Tampilkan postingan dengan label lomba blog HUT Bank Mandiri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lomba blog HUT Bank Mandiri. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 November 2012

Berinovasi; Kenapa Gak Dicoba Aja Dulu!

"Aku gak cocok jadi pedagang. Gak punya bakat, dan mungkin gak tegaan kali yah. Gak ada keturunan pedagang pula," seloroh Jim, sambil menyesap es kaccang hijau buatan temannya yang baru membuka kedai di sebuah mal. "Aku juga gak punya bakat dagang kok. Tapi aku jualan barang-barang yang aku suka. Kalo aku gak suka, ya gak aku jual," cerocos Elly. 

Tidak mau tersudut, Jim pun balas berkomentar. "Iya, tapi gimana yah..., kok kayaknya berdagang itu bukan jiwa aku gitu lho. Kalo promosi barang, gak tahu yah, gak yakin aja. Tapi kalo promosi sesuatu yang harus dilakuin ama orang lain, aku sih bisa," Jim mempertegas. "Nah itu bisa buktinya. Jadi kamu itu intinya bisa berdagang," kembali menyudutkan Jim, bahwa Jim memiliki jiwa pedagang terpendam. 

"Tiap orang itu pasti punya jiwa promotif kok dalam dirinya. Jadi jangan khawatir, kita semua itu pasti bisa promosi dan jualan," komentar Roy, teman yang menyuguhkan menu batagor Bandung di kedainya yang baru buka sehari ini. Roy meyakinkan, siapa pun bisa berdagang, asal yakin ama jualannya dan bisa melihat market. 

Terlepas dari mau atau tidak nantinya Jim membuka lapak untuk berjualan satu atau lebih produk primer, sekunder, atau tersier, atau produk jasa, obrolan Jim, Elly, dan Roy mengerucut pada satu terminal  besar, yang namanya kewirausahaan atau entrepreneurship. "Aku awalnya kerja sekretaris, tapi keluar dari kerjaan setelah tahu hasil kerja sendiri kok lebih menguntungkan. Waktu kerja juga sesuka hati kita, dan rasanya lebih mandiri, biar suami juga kerja," ungkap Elly. 

Entrepreneurship or wirausaha mandiri bisa dilakukan oleh siapa pun. Mulai dari seorang bankir, wartawan, mahasiswa, pelajar, ibu-ibu rumah tangga, guru, satpam kantor, dokter, sampai staf admini kantor kelurahan. Semuanya bisa menjadi pengusaha atau berwirausaha. Tapi, yang namanya pengusaha itu bukan berarti harus punya modal yang gede, pabrik yang luas, karyawannya berderet, dan penghasilan ratusan juta per bulan. Memang,  ujungnya ke sana, tapi pangkalnya bisa aja dimulai dari yang kecil dan sederhana. Awalnya  dari jualan pulsa keliling, nanti punya gerai sendiri. Mulanya warung tenda, nanti jadi restoran cepat saji. Pertamanya cuma lapak di pasar kaget, dua tahun laggi udah punya butik di mal-mal.

Roy misalnya. Merasa bosan dengan pekerjaan sebagai financial adviser jasa asuransi, dia mulai melirik warung makan sebagai jalan keluar mengatasi kejenuhan. Kebetulan dia dan ibunya suka memasak, khususnya makanan Sunda, dan ada tawaran kios kosong dengan harga terjangkau di sebuah mal, jadi kanapa gak dicoba. Inilah, poin penting bagi calon pengusaha sejati, berani ambil risiko. Tapi, tentu aja risiko yang terukur dengan kemampuan dan ketersedian sumber daya.

"Udah santai ajah. Yang penting kita mau belajar," kata Elly. Dia mengaku tak punya pengalaman bisnis dan berdagang. Yang dia ketahui hanya bagaimana mendapatkan produk yang bagus, berkualitas, tapi murah. Soal menetapkan harga, itu berjalan dengan sendirinya, dengan tetap belajar dari pedagang lain yang sudah khatam makan asam-garam. Meski begitu, Elly tetap punya standar sendiri dan gak mau asal ikut arus. Elly mengaku, dia punya kemampuan dan keyakinan. Dia hanya bekerja pada bidang yang dia sukai.

"Aku gak suka ikutin tren. Kalo bisa aku bikin tren sendiri. Biar aja toko ku gak jual tas atau baju yang lagi nge-tren, tapi aku jual baju dan tas yang gak dijual di toko lain. Jadinya, konsumen malah senang belanja di tokoku," panjang lebar Elly menjelaskan. Namun, perempuan yang sudah menikah lima tahun ini mengaku tidak menutup diri. Pokoknya, dia banyak belajar dan cari info-info baru dari sesama pedagang yang ada di sekitar kiosnya. "Gak peduli temen-temen pedagangku banyak laki-lakinya, yang penting kan aku mau belajar, bukan macem-macem, hehehe..," tambahnya.

Lalu, bagaimana menanamkan sikap beriwirausaha mandiri. Lagi-lagi, itu harus dikenalkan sejak kita masih kecil, paling gak saat usia sekolah SD dan SMP. Aku jadi ingat, sewaktu SD dulu, guru kelas meminta kami, anak-anak didiknya, membuat kerajinan kreatif. Produk kerajinan yang dibuat tiap kelompok sudah ditentukan, dan kami harus mengerjakan sendiri, tidak boleh ada campur tangan orang tua. Nantinya, produk yang sudah jadi (di akhir tugas kami baru tahu) dijual saat penerimaan raport. Yang berjualan kami sendiri, dan hasilnya juga untuk kami sendiri. Itulah pengalaman wirausaha kecil-kecilan pertamaku.

Ternyata, tidak semua guru punya pola pikir wirausaha seperti itu. Dari pengakuan sejumlah teman, di SD dulu dia tak pernah mendapat "pelajaran" semacam itu. Demikian pula saat SMP, tidak ada kegiatan wirausaha bagi siswa-siswanya. Kondisinya sedikit berbeda saat SMA, meski tidak langsung berjualan, tapi dengan kegiatan OSIS yang butuh dana besar, yang tidak bisa mengandalkan sumber dana dari  sekolah, maka kami harus berjuang mengali dana dari donatur atau dengan cara lain, yakni berjualan stiker. 

"Kalo aku pernah jualan jamur goreng tepung om," ujar keponakanku yang kini duduk di bangku SMA kelas 2. Dia berjualan makanan dan minuman untuk mencari dana tambahan untuk kegiatan OSIS di sekolahnya. "Aku kan bagian dana usaha mandiri, jadi harus mikir gimana cari duit tambahan kalo ada kegiatan OSIS om," tambah Lia, keponakanku.

http://www.bankmandiri.co.id/
Jika boleh digaris bawahi (diwarnai, cetak huruf miring, & dikotaki sekalian juga boleh), berwirausaha bisa dibentuk dan dilatih pada siapa pun. Pendidikan dan ketrampilan wirausaha dikenalkan, kalo bisa malah dibiasakan, kepada anak-anak dan remaja. Selain membuat mereka akan bersikap mandiri, tidak bergantung pada orang lain, mereka juga diajak berpikir kreatif (positif) untuk bekerja & menghasilkan sesuatu, bisa berbentuk uang. Nantinya, secara gak langsung hal ini akan mencetak generasi muda yang berpola pikir wirausaha mandiri, dan tidak melulu melihat lapangan pekerjaan hanya terbatas sebagai pegawai. Tapi malah ciptakan lapangan kerja sendiri.

Sayangnya, belum semua sekolah memiliki dan mempraktikkan pelajaran wirausaha, entah sebagai muatan lokal atau pelajaran tambahan. Padahal, hal ini penting sekali bagi masa depan generasi muda kita yang akan menghadapi tantangan berat dalam dunia globalisasi. Bagi sejumlah guru/pengajar, pelajaran berwirausaha bukan hal penting, karena yang penting indeks prestasi anak-anak di sekolah, atau selama jadi murid mereka. Makanya, bagi mereka yang penting nilai pelajaran kimia, fisika, biologi, matematika, dan dan bahasa inggris anak-anak didik mereka bagus-bagus, dan kalo bisa nilai NEM nya tertinggi satu kotamadya. Masa depan anak-anak itu selepas dari bangku sekolah, bukan jadi prioritas dan hal yang dipusingkan para guru itu. 

Saat ini, menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baru 1,56 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya 238 juta jiwa yang berwirausaha. Padahal ideal minimalnya, adalah 2 persen, atau sekitar 4,7 juta penduduk kita harus beriwirausaha agar pergerakan ekonomi, yang kini rata-rata 6,5 persen per tahun, makin kencang. Angka itu masih kalah jauh dibandingkan Singapura, yang jumlah penduduk yang berwirausaha sudah mencapai 7 persen, Malaysia dan Filipina masing-masing sekitar 5 persen, Jepang 10 persen, Amerika 12 persen. Mencermati angka-angka itu, boleh dibilang peluang berwirausaha mandiri di Indonesia masih terbuka luas dong.

Makanya, untuk menjadi mandiri dan bersikap wirausaha mandiri, butuh inovasi dari orang-orang yang menjadi panutan. Salah satu atau salah duanya adalah guru serta orang yang dianggap lebih tua dan mandiri, yang bisa dijadikan contoh. Maklum, tahap belajar pertama manusia adalah meniru dan beradaptasi. Jika kita sudah bisa meniru dan beradaptasi, tak pelak, inovasi-inovasi baru berwirausaha akan bermunculan dengan sendirinya. Ayolah..., kita tanamkan sikap entrepreneur ini mulai sekarang, biar kita gak ketinggalan zaman atau kalah melejit dengan negara tetangga.

Lalu, pekerjaan apa yang cocok buat aku? Mau dagang atau bikin bisnis produk jasa aja yah? (Kenapa gak dicoba dulu aja sih bro!)

never give up
-yuda thant-

"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.“ 

Senin, 12 November 2012

Mandiri = Bukan Kopi Instan

Apakah aku sudah mandiri? 

It's a Simple question but hard to answer. Pertanyaan ini kerap muncul dalam pikiran aku, dan malah mungkin juga pada diri kamu. Pertanyaan yang penuh jebakan. Salah arti, maka bisa salah memberi jawaban.

"Mandiri dalam arti apa nih? Harus spesifik dulu dong," tanya Kristian, salah seorang kawan di kampus. "Apa ajalah. Bebas," jawabku singkat. 

Tapi, benar juga kata Kristian. Mandiri dalam hal apa. Semua orang bisa ngomongin arti mandiri dan kemandirian. Namun, kadang susah menjelaskan apa dan bagaimana, juga parameter mandiri itu sendiri. 

"Oke. Kalau ukurannya duit, mungkin sudah mandiri. Karena saat pertama kali kerja, dan punya penghasilan sendiri, itulah saat pertama kali aku merasa mandiri. Menurutku, aku sudah mandiri, soalnya selama ini apa yang jadi tugasku, aku kerjakan sendiri. Gak pernah minta bantuan orang lain, kecuali kalau sudah mentok. Aku gak pernah njagain (tergantung) orang lain. Jadi mandiri itu artinya, berdiri sendiri dan gak tergantung sama orang lain. Malah mungkin mandiri itu ya gak (selalu) minta tolong sama orang lain," kata Kristian, yang bekerja sambilan sebagai guru privat. 

Sama halnya dengan Kristian, Helyn, kawan ku satu lagi, juga berkata hampir senada. Jika patokannya adalah uang, dia bisa dibilang sudah mandiri, karena sudah lebih 5 tahun mengabdi sebagai pegawai negeri sipil di Mojokerto. "Mandiri itu artinya, I can do it by myself, sesuai dengan kemampuanku. Kalau dari segi penghasilan aku sudah mandiri. Tapi, dari segi yang lainnya, aku akui, aku belum mandiri," jelas ibu tiga bocah yang masih lucu-lucu itu. 

Nah lho... Dari sisi pendapatan sudah mandiri, tapi kok merasa belum mandiri? Kok bisa? Itu karena Helyn merasa, untuk urusan selain duit, dirinya masih tergantung dengan si suami yang dalam hal ini sangat memanjakannya. "Aku itu dianggap seperti ratu, jadi kalau mau apa-apa, harus bilang dulu, atau malah dia yang ngerajin. Jadinya, aku ngerasa tergantung banget sama suamiku," ungkap Helyn. 

Tapi jangan salah lho. Tambahnya, aku gak punya pembantu di rumah. Semua urusan teras, dapur, sampai kamar tidur, aku dan suami yang ngurus. Itu berarti, keluarga kami keluarga yang mandiri. "Jadi gimana yah..., aku aslinya mandiri, tapi kadang merasa gak mandiri gitu deh," timpalnya lagi. 



Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, (sempat mengintip untuk memastikan benar atau tidaknya), mandiri dan kemandirian adalah sikap atau keadaan yang mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Maka, seseorang itu dapat dikatakan mandiri apa bila secara pribadi mampu mengatasi masalahnya sendiri, punya inisiatif dan kreativitas mengurai hambatan, dan berperilaku bebas (tanpa bergantung pada orang lain) dalam menentukan sikapnya mencapai tujuan yang diinginkan. Meski kadar dan nilai ukur kemandirian gak signifikan, tapi jika orang itu bisa mengerjakan sendiri, bahkan mampu berhasil memenuhi keinginannya, boleh lah dipastikan dia sudah mandiri, dalam satu hal tertentu. 


"Kapan pertama kali kamu merasa mandiri Kris?" tanyaku lagi. "Mungkin pas mulai kuliah, aku bener-bener merasa diriku ini mandiri. Soalnya semua tugas aku kerjain sendiri. Tapi, kalau dilihat kebelakang lagi, sebenarnya sejak aku kecil sudah belajar mandiri. Gak ada yang mengajari, terjadi begitu saja," jelasnya. "Kok bisa?" tanyaku penasaran. "Kalau mau apa-apa di rumah, ya aku kerjain sendiri. Soalnya bapak sama ibu kerja, kakakku selisih umurnya jauh, dan dia cowok, cenderung cuek orangnya. Karena dari kecil sudah apa-apa sendiri, jadi terbawa deh sampai sekarang," paparnya. 

"Aku mandiri karena mami sudah ngajarin hidup mandiri sejak anak-anaknya masih kecil. Kebetulan anak-anaknya mami banyak, ada empat orang, aku anak pertama, jadi aku juga ikut ngurusin adik-adikku. Mami yang paling keras ngajarin anak-anaknya hidup mandiri. Mulai dari cuci ama setrika baju, anak-anaknya harus bisa ngelakuin sendiri," jelas Helyn. "Model mengasuh seperti itu yang akhirnya aku terapkan di rumah, pada anak-anakku," tambahnya, yang dulu (sewaktu kecil) pernah merasa mami-nya bersikap kejam karena mendidik dia dan adik-adiknya kelewat mandiri, yang pada akhirnya malah membuat dia menjadi lebih tangguh. 

Baik Kritian dan Helyn, sama-sama menggaris-bawahi, sikap dan perilaku mandiri mereka sudah terbentuk sejak kecil. Entah itu sengaja dibentuk oleh orang tua (keluarga) atau oleh keadaan yang mengharuskan kita mandiri sejak dini.So, in my brief summary, mandiri itu bukan hal yang tiba-tiba, genetika, keturunan, atau kecelakaan. Tapi, sikap mandiri dan kemandirian itu terbentuk oleh proses. Bukan keturunan tapi bisa diturunkan. Bukan genetika, tapi bisa direkayasa genetika, dan bukan tiba-tiba karena bisa diprogramkan. 

Sejak masih kecil, Helyn sudah diajak dan dipaksa berperilaku mandiri menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah. Di satu sisi, dia dipaksa juga oleh tuntutan sebagai kakak yang harus ngemong adik-adikanya. Demikian pula Kristian, yang mau tak mau harus bersikap mandiri jika ingin memenuhi  keinginannya. "Kalau aku lapar, dulu waktu kecil, ya bikin mie sendiri boss. Gak ada pembantu di rumah," ujar Kris sambil memencet-mencet tuts di laptopnya. 

Perilaku mandiri bisa ditanamkan, seperti menanamkan micro chip dalam mini laptop kita. Mulai kecil, anak-anak harus dikenalkan dan dibiasakan hidup berdikari. Bahwa sesuatu yang dilakukan sendiri, akan memberi keuntungan lebih besar nantinya. Mulailah dari hal sepele, seperti meletakkan sepatu/mainan/buku/sepeda kembali ke tempat semula setelah digunakan. Mandi hingga berpakaian sendiri sebelum berangkat ke sekolah. Hingga tugas bersih-bersih di rumah, mereka juga dilibatkan. (Tentu saja jangan yang berat-berat dan membahayakan yah, hehehe..)

Terus apa manfaatnya? Ya kalau jangka pendek memang gak langsung terlihat. Paling kondisi rumah jadi lebih rapi dan bersih. Tapi jangka panjang, dan saat anak-anak itu dewasa, dan lepas dari rumah, mereka akan menjadi sosok yang mandiri dan lebih siap menghadapi masalah yang muncul. Sebab, sejak belia, mereka dikenalkan dan dilatih disiplin dan bertanggung jawab. Ini adalah dua modal untuk mencapai titik kesuksesan hidup. Mereka pun akan jadi pribadi yang lebih kreatif, malah inovatif, untuk mencari celah nyelesaiin problem yang dihadapi. Masalahnya, (tetap selalu ada masalah), kadang orang tua, mungkin kita sendiri, bersikap memanjakan anak secara berlebih. Mungkin awalnya gak ada niat memanjakan mereka, tapi karena kita yang terlalu iba dan gak mau anak-anak merasa menderita, malah melenakan mereka hidup berketergantungan alias dependent. 

Efeknya, saat kita gak punya bekal kemandirian yang bertanggung jawab dan disiplin, kita cenderung jadi pribadi yang malah, oportunis, dan parasit. (Parasitnya tipe benalu atau enceng gondok) Inginnya ada yang meladeni dan memudahkan. Gak mau terima yang susah sedikit. Begitu ada "kerikil" masalah sepele, langsung kocar kacir kalang kabut bingung seperti pantat terbakar api kompor. Mereka bisa memecahkan problem, tapi harus nunggu dituntun lebih dulu. Kalau satu dua orang sih gak masalah, lha kalo satu kampung, setengah penduduk kota, atau malah seperempat warga Indonesia gak mandiri, apa jadinya nasib awak ke depan??


Aku pun jadi teringat perkataan seorang dosen dulu. Ada kecenderungan, semakin kaya seseorang, kadang dia malah semakin cacad. (Lho kok bisa bro?) "Cacad" yang dimaksud di sini adalah sikap mandiri yang telah hilang. Ketika orang sudah kaya dan berkuasa, dan terlalu menikmatinya, kadang dia lupa untuk hidup mandiri. Apa-apa harus orang lain yang ngerjain. Mulai bukain pintu di hotel/kantornya, mencetin nomor telponnya, kipasin dan usapin kerinngatnya jika peluh bercucuran. Si orang kaya dan berkuasa itu jadi manja, dan malah kekanak-kanakan. Jangan-jangan, makan pun harus disuapin. 


Proses memandirikan seseorang tidak mengenal kata terlambat. Namun itu gak bisa cepat dan tentunya butuh daya juang yang besar banget. Kemandirian gak bisa seperti mendadak dangdut, yang ujug-ujug "cling" abrakadabra, jadi berdikari. Tapi seperti kata pepatah, biar lambat asal selamat. Biar telat, yang penting berusaha mandiri masbro.
Seperti membuat kopi, begitulah mandiri itu terbentuk. Mulai dari menyeduh air panah, memasukkan kopi sesuai selera, mau light coffee or dark coffee, gula 1 atau 2 sendok, dan mau ditambah creamer atau susu. Semua sesuai selera dan melewati proses yang ditakar, untuk mendapatkan kopi yang dimaui. Bukan seperti minum kopi saset instan, yang tinggal sobek (bungkusnya) lalu tambahkan air panas. Voila, inilah kopi cappuccino instan yang sudah seperempat gelas aku seruput.



-yuda thant-




"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.“