana fasilitas wisata sudah jauh lebih lengkap, termasuk perahu bagi turis yang ingin jalan-jalan di laut selama 30 menit. Dengan membayar Rp 50.000 satu perahu, kapal akan membawa Anda berselancar di laut hingga 500-800 meter dari garis pantai.

Sejumlah penduduk di sekitar pantai juga menjajakan pohon cemara pantai dengan harga beragam. Cemara udang atau Casuarina equisetifolia linn, adalah jenis cemara dengan batang yang besar dan daun berujung lancip seperti jarum. Di dunia botani hias, cemara udang banyak dibuat bonsai karena hasilnya sangat menarik dan unik.  “Banyak orang-orang Surabaya atau dari luar Madura yang beli pohon cemara pantai buat ditanam di taman mereka. Soalnya bagus kalau untuk taman,” ujar salah seorang warga di Lombang. 

Malam hari sebelum pulang istirahat, suami Mbak Nelita mengajak kami mampir ke Rumah Makan Kartini, untuk mencicipi "cake" (dibaca dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris. Makanan berkuah, seperti karee, ini adalah salah satu menu khas dari Sampang. Tambah lezat jika ditambah cincangan cabe rawit. 



Marcusuar Cinta
Saat kami pun kembali ke Surabaya. Tapi sebelum pulang, kami sempatkan mampir ke sebuah lokasi marcusuar tua di dekat rumah Mbak Nelita. Dengan suaminya, Mbak Nelita mengantar kami menikmati marcusuar tersebut. Dilihat dari lokasinya, marcusuar ini seperti cocok buat foto prewedding atau sesi pemotretan yang lainnya. Hamparan batu karang, membentang luas di bawah marcusuar berwarna putih yang menjulang setinggi gedung delapan lantai.


Puas mengabadikan momen di marcusuar, kami singgah di sebuah perajin batik Sumenep yang ternama, Zaini, Batik Melati. Menurut anak menantu pemilik gerai batik, batik Sumenep berbeda dengan batik Madura lainnya. Batik Sumenep tidak banyak menampilkan warna yang cerah dan terang, tetapi lebih condong ke gelap dan lembut, seperti hijau tua, ungu, merah marun, biru, dan coklat. Motifnya juga lebih kaya, karena ada unsur keraton yang menghiasi motif batik Sumenep. Motifnya ada yang komplek, namun ada juga yang sederhana. Perpaduan warna yang lembut dan gelap, serta adanya kesan elegan, mewah, dan glamor, membuat batik Sumenep cocok sekali jika dikenakan pada acara pesta atau upacara resmi.

Batik yang kami buat sudah dipakai oleh Miss Universe dan juga Putri Indonesia. Batik Sumenep beda dan punya ciri khas yang unik dibanding dengan batik Madura yang lain,” ujar pemilik gerai.

“Sebentar, aku beliin dulu buat kakakku,” ujar Nana, setelah berjibaku dengan tumpukan kain batik di hadapannya. “Setelah belanja baru kita pulang yah. Bentar lagi yah teman-teman,” pinta Nana.


Kemewahan batik Sumenep melengkapi perjalanan kami di ujung timur Pulau Madura. Belum puas memang, tapi kami berjanji lain waktu akan berkunjung dan lebih jauh menjelajahi Sumenep. Jadi, tunggulah aku ya Sumenep... “Ngeeeenggg...,” bunyi knalpot motor kamu pun ketika melaju kencang meninggalkan Sumenep.
-- yudathant--



Senin, 24 November 2014

Jalan Gula, Satu Sisi Kota Tua Surabaya


"Bang, ajarin motret panning ama levitasi dong.." pinta Zul. "Penasaran nih. Soalnya kalo lihat foto levitasi punya orang-orang kok keren-keren. "Oke," jawabku. Setelah berdiskusi singkat, akhirnya aku mengusulkan lokasi buat hunting foto kali ini adalah di salah satu lokasi kota tua Surabaya. Pastinya menarik. 

Salah satu spot kota tua di Surabaya adalah yaitu di Jalan Gula, yakni sekitar 200 meter arah barat dari Jembatan Merah. Jalan, lebih tepatnya gang, Gula, merupakan percabangan dari Jalan Karet, yang pada hari-hari biasa adalah kawasan gudang dan perusahaan kargo.Saban pagi hingga sore, Jalan Karet dan sekitarnya ini selalu hiruk pikuk dengan aktivitas bongkar-muat barang. Konon, aktivitas ini bukan hanya terjadi sekarang, tetapi sudah sejak 60 bahkan 80 tahun lalu. Sebab, Jalan Karet ini terletak di belakang Jalan Kembang Jepun, yang tak lain dan tak bukan adalah kawasan niaga di Surabaya.

Area niaga Kembang Jepun yang bertahan puluhan tahun ini mampu mempertahankan bangunan-bangunan tuanya. Meski tampak kusam dan terurus, gedung-gedung tua itu meninggalkan cerita dan kisahnya masing-masing. Jika, hari libur, kawasan ini tampak sepi dan seperti mati dan tak berpenghuni. 


Seperti gedung tua yang ada di ujung Jalan Gula, yang kini kosong, adalah bekas gudang tembakau yang tak terpakai lagi. Tembok rapuh dengan batu-batu bata yang lapuk, cat putih kusam, kusen jendela yang reyot, karat pada teralis besi, tampaknya mampu menceritakan kisah sedih dari gudang yang ditinggalkan ini. 



"Serem mas kalo malem di sini. Kadang-kadang ada penampakan. Makanya, yang foto-foto paling cuman sampe sore, maghrib," kata salah seorang tukang parkir yang mengais rezeki dari menjaga motor-motor milik wisatawan yang ingin berfoto-foto di Jalan Gula. "Di sini kan wisata murah mas. Cuman bayar Rp 2.000 buat parkir, sudah bisa foto-foto sepuasnya," tambahnya. Karena kesan "horro"-nya, sejumlah stasiun televisi pernah melakukan acara "uji nyali" dan berburu "makhluk halus" di salah satu gudang tembakau di Jalan Gula. "Di sini lampunya gak ada, jadi agak gelap kalo malam  mas. Jadinya serem, hehe..." ujar mas-mas penjaga parkir, sambil menawari makan bakso dan es degan (kelapa).

Selain gudang, terdapat bekas beberapa tempat ibadah umat Konghuchu, China, yang juga sama tidak terawatnya. Ornamen-ornamen eksterior gedung khas China, seperti patung singa dan naga; pilar-pilar besar yang menjulang tinggi; dan atap rumah China kuno, merupakan pemandangan khas di kota tua Surabaya di Jalan Karet dan Jalan Gula. Gaya arsitektur Tiongkok itu bertemu dengan gaya arsitektur Eropa, seperti kusen pintu dan jendela yang bagian atasnya melengkung setengah lingkaran; serta pintu besar setinggi hampir 3 meter; teralis besi dan kanopi di jendela lantai dua. Sepeda kumbang usang yang sengaja diparkir di satu sudut gang, makin memberi kesan tua kawasan ini. Sepeda itu disewakan sebagai properti foto, dengan tarif sukarela. 

Kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya, termasuk Jalan Gula dan Karet, merupakan area perniagaan yang konon sudah terbentuk sejak Jaman Majapahit. Surabaya, merupakan salah satu pintu masuk pedagang-pedagang dari berbagai penjuru pulau, negara, dan bangsa, masuk ke tanah Jawa pada abad ke-14. 



Sungai Kali Mas, yang terdapat di sisi kiri Jalan Karet, mengalir ke utara ke arah muara yang berujung di Pelabuhan Tradisional Kalimas. Dulu, pelabuhan ini sangat tersohor, karena pedagang dari benua Eropa, Arab, dan China, menurunkan muatan di muara Sungai Kali Mas itu, dan melanjutkan misi bisnisnya ke wilayah timur dan pedalaman Pulau Jawa. Tak heran, bangunan-bangunan di sepanjang Kali Mas, di sekitar Jembatan Merah, Kembang Jepun, hingga Tunjungan, menampilkan arsitek yang beragam. Gaya Eropa, China, dan tanah Arabia, berbaur di sana, termasuk di sekitar Jalan Gula dan Karet. 

Eksotika kawasan kota tua di Surabaya ini tampaknya belum digarap secara menyuluruh oleh Dinas Pariwisata Kota Surabaya. Memang tidak mudah, sebab di kota ini banyak sekali bangunan dan situs-situs peninggalan sejarah kolonial yang masih berdiri kokoh. Sudah banyak gedung-gedung bersejarah dan cagar budaya yang dipugar, di-vermak, dan direvitalisasi menjadi objek wisata. Sayangnya, masih banyak yang belum, termasuk di kawasan Jalan Karet dan Jalan Gula. 


@yudathant

Minggu, 20 Juli 2014

Chang Chang Chang - Part 2

“Start from Mun River and Finish on Chao Phraya River”


(Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”)

   Thailand merupakan destinasi terpadat di kawasan Asia. Thailand juga menjadi tujuan paling populer nomor dua, setelah Singapura, bagi pelancong-pelancong asal Indonesia. Tak heran jika penerbangan dari Indonesia ke Thailand selalu ramai. Sayangnya, sejak Mei Juni lalu, penerbangan dari Surabaya ke Bangkok, di-suspended, sehingga kalo sekarang mau ke Bangkok ya terpaksa lewat Jakarta. Dulu, selain Air Asia, ada Tiger, yang membawa penumpang dari Surabaya ke Bangkok. Sialnya juga, maskapai Tiger juga melakukan hal yang sama seperti Air Asia. 

   Biasanya, Air Asia sering memberikan tarif promo pada periode tertentu. Namun, harga normal  sekitar Rp 800.000, tapi kalo balik harganya lebih mahal, sekitar Rp 1 juta. Untuk biaya hidup di Thailand terbilang murah, hampir sama seperti biaya hidup di Jakarta atau Surabaya. 1 Bath sekitar Rp 250. Demikian juga dengan biaya hotel, ada yang terjangkau kok, sesuai kantong backpacker. Mulai dari Rp 300.000 per malam juga ada. Biaya bus atau kereta cepat juga terjangkau, sekali jalan gak sampe Rp 10.000. Jadi, kalo dihitung-hitung, bawa bekal Rp 1,5 juta saja udah bisa kok berwisata 2 hari di Bangkok dan sekitarnya.

   Karena kali ini aku adalah tamu undangan, jadi aku gak terlalu mikirin biaya akomodasi, hehehe...

   Setelah rentetan kegiatan akademis, akhirnya dr. Tuk mulai membawa kami berwisata ke sebuah kedai makan terapung di Sungai Mun (Mun River). Di sepanjang sungai berair coklat ini, terdapat beberapa restoran dan kedai makan yang dibangun di tepian atau di tengah sungai. Pengunjung bisa makan sambil main air atau berenang di sungai. Duduk santai menikmati angin yang berembus di bawah teriknya matahari, menyantap berbagai menu ikan dan serangga yang dibumbui sangat menyengat. Dan yang jelas enak, hehehe...

   Sebenarnya, area food court semacam ini isa saja dibangun di Sungai Bengawan Solo atau Sungai Berantas yang membentang di Pulau Jawa. Namun sayang, belum banyak pengusaha dan pemda yang mengembangkan potensi daerahnya menjadi obyek wisata yang layak didatangi. Lokasi Mun River mungkin hampir sama seperti di Indonesia, tetapi kualitas pelayan pengelola wisata di Thailand sangat diacungi jempol. Bersih dan nyaman, itu kuncinya. Bersih karena minim sampah. Nyaman karena tak ada pedagang kaki lima atau pengemis yang berkeliaran di lokasi wisata.

   Sehari sebelumnya, dr.Tuk menjamu kami di sebuah restoran rumahan, Moan Restaurant. Di restoran yang bentuknya seperti rumah, bahkan ruang makannya benar-benar seperti ruang makan di sebuah rumah yang sederhana, ini menyuguhkan menu makanan ikan dan udang.  Malamnya, setelah dari Mun River, dr.Tuk mengajak kami camping di salah satu taman nasional yang terkenal di Ubon, yaitu Phuchong Nayoi National Park. Perjalanan kami tempuh selama 3 jam, dari kota Ubon menuju ke taman nasional. Taman seluas 686 km2, merupakan salah satu taman nasional yang berbatasan dengan negara Kamboja.

  Bersama delapan mahasiswa dan juga suaminya, dr.Tuk menyiapkan barbeque party untuk kami. Mantab man..!!! Bakar-bakar daging di tengah hutan, ala-ala camping gitu deh. Kebetulan pula malam itu bulan berwajah bundar dan bersinar terang. Semalaman kami membakar ikan, udang, cumi, dan daging sapi untuk pesta makan malam. Kekenyangan dan perut sampai kepenuhan, itu yang terjadi. “Perutku dah gak muat lagi Mas,” kata Dian sambil mengelus perutnya yang membuncit kekenyangan.

  Di Nayoi, terdapat sebuah air terjun yang sangat indah. Tapi sayang, karena kami berkunjung pada musim kemarau, debit air terjun sangat kecil, sehingga keindahannya tidak mencuat. Kami harus menuruni ratusan anak tangga untuk mencapai dasar air terjun yang berpasir putih. Menurut salah seorang mahasiswi dr.Tuk, ada kebiasaan orang Ubon menyanggah atau memberdirikan ranting pohon diantara batuan besar atau tebing. Mereka percaya, dengan meletakkan ranting itu, suatu saat mereka akan datang kembali ke tempat yang dianggap indah dan menarik tersebut.  

  Perjalanan kami lanjutkan ke sebuah desa. Melihat kehidupan petani di Thailand. Kami juga mendatangi sebuah pasar desa (village market). Hal yang menarik di sana adalah, petani di Thailand hidup lebih sejahtera dibandingkan petani di Indonesia. Apa indikatornya? Pertama, hampir semua petani di sana punya mesin traktor dan mobil untuk mengangkut hasil taninya. Mobilnya pun bukan mobil pick-up yang butut, tapi mobil dobel gardan yang di Indonesia boleh dibilang mobil mewah.

Coba lihat foto pedagang di pasar desa, di belakangnya terparkir mobil mereka. Dan mereka adalah petani yang menjual hasil buminya. Kedua, ternyata gaya hidup petani di Thailand tidak konsumtif, berlagak ala “borjuis” atau belanja barang mewah yang tak penting. Hampir tidak ada terlihat petani dan konsumen yang belanja di pasar memakai perhiasan mewah, baju bagus, dan dandanan menor. Semuanya serba sederhana. Ini sepertinya yang membedakan dengan petani di desa-desa di Indonesia, yang bergaya dan menirukan pola hidup bak masyarakat metropolis.

Mekong River
  Lepas dari pasar tersebut, kami diantar dr.Tuk ke sisi timur Ubon, menuju sebuah cottage tepi sungai. Cottage ini terletak di tebing Sungai Mekong, sungai yang memisahkan Thailand dengan Laos. Kami tiba saat bulan purnama mulai duduk di singgasananya. Di seberang sungai, terlihat titik-titik api yang menyala. “Musim (kemarau) seperti ini memang sering terjadi kebakaran alang-alang. Tapi, itu bukan masalah,” ujar dr.Tuk. Keindahan dan pesona cottage di sisi Sungai Mekong ini baru bisa kami nikmati saat pagi hari. “Kalau lihat sungai ini jadi ingat film Rambo. Kan di film itu tentara Vietkong atau si Rambo terlihat menyeberangi sungai, persis seperti sungai ini,” kenang Mr Ato.

  Menjelang siang, kami brunch (breakfast ana lunch) di salah satu tepi sungai Mekong yang lain, di daerah Khong Chiam. Lagi-lagi dr Tuk menawari aku makan serangga, dan aku mengiyakan tawaran itu.

  Sebelum makan siang, seorang nelayan mendatangi kami dan menawarkan menyeberang sungai menuju Laos. Hanya dengan 400 Bath, kami ber-15 bisa menyeberang pulang-balik Thailand-Laos dengan kapal kayu bermesin motor. Setelah perut kenyang, kami pun bergegas menuju ke kapal si nelayan. Tak sampai 20 menit, kami pun sudah berada di Laos. Tanpa pasport dan tanpa urusan imigrasi. “Please don’t talk to much while crossing the border,” kata dr.Tuk. Dia berkata begitu agar kami tidak terlihat mencolok seperti turis.

  Penduduk Laos maupun Thailand di sisi Sungai Mekong saling melintas perbatasan negara itu cukup bebas setiap harinya. Tujuannya macam-macam, ada yang berdagang, sekolah, dan menjenguk sanak saudara. Bahasa yang mereka gunakan pun sama. Bahkan, pedagang souvenir di Laos pun menerima pembayarang dengan uang Bath. Sisi kampung di Laos yang kami datangi ini mirip sekali dengan kondisi di Indonesia timur. Gersang dan panas. Jarang sekali tampak warna hijau di sana. Yang terlihat hanya coklat, kuning, dan oranye. Tapi entah mengapa, sepertinya matahari di Laos lebih dari satu, sehingga siang itu kami semua merasa sangat sangat sangat kepanasan.

  Belanja oleh-oleh sudah, menginjak kaki di Laos juga sudah, maka kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kuil yang terletak di tepian Sungai Mekong. Di kuil ini kami melihat deretan patung Budha. Ada patung Budha dengan berbagai pose. Dari tujuh patung yang ditata rapi, tertuliskan tiap patung melambangkan nama hari. “Tiap patung diperuntukkan bagi orang yang lahir pada hari tertentu. Biasanya, orang yang lahir pada hari Jumat, akan berdoa pada patung yang bertuliskan hari Jumat, dan hari-hari lainnya,” jelas dr.Tuk. Karena penasaran, aku pun meminta izin untuk berdoa di patung yang bertuliskan hari kelahiranku. Setelah diizinkan, aku pun berdoa supaya aku selalu dibukakan jalan terbaik oleh Sang Khalik. (#mendadak religius) 

Chao Phraya River
  Bangkok adalah tujuan hari terakhir kami sebelum pulang ke Indonesia. Kami hanya punya waktu sekitar 7 jam di antara waktu transit, sebelum pesawat dari Bangkok terbang ke Surabaya. Kemana tujuan yang paling mudah dan merupakan ikon Thailand. Yap, Sungai Chao Phraya! Sungai sepanjang lebih dari 370 km ini adalah sungai terpenting di Thailand, khususnya Bangkok. Sungai ini adalah salah satu urat nadi kehidupan masyarakat  Bangkok.

  Dari Bandara Don Muaeng, kami menumpang bus lalu lanjut dengan kereta cepat. Kereta ini melintasi pusat kota, termasuk salah satu mall besar di Bangkok. Dari situ kami lanjut lagi dengan kereta cepat, turun di Saphan Taksin, atau dermaga utama wisata Sungai Chao Phraya. Untuk menjelajahi sungai ini kita bisa menggunakan tiket terusan dengan membayar 150 Bath, atau sekitar Rp 45.000. Dengan tiket terursan, kita bisa naik turun di mana saja, yang rupakan lokasi objek wisata. Banyak kuil dan istana indah juga pasar souvenir yang bisa kita kunjungi.

  Lagi-lagi, waktu adalah pembatas paling tegas dalam tiap perjalan. Tidak terasa, sudah pukul 15.00 waktu setempat. Pesawat kami akan berangkat sekitar 4,5 jam lagi, jadi paling tidak kami harus di bandara 2 jam lagi. Padahal, kami baru menikmati Wat Arun, salah satu landmark ikon Bangkok. Kuil ini bernama Arun, karena artinya senja. Sehingga, menikmati kuil ini bagusnya sore hari. Di belakang kuil ini, ada pasar souvenir yang sebagian penjualnya bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, mereka mau menerima uang Rupiah sebagai alat bayarnya. “Ayo..ayo.., baju murah harga murah,” begitu salah satu teriak pedagang menawarkan jualannya kepada pengunjung yang kebanyakan dari Indonesia.


@yudathant 

Chang Chang Chang “The Kingdom of Elephants”

Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”

What is on your mind if I ask you about Thailand?
Jawaban paling cepat yang biasanya keluar dari bibir kita adalah Pattaya, Gajah Putih, Phuket, Sungai Chaupraya, Seks, atau juga Lady Boys. Hehehe... Tapi mas bro and mbak bro, Thailand gak cuman itu doang. Banyak destinasi yang disuguhkan di kerajaan gajah ini, yang sayang sekali jika dilewatkan. Mulai dari alamnya, makanannya, sampai keramah tamahan orang-orangnya yang mungkin melebihi orang Indonesia. Those are what I got when I went to “The White Chang Kingdom” on last March.

The City of Royal Lotus Flower
Horee..., ke Thailand!! Tapi jangan seneng dulu mas bro. Soalnya perjalanan kali ini bukan murni liburan. (langsung deh, wajah ditekuk tiga lapis, hehe..) Trip 8 hari ke “land of elephants” ini berkaitan dengan students exchange. Kebetulan, aku dan dua temanku, Dian dan Hadiyah, mewakili fakultas bertukar pengalaman dengan mahasiswa pascasarjana di Ubon Ratchathani Rajabath University (UBRU) Thailand. Kebetulan juga, fakultas kami sedang melakukan joint research dengan Fakultas Public Health di UBRU.

Tidak hanya kami bertiga yang berangkat, tapi juga dua dosen yang melakukan joint research, yaitu Mr Ato dan Mr Shoim. Mereka berdua nanti akan memberikan kuliah kepada mahasiswa master degree di UBRU. Jadi, mau gak mau harus sedikit jaim, alias jaga image biar gak malu-maluin dosen en kampus. Salah satu agenda kami adalah menghadiri konferensi riset internasional yang dihelat UBRU. Ditambah lagi masih ada a bucket of list agenda dari Ketua Prodi, Ibu Dien, yang harus kami dilakukan selama di sana. Wuiihh.., padet banget sepertinya chiingg!!

Kami terpaksa berangkat dengan waktu dan jadwal penerbangan terpisah. Ini karena paspor Hadiyah belum jadi, sehingga Hadiyah dan Dian harus menyusul dengan flight dan rute yang berbeda. Aku dan dua dosen berangkat naik Air Asia, transit di Bangkok 10 jam, lanjut dengan Air Asia ke Ubon. Sedangkan Dian dan Hadiyah berangkat pada hari yang sama dengan Tiger, transit di Singapore selama 10 jam, transit di Bangkok 7 jam, dan lanjut ke Ubon. Akibatnya, mereka melewatkan agenda di hari pertama.

Dalam bayangan awal, sebelum berangkat, kota tujuan kami akan sama seperti Bangkok; padat dan berisik. Ternyata Ubon tidak seperti itu. Ubon Ratchathani adalah sebuah kota (provinsi) yang tenang, bersih, rapi, dan teratur. Jarang sekali orang membunyikan kelakson saat di jalan raya. Tidak ada orang yang menyeberang jalan sembarangan. semuanya tampak teratur dan rapi. Ubon sendiri adalah provinsi yang berjarak sekitar 700 km ke arah timur laut dari Bangkok. Jika naik pesawat hanya sekitar 1 jam, tapi jika menumpang kereta bisa sekitar 8-10 jam.

Kunjungan kami ke UBRU juga atas undangan dr. Tuk, salah satu dosen yang melakukan joint research dengan Mr Ato dan Mr Shoim. Dulu dia pernah ke Unair, dan kebetulan aku dan Dian sempat jadi liaison officer alias pemandu lapangan yang menemaninya selama sehari mengunjungi Dolly, the biggest red district in Indonesia. Nah, sekarang, dia dan beberapa mahasiswanya yang mendampingi kami sepanjang minggu di Ubon. Oh ya, nama Ubon Ratchathani kalau diartikan adalah the royal city of lotus flower, atau kota praja bunga teratai. Makanya, lambang provinsi ini adalah bunga teratai yang mekar indah di sebuah kolam.

Tiga hari pertama, kami habiskan di kampus dan hotel, lokasi konferensi riset dilangsungkan dan tempat kami menginap. Hotel dengan arsitektur khas Thailand ini adalah hotel milik UBRU. Hotel ini merupakan salah satu aset kampus memeroleh dana untuk menjalankan roda pendidikan di kampus. Selain itu, kalau tidak salah, kampus juga punya lapangan bola dan area camping yang disewakan. Sayangnya, ide entreprenurship semacam ini gak banyak dilakukan oleh  lembaga pendidikan di Indonesia. Kalau begini kan kampus gak perlu khawatir kekurangan duit buat men-support mahasiswa dan dosen-dosennya melakukan riset atau kegiatan-kegiatan adukasi lainnya.

Thai Food
Di dekat hotel, ada semacam gelanggang remaja yang di dalamnya terdapat beberapa kios cendera mata, dan di depannya ada arena food court. Hampir setiap hari kami ke sana, untuk mencoba menu makanan Thailand, yang kami asumsikan halal, seperti mi goreng atau nasi goreng sea food, hehe.. di dekat situ juga ada dua kedai kopi yang enak banget buat nongkrong. Salah satunya adalah kedai kopi "Varisa House" yang dikelola oleh Narm, James, dan Nan, yang terlihat di foto sebelah kanan ini. 

Makanan Thailand sangat kaya bumbu, hampir sama dengan makanan dari Aceh atau Sumatera yang bermain dengan rempah-rempah. Beberapa menu makanan yang sempat kami coba adalah macam-macam  sup, yang biasa disebut “Tom.” Beberapa menunya, adalah “fish salad,” tom sam, dan lan moan. Bahan baku utama ikannya adalah ikan patin atau ikan lele. Jangan bayangin pecel lele yang biasa kamu beli yah. Pengolahan yang apik, membuat daging ikan patin terasa empuk dan saat dikunyah di mulut, semua bumbu terasa bercampur dengan pas. (#waduh, nelan ludah deh jadinya, gara-gara ngebayangin, srrruuppp...)

Thailand juga dikenal dengan menu akstrim, salah satuya adalah menu serangga dan “tetangganya”. Sewaktu menginap di hotel dekat Bandara Don Mueang, pedagang kaki lima menjajakan menu serangga bakar dan goreng yang siap santap sebagai kudapan atau camilan sambil jalan-jalan. Salah satu serangga yang ditawarkan adalah kalajengking, wuih mantab... Sayangnya, gak ada teman buat nyobain menu itu, karena dua dosen tampak ragu untuk mencoba.

Untungnya, menu serangga juga ditawarkan di warung dan restoran. Seingatku, aku dua kali menyantap menu serangga ini. Pertama di tepi Sungai Mun, dan yang kedua di tepi Sungai Mekong. Salah satu menu serangga yang aku santap adalah semut rangrang besar atau disebut "mod daeng". Satu genggam serangga itu disangrai dengan bumbu rempah, lalu ditaburi semacam daun bawang dan cabai hijau. Serangga itu disajikan dalam pincuk daun jati. Dan rasanya, wuueeenaaakk..., aku bahkan bawa satu bungkus untuk dimakan di perjalan (gambar di atas, foto tengah atas), hahaha...

Satu lagi menu favoritku ada ketan mangga atau sticky rice with mango. Mangga yang matang, manis, dan berwana orange dipotong ukuran sedang. Taburi dengan santan kental, lalu disantap bersama dengan ketan putih yang manis. Ketan itu juga direbus dengan sedikit air santan, jadi ada rasa gurih dan manis. Hmm...., mantab deh pokoknya. Bule-bule pun doyan kok menyantap menu ini. Dijamin kalian juga pasti doyan deh...., 100% guaranty.

Sebenarnya masih pengen cobain menu-menu lain yang ekstrem dan gak ada di Indonesia, tapi aku gak ada partner buat coba-cobain. Soalnya semua temen trip kali ini pada “hati-hati” dengan menu yang disantap. Selama di Thailand, kami dibuat kenyang dan puas dengan makanan Thailand yang sangat lezat dan nikmat alias “maknyuss” oleh dr.Tuk. Thank you dr.Tuk  “kha pun khab dr.Tuk”


Lesson Learned
“Menuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Oke karena duit kita masih pas-pasan, jadi ke Thailan aja dulu yah belajarnya, hehehe... Banyak pembelajaran yang bisa aku share selama di negeri gajah putih ini. Di UBRU, penghargaan terhadap ilmu dan pengobatan tradisional begitu diperhatikan. Sampai-sampai, mereka punya satu fakultas khusus pengobatan tradisional. Di situ, mahasiswa belajar tentang berbagai macam bentuk pengobatan, terapi, dan penyembuhan yang berasal dari akar budaya sebagai alternatif pengobatan modern. Mahasiswa juga diajarkan memijat lho, tapi bukan pijat plus-plus. Kalo itu beda area yah..., kapan-kapan aku ceritain yang itu, hehehe...

Mahasiswa juga belajar membuat ramuan dan memproduksinya untuk umum. Salah satunya adalah krim untuk pijat, minyak semacam pelega pernafasan, juga minuman, atau kalo boleh dibilang semacam jamu, yang dikemas lebih modern dan nikmat diminum. Semua aku coba, dan ternyata, seru rasanya. Uniknya, mahasiswa kesehatan masyarakat di UBRU boleh melakukan tindakan medis, sedangkan di Indonesia tidak. 

Mahasiswa di sana sangat disiplin. Mereka juga pakai seragam lho mas bro. Ada guyonan semacam ini. “Jika kamu ingin tahu mereka mahasiswi tingkat berapa,  lihat saja roknya. Kalo rok yang dipake makin pendek, berarti semakin tinggi tingkatan mereka, hehehe...” #mulai deh berburu roknya mbak-mbak mahasiswa yang seliweran di depan kampus ^_^ sambil senyum-senyum sendiri nebak kalo mbak yang dari tadi berdiri di depan ini  pasti bentar lagi lulus kuliah, hehehe... 

Ke sebuah negara tanpa belajar bahasa lokal, itu namanya kamu belum menikmati arti traveling ke luar negeri. Tulisan Thailand emang ruwet, tapi kalo ngomongnya gak susah-susah amat kok. Paling gampang belajar bahasa adalah dimulai dari belajar angka. "ne song sam..." artinya 1,2,3. Kalimat itu pasti diucapkan kalo mau motret seseorang, jadi lama-lama hapal juga. Pengucapan angka lima adalah "ha" sehingga dalam kalimat sms atau FB, biasanya untuk mengungkapkan pernyataan tertawa, cukup ditulis dengan angka 5 sebanyak 3x. (555 = hahaha...).

Belajar bahasa Thai juga bisa lewat lagu. Dengan senang hati, dr.Tuk mengajari kami lagu Thai yang terkanal, yaitu lagu anak-anak tentang Gajah. ohh...tidaakk...!! Tapi, it's oke, mungkin lavel bahasa Thai kami yang masih 0 besar, makanya kami diajirin lagu anak-anak, hehehe.. "Chang..chang..chang..." begitulah dr.Tuk mulai menyanyi. Chang itu artinya gajah lho. Berikut beberapa kata sederhana yang mungkin bermanfaat. 
mai artinya tidak;                             chai artinya iya, 
di artinya baik/bagus;                        mai dii artinya jelek 
sway artinya cantik                          loh artinya tampan
(dek) puying artinya perempuan         (dek) pushai artinya laki-laki 

Oh ya, ada perbedaan di akhir kalimat jika yang mengucapkan itu adalah laki-laki atau perempuan. kalo perempuan berakhiran "ka" sedangkan laki-laki berakhiran "kap." Misalnya, sawadhikap.. (kalimat itu aku - karena laki-laki - ucapkan untuk memberi salam kepada orang lain). Yang buat aku heran, ternyata tone suara orang Thai itu sengau semua, hehehe... jadi kalo ngomong cuaranya "cempreng" gak ada yang nge-bas kayak mas bro Sandhy Sandoro. 

Di luar kampus, masyarakat di Ubon juga sangat tertib dan peduli kesehatan. Sangat jarang sampah berserakan di jalan. Orang sepertinya malu buang sampah sembarangan. Di pasar tradisional juga demikian. Gak ada yang namanya sampah itu “telecekan” alias berceceran di mana-mana. Pedagang sudah memilah sampah-sampah mereka, dan menempatkan pada tempat sampah yang diharuskan. Jadinya, pasar itu bersih dan nyaman buat belanja. Hmmm...., seandainya semua pasar tradisional di negara kita seperti itu yah...!



Pada malam terakhir acara konferensi, panitia menggelar semacam acara pentas seni keakraban. Tuan rumah menyuguhkan tarian dan lagu-lagu tradisional yang biasa mereka pentaskan pada acara bahagia, panen raya, atau ritual bahagia lainnya. Tarian Thailand, sekilas tidak serumit tarian tradisional di Indonesia. Tidak banyak gerak tangan, kaki, pinggul, kepala, atau bahu yang sulit dilakukan oleh pemula. Gerakannya simple, tidak rumit, dan mudah diikuti. Jadi begitu lihat, pasti bisa deh. 


@yudathant

note: Tulisan berikutnya, aku bakal jelasin soal sisi wisata lain di Thailand. Lanjut yah bacanya di next story.