Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Mei 2019

Membaca Guru yang Terdidik

Empat tahun terakhir bergerak di dunia literasi, membuka mata dan otak ini bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan. Termasuk perbaikan pada diri sendiri. 

Salah satu cita-cita terdalam yang mengendap di benak ini adalah menjadi pendidik, bukan sekadar pengajar atau guru. Ini pula yang menjadi alasan kuat kepindahan dari pekerjaan pertama menuju pekerjaan yang kedua. Persiapan pun dilakukan demi mencapai hasrat itu. Sekolah selama dua tahun kelar, saatnya melangkah menuju tujuan utama tersebut. 

Sayangnya, nasib berkata lain. Hanya tinggal satu tahapan langkah lagi, di ujung akhir tes aku tergoda memilih menjadi praktisi pendidikan, alih-alih akademisi yang diinginkan. Sepertinya, terjun di lapangan lebih menantang ketimbang duduk dan berdiri di dalam kelas. Alhasil, dalam hitungan jam aku banting setir, dari kanan menuju ke kiri. 

Yah..., beras sudah menjadi bubur, aku pun terjun menjadi praktisi pendidikan, khususnya literasi bagi anak-anak. Ternyata, berbelok ke arah berbeda ini lebih menantang dan banyak kejutan yang tak kita bayangkan sebelumnya. Pengalaman, praktik lapangan, hingga knowledge yang hanya aku baca di buku, dapat aku lihat dan lakukan secara nyata. Bahkan, memberikan dampak yang tampak, meski hanya baru sebagian kecil abu. 

Tidak hanya satu subjek yang aku hadapi, melainkan subjek dari bawah atau penerima manfaat, hingga subjek yang duduk sebagai pengambil keputusan. Akibatnya, aku benar-benar belajar untuk mengolah diri menghadapi sekaligus me-manage orang yang berbeda status dan karakter sosialnya. Lagi-lagi, mungkin saja tidak aku dapatkan jika aku berbelok ke kanan, menjadi pendidik atau dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. 

Bicara soal subjek yang menjadi sasaran pekerjaanku, bocah-bocah siswa sekolah dasar, ternyata sangat mengasyikkan bekerja dengan mereka. Sebab, mereka tidak banyak punya kepentingan dan punya banyak harapan. Tidak seperti (maaf) orang dewasa yang punya sejuta agenda kepetingan serta napsu tersembunyi dalam melakukan sesuatu. Selaku merasa bahagia saat bekerja dan bermain bersama bocah-bocah ini. "Siapa yang mau bermain games?" sontak mereka pun menyahutt kompak "sayaaaa...." Saat permainan usai, mereka minta bermain yang lain lagi. Tuh, sungguh asyik kan, aku  lebih banyak bermainnya dari pada bekerja saat di lapangan. 


Siapa bilang anak-anak tidak suka membaca? 


Salah satu target dalam pekerjaanku yang terakhir adalah menumbuhkan kebiasaan membaca pada anak-anak. Bukan hanya minat, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Lho..., beda ya antara minat dan kebiasaan. Jelas beda dong sayang. Minat, dalam konteks perilaku, itu barulah sebatas keinginan atau niat terhadap sesuatu yang diinginkan (dipikirkan) dan nanti akan menjadi dorongannya bertindak. Sedangkan kebiasaan adalah sikap yang sudah dilakukan atau tindakan yang perbuat, bahkan telah menjadi rutinitas hidupnya.

Contoh gampangnya: Aku sejak tadi pagi berminat (niat) pergi ke toko buku untuk membeli satu buku yang sudah aku incar. Niat itu sangat kuat, sebab sebulan lebih aku tidak baca buku (selain) buku yang terkait pekerjaan. Namun sayangnya, hingga malam menjelang dan kantuk menyapa, aku tak kunjung berangkat ke toko buku. Sementara kebiasaan, adalah rutinitas yang hal yang harus dilakukan, jika tidak akan merasa ada sesuatu yang "hilang" atau "kurang," bahkan merasa bersalah karena tidak melakukannya. 

Well, kembali ke topik semula yuk! Menumbuhkan kebiasaan membaca anak, menurut para guru-guru di sekolah adalah hal yang susah. Sebab, anak-anak tidak suka membaca buku; anak-anak malas jika disuruh membaca; anak-anak lebih suka bermain ketimbang membaca. Begitulah alasan para guru di sekolah. Aku merasa tidak percaya dengan pendapat mereka. Mungkin anak-anak butuh pemicu untuk mau, suka, dan minat membaca. Dan tidak bermaksud menyudutkan bapak-ibu guru, mungkin saja mereka kurang kreatif mendorong dan menarik minat siswanya mau membaca. 

Selama di lapangan, hipotesis kecil itu pun terbukti. Anak-anak ternyata sangat suka dan punya minat membaca. Bahkan, mereka dengan antusiasnya mencari buku-buku baru yang bisa mereka baca sendiri maupun bersama teman dan saudaranya. Ini semua bergantung bagaimana sekolah, terutama guru menstimulus siswa-siswinya membaca. Selanjutnya, siswa akan mengembangkan dirinya lebih sering dan suka membaca, sehingga terbentuk kebiasaan, meski intensitas tiap anak tersebut berbeda-beda. 




Membaca bukan berarti bisa mengeja, merangkai suku kata, dan mengucapkan teks kata-kalimat dengan benar dan cepat. Membaca juga mencakup unsur memahami dan menyenangkan. Percuma saja jika seorang bocah bisa mengeja dan merangkai kata menjadi kalimat, tetapi tidak memahami arti dan konteks kata-kalimat yang dibacanya. Bahkan lebih parah jika si bocah merasa tidak suka atau enjoy (nyaman) dengan kegiatan membaca yang dilakukannya. Maka, membaca juga butuh perasaan senang agar teks yang dibacanya lebih gampang dikuasai dan dimengerti. 

Anak-anak butuh buku yang tepat untuk dibaca. Setiap anak dan jenjang kelas memerlukan buku yang tidak sama. Bagi siswa yang baru masuk sekolah dan baru belajar membaca tentunya butuh buku yang sederhana secara bahasa, konten, konteks, dan literaturnya. Jika mereka sudah dijejali dengan buku yang "susah" karena menggunakan kata dan bahasa yang sulit dieja dan dipahami, bahkan konteks yang dibahas jauh pun rumit, akan membuatnya merasa kesulitan. Ujung-ujungnya siswa menjadi malas dan enggan sebab mereka menganggap membaca itu tugas yang berat dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu, secara bertahap siswa diberikan buku-buku sesuai kemampuannya membaca dan topik-topik yang disukainya. Saat ini, kecenderungannya, sekolah hanya menyediakan buku tanpa melihat dan memahami kemampuan dan kebutuhan anak didiknya. 

Suasana dan ruangan membaca yang nyaman, dalam hal ini rapi, bersih, santai, relaks, dan tidak ada tekanan, akan membuat siswa betah membaca buku. Percuma saja ada setumpuk buku tetapi tidak ada tempat yang nyaman bagi mereka membaca. Demikian pula tidak tersedia waktu khusus bagi mereka membaca, baik di sekolah dan di rumah. Siswa disibukkan dengan tugas belajar dan pekerjaan rumah yang membuatnya jenuh dan terbebani. Lagi-lagi tidak menyenangkan. Memang sekarang ini Kemendikbud telah menggalakkan gerakan literasi sekolah (GLS) dengan membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun, efektivitas kegiatan ini masih terasa kurang. Sebab, siswa "dipaksakan" membaca buku di dalam kelas. Padahal, suasana yang terbangun di kelas adalah belajar, bukan membaca yang menyenangkan. 


Kreativitas guru pun menentukan bagaimana siswa akan menyukai membaca. Sistem pendidikan di Indonesia kebanyakan belum mendukung siswa dan guru berpikir kreatif. Sebab, membaca dianggap hanya sebagai keterampilan yang wajib dikuasi, bukan sebagai kegiatan yang mampu menumbuhkan daya pikir dan kreativitas siswa. Akibatnya membaca menjadi kegiatan monoton dan membosankan. Guru umumnya juga tidak atau belum mengetahui cara membaca yang baik, sehingga tidak mampu mencontohkan dengan tepat kepada siswanya. Padahal, dengan membaca buku penuh ekspresi dan aksi, diyakini bahkan sudah terbukti, membuat siswa berminat pada kegiatan membaca. Salah satu bentuknya adalah membaca lantang (reading aloud), yang mirip mendongeng, tapi metodenya tidak sama lho. 


Satu hal yang tidak kalah penting, malah sangat penting, adalah modelling dari guru-guru di sekolah. Guru perlu memberikan tauladan dan contoh bahwa membaca adalah sebuah kebiasaan dan kegiatan yang menyenangkan. Hasil survei yang sempat aku lakukan, hanya 2-3 guru dari 10 guru yang suka ataupun aktif membaca buku (selain buku pelajaran dan modul mengajar) setiap hari. Sisanya, tidak pernah atau jarang membaca. Alasannya, terlalu sibuk mengajar, menyiapkan dan menyelesaikan materi pelajaran yang harus dituntaskan setiap semesternya, diribetkan dengan urusan administrasi dan lomba-lomba yang harus diikuti sekolah. Guru super sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk membaca sedetik pun saat di sekolah. Kasihan! 

Terpenuhinya semua hal di atas, sepertinya akan membuat siswa lebih antusias membaca. Mereka tidak akan lagi mengangap membaca adalah tugas menyulitkan dan membosankan. Semua bergantung bagaimana kreativitas kita sebagai pendidik mengarahkan dan membimbing mereka mencintai buku dan membaca. 


Pendidik yang terdidik 
Di hari yang bahagia bagi guru ini, saya hanya ingin sedikit berbagi dengan rekan-rekan pendidik yang berjuang di lapangan. Masalah mereka, baik di dalam dan luar sekolah, sudah menumpuk. Tidak perlu ditambah lagi dengan masalah-masalah lain yang membebani. Guru sepatutnya menjadi pendidik yang berbahagia agar siswa-siswi yang didiknya pun menjadi pribadi-pribadi yang bahagia. 

Seperti disebutkan tadi bahwa guru perlu memberikan contoh yang baik kepada siswanya, salah satunya dengan kebiasaan membaca. Manfaat membaca bagi guru tentu besar sekali. Pengetahuan dan wawasan yang menyangkut langsung maupun tidak langsung pada materi pengajaran pastilah akan meningkat, dibandingkan jika tidak membaca. Dengan membaca, guru akan terus belajar dan terdidik. Sebab, mengajar bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga mendidik karakter dan memberi pengalaman hidup kepada siswanya. 

Pemahaman angka akadimik dan prestasi pelajaran, sebaiknya perlu dikikis dalam pola pikir (mind set) para guru kita. Sebab, umumnya mereka masih terjebak pada hasil, bukanya menikmati proses pembelajaran yang terjadi. Akibatnya, siswa dituntut memiliki nilai tinggi di setiap pelajaran, tanpa memerhatikan kesulitan dan minat yang disukai siswa tersebut. Hal yang sering juga dilupakan oleh guru adalah "mengajar itu menyenangkan." Para guru hanya mengajar demi memenuhi tanggung jawab kurikulum, menyelesaikan kewajiban membuat siswa memunyai nilai matematika dan IPA yang tinggi di raport, bahkan demi periuk nasi di rumah. Padahal, mengajar akan membuahkan hasil yang manis jika didasari perasaan suka dan senang. 



Pak dan Bu Guru, semoga celotehan mantan siswamu ini tidak membuatmu sakit hati atau bilang "Uhh.., sok tahu!" Saya cuman menuliskan apa yang telah sekelumit saya lewati dan akan terus saya jalani, berusaha menjadi pendidik yang baik. 


Salam Pendidikan. 
-- @yudathant -- 

Kamis, 17 Agustus 2017

Merdekalah Cita-cita!

Langit masih gelap saat pagar rumah aku rapatkan. Satu dua bintang masih bersinar di sudut-sudut langit kala aku meninggalkan komplek perumahan. Dingin pagi menyambut saat motor mulai aku pacu dengan kecepatan 70 km/jam dari Jakarta Barat menuju Jakarta Timur, Pulogadung. 

Pukul 05.15, aku sudah berada di tengah jalan ibu kota. Biasanya, jam segini aku masih meringkuk di balik selimut. Namun, pagi ini, dalam waktu satu jam aku harus tiba di sekolah yang berada di belakang Terminal Pulogadung. Kupacu lebih cepat lagi motorku, beradu cepat dengan pekerja-pekerja lain yang sudah mengawali harinya mungkin lebih dini ketimbang aku. 

"Kalian di mana? Aku sudah di dekat sekolah. Tempat parkir motor di mana ya?" pesan singkat aku ketik dan kirim di grup Kelas Inspirasi Jakarta 29. Dalam sepuluh detik tak ada jawaban, aku pun bawa motor ini masuk ke gang-gang kecil menuju sekolah SDN Pulogadung 01 Pagi. 

Puluhan anak berbaju pramuka tampak sudah memenuhi sekolahnya. Orang tua sibuk mengantar anak-anaknya dari balik pagar dan tembok sekolah. Suara teriak dan tawa anak-anak bergemuruh di semua sudut sekolah. Para guru pun berlalu lalang menyiapkan lapangan yang akan digunakan upacara. 

"Yang lain mana mbak?" tanya aku kepada Mbak Yanti, fasilitator KIJ-29. "Sebentar lagi sampai, masih dalam perjalanan. Ayo masuk aja ke ruang guru, kita bertemu dengan kepala sekolahnya," ajak Mbak Yanti. 

Satu per satu teman-teman inspirator pun berdatangan. Wajah mereka ceria dan bersemangat. Mereka masing-masing datang membawa bekal media peraga untuk memberikan inspirasi kepada siswa-siswi sekolah ini. Gulungan karton warna-warni, tas berisi alat-alat farmasi, laptop, proyektor dan alat peraga pun disiapkan. Semua sudah siap tempur. 

Sebenarnya mau apa kami di sini? Pagi-pagi sudah sibuk di sekolah. Sibuk membawa alat media peraga. Sibuk berlatih gerakan dan tepuk-tepuk yang beragam. Sibuk mendiskusikan skenario saat ada di kelas. 

Kami adalah bagian dari Kelas Inspirasi Jakarta, sebuah gerakan dan komunitas sukarela yang dibentuk untuk menumbuhkan semangat dan cita-cita anak-anak Indonesia. Membangun mimpi dan harapan bahwa anak-anak Indonesia punya masa depan yang cerah, secerah apa yang kami mampu capai dalam berkarya dan bekerja di bidangnya masing-masing. Di Jakarta, tahun ini, ada sekitar 40 kelompok yang terjun ke sekolah-sekolah di hari yang sama ini, Senin, 14 Agustus 2017. 


Kami tak saling kenal. Kami pun tak saling tahu sebelumnya. Mungkin hanya 4-5 orang saja yang sudah saling mengenal sebelumnya melalui kegiatan yang serupa. Kami datang dari latar pekerjaan yang beragam. Mulai dari dokter, auditor, tenaga pemasaran, teknisi industri otomotif, pekerja media, pustakawan, apoteker, humas, bahkan terapis anak-anak berkebutuhan khusus. Kami masing-masing memiliki keunikan dan cerita yang bermacam-macam. 

Namun, kami berangkat dengan tujuan yang sama, yakni menginspirasi anak-anak bahwa mereka mampu menjadi seperti apa yang kami capai. Bahwa mereka bisa mengejar mimpi dan cita-citanya setinggi apa yang mereka mau. Meyakinkan bahwa masa depan mereka sebesar kami jika mereka mau bercita-cita dan bekerja keras menggapainya.  

Kami di sini hanya ingin mengajak mereka untuk merdeka memilih cita-cita. Memandu mereka merdeka memimpikan pekerjaan yang ingin dicapai. Menantang mereka merdeka menjawab masa depannya. sebab, mereka punya hak untuk merdeka menentukan masa depannya. Semerdeka mereka tertawa, berteriak, bernyanyi, melompat, dan bermain.  

Meski terlambat dari jadwal yang telah disusun, kami masuk ke kelas masing-masing sesuai rencana. "Nanti tidak ada kelas kedua. Setelah kelas pertama, siswa langsung pulang. Sebelum pulang, mereka di bawa ke pohon cita-cita menempelkan cita-citanya di sana," jelas Andika, ketua kelompok 29

Di kelas, pertunjukkan pun di mulai. Aku satu kelompok dengan Ve dan Pra. Kami mengenalkan kepada adik-adik di kelas bahwa kami bertiga adalah sahabat sewaktu di sekolah. Kami punya hobi dan pekerjaan yang berbeda-beda, tapi tetap saling berhubungan dan saling membutuhkan. 

Untuk mencairkan suasana, kami pun mengawali perkenalan dengan bermain "tupai pemburu." Keceriaan tersemburat di wajah anak-anak saat mereka harus berlari mencari pohon baru. Dan kami pun berkeringat juga ngos-ngosan. Tapi kami senang. Selanjutnya, satu per satu kami mengenalkan siapa dan apa pekerjaan kami sehari-hari. 

Sering kali, cukup sulit menjelaskan apa pekerjaan kami jika pekerjaan itu tidak familiar terdengar di telinga anak-anak. Umumnya, mereka hanya mengenal dokter, polisi, tentara, insinyur, guru, atau pemain bola. Tidak banyak yang tahu apa itu pekerjaan analis, auditor, terapis, IT security, koordinator program, konsultan, atau media planner. Alhasil, pelan-pelan kami mencoba menjelaskan apa yang kami kerjakan dengan cara sederhana dan memakai alat bantu. Untuk lebih mudah, kami pun bermain peran. Mengajak mereka berlaku seperti pekerjaan yang kami lakukan setiap hari. 


Keceriaan berlanjut hingga sore.  Kami bermain dan bergembira bersama anak-anak. Tawa dan canda pun menyeruak di tiap kelas. Kelakuan anak-anak yang lucu dan bahkan "ganjil" mewarnai pengalaman kami di kelas. Dari cerita teman-teman, ada yang mendapatkan ciuman hangat dari anak-anak, ada yang dipukul tangannya karena si anak memang suka memukul, ada yang harus dipeluk supaya diam dan mau duduk mendengarkan penjelasan, bahkan banyak yang menjadi idola baru siswi-siswi di sekolah tersebut. 


Banyak cerita di tiap kelas, sebelum akhirnya siswa-siswi itu menempelkan stiker bertuliskan mimpi dan cita-citanya di selembar spanduk bergambar balon udara yang kami sebut pohon cita-cita. "Aku mau jadi pemain bola seperti (Cristiano) Ronaldo," ujar seorang anak. "Kalau saya mau jadi pelukis, boleh kan kak?" tanya seorang anak lainnya. "Saya mau jadi insinyur. tulisan insinyur yang benar seperti apa kak?' tanya siswi penuh semangat. 

Silakan tuliskan cita-citamu adik-adikku. Tuliskan apa saja yang kamu suka, apa yang kamu inginkan. Satu, dua, atau tiga cita-cita, bebas, tulislah di kertas itu. Lalu terbangkan bersama balon udara. Terbang tinggi, setinggi mimpi dan cita-cita yang kau angankan. 


Jangan pernah takut bermimpi. 
Jangan pernah gentar bercita-cita. 
Jangan pernah ragu untuk mengerjanya. 
Jangan pernah lupa bahwa kau merdeka untuk bercita-cita. 

- @yudathant - 

Selasa, 18 November 2014

Sehat itu Hak Semua Orang

Semua orang berhak mendapatkan keadilan, termasuk dalam hal kesehatan. Sebab, sehat adalah salah satu bagian dari hak asazi manusia. Sepertinya, hal inilah yang coba diangkat menjadi isu utama rencana kerja oleh Bu Nila Moeloek, selaku Menteri Kesehatan dalam Kabinet Kerja, yang tertuang dalam artikel Kompas (Sabtu, 15 Novermber 2014) halaman 14.  

Bu Menteri, menyatakan bahwa 96,7 juta penduduk di Indonesia membutuhkan jaminan kesehatan atas dasar ketidakberdayaan mereka mengakses pelayanan kesehatan dasar. Namun, 10,3 juta dari penduduk itu belum sama sekali belum terjamin oleh bantuan jaminan kesehatan. Padahal, sebagai warga negara, mereka berhak mendapatkan hak yang sama dengan orang yang mampu mengakses pelayanan kesehatan.

Karena miskin, sakit mereka semakin parah. Karena daerahnya terpencil, tidak ada tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai. Karena biaya obat mahal, mereka memilih membeli obat sembarangan. Karena pelayanan di puskesmas sekadarnya, mereka memilih ke rumah sakit, meski tidak punya duit untuk berobat. Karena anggaran untuk kesehatan dari pemerintah daerah minim, pengadaan obat dan fasilitas kesehatan terbatas. Karena mereka tidak tahu, sehingga lingkungan yang kotor dan kebiasaan hidup yang buruk tetap dipelihara.

Masalah kesehatan tidak bisa dilihat dari satu sisi, atau harus dilihat secara keseluruhan. Sebab, kesehatan dalam bahasa Inggris adalah health, yang dalam Bahasa Inggris Kuno health mengacu pada kata “whole” yaitu seluruhnya. Sehingga, tak salah jika kesehatan dilihat sebagai suatu entitas yang “holistik.”

Benar kata Bu Menteri, bahwa kesehatan itu nggak bisa berdiri sendiri. Kesehatan harus dilihat dari berbagai segi. Sehat bukan berarti badan itu tidak sakit dan tidak ada luka. Tetapi sehat itu berarti juga kondisi mental (jiwa) kita tidak mengalami gangguan, bahkan hidup sejahera secara sosial dan ekonomi. Statement ini sesuai dengan definisi sehat dari World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahka kesehatan bukan semata-mata tidak adanya penyakit maupun kecacadan pada tubuh.


Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kesehatan juga tidak bisa dilihat hanya dai satu kaca mata kesehatan (medis). Masalah itu harus dicermati, diterawang, bahkan ditelusuri dari beragam kaca mata dan bingkai, seperti kaca mata ekonomi, sosiologi, budaya, bingkai teknologi dan informasi, gender, transportasi, lingkungan, dan bingkai-bingkai lainnya.  Sebab, belum tentu problematika kesehatan itu bermuara di masalah medis seseorang.

Banyak determinan sosial yang memicu teradinya masalah kesehatan. Mulai dari masalah tidak adanya tenaga kesehatan di puskesmas terpencil, pengangguran, kemiskinan, lansia, kenaikan BBM, jalan desa yang buruk, tidak ada MCK, tidak tersedia air bersih, hingga luapan lumpur gas pun bisa menimbulkan sakit dan penyakit.  Jadi, masalah kesehatan bukanlah masalah gampang yang bisa diselesaikan satu pihak. Kesehatan harus melibatkan banyak pihak, banyak prespektif, dan banyak usaha yang berkelanjutan. 

Mencegah Lebih Baik
Bu Menteri juga menekankan, keadilan kesehatan tidak mungkin terwujud jika pengentasannya hanya terpusat pada upaya kuratif atau pengobatan pasien. Problema kesehatan harus mulai ditangani sebelum masyarakat sakit, yakni dengan upaya promotif dan preventif (pencegahan).

Jika kita berandai-andai. Berapa miliaran rupiah anggaran yang digelotorkan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruh penduduk sehat? Jawabannya sangat banyak dan tidak mungkin. Sebab, konsep sehat pada masyarakat saat ini masih konsep lama, yakni tidak sakit. jika sakit maka diobati. Isu kesehatan bukan prioritas dalam hidup. Sehat dan sakit dilihat sebagai dampak, bukan sebab. Konsep ini yang masih terbenam dalam otak dan sikap kita, yang sebenarnya harus diubah.


Konsep sehat yang tepat adalah preventif dan promotif, bukan kuratif dan rehabilitatif. Promotif adalah meningkatkan kualitas kesehatan, sedangkan preventif mencegah tubuh menderita akibat gangguan kesehatan. Sehat tidak lagi mengobati, tapi mencegah. Sebab, mencegah sakit berarti penghematan dan keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Tidak sakit berarti kita tidak perlu mengeluarkan biaya mahal berobat; tidak kehilangan waktu bekerja dan upah kerja; tidak kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan; tidak kehilangan waktu bersama keluarga; dan tidak menderita akibat penyakit. Sehat berarti kita dapat hidup dengan tenang, bekerja dengan lancar, menikmati liburan dengan nyaman, menabung dan hidup sejahtera.

Biarkan urusan kuratif dan rehabilitatif menjadi tanggung jawab pemerintah (seperti kartu sehat dan jamkesmas). Namun, prefentif dan promotif harus menjadi tanggung jawab kita sebagai individu dan bagian dari anggota masyarakat. Konsep promotif dan preventif dapat dilakukan dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu dalam rumah tangga dan diri sendiri. Mulai dengan membiasakan gaya hidup sehat (tidak merokok, tidak minum miras, dan tidak seks bebas), olah raga teratur, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dan cuci tangan pakai sabun. Perilaku hidup sehat di lingkungan sosial juga harus ditingkatkan seperti tidak membuang sampah sembarangan, buang hajat di WC, menanam pohon, olah raga bersama, hingga mendaur ulang sampah. Semua itu adalah langkah preventif dan promotif agar kita sehat, baik fisik, mental, dan sosio-ekonomi.

Wujud hasil dari perilaku preventif dan promotif memang tidak langsung terlihat. Berbeda 180 derajat dengan perilaku kuratif, yang ces pleng dan bim salabim akan terlihat. Butuh proses agar perilaku preventif-promotif ini mempertontonkan hasilnya. Misalnya, dengan menanam pohon, butuh 5-10 tahun akan terlihat perubahan kualitas udara di suatu kota. Udara menjadi lebih bersih, pencemaran menurun, risiko warga mengalami gangguan sakit ISPA berkurang. Preventif ini gampangnya seperti pemberian vaksinasi pada tubuh sewaktu kita bayi. Jika tubuh diberikan vaksinasi untuk meningkatkan imunitas tubuh, maka risiko menderita suatu penyakit tertentu akan lebih rendah.

Sehat memang hak setiap orang, tapi sehat juga tanggung jawab semua orang, tanpa terkecuali. Kita berkewajiban menjaga dan mempertahankan kesehatan diri kita sendiri, kesehatan keluarga, hingga kesehatan lingkungan tempat kita hidup. Mulailah dengan mencegah agar tidak sakit; mencegah agar tidak rentan terkena penyakit; mencegah tidak tertular maupun menularkan penyakit; dan mencegah melakukan tindakan yang berisiko menimbulkan sakit. Mulailah pula mempertahankan stamina tubuh agar makin kebal terhadap serangan mendadak si biang sakit. Memang tidak mudah, tapi itu bisa dilakukan. 

Tampaknya, tugas Bu Menteri nggak gampang. Sebab yang diajak berubah untuk berpikir hidup sehat bukan hanya para petugas kesehatan, tetapi semua penduduk Indonesia, demi mencapai derajat kehidupan dan status kesehatan bangsa yang berkualitas. 

@yudathant


Minggu, 20 Juli 2014

Chang Chang Chang - Part 2

“Start from Mun River and Finish on Chao Phraya River”


(Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”)

   Thailand merupakan destinasi terpadat di kawasan Asia. Thailand juga menjadi tujuan paling populer nomor dua, setelah Singapura, bagi pelancong-pelancong asal Indonesia. Tak heran jika penerbangan dari Indonesia ke Thailand selalu ramai. Sayangnya, sejak Mei Juni lalu, penerbangan dari Surabaya ke Bangkok, di-suspended, sehingga kalo sekarang mau ke Bangkok ya terpaksa lewat Jakarta. Dulu, selain Air Asia, ada Tiger, yang membawa penumpang dari Surabaya ke Bangkok. Sialnya juga, maskapai Tiger juga melakukan hal yang sama seperti Air Asia. 

   Biasanya, Air Asia sering memberikan tarif promo pada periode tertentu. Namun, harga normal  sekitar Rp 800.000, tapi kalo balik harganya lebih mahal, sekitar Rp 1 juta. Untuk biaya hidup di Thailand terbilang murah, hampir sama seperti biaya hidup di Jakarta atau Surabaya. 1 Bath sekitar Rp 250. Demikian juga dengan biaya hotel, ada yang terjangkau kok, sesuai kantong backpacker. Mulai dari Rp 300.000 per malam juga ada. Biaya bus atau kereta cepat juga terjangkau, sekali jalan gak sampe Rp 10.000. Jadi, kalo dihitung-hitung, bawa bekal Rp 1,5 juta saja udah bisa kok berwisata 2 hari di Bangkok dan sekitarnya.

   Karena kali ini aku adalah tamu undangan, jadi aku gak terlalu mikirin biaya akomodasi, hehehe...

   Setelah rentetan kegiatan akademis, akhirnya dr. Tuk mulai membawa kami berwisata ke sebuah kedai makan terapung di Sungai Mun (Mun River). Di sepanjang sungai berair coklat ini, terdapat beberapa restoran dan kedai makan yang dibangun di tepian atau di tengah sungai. Pengunjung bisa makan sambil main air atau berenang di sungai. Duduk santai menikmati angin yang berembus di bawah teriknya matahari, menyantap berbagai menu ikan dan serangga yang dibumbui sangat menyengat. Dan yang jelas enak, hehehe...

   Sebenarnya, area food court semacam ini isa saja dibangun di Sungai Bengawan Solo atau Sungai Berantas yang membentang di Pulau Jawa. Namun sayang, belum banyak pengusaha dan pemda yang mengembangkan potensi daerahnya menjadi obyek wisata yang layak didatangi. Lokasi Mun River mungkin hampir sama seperti di Indonesia, tetapi kualitas pelayan pengelola wisata di Thailand sangat diacungi jempol. Bersih dan nyaman, itu kuncinya. Bersih karena minim sampah. Nyaman karena tak ada pedagang kaki lima atau pengemis yang berkeliaran di lokasi wisata.

   Sehari sebelumnya, dr.Tuk menjamu kami di sebuah restoran rumahan, Moan Restaurant. Di restoran yang bentuknya seperti rumah, bahkan ruang makannya benar-benar seperti ruang makan di sebuah rumah yang sederhana, ini menyuguhkan menu makanan ikan dan udang.  Malamnya, setelah dari Mun River, dr.Tuk mengajak kami camping di salah satu taman nasional yang terkenal di Ubon, yaitu Phuchong Nayoi National Park. Perjalanan kami tempuh selama 3 jam, dari kota Ubon menuju ke taman nasional. Taman seluas 686 km2, merupakan salah satu taman nasional yang berbatasan dengan negara Kamboja.

  Bersama delapan mahasiswa dan juga suaminya, dr.Tuk menyiapkan barbeque party untuk kami. Mantab man..!!! Bakar-bakar daging di tengah hutan, ala-ala camping gitu deh. Kebetulan pula malam itu bulan berwajah bundar dan bersinar terang. Semalaman kami membakar ikan, udang, cumi, dan daging sapi untuk pesta makan malam. Kekenyangan dan perut sampai kepenuhan, itu yang terjadi. “Perutku dah gak muat lagi Mas,” kata Dian sambil mengelus perutnya yang membuncit kekenyangan.

  Di Nayoi, terdapat sebuah air terjun yang sangat indah. Tapi sayang, karena kami berkunjung pada musim kemarau, debit air terjun sangat kecil, sehingga keindahannya tidak mencuat. Kami harus menuruni ratusan anak tangga untuk mencapai dasar air terjun yang berpasir putih. Menurut salah seorang mahasiswi dr.Tuk, ada kebiasaan orang Ubon menyanggah atau memberdirikan ranting pohon diantara batuan besar atau tebing. Mereka percaya, dengan meletakkan ranting itu, suatu saat mereka akan datang kembali ke tempat yang dianggap indah dan menarik tersebut.  

  Perjalanan kami lanjutkan ke sebuah desa. Melihat kehidupan petani di Thailand. Kami juga mendatangi sebuah pasar desa (village market). Hal yang menarik di sana adalah, petani di Thailand hidup lebih sejahtera dibandingkan petani di Indonesia. Apa indikatornya? Pertama, hampir semua petani di sana punya mesin traktor dan mobil untuk mengangkut hasil taninya. Mobilnya pun bukan mobil pick-up yang butut, tapi mobil dobel gardan yang di Indonesia boleh dibilang mobil mewah.

Coba lihat foto pedagang di pasar desa, di belakangnya terparkir mobil mereka. Dan mereka adalah petani yang menjual hasil buminya. Kedua, ternyata gaya hidup petani di Thailand tidak konsumtif, berlagak ala “borjuis” atau belanja barang mewah yang tak penting. Hampir tidak ada terlihat petani dan konsumen yang belanja di pasar memakai perhiasan mewah, baju bagus, dan dandanan menor. Semuanya serba sederhana. Ini sepertinya yang membedakan dengan petani di desa-desa di Indonesia, yang bergaya dan menirukan pola hidup bak masyarakat metropolis.

Mekong River
  Lepas dari pasar tersebut, kami diantar dr.Tuk ke sisi timur Ubon, menuju sebuah cottage tepi sungai. Cottage ini terletak di tebing Sungai Mekong, sungai yang memisahkan Thailand dengan Laos. Kami tiba saat bulan purnama mulai duduk di singgasananya. Di seberang sungai, terlihat titik-titik api yang menyala. “Musim (kemarau) seperti ini memang sering terjadi kebakaran alang-alang. Tapi, itu bukan masalah,” ujar dr.Tuk. Keindahan dan pesona cottage di sisi Sungai Mekong ini baru bisa kami nikmati saat pagi hari. “Kalau lihat sungai ini jadi ingat film Rambo. Kan di film itu tentara Vietkong atau si Rambo terlihat menyeberangi sungai, persis seperti sungai ini,” kenang Mr Ato.

  Menjelang siang, kami brunch (breakfast ana lunch) di salah satu tepi sungai Mekong yang lain, di daerah Khong Chiam. Lagi-lagi dr Tuk menawari aku makan serangga, dan aku mengiyakan tawaran itu.

  Sebelum makan siang, seorang nelayan mendatangi kami dan menawarkan menyeberang sungai menuju Laos. Hanya dengan 400 Bath, kami ber-15 bisa menyeberang pulang-balik Thailand-Laos dengan kapal kayu bermesin motor. Setelah perut kenyang, kami pun bergegas menuju ke kapal si nelayan. Tak sampai 20 menit, kami pun sudah berada di Laos. Tanpa pasport dan tanpa urusan imigrasi. “Please don’t talk to much while crossing the border,” kata dr.Tuk. Dia berkata begitu agar kami tidak terlihat mencolok seperti turis.

  Penduduk Laos maupun Thailand di sisi Sungai Mekong saling melintas perbatasan negara itu cukup bebas setiap harinya. Tujuannya macam-macam, ada yang berdagang, sekolah, dan menjenguk sanak saudara. Bahasa yang mereka gunakan pun sama. Bahkan, pedagang souvenir di Laos pun menerima pembayarang dengan uang Bath. Sisi kampung di Laos yang kami datangi ini mirip sekali dengan kondisi di Indonesia timur. Gersang dan panas. Jarang sekali tampak warna hijau di sana. Yang terlihat hanya coklat, kuning, dan oranye. Tapi entah mengapa, sepertinya matahari di Laos lebih dari satu, sehingga siang itu kami semua merasa sangat sangat sangat kepanasan.

  Belanja oleh-oleh sudah, menginjak kaki di Laos juga sudah, maka kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kuil yang terletak di tepian Sungai Mekong. Di kuil ini kami melihat deretan patung Budha. Ada patung Budha dengan berbagai pose. Dari tujuh patung yang ditata rapi, tertuliskan tiap patung melambangkan nama hari. “Tiap patung diperuntukkan bagi orang yang lahir pada hari tertentu. Biasanya, orang yang lahir pada hari Jumat, akan berdoa pada patung yang bertuliskan hari Jumat, dan hari-hari lainnya,” jelas dr.Tuk. Karena penasaran, aku pun meminta izin untuk berdoa di patung yang bertuliskan hari kelahiranku. Setelah diizinkan, aku pun berdoa supaya aku selalu dibukakan jalan terbaik oleh Sang Khalik. (#mendadak religius) 

Chao Phraya River
  Bangkok adalah tujuan hari terakhir kami sebelum pulang ke Indonesia. Kami hanya punya waktu sekitar 7 jam di antara waktu transit, sebelum pesawat dari Bangkok terbang ke Surabaya. Kemana tujuan yang paling mudah dan merupakan ikon Thailand. Yap, Sungai Chao Phraya! Sungai sepanjang lebih dari 370 km ini adalah sungai terpenting di Thailand, khususnya Bangkok. Sungai ini adalah salah satu urat nadi kehidupan masyarakat  Bangkok.

  Dari Bandara Don Muaeng, kami menumpang bus lalu lanjut dengan kereta cepat. Kereta ini melintasi pusat kota, termasuk salah satu mall besar di Bangkok. Dari situ kami lanjut lagi dengan kereta cepat, turun di Saphan Taksin, atau dermaga utama wisata Sungai Chao Phraya. Untuk menjelajahi sungai ini kita bisa menggunakan tiket terusan dengan membayar 150 Bath, atau sekitar Rp 45.000. Dengan tiket terursan, kita bisa naik turun di mana saja, yang rupakan lokasi objek wisata. Banyak kuil dan istana indah juga pasar souvenir yang bisa kita kunjungi.

  Lagi-lagi, waktu adalah pembatas paling tegas dalam tiap perjalan. Tidak terasa, sudah pukul 15.00 waktu setempat. Pesawat kami akan berangkat sekitar 4,5 jam lagi, jadi paling tidak kami harus di bandara 2 jam lagi. Padahal, kami baru menikmati Wat Arun, salah satu landmark ikon Bangkok. Kuil ini bernama Arun, karena artinya senja. Sehingga, menikmati kuil ini bagusnya sore hari. Di belakang kuil ini, ada pasar souvenir yang sebagian penjualnya bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, mereka mau menerima uang Rupiah sebagai alat bayarnya. “Ayo..ayo.., baju murah harga murah,” begitu salah satu teriak pedagang menawarkan jualannya kepada pengunjung yang kebanyakan dari Indonesia.


@yudathant 

Chang Chang Chang “The Kingdom of Elephants”

Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”

What is on your mind if I ask you about Thailand?
Jawaban paling cepat yang biasanya keluar dari bibir kita adalah Pattaya, Gajah Putih, Phuket, Sungai Chaupraya, Seks, atau juga Lady Boys. Hehehe... Tapi mas bro and mbak bro, Thailand gak cuman itu doang. Banyak destinasi yang disuguhkan di kerajaan gajah ini, yang sayang sekali jika dilewatkan. Mulai dari alamnya, makanannya, sampai keramah tamahan orang-orangnya yang mungkin melebihi orang Indonesia. Those are what I got when I went to “The White Chang Kingdom” on last March.

The City of Royal Lotus Flower
Horee..., ke Thailand!! Tapi jangan seneng dulu mas bro. Soalnya perjalanan kali ini bukan murni liburan. (langsung deh, wajah ditekuk tiga lapis, hehe..) Trip 8 hari ke “land of elephants” ini berkaitan dengan students exchange. Kebetulan, aku dan dua temanku, Dian dan Hadiyah, mewakili fakultas bertukar pengalaman dengan mahasiswa pascasarjana di Ubon Ratchathani Rajabath University (UBRU) Thailand. Kebetulan juga, fakultas kami sedang melakukan joint research dengan Fakultas Public Health di UBRU.

Tidak hanya kami bertiga yang berangkat, tapi juga dua dosen yang melakukan joint research, yaitu Mr Ato dan Mr Shoim. Mereka berdua nanti akan memberikan kuliah kepada mahasiswa master degree di UBRU. Jadi, mau gak mau harus sedikit jaim, alias jaga image biar gak malu-maluin dosen en kampus. Salah satu agenda kami adalah menghadiri konferensi riset internasional yang dihelat UBRU. Ditambah lagi masih ada a bucket of list agenda dari Ketua Prodi, Ibu Dien, yang harus kami dilakukan selama di sana. Wuiihh.., padet banget sepertinya chiingg!!

Kami terpaksa berangkat dengan waktu dan jadwal penerbangan terpisah. Ini karena paspor Hadiyah belum jadi, sehingga Hadiyah dan Dian harus menyusul dengan flight dan rute yang berbeda. Aku dan dua dosen berangkat naik Air Asia, transit di Bangkok 10 jam, lanjut dengan Air Asia ke Ubon. Sedangkan Dian dan Hadiyah berangkat pada hari yang sama dengan Tiger, transit di Singapore selama 10 jam, transit di Bangkok 7 jam, dan lanjut ke Ubon. Akibatnya, mereka melewatkan agenda di hari pertama.

Dalam bayangan awal, sebelum berangkat, kota tujuan kami akan sama seperti Bangkok; padat dan berisik. Ternyata Ubon tidak seperti itu. Ubon Ratchathani adalah sebuah kota (provinsi) yang tenang, bersih, rapi, dan teratur. Jarang sekali orang membunyikan kelakson saat di jalan raya. Tidak ada orang yang menyeberang jalan sembarangan. semuanya tampak teratur dan rapi. Ubon sendiri adalah provinsi yang berjarak sekitar 700 km ke arah timur laut dari Bangkok. Jika naik pesawat hanya sekitar 1 jam, tapi jika menumpang kereta bisa sekitar 8-10 jam.

Kunjungan kami ke UBRU juga atas undangan dr. Tuk, salah satu dosen yang melakukan joint research dengan Mr Ato dan Mr Shoim. Dulu dia pernah ke Unair, dan kebetulan aku dan Dian sempat jadi liaison officer alias pemandu lapangan yang menemaninya selama sehari mengunjungi Dolly, the biggest red district in Indonesia. Nah, sekarang, dia dan beberapa mahasiswanya yang mendampingi kami sepanjang minggu di Ubon. Oh ya, nama Ubon Ratchathani kalau diartikan adalah the royal city of lotus flower, atau kota praja bunga teratai. Makanya, lambang provinsi ini adalah bunga teratai yang mekar indah di sebuah kolam.

Tiga hari pertama, kami habiskan di kampus dan hotel, lokasi konferensi riset dilangsungkan dan tempat kami menginap. Hotel dengan arsitektur khas Thailand ini adalah hotel milik UBRU. Hotel ini merupakan salah satu aset kampus memeroleh dana untuk menjalankan roda pendidikan di kampus. Selain itu, kalau tidak salah, kampus juga punya lapangan bola dan area camping yang disewakan. Sayangnya, ide entreprenurship semacam ini gak banyak dilakukan oleh  lembaga pendidikan di Indonesia. Kalau begini kan kampus gak perlu khawatir kekurangan duit buat men-support mahasiswa dan dosen-dosennya melakukan riset atau kegiatan-kegiatan adukasi lainnya.

Thai Food
Di dekat hotel, ada semacam gelanggang remaja yang di dalamnya terdapat beberapa kios cendera mata, dan di depannya ada arena food court. Hampir setiap hari kami ke sana, untuk mencoba menu makanan Thailand, yang kami asumsikan halal, seperti mi goreng atau nasi goreng sea food, hehe.. di dekat situ juga ada dua kedai kopi yang enak banget buat nongkrong. Salah satunya adalah kedai kopi "Varisa House" yang dikelola oleh Narm, James, dan Nan, yang terlihat di foto sebelah kanan ini. 

Makanan Thailand sangat kaya bumbu, hampir sama dengan makanan dari Aceh atau Sumatera yang bermain dengan rempah-rempah. Beberapa menu makanan yang sempat kami coba adalah macam-macam  sup, yang biasa disebut “Tom.” Beberapa menunya, adalah “fish salad,” tom sam, dan lan moan. Bahan baku utama ikannya adalah ikan patin atau ikan lele. Jangan bayangin pecel lele yang biasa kamu beli yah. Pengolahan yang apik, membuat daging ikan patin terasa empuk dan saat dikunyah di mulut, semua bumbu terasa bercampur dengan pas. (#waduh, nelan ludah deh jadinya, gara-gara ngebayangin, srrruuppp...)

Thailand juga dikenal dengan menu akstrim, salah satuya adalah menu serangga dan “tetangganya”. Sewaktu menginap di hotel dekat Bandara Don Mueang, pedagang kaki lima menjajakan menu serangga bakar dan goreng yang siap santap sebagai kudapan atau camilan sambil jalan-jalan. Salah satu serangga yang ditawarkan adalah kalajengking, wuih mantab... Sayangnya, gak ada teman buat nyobain menu itu, karena dua dosen tampak ragu untuk mencoba.

Untungnya, menu serangga juga ditawarkan di warung dan restoran. Seingatku, aku dua kali menyantap menu serangga ini. Pertama di tepi Sungai Mun, dan yang kedua di tepi Sungai Mekong. Salah satu menu serangga yang aku santap adalah semut rangrang besar atau disebut "mod daeng". Satu genggam serangga itu disangrai dengan bumbu rempah, lalu ditaburi semacam daun bawang dan cabai hijau. Serangga itu disajikan dalam pincuk daun jati. Dan rasanya, wuueeenaaakk..., aku bahkan bawa satu bungkus untuk dimakan di perjalan (gambar di atas, foto tengah atas), hahaha...

Satu lagi menu favoritku ada ketan mangga atau sticky rice with mango. Mangga yang matang, manis, dan berwana orange dipotong ukuran sedang. Taburi dengan santan kental, lalu disantap bersama dengan ketan putih yang manis. Ketan itu juga direbus dengan sedikit air santan, jadi ada rasa gurih dan manis. Hmm...., mantab deh pokoknya. Bule-bule pun doyan kok menyantap menu ini. Dijamin kalian juga pasti doyan deh...., 100% guaranty.

Sebenarnya masih pengen cobain menu-menu lain yang ekstrem dan gak ada di Indonesia, tapi aku gak ada partner buat coba-cobain. Soalnya semua temen trip kali ini pada “hati-hati” dengan menu yang disantap. Selama di Thailand, kami dibuat kenyang dan puas dengan makanan Thailand yang sangat lezat dan nikmat alias “maknyuss” oleh dr.Tuk. Thank you dr.Tuk  “kha pun khab dr.Tuk”


Lesson Learned
“Menuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Oke karena duit kita masih pas-pasan, jadi ke Thailan aja dulu yah belajarnya, hehehe... Banyak pembelajaran yang bisa aku share selama di negeri gajah putih ini. Di UBRU, penghargaan terhadap ilmu dan pengobatan tradisional begitu diperhatikan. Sampai-sampai, mereka punya satu fakultas khusus pengobatan tradisional. Di situ, mahasiswa belajar tentang berbagai macam bentuk pengobatan, terapi, dan penyembuhan yang berasal dari akar budaya sebagai alternatif pengobatan modern. Mahasiswa juga diajarkan memijat lho, tapi bukan pijat plus-plus. Kalo itu beda area yah..., kapan-kapan aku ceritain yang itu, hehehe...

Mahasiswa juga belajar membuat ramuan dan memproduksinya untuk umum. Salah satunya adalah krim untuk pijat, minyak semacam pelega pernafasan, juga minuman, atau kalo boleh dibilang semacam jamu, yang dikemas lebih modern dan nikmat diminum. Semua aku coba, dan ternyata, seru rasanya. Uniknya, mahasiswa kesehatan masyarakat di UBRU boleh melakukan tindakan medis, sedangkan di Indonesia tidak. 

Mahasiswa di sana sangat disiplin. Mereka juga pakai seragam lho mas bro. Ada guyonan semacam ini. “Jika kamu ingin tahu mereka mahasiswi tingkat berapa,  lihat saja roknya. Kalo rok yang dipake makin pendek, berarti semakin tinggi tingkatan mereka, hehehe...” #mulai deh berburu roknya mbak-mbak mahasiswa yang seliweran di depan kampus ^_^ sambil senyum-senyum sendiri nebak kalo mbak yang dari tadi berdiri di depan ini  pasti bentar lagi lulus kuliah, hehehe... 

Ke sebuah negara tanpa belajar bahasa lokal, itu namanya kamu belum menikmati arti traveling ke luar negeri. Tulisan Thailand emang ruwet, tapi kalo ngomongnya gak susah-susah amat kok. Paling gampang belajar bahasa adalah dimulai dari belajar angka. "ne song sam..." artinya 1,2,3. Kalimat itu pasti diucapkan kalo mau motret seseorang, jadi lama-lama hapal juga. Pengucapan angka lima adalah "ha" sehingga dalam kalimat sms atau FB, biasanya untuk mengungkapkan pernyataan tertawa, cukup ditulis dengan angka 5 sebanyak 3x. (555 = hahaha...).

Belajar bahasa Thai juga bisa lewat lagu. Dengan senang hati, dr.Tuk mengajari kami lagu Thai yang terkanal, yaitu lagu anak-anak tentang Gajah. ohh...tidaakk...!! Tapi, it's oke, mungkin lavel bahasa Thai kami yang masih 0 besar, makanya kami diajirin lagu anak-anak, hehehe.. "Chang..chang..chang..." begitulah dr.Tuk mulai menyanyi. Chang itu artinya gajah lho. Berikut beberapa kata sederhana yang mungkin bermanfaat. 
mai artinya tidak;                             chai artinya iya, 
di artinya baik/bagus;                        mai dii artinya jelek 
sway artinya cantik                          loh artinya tampan
(dek) puying artinya perempuan         (dek) pushai artinya laki-laki 

Oh ya, ada perbedaan di akhir kalimat jika yang mengucapkan itu adalah laki-laki atau perempuan. kalo perempuan berakhiran "ka" sedangkan laki-laki berakhiran "kap." Misalnya, sawadhikap.. (kalimat itu aku - karena laki-laki - ucapkan untuk memberi salam kepada orang lain). Yang buat aku heran, ternyata tone suara orang Thai itu sengau semua, hehehe... jadi kalo ngomong cuaranya "cempreng" gak ada yang nge-bas kayak mas bro Sandhy Sandoro. 

Di luar kampus, masyarakat di Ubon juga sangat tertib dan peduli kesehatan. Sangat jarang sampah berserakan di jalan. Orang sepertinya malu buang sampah sembarangan. Di pasar tradisional juga demikian. Gak ada yang namanya sampah itu “telecekan” alias berceceran di mana-mana. Pedagang sudah memilah sampah-sampah mereka, dan menempatkan pada tempat sampah yang diharuskan. Jadinya, pasar itu bersih dan nyaman buat belanja. Hmmm...., seandainya semua pasar tradisional di negara kita seperti itu yah...!



Pada malam terakhir acara konferensi, panitia menggelar semacam acara pentas seni keakraban. Tuan rumah menyuguhkan tarian dan lagu-lagu tradisional yang biasa mereka pentaskan pada acara bahagia, panen raya, atau ritual bahagia lainnya. Tarian Thailand, sekilas tidak serumit tarian tradisional di Indonesia. Tidak banyak gerak tangan, kaki, pinggul, kepala, atau bahu yang sulit dilakukan oleh pemula. Gerakannya simple, tidak rumit, dan mudah diikuti. Jadi begitu lihat, pasti bisa deh. 


@yudathant

note: Tulisan berikutnya, aku bakal jelasin soal sisi wisata lain di Thailand. Lanjut yah bacanya di next story.

Minggu, 05 Mei 2013

Istri Raja dan Istri Petani

Konon, di suatu masa, hidup seorang raja bersama istrinya yang terkenal rajin. Mereka berdua suka terjun melihat langsung kondisi rakyatnya. Saat tiba di deretan gubuk petani miskin, mereke berdua sedih melihat kondisi tersebut. Raja berujar iba pada nasib mereka, “setekun apa pun mereke bekerja, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Terkadang, aku tidak memahami maksud para Dewa,” ujarnya.

Istri raja tidak setuju dengan pendapat itu. Menurutnya, ada peran perempuan yang hilang dan tak berfungsi baik dalam keluarga petani tersebut. Makanya, istri raja pun menyampaikan idenya. “Izinkan aku tinggal di dalam gubuk itu selama beberapa bulan, dan biarkan istri petani tinggal di dalam istana. Dan, kau akan memahami maksudku.”

Permintaan istri raja dikabulkan. Saat bertukar posisi, Ratu terkejut melihat betapa kotornya gubuk milik si petani. Maka, dia mulai membersihkan semua sudut rumah sampai tiap perlengkapan dapurnya. Alas rumah yang berupa tanah lembab ditutupnya dengan kotoran sapi yang mengeras bercampur bubuk kapur. Petani tidak dia biarkan duduk-duduk santai, tapi disuruhnya bekerja apa pun yang bisa dia ditemukan. Tiap sen uang yang dihasilkan petani saban sore, disisihkan (ditabung) Ratu ke dalam periuk.

Setelah beberapa pekan, si petani memiliki uang untuk membeli kambing yang susunya bisa dijual atau diminum sendiri. Di lain tempat, istri petani yang tinggal di istana masih bersikap seperti di gubuknya, bermalas-malasan, berantakan, dan bersikap kasar. Setelah beberapa bulan berjalan sesuai permintaan Ratu, nasib keuangan petani pun berubah, bahkan dia sudah tahu bagaimana seorang perempuan itu harusnya bersikap dalam sebuah keluarga.

Ratu pun berujar, “masalah ini tidak ada hubungannya dengan para dewa. Kebahagian dan kemakmuran sebuah keluarga bergantung pada pada perempuan,” ujarnya. Cerita ini aku cuplik dari buku “101 Kisah Inspiratif dari India, by Eunice de Souza.”

Kisah semacam ini bukan hanya dongeng, tapi menurutku adalah refleksi kehidupan nyata yang terjadi sampai saat ini. Perempuan di sejumlah masyarakat, komunitas dan wilayah, masih dianggap sebagai anggota penduduk kelas dua. Nasibnya, belum merdeka seutuhnya. Banyak kekangan, batasan, juga aturan yang membelenggunya. Bahkan, di masyarakat yang sudah mengaku modern pun, tetap melihat perempuan sebagai individu yang tidak penting, rapuh, dan butuh perlindungan.

Aku mau menghubungkan cerita “Istri Raja dan Istri Petani” itu dengan konsep pemberdayaan perempuan. Minggu lalu, di kelas sempat dibahas tentang indikator pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan kaum perempuan umumnya terganjal konsep kodrat perempuan yang sering menjadi “lubang hitam” sehingga sampai kini masih banyak perempuan yang tidak berdaya. Kondrat perempuan hanyalah empat, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Keempat hal ini adalah yang tidak dimiliki dan  bisa dilakukan oleh laki-laki. Sisanya, hakikat perempuan dan laki-laki adalah sama.

Untuk berdaya, perempuan harus memulainya dari level individu, keluarga, sampai lingkungan sosial. Menurut UNDP, dimensi pemberdayaan perempuan adalah pada pemberdayaan ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Pada pemberdayaan ekonomi, meliputi peluang memperbesar pendapatan, akses luas terhadap pelayanan dan penguasaan pada sumber daya. Di pemberdayaan sosial meliputi adanya lingkungan yang kondusif dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. Pada sektor politik dan hukum, meliputi memperbesar partisipasi dan kesempatan memberikan pendapat dan mengambil keputusan, serta menyadarkan hak dan wewenangnya sebagai warga sebuah negara yang dilindungi hukum.

Dari kisah Ratu yang berperan aktif dalam menentukan nasibnya sebagai perempuan dan istri di sebuah rumah tangga, membuktikan bahwa kesejahteraan keluarga itu bisa bangkit dari keterpurukan dengan campur tangan perempuan. Istri harusnya diberi kesempatan untuk ikut memutuskan finansial sebuah rumah tangga, memelihara lingkungan rumah tetap sehat, kondusif, dan produktif. Perempuan juga punya peran membangun keluarga dan masyarakat. Lihatlah perempuan di sekitarmu. Betapa mereka banting-tulang demi keutuhan sebuah keluarga. Tengoklah ibumu, kakak/adik perempuanmu, istrimu, atau perempuan yang baru saja kau lewati di tikungan jalan tadi. 

Tak heran jika ada kalimat singkat yang mengatakan, “dibalik kesuksesan seorang laki-laki, berdiri tegar sosok perempuan.” Maka, berbanggalah Anda yang sebagai perempuan. Mulailah Anda memberdayakan diri Anda sendiri. Bukan harus berbentuk hasil atau wujud yang "besar", tapi mulailah dari yang paling sederhana atau simple. Do it now...!, jadilah istri raja, jangan istri petani, seperti dalam cerita ini. 

-yuda thant-


Senin, 18 Februari 2013

Erie, Ibu Hamil juga Butuh Yodium Lho

"Kapan perkiraan lahirnya Er?" aku bertanya kepada Erie, istri sahabatku. "Perkiraannya akhir Maret," jawabnya. "Lalu sudah ada nama buat si calon baby belum?" tanya ku lagi. "Hehe.., belum. Tapi, sudah ada sih," timpalnya dengan sedikit ragu. 

Obrolan ringan itu meluncur saat kami bertemu dalam pesta pernikahan salah satu sahabat kami, Sabtu (16/2/13) malam lalu. Dengan busana warna pink-nya, Erie terlihat seperti seorang ibu yang dengan sabar menanti kehadiran buah hatinya ke dunia. "Baby Luth @ 33 weeks" begitu tulisnya pada status wazap. Ohya, Luth adalah nama suaminya, teman satu genk dulu jaman SMA. 

Ada yang pernah bilang kepadaku, seorang ibu hamil akan terlihat lebih cantik dari biasanya. Benar gak sih? Tapi yang jelas, menurutku, ibu hamil adalah seorang pejuang yang sedang mempertaruhkan nyawa dia dalam sebuah garis kehidupan. Mengapa? karena risiko kematian yang ada dihadapannya sangatlah besar. Salah satunya adalah kematian akibat pendarahan yang dipicu oleh anemia atau keguguran akibat kekurangan zat yodium. 

Ngomongin soal zat yodium, yang biasa kita peroleh dari garam, memang sepele. Tapi jika kekurang zat gizi ini, bisa berakibat buruk bagi ibu yang sedang hamil atupun menyusui. Efeknya bukan saja kepada si ibu, tapi juga kepada si jabang bayi yang dikandungnya. Selain penyakit gondok, kekurangan yodium pada ibu hamil akan memunculkan risiko keguguran hingga tumbuhnya sel kanker. Sementara janin yang dikandungnya bisa lahir mati, keterbelakangan mental, dan gangguan psikomotor. 

Akibat si ibu kekurangan asupan yodium, dampaknya pada janin yang terparah adalah kematian pada bayi atau cacat bawaan karena pertumbuhan janin dipengaruhi jumlah/kadar yodium dalam tubuh ibu. Kekurangan yodium sangat memengaruhi tumbuh dan kembang anak selanjutnya, terutama otak janin, tak jarang bayi lahir dengan berat badan rendah atau BBLR. 

Semua gangguan kesehatan atau penyakit yang disebutkan di atas termasuk GAKY, gangguan akibat kekurangan yodium. Boleh dibilang, GAKY adalah masalah serius di Indonesia, karena hal ini terkait dengan kualitas sumber daya manusia Indoneisa masa depan. Sebab, dampak GAKY adalah munculnya keterbelakangan mental dan menurunnya kecerdasan anak. Jika dibiarkan, besar kemungkinan kualitas manusia Indonesia akan jauh tertinggal dengan negara-negara tetangganya. Penduduk yang tinggal di daerah rawan GAKY kehilangan IQ sebesar 13,5 poin lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang cukup pasokan yodium.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995, satu dari tiga ibu hamil berisiko kekurangan yodium. Angka itu terkoneksi dengan realita kematian ibu dan bayi di Indonesia. Sampai tahun 2010, angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan kematian bayi masih 25 per 1.000 bayi lahir hidup. Angkanya jauh di atas pencapaian negara tetangga, seperti di Malaysia, AKI hanya 29 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB hanya 6 per 1.000 bayi lahir hidup. Demikian pula di Thailand dengan pencapaian AKI 48 per 100.000 lahir hidup dan AKB 11 per 1.000 bayi lahir hidup.  

Kebutuhan yodium tiap manusia berbeda-beda, bergantung usia, tempat tinggal (domisili), dan siklus hidup manusia yang bersangkutan. Menurut Hetzel (1989), kebutuhan normal yodium intake harian orang dewasa adalah sekitar 100-150 mikrogram. Di Indonesia, untuk bayi (0-12 bulan) kecukupan yodium yang dianjurkan 50 mikrogram/hari, anak-anak (2-6 tahun) kebutuhannya 90 mikrogram/hari, sedangkan anak usia sekolah (7-12 tahun) dianjurkan 120 mikrogram/hari. Adapun orang dewasa normal, (di atas 12 tahun) kebutuhannya 150 mikrogram/hari. 

Sementara bagi ibu hamil dan ibu menyusui, masing-masing harus tercukupi asupan yodium sebanyak 175 mikrogram/hari dan 200 mikrogram/hari. Orang yang mengonsumsi kurang dari 50 mikrogram/hari berarti berisiko untuk berkembang menjadi goiter (pembesaran kelenjar tiroid). Tambahan yodium pada ibu hamil sebagian dipakai untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid dan sebagian lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya perkembangan otak janin. 

Ternyata, asupan garam, terutama yang bertodium, itu penting bagi ibu hamil. Mulai dari trimester pertama sampai yang ketiga. Seringnya, ibu-ibu takut makan garam saat hamil, karena khawatir garam bisa memicu darah tinggi atau pre-eklamsia. Sebenarnya gak ada yang perlu ditakutkan atau diresahkan asal saat mengonsumsi garam maupun zat gizi lainnya dilakukan dengan seimbang dan tidak berlebihan alias lebay. 

Jadi rie, garam itu penting juga lho buat kamu maupun buat baby kamu. Terutama untuk pertumbuhan dan perkembangan otak juga psikomotor si baby. Nah, kalo gak punya riwayat darah tinggi, jangan khawatir deh mengonsumsi garam. Tapi ingat lho, yang beryodium. Karena zat yodium yang kamu butuhin. 
 
-yuda thant-

Minggu, 10 Februari 2013

Kreatif Tak Harus Mahal

Sudah banyak contoh jika limbah dapat didaurulang. Asalkan ada kreativitas, yang namanya sampah bisa jadi barang seni dan malah bisa dipakai lagi. Jadi, siapa bilang kalau mau kreatif itu harus dengan bahan baku yang mahal. 

Terbukti, hanya dengan setumpuk kertas hand-out materi kuliah, tiga majalah bekas, kertas bekas pembatas map, lem, gunting, pelubang kertas, dan juga ide, jadilah "my first troops puppet paper bag." 

Voila... 

Ini dia pasukan "wayang kantong kertas" yang baru aja aku bikin selama 2 hari, hahaha..... Kok lama sih? Iya lah, namanya juga pake otak bikinnya, bukan beli di toko langsung tempel. 

Ane baru berhasil bikin 12 wayang. Mungkin ntar kalau sudah ada ide lagi karakter apa yang mau dibikin, baru deh berjibaku lagi. 

Dari 12 wayang itu, yang paling gua suka si macan dengan rambut jambulnya, namanya liong. Terus ada juga karakter sapi, yang berdiri pas di belakang liong, namanya cowi yang pake rambut poni. 

Kalo gitu, sekalian aku kenalin semua aja deh. Ada kucing di sebelah si liong, namanya katy. Turus kuda yang warna kuning di tengah itu namanya jeren, dan di sebelah kirinya vino si burung phonix. Di belakang jaren ada dombu si kambing dan laby si kura-kura hijau. 

Di belakang laby ada gogi si anjing biru dan beby si babi warna pink. Lalu di deretan paling belakang sendiri, dari kiri ke kanan, ada cika si ayam, fogo si kodok hijau, dan elly si gajah. 



 


Selain jadi wayang, mereka juga bisa jadi pembatas buku, atau hiasan rak buku kok. Mau coba bikin, ayo..., gampang kok. Lebih seru lagi kalo bikin-nya ngajak anak atau ponakan kita, atau ngajak murid-murid di kelas. Selamat mencoba. 













-yuda thant-