Selasa, 21 Agustus 2012

Bidadari di Laguna Sempu

“Semangat, go go go..!!!” begitulah pekik Ayuck menyemangati dirinya sendiri akibat rasa letih yang menyergap. Meski berulang kali berhenti, memijat-mijat betis dan lutut yang rasanya mau rontok, gadis Bali bertato di betis ini tetap melaju menuju inti Pulau Sempu, yakni laguna Segara Anakan.


Yup, Pulau Sempu adalah babak kedua “perjalanan tiga hari MbambungpackeR.” Setelah terpuaskan mendaki kawah ijen, saatnya mandi matahari sambil berenang di segara anakan pulau sempu.

Dari kawah ijen, kami bertiga (aku, Ayuck, dan Amik) sepakat melanjutkan ide nekad ke pulau sempu. Berbekal sederet informasi dari sohibku (yang gak bisa ikut ke ijen), aku yakin bisa berpetualang di pulau kecil seluas sekitar 800 ha, yang terletak di Malang selatan. Kami pun meluncur dari Paltuding pukul 11.00 dan istirahat makan siang di Wonosari, Bondowoso. Rencananya, kami mau menumpang tidur di rumah teman di Jember, tepatnya di daerah Kencong, sekitar 50 km dari Kota Jember arah ke Lumajang.

Tapi, kenyataan berkata lain. Sekitar pukul 18.30 kami sampai di Kencong, menunggu teman Ayuck sekitar sejam di depan Masjid Kencong, dan kabar buruk pun tiba. Ternyata, rumah teman Ayuck lagi kedatangan banyak tamu, sehingga tidak ada tempat lagi untuk tidur. Kalaupun mau pasti empet-empetan kayak pindang, hehehe...

Alhasil, setelah melihat, menimbang, dan menyepakati, kami memutuskan tancap gas langsung ke Malang. Perhitungannya, dari Kencong kami potong jalur ke Tempeh, berhenti di Dampit (Malang), jaraknya sekitar 110 km. Itu berarti tiga jam perjalanan naik motor, dalam kondisi normla. Kami pilih Dampit karena memperkirakan jarak Dampit-Sendang Biru (pantai menuju pulau sempu) sekitar 55 km, tidak terlalu jauh. Pukul 19.30 kami tancap gas lagi, setelah di-dopping segelas kopi.

Sambil jalan, Amik mencoba berselancar di internet mencari penginapan murah yang bisa kita inapi. Hasilnya nihil. Perjalanan naik motor Kencong-Dampit pada malam hari lumayan menantang juga, terutama setelah Candipuro. Kabut tebal menyergap, jarak pandang memendek, laju motor harus sedikit dipelankan. “Kalau pagi hari sepertinya pemandangan di sini bagus deh,” ujar Ayuck yang sedikit kedinginan. Sempat berhenti makan mi di warung, kami lanjut lagi. Mata sudah terasa berat, tapi Dampit belum juga terlihat. Namun, kami sudah berbekal info hotel murah yang bisa diinapi dari penjual bensin eceran, 15 km sebelum kota Dampit. Hotelnya memang masuk dalam gang, tapi gak masalah, toh harganya murah meriah. Harga kamar ukuran 2x3 meter dibandrol Rp 60.000. Sekitar pukul 11.30 kami masuk hotel, dan langsung tidur di kamar masing-masing. 


 “Mas bro bangun, ayo bangun! Mandi lalu berangkat...” suara lantang Amik dari balik pintu, setelah mengetoknya beberapa kali. “Siap komandan,” jawabku sambil membuka pintu. 5 menit kemudian, alarm di hape bernyayi riang. “Saatnya mandi nih. Hmm, mandi gak yah? Gak usah deh, raup ama sikat gigi aja. Semalam kan sudah mandi, meski mandi bebek, hehehe...,” celotehku.

Setelah packing ulang dan memanasi kuda besiku, kami pamitan kepada pengelola Hotel Mutiara. Sekalian mengucapkan minal aidzin, berhubung hari itu memang hari pertama lebaran. Perhitungan kami tidak terlalu meleset. Dampit-Sendang Biru kami tempuh 2 jam. Jalanan yang naik turun dan sedikit curam memang membuat waktu perjalanan sedikit lama. Sekitar pukul 09.00 kami sampai di Sendang Biru.

Setelah membayar tiket masuk Rp 8.500/orang dan motor dikenai tarif Rp 2.000, kami lanjut ke pos konservasi pulau sempu untuk melapor. Sebenanrnya tidak ada biaya adminstrasi resmi, tapi turis sukarela untuk membayarnya. Pak Setyadi, petugas jaga waktu itu berpesan soal kondisi pulau, dan kewajiban turis soal membuang sampah. Pembahasan standar kalau kita berkunjung ke kawasan konservasi.

Untuk menyeberang ke sempu, harus naik perahu yang sewanya Rp 100.000 pulang-pergi. Aku teringat pesan sobatku. “Kalo cuma bertiga, nanti di sendang biru gabung ajah ama rombongan lain, supaya sewa perahunya murah.” Makanya, pas di pos, aku coba-coba iseng tanya ama rombongan kecil lainnya yang melapor. Akhirnya, aku kenalan dengan 2 rombongan yang mau ke pulau sempu. Rombongan pertama ada 4 orang, mereka dari Surabaya, yakni Johan, Rahayu, Tanti, dan Tomi. Sedangkan rombongan kedua ada 2 orang, yakni Lia dan Tami, dua gadis Batak yang tinggal di Jakarta. Kami pun sepakat sharing perahu, Rp 11.000 per orang.  

Pulau sempu sebenarnya tidak jauh jaraknya, kurang dari 1 km, sebab terlihat jelas dari sendang biru. Menyeberanginya tak sampai 15 menit, kami pun tiba di pantai yang dirambati pohon bakau. Begitu turun dari perahu, pemilik perahu berpesan. “Nanti kalau sudah mau balik, telpon saja mas. Mungkin agak jalan ke tengah, karena lautnya nanti sore surut,” ujar Pak Nugraha, pemilik kapal. (Karena jarak yang tak terlalu jauh dengan daratan, sebagain pulau sempu masih terjangkau sinyal. Tapi di sisi laguna segara anakan, blas gak ada sinyal)




Oke, petualangan pun dilanjutkan. Kami harus merambah hutan untuk sampai ke laguna. Ikuti jalan setapak, yang sudah banyak pijakan kakinya, pesan salah satu pemilik perahu sewaktu di sendang biru. Untungnya, (lagi-lagi untung..., kalau jadi pedagang pasti dah kaya raya nih aku, hehe..) ini musim kemarau, jadi medan lebih mudah dilalui. Jika musim hujan, sebagian hutan akan tergenang lumpur, sehingga lebih sulit dilewati. Tak heran, banyak fosil sepatu dan sandal milik turis-turis yang terbenam di hutan itu, bukti buruknya track yang dilalui saat musim hujan. Tingkat kesulitan track saat itu tergolong sedang, namun bagi orang tua mungkin sedikit sulit. Sebab, banyak rombongan keluarga yang datang ke sempu.

Kami sampai di laguna segara anakan, setelah 1,5 jam berjalan. Wuaaahhh..., bagai pantai di surga tersembunyi, begitulah kesan pertama saat mengagumi laguna segara anakan. Pantai berpasir putih dengan air birunya menggoda kami langsung nyemplung ke laguna itu. Tak mau kehabisan waktu, begitu meletakkan tas, aku langsung berlari menceburkan diri ke laguna. Yeaaahhhh..., akhirnya berenang juga di pantai, hahahaha...(Eiiittts, gak ada yang ngintip kan. Siapa tahu ada orang yang sengaja sembunyi nungguin kita mandi terus nyolong selendang kita supaya kita gak bisa balik ke khayangan.. #@*##$*!!@@&##!! "tepok jidat plus tepok pantat")

Setelah puas berenang, saatnya berburu foto indah. Untuk mendapatkan pemandangan laguna yang utuh, kita harus naik bukit karang di sisi selatan. Tapi untuk memotret karang bolong, liang masuknya air laut ke laguna, butuh perjuangan dan harus hati-hati. Tertulis tanda bahaya di karang bolong itu, agar turis lebih berhati-hati. Namun, pemandangan indah itu tak bertahan lama. Saat air laut surut, pemandangannya jadi kurang menarik. Dasar laguna di penuhi karang, dan airnya tak sebiru-hijau saat pertama kali kami datang. “Berarti kita tadi datang pas ya. Pas lautnya masih biru dan bagus. Tapi sekarang sudah gak bagus,” celetuk seorang dari kami.


Pukul 14.00 kami meninggalkan laguna, supaya sampai di tempat penjemputan pukul 15.30. Sebab, batas akhir penjemputan kapal adalah pukul 17.00. Jadi, kalau berniat ke sempu, sebaiknya datang pagi, agar tak rugi. Malah, kalau bisa menginap semalam. Banyak petualang yang camping di laguna, seperti dua orang petualang dari Jogja yang berpapasan saat menuju ke laguna. Oh ya, hati-hati dengan karang yang tajam, dan jangan salah pakai kostum yah. Ini pulau sempu bro, bukan mal..!! Gunakan baju santai, juga baju ganti, sandal/sepatu gunung, dan topi. Sediakan pula air minum, dan bekal snack/makanan yang cukup biar gak kelaparan setelah jalan jauh, hehe..

-yuda thant-



Senin, 20 Agustus 2012

Ijen to Ijen (part two)


(part two)

Me      : Pak, kalau Paltuding sebelah mana ya? (tanyaku kepada bapak-bapak di dekat sebuah warung.
Man    : Ini Paltuding mas. Masnya mau kemana? (tanya dia balik).
Me      : Ke kawah Ijen pak. Lewat mana kalau mau ke kawah?
Man    : Oh kalau ke kawah lewat situ (menunjuk jalan tanah yang samar-samar terlihat karena gelap). Tapi baru bisa besok pagi kesananya.  
Me      : Kalau tempat buat nginap di mana pak? Kok sepi ya, gak ada orang-orang yang mau naik ke kawah?
Man    : Menginap di sana bisa (menunjuk beberapa pondok kayu). Jam segini belum banyak yang datang, tapi besok pagi jam 2 mulai banyak turis yang datang. Sudah istirahat di sini (warung) saja dulu.
Me      : Jual minuman hangat kan pak? tanyaku sekali lagi
Man    : Iya jual. Masuk aja ke belakang (menunjukkan dapur di belakang warungnya). Motor mas diparkir di sini saja dulu.

Di dalam dapur itu ternyata ada beberapa orang yang membuat setengah lingkaran di depan tungku yang mengobarkan api merah menyala. “Sini mas, biar hangat,” ujar bapak-bapak berbaju tentara, yang duduk di antara empat laki-laki lain. Setelah saling berkenalan, kami mulai mengobrol panjang tentang segala hal. Mulai politik, sampai cerita lucu turis-turis asing yang datang ke kawah ijen. Mas Konik, salah seorang penjaga di kantor rest point Paltuding, adalah biang kelucuan. Dia bercerita, nama Paltuding adalah gabungan dari kata “pal” (pembatas) dan “tuding” (menunjuk). Bahasa sederhananya, di sini adalah perbatasan dua wilayah, Banyuwangi dan Bondowoso. “orang dulu kan kalau kasih nama daerah seadanya,” selorohnya.

Kawah ini dinamakan Ijen, katanya, karena hanya kawah ini sendiri yang memiliki danau hijau dan menghasilkan belerang. Ijen dalam bahasa Jawa artinya sendiri/tunggal. Sedangkan dua kawah lain yang  dekat dengan kawah ijen (Kawah Wurung, satu lagi aku lupa namanya), hanya berupa padang pasir dan savana. Sejak bulan Juni, status kawah ijen menjadi Siaga, yang berarti sebagain kawah terbatas bagi wisatawan. Terutama, di area penambangan belerang. Petualang juga dilarang camping di dekat kawah. “Waduh, sayang banget deh. Gak bisa lihat dan motret orang lagi nambang belerang. Padahal aktivitas itu yang seru,” sesalku dalam hati.

Saat terbaik untuk merapat ke kawah adalah pukul 02.00, karena turis dan petualang harus mendaki sekitar 500 meter dengan berjalan sepanjang 3 km. Jadi, rata-rata butuh waktu 1,5 jam berjalan dari Paltuding yang berada di ketinggian 1.850 mdpl (meter di atas permukaan laut) menuju kawah ijen berketinggian 2.386 mdpl. Maksud mendaki dini hari agar bisa lihat nyala biru langit proses matahari terbit, yang katanya indah sekali jika tak ada mendung dan kabut. Meski suhunya paling dingin, Agustus bulan terbaik untuk bertandang ke Ijen sebab jarang turun hujan. Turis Eropa, paling banyak datang ke ijen, khususnya turis Perancis. 

Karena listrik berasal dari genset, sehingga nyala listrik dibatasi. Dari sore sampai jam 10 malam, dan dinyalakan lagi jam 2, saat turis berdatangan. Ini berarti saatnya tidur, agar besok bisa bangun pagi. Setelah sleeping bag aku gelar di teras tempat parkir, Mas Konik menawarkanku tidur di bilik tempat dia dan teman penjaga lain tidur. Supaya tidak kedinginan katanya. Sebab, bulan Agustus adalah bulan dengan suhu terendah di Ijen. Benar juga kata Mas Konik. Meski sudah berbalut jaket dan sleeping bag, rasa dingin membuat sakit sampai ke tulang. Kondisi ini malah membuat susah tidur. Harapan satu-satunya adalah segera pagi.

Jam 4 aku dibangunkan. Kantuk bercampur dingin membuatku malas bergerak. Untung, pemilik warung menawarkan api dan kopi panas untuk menghangatkan badan. Sejam, tapak kaki dan tangan masih terasa membeku. “Suhu hari ini sekitar 3 derajat. Ini masih belum parah. Pernah sampai nol derajat. Jadi, muka juga terasa perih karena terlalu dingin,” jelas pemilik warung. Mau tak mau aku harus berangkat meski masih kedinginan. Siapa tahu kalau berjalan nanti rasa dingin di badan lenyap.

Berbekal nyala senter, aku menyusuri jalan tanah. Langit beranjak terang saat aku sudah jalan 15 menit, dan track makin terasa menanjak. Ternyata, capek! Nafas ngos-ngosan, serasa senin-kamis kehabisan oksigen di lumbung oksigen. Beginilah kalau gak pernah jogging dan olah raga. Dikit-dikit berhenti. Rasanya malu juga kalau membandingkan diri dengan turis-turis bule yang berjalan mantap. Berkali-kali rombongan kecil turis bule, 2-4 orang, menyalip aku yang menepi di pinggir track sibuk mengatur nafas yang kembang kempis. Kalau mau gampang sih tinggal minta jasa angkut dari para penambang. Biaya gendong seorang anak, biasanya penambang meminta imbalan Rp 50.000. Sedangkan orang dewasa, bisa sampai Rp 400.000, karena ditandu oleh 4 orang penambang. (Wah..., kalo sampai digendong sih bukan berpetualang namanya, hehe..)

“Aduh.., seandainya sobatku ikut, kan pasti gak terasa capek karena bisa saling menyemangati. Paling gak ada teman senasib-secapek,” keluhku.

“Satu kilo (meter) lagi mas. Dikit lagi,” ujar penambang di pondok penimbangan belerang, milik PT Candi Ngrimbi Banyuwangi. Di pondok itu, dekat bangunan jaman Belanda, Pondok Bunder, penambang tradisional menimbang hasil galiannya dari kawah yang mengandung belerang terasam, mendekati nol yang mampu melarutkan tubuh manusia dengan singkat. Dari kawah, yang berjarak 200 meter dari dinding kaldera, penambang memikul belerang seberat 70-80 kg yang ditumpuknya di dua keranjang bambu, naik ke bibir tebing kaldera. Lalu dipikul turun ke Paltuding. Belerang mentah (kotor) itu dihargai Rp 625 per kg. Paling tidak, satu rit, penambang bisa membawa pulang Rp 50.000. “Paling sehari dua kali bolak-balik mas,” ujar penambang lainnya yang rehat sejenak mengusir lelah di badan. Karena saban hari mikul beban berat, pundak penambang itu banyak yang cidera dan melepuh. Gila!! hanya demi Rp 50.000 penambang ini bertaruh nyawa, bahkan berisiko keracunan pula. Beda banget sama para koruptor yang tinggal gesek. "Harusnya, koruptor itu gak usah dipenjara, tapi diberi sanksi sosial aja. Ngangkut belerang dari kawah sampe ke Paltuding. Biar tahu rasa mereka," ujar seorang teman perjalanan.

Benar juga, 15 menit kemudian, track menjadi lebih landai. Pemandangnnya juga lebih indah. Semua capek saranya terbalaskan. Kepulan asap dan bau belerang menyambut saat kaldera sudah di depan mata. Takjub, itu kata yang tepat. Turis-turis berkerumun di bibir kaldera. Asik menikmati pemandangan kawah, dan mengabadikannya lewat jepretan kamera. Tidak ketinggalan, ber-narsis ria berlatar belakang kawah. Untuk mendapatkan gambar terbaik, harus sabar dengan gangguan kepulan asap belerang yang menutupi pemandangan kawah. 


 “Seandainya kamu di sini sobat, bareng aku menikmati agungnya kawah ijen ini,” harapku yang menyesali batalnya si sobat perjalanan ikut petualangan kali ini. (Menyesal, soalnya kalau gak ada dia kan gak ada yang bisa motret aku yang rada narsis, hehe..)



Tapi, Tuhan selalu berbaik hati. Di bibir kaldera itu aku kenalan dengan kawan baru. Dua perempuan petualang dari tanah dewata, Bali. Ayuck dan Amik. Satunya asli Bali, yang satu lagi Medan tulen. Mereka ke Ijen juga naik motor, parahnya motor metik, dari arah Banyuwangi melewati Kecamatan Licin. Jalan di Licin kondisinya lebih parah dari pada di Sempol. Begitu kenalan kita langsung klik. Foto-foto bareng, dan jalan kembali ke Paltuding pun barengan. Saling memberi semangat, meski kaki sudah pegal-pegal dan rasanya mau copot dari sendi-sendinya. Kami pun menyemangati turis-turis yang baru mendaki, yang tampak kelelahan, seperti yang kami rasakan saat naik tadi pagi.

Sekadar saran, lebih baik datang ke Ijen pagi hari, sebelum jam 6, atau datang malam menginap di pondok-pondok yang ada di Paltuding, seharga Rp 100.000 kamar. Atau di 3 penginapan di Sempol,  dengan harga sewa mulai dar Rp 150.000. Tapi, banyak turis bule memilih menginap di Bondowoso atau Banyuwangi dengan harga kamarnya di atas Rp 500.000, datang ke Paltuding naik jeep atau mobil sewaan yang disediakan oleh jasa tour wisata. Tentu saja harganya pasti mahal. 

Untuk yang ingin ber-backpack-ria, bisa naik bus dari terminal di Bondowoso ke Sempol, tarifnya Rp 15.000. Lanjut naik ojek ke Paltuding. Tiket masuk ke kawah ijen Rp 4.000 bagi turis lokal, sedangkan turis bule kena charge Rp 30.000 per orang. Berhubung hobi melarat, makanya aku cari yang serba murah dan kalu bisa gratis, hehe.. Salah satunya dengan naik motor. Terbukti, kalau mau dihitung-hitung, bekal Rp 300.000 masih sisa kok. Any way, perjalanan ini gak berhenti sampai di Ijen aja lho, karena babak kedua "three day road trip with MbambungpackeR" akan berlanjut. Jadi, tetap lanjutin baca yah. 
 
- yuda thant -


Ijen to Ijen (part one)


(part one)

Sleeping bag sudah masuk. Baju ganti, senter, jaket, kamera, tripod, sarung, dan peta juga sudah. Apa lagi yang belum yah?” gumanku, mengecek isi ransel yang bakal dibawa berpetualang kali ini. “Ahh, obat-obatan! Ini dia yang belum masuk,” plastik putih berisi obat antiseptik, plester, minyak angin, dan salep pereda nyeri otot, pun segera kumasukkan ke kantong ransel.

Episode petualangan kali ini adalah Kawah ijen, sebuah kawah yang terletak di gugusan gunung berapi di Jawa Timur. Letaknya dekat Gunung Merapi, di perbatasan 2 kabupaten, Banyuwangi dan Bondowoso. Dari Surabaya, jaraknya sekitar 270 km sampai di pos peristirahatan, Paltuding. Serunya, perjalanan ke kawah belerang itu bakal aku tempuh dengan kuda besiku, si govinda.  


Pagi sudah berlalu, jam menunjukkan pukul 07.40. Perjalanan panjang menanti di depan. Rencana awalnya memang berangkat pukul 09.00, tapi terpaksa di-delay 2 jam karena harus “menjernihkan hati” lebih dulu. Meski gagal mengajak sohib perjalananku, karena mendadak kakaknya berkunjung ke Surabaya, aku tetap bertekad berangkat. Tepat jam 11.05, mesin motor kunyalakan, petualangan pun dimulai.

Dengan kecepatan 40-60 km/jam, motor ini melaju membelah Kota Surabaya yang beranjak ditinggal oleh penduduknya yang mudik, Jumat (17/8). Dengan kecepatan seperti itu, aku memperkirakan waktu tempuh sampai ke Ijen adalah 8 jam, atau sekitar jam 7 malam. Sudah termasuk waktu untuk istirahat makan, berhenti meluruskan punggung juga memberi nafas bokong yang semakin tepos ini.

Perjalanan Surabaya-Besuki (Situbondo) relatif ramai lancar. Tidak ada simpul kemacetan. Mungkin karena hari ini libur, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, dan puasa, jadi orang memilih tetap di rumah. “Wuih, jalan-jalan kali ini boleh dong dibilang petualangan kemerdekaan, soalnya pas tanggal 17 Agustus, hehe..,” aku senyum-senyum sendiri dalam perjalanan.  

Rute selanjutnya dari Besuki adalah Kota Bondowoso lalu ke Kecamatan Wonosari, lanjut Kecamatan Sempol. Besuki-Bondowoso-Wonosari jaraknya sekitar 40 km. Kondisi jalan mulus, berkelok-kelok, dan naik turun, terutama di kawasan hutan sebulan masuk ke Bondowoso. Pemandangan lumayyan indah, apa lagi ada sinar jingga matahari sore menembus di sela-sela pohon jati.

Nah, yang butuh konsentrasi tingkat tinggi adalah di rute Wonosari-Sempol. Jaraknya sekitar 55 km, sebagian besar beraspal, tapi sekitar 15 km mendekati Sempol, jalannya rusak. Jalan rusak terparah sekitar 2 km. Kondisinya berbatu, dengan kemiringan jalan tanjakan sekitar 25-30 meter. Kebetulan, aku sampai di jalan rusak itu sudah gelap, sekitar jam 17.30.

Busyet...! Benar-benar perjuangan demi kawah Ijen. Gelap, sendiri, dan tanjakan jalan rusak. Klop sudah. Gak kebayang kalo “salah langkah” terus jatuh, hehe.. “Postive thinking... bisa... bisa... bisa...” kata-kata itu yang jadi penyemangat supaya tetap hati-hati. Perasaan sedikit lega saat beberapa kali mobil pick-up pengangkut sayur turun menuju Wonosari. Satu-dua, sepeda motor juga melintas. “Berarti daerah ini aman. Gak usah mikir macem-macem deh,” otak kecil memerintah untuk terus fokus pada jalan.

Akhirnya, jalan mulai membaik setelah mendekati pos pengamanan pertama di Sempol. Tepatnya, ada tigga pos pengamanan yang akan dilewati dari Sempol ke Paltuding. Maklumlah, sebagian besar lahan di dataran tinggi Ijen ini adalah kawasan perkebunan kopi, dan terdapat pabrik kopi milik PT Perkebunan Nasional XII. Jadi, wajarlah pengawasannya sedikit ketat. Tapi, gak perlu cemas. Asalkan kita bukan teroris dan gak punya niat jahat, pasti boleh lewat kok. (Nah, kalo yang punya tampang kayak teroris, itu derita lu deh, hehe..) 

Jam di pos pengamanan menunjukkan pukul 18.20. Tiga petugasnya menyambut saya dengan ramah dan memberi informasi-informasi lumayan penting tentang Ijen. Bahkan, mereka menawari aku makan malam, dengan menu nasi jagung dan ikan pindang. Wah, pas perut lapar, ada yang nawarin makanan. Memang nasib lagi baik nih. “Makasih ya pak,” jawabku penuh sumringah. Mereka sebenarnya menawarkan agar aku tidur di pos saja, lalu berangkat ke sana pukul 03.00 pagi, dari pada tidur di Paltuding. Sebab, di sana lebih dingin jika tengah malam. Tapi, karena takut telat bangun, aku pun memilih melanjutkan perjalanan ke garis start kedua di Paltuding. 

Makanya, setelah 1,5 jam nongkrong dan ngobrol dengan ketiga bapak penjaga, itu aku pun pamitan. Ditemani taburan bintang di langit nan gelap tanpa bulan, aku menyusuri jalan aspal yang membelah kebun kopi. Udara makin terasa dingin. “Setelah lewat Kampung Baru ada makam, ambil jalan yang ke kanan ya,” kata salah seorang petugas keamanan itu. (Lho kok serem, pake lewat kuburan segala?!?! Moga-moga gak ada setan iseng nangkring di pinggir jalan lalu nyetopin aku minta nebeng mau ikut ke Paltuding...#$&##@!!! )

(bersambung..)

-    yuda thant -

Rabu, 15 Agustus 2012

Ini Karena Cinta

(sebuah puisi)

  Kau membutakanku meski mataku memakai teleskop tembus pandang
  Kau menulikanku walau telingaku memiliki pendengaran supersonik
  Kau membisukanku meski bibirku punya pengeras suara megaheartz
  Kau membekukanku walau tubuhku memancarkan panasnya bara api

       Mengapa sepanjang hari aku hanya menangkap bayanganmu 
       saat mataku terbuka
       Mengapa di pagi hari aku hanya mengucapkan namamu 
       saat bibirku bergumam
       Mengapa, kala senja aku tak pernah berhenti memikirkanmu 
       saat otakku bekerja

 Mungkinkan ini karena cinta,
 Cinta yang hanya berlabuh pada dirimu...

-yuda thant -

Selasa, 14 Agustus 2012

Bang Toyib Sudah Waktunya Mudik...!


     Gak terasa, Lebaran sudah di depan mata. Semua orang di Indonesia, entah itu yang merayakan atau tidak, disibukan dengan satu aktivittas massal yang disebut “mudik” alias pulang kampung. Konon, kata mudik berasal dari kata “udik” yang artinya desa, jadi mudik bisa diartikan “balik maning nang ndeso,” hehehe...

     Fenomena mudik bukan hanya jadi kepentingan rakyat, tapi juga jadi perhatian para pembesar negara ini. Malahan, mudik jadi tambang emas dan musim panen bagi sejumlah produsen makanan, konveksi, penyedia jasa transportasi, komunikasi, sampai partai politik. Semua sibuk jualan di tengah hiruk pikuk warga yang akan merayakan “hari kemenangan.” Buktinya, coba saja sekarang lihat kotak ajaib (TV) di rumah, iklan-iklan dan tayangan acaranya dijejali embel-embel lebaran dan fenomena mudik. Laporan berita arus mudik pun terpampang banner iklan di belakang/bawah wajah cantik/tampan reporternya. 
 
      Tapi, terlepas dari happening-nya kegiatan mudik ini, satu hal yang perlu diperhatikan bersama adalah keselamatan. Banyak pemudik yang abai dengan ini. Baginya, yang penting pulang kampung, sampai di rumah, bisa ketemu emak-bapak, makan opor-ketupat, pamer motor/mobil/perhiasan baru, sekalian pamer istri baru. Semua itu tak akan terwujud kalau si pemudik tidak selamat sampai tujuan, alias celaka di tengah perjalanan.

     Hal ini bukan isapan jempol karena tren kecelakaan arus mudik-balik lebaran selama ini meningkat. Tahun 2011, Humas POLRI menyatakan terjadi 4.744 kasus kecelakaan atau 30,5 persen naik dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan jumlah pemudik yang tewas karena kecelakaan itu mencapai 779 orang. Kecelakan tersering, lebih dari 70 persen, melibatkan pemudik sepeda motor. Hal ini mengingat jumlah pemudik sepeda motor tiap tahun juga terus meningkat, yang tahun ini diperkirakan mencapai 7 juta motor. Maka, tak heran jika Presiden mengimbau agar keselamatan pemudik motor diprioritaskan.

     Dari pengalaman memantau pemudik motor, banyak motif mereka pulang kampung dengan kuda besi roda dua ini. Diantaranya, lebih murah, karena satu motor bisa maksimal dinaiki empat jiwa; bapak, ibu, dan dua anak, plus bagasi yang teng cementel ora karuan (bergelantungan tak karuan) di depan dan belakang motor. Kedua, tak perlu antre tiket dan berdesak-desakan di stasiun atau terminal, dan ketiga, motor bisa dipakai jalan-jalan di kampung. Jadi, pakai motor itu praktis.

     Tapi, mudik dengan motor juga berisiko besar. Apalagi kalau si pengemudi belum berpengalaman touring ke luar kota mengendarai motor lebih dari 5 jam. Ditambah dengan bermacet-macet di jalan, dihujani sengatan matahari, dan rasa kantuk terbuai angin musim kemarau yang berhembus saat motor dilaju kencang. Belum lagi mobil dan bus yang beradu balap, mengejar cepat tiba di kampung si pemudik, membuat motor yang dilewatinya oleng terkena imbas angin kencanga. Alhasil, si pengemudi lengah, silap mata, dan lepas konsentrasi, sehingga musibah pun menghampiri.

     Makanya, bagi sahabat dan teman yang hendak mudik pakai motor sebaiknya tetap waspada, dan melakukan tips berikut:
1.   Siapkan stamina sebelum mudik, lebih baik tidur yang cukup sebelum berangkat. Usahakan berangkat malam, atau subuh, agar tidak letih karena kepanasan saat perjalanan.
2.   Bawa permen atau camilan yang bisa dikunyah jika mata tiba-tiba mengantuk, boleh juga pasang musik/radio dari ponsel sebagai teman perjalanan.
3.   Kalau mata sudah merasa lelah, segera menepi, cari warung/masjid/SPBU/posko mudik, untuk rehat sejenak, 1-3 jam tidur, lumayan untuk mengistirahatkan mata dan punggung yang pegal.
4.   Berhenti sekitar 5-10 menit setelah menyetir tiap 2-3 jam, lalu sedikit peregangan melemaskan otot-otot yang kaku, dan me-recharge stamina.
5.   Jalan beriringan dengan pemudik motor lain, supaya bisa saling mengingatkan dan menolong jika ada masalah di tengah jalan.
6.   Periksa lagi kondisi motor, mulai dari ban, lampu, sampai oli motor, jangan sampai mogok di tengah jalan.
7.   Terakhir, patuhi rambu-rambu lalu lintas, marka jalan, dan aturan main dalam touring motor agar tida terjadi kecelakaan yang sebenarnya tidak perlu. (berikut contoh hand code yang dipakai saat touring, sumber Humas POLRI)

     Oke deh, kalau semua sudah siap, dan hari sudah semakin dekat Lebaran, kini waktunya berangkat mudik dengan motor masing-masing (jangan motor colongan yah!!). Ajakan mudik ini juga berlaku buat Bang Toyib yang sudah dinantikan istri dan simpenannya di kampung karena tiga kali puasa tiga kali lebaran dia gak pulang-pulang, hehehe... (hayo yang merasa bang toyib ngaku..)

     Met jalan dan bersenang-senang di kampung prends, au revoir tout le monde...

-yuda thant- 

Senin, 13 Agustus 2012

Kutukan Mak Comblang

Minggu malam kemaren, perasaan jenuh selama sepakan yang memayungiku, sepertinya terbalas sudah. Sebab, sahabat sewaktu SMA menelpon mengajak buka puasa. Dia mengajak istrinya, yang tak lain juga teman baikku. Yang membuatku gembira karena aku jadi teringat masa-masa mereka mulai saling pendekatan sampai pacaran. dimana, secara tak langsung aku turut campur di dalamnya. 

Salah satu topik obrolan kami di sela-sela makan malam itu pun tentang kisah cinta mereka sewaktu di SMA dulu. Meski kemesraan mereka tak "seganas" satu dasa warsa yang lalu, tapi aku masih melihat serbuk cinta menyelimuti mereka berdua. 


Dalam perjalanan pulang, otakku melayang kemana-mana. "Wah, mereka sudah jalan 13 tahun. Tapi kok sampai sekarang aku belum juga punya pasangan ya?? Hmmm, kenapa ini? Jangan-jangan kutukan mak comblang memang menyambar diriku. Sialan..!!" 

PS: lolongan kali ini spesial (tapi gak pake telor) dedikasikan buat para mak comblang yang ada di sejagad raya dunia. Khususnya mak comblang yang bernasib sial, hehehe... 


Status mak comblang, secara gak sengaja nempel padaku sewaktu duduk di bangku SMA, sekitar 13 tahun lampau. Awalnya, temen minta cowok dikenalin ama temen cewek. Dengan maksud baik, aku pun menyanggupi permintaan teman tersebut. Kebetulan si cewek kenal dengan aku, jadi no-problemo lah. Maka, dimulailah pencarian kesenangan dan hobi si cewek, yang nanti jadi bahan informasi temenku yang cowok. Alhasil, gayung bersambut, dan tongkat estafet berlajut. Bersatulah mereka untuk saling penjajakan. Dan mission in accomplished. 

Request pun berdatangan, apa lagi sewaktu di zaman kuliahan, baik itu sengaja atau pun gak. Mulai banyak teman yang minta saran dan pendapat soal pacaran, dan harus ngapain kalau misalnya mau ngajak kencan atau sekadar makan malam si cewek. Kedua kuping harus sabar mendengar keluh kesah, suka cita, juga kemauan teman yang sedang kasmaran. Gak jarang, kedua pihak, si cewek maupun si cowok malah menjadikan aku "tong sampah" alias tempat mangkal curhatan mereka. 

Beberapa kegiatan, khusus jalan-jalan yang aku rancang, acap kali juga membuahkan hasil memuaskan. Ada aja yang jadian. Mulai jalan-jalan ke Bromo, Garut, sampai Lombok, pasti ada ajah yang bakal jadian. Dan senengnya, semua pasangan yang jadian karena acara "jalan-jalan"-ku itu akhirnya menikah. (kalo ikutan MLM, aku pasti dah dapat poin reward yang tinggi deh)

Salah satu pasien aku yang sukses menikah adalah sahabatku sewaktu SMA, luth dan erie. Dua orang yang kuceritakan di awal lolongan ini. Si cowok, adalah best friend dan partner in crime di salah satu kegiatan ekstrakurikuler sekolah, sedangkan si cewek temen sekelas. Nah, karena dah berjanji bakal menjadi mak comblang yang baik, mau gak mau aku kudu wajib setia memenuhi permintaan klien, termasuk nemenin dan jadi obat nyamuk pas temanku ngapel. (dulu gak kepikiran jadi obat nyamuk, cuman kepikiran jadi satpam dan watch dog, hehe..). Untunglah, mereka jadi pacaran dan sampai akhirnya nikah lima tahun lalu.

Kalau denger klien pacaran dan akhirnya nikah tuh rasanya senang banget, seperti dah bisa bikin mahakarya layaknya mbak Dee Lestari yang sukses bikin novel best seller. Tapi..., nah pasti ada tapinya. Jadi mak comblang kadang stress juga lho. Gimana gak stress, soalnya kita kudu menyediakan telinga yang lebar, lapangan parkir buat curhatan klien, waktu yang longgar supaya klien bebas bercerita, dan berpikir kreatif cari jurus ampuh buat memuaskan "nafsu" bercinta klien kita. 

Siapa bilang jadi mak comblang itu enak?? Yang bilang gitu pasti belum pernah jadi mak comblang atau belum merasakan penderitaan yang diemban si mak comblang..!!

Pernah tuh, sewaktu lagi pengen santai di kamar kos, tiba-tiba pintu kamar diketok. "Aku pengen curhat," rengek teman cewek yang galau karena cek-cek ama cowoknya. Pernah juga, mata sudah 5 watt, tapi teman kampus masih ingin ngobrol soal gimana caranya bisa menarik perhatian gadis tetangga jurusan yang sedang diincar. Kadang, kalau jurus yang disarankan gagal, protes dan omelan dari klien pun mendera.

Beberapa kali, pernah tergoda untuk "ngembat" inceran klien. Tapi untunglah, akal sehat masih berkuasa. Kalua tidak, waduh..., bisa berujung panjang masalahnya. Mulai dari berantem dengan teman sendiri sampai musuhan gara-gara cewek. Dan yang jelas melanggar sumpah mak comblang. "Kami mak comblang se jagad raya, dilarang keras, sekeras beton aspal, menggagalkan misi, apalagi sampai macarin inceran klien," (diulang 3 kali, sambil pukul-pukul pantat. Inget!!, pantat sendiri yang dipukul, jangan pantat janda kembang tetangga sebelah)

Nah, ngomongin soal kutukan. Sepertinya ini yang sedang menimpa mak comblang sial penulis lolongan busuk ini. Berkali-kali naksir dan nembak seseorang, hasilnya selalu gagal. ini berbanding terbalik dengan keberhasilan menjodohkan klien-klien selama ini. 

Dan kalimat pamungkas yang beberapa kali terucap dari inceran-inceranku itu malah bikin gondok. Begini bunyinya (meski tidak sama persis, tapi intinya sama) "Kamu itu enak buat jadi teman, tapi kalo jadi pacar gak deh. Sorrry ya..." ##*!!@#*%$@##!!+??!+$##.. (setan alas, iblis sawah, tuyul kampung, dedemit kebon!!!, hanya mengumpat dalam hati kecil, kecil sekali, sampai gak kedengeran suaranya). 

Haaahhhh... (menghela nafas panjang, bernada pasrah). Ya udah lah, kalo emang nasibnya gini. Mungkin ini risiko pekerjaan. Siapa tahu, di ujung akhir cerita malah dapat hal terindah yang belum pernah terbayang. Aminnnn.... (sambil mukul-mukul pantat, ngucapin janji mak comblang. plak..plak..plak... uuuhh yeaaahhh....)


-yuda thant-

"Lek, Apa Kita Sudah Merdeka?"


   “Lek, opo kene wis merdeka yo?” tanya bocah laki-laki sambil beringsut di bawah selimut kardusnya menutupi tubuhnya yang kurus-dekil digigiti nyamuk-nyamuk sungai.
   “Ya tentu ae wis tho le. Lihatan ae, nang ndhi-endhi gendero merah putih wis dipasang. Ndek pinggir dalan, ndek sekolahan, ndek omah-omah. Saiki yo wis gak ono perang tho” jawab lelaki yang lebih dewasa, duduk di sampingnya dengan membersihkan botol-botol bekas supaya bisa diuangkan esok paginya.
   “Tapi lek, kok awak dhewe sik melarat yo? Aku gak sekolah, Paklek gerah tapi gak iso tuku obat nang rumah sakit. Opo bener kene wis merdeka Lek?” tambah si bocah lagi.
   Sesaat, hanya nyanyian jangkrik di larut malam dan desingan cepat motor bebek yang melintas di atas jembatan, tempat kedua kerabat itu bernaung. 
   “Halah, kowe iki takone kok macem-macem. Wis ndang turu. Sesuk, ngotes maneh, golek botol plastik sing akeh,” kilah si Paklek (paman dari adik ayah/ibu) sekenanya karena tak tahu harus menjawab apa pertanyaan ponokannya.

***

Terlempar jauh dari pahitnya kehidupan si bocah dan Paklek-nya, serentet romantika kemerdekaan diceritakan penuh antusias oleh tiga laki-laki yang usianya sudah di atas 70 tahun. Garis kerutan dan lipatan kulit mereka menjadi saksi kerasnya perjuangan. Dan, bekas-bekas luka tembak yang mebuat mereka berjalan pincang, merupakan bukti semangat juangnya tak pernah padam.
 
Mbah atau eyang, tampaknya panggilan yang paling pas jika aku menyapa mereka bertiga, mantan pejuang yang merupakan anggota dari Korps Cacad Veteran RI, cabang Surabaya. Mbah Ismunandar (sekitar 70 tahun), Mbah Amari (80 tahun), dan Mbah Moekari (84 tahun), berbagi pengalamannya kepada gerombolan muda-mudi pecinta sejarah yang tergabung dalam Roodebrug Soerabaia. Suka derita mempertahankan kemerdekaan, mereka tuturkan di kantor KCVRI Surabaya, Jalan Rajawali, pada Minggu (12/8) siang yang panas.


Mbah Moekari, yang mantan pasukan polisi istimewa, atau cikal bakal Brimob, sempat menitikkan air mata saat mengenang rekan-rekannya tewas dihujani peluru. Hanya dua dari 15 orang tentara, salah satunya dirinya, yang berhasil selamat saat disergap tentara Belanda. Lalu Mbah Amari bercerita tentang minimnya obat-obatan untuk menyembuhkan luka perang bagi tentara Indonesia. Hanya diberi asupan kacang hijau dan nasi, agar cepat sembuh.  

Kami (para veteran) sepertinya rame ing gawe sepi ing pamrih” ugkap Mbah Ismunandar, sedikit menyimpulkan. Jika ditelaah, maksudnya mungkin, ketika berjuang yang terpenting bagi mereka hanyalah semangat mempertahankan kedaulatan RI dan membela tanah air, tanpa melihat berapa besar penghargaan atau rupiah yang akan dikantongi. Bukannya sibuk mencari kedudukan-jabatan, seperti yang banyak disibukkan pejabat dan pembesar yang mengaku-aku “pahlawan” di masa kini.

Seorang pejuang, kala itu, kata Mbah Moekri, harus bersikap nrimo ing pandum, atau menerima apa saja yang Tuhan berikan, yang dimilikinya, tapi tetap berjuang. Walaupun tak punya markas, harus menumpang dan berpindah-pindah, dibayar rendah, hanya Rp 15/bulan, bukan alasan menyurutkan gelora perjuangan kemerdekaan. Mereka menyadari, veteran, apa lagi yang mengalami cacad perang, adalah "tumbal negara." Tumbal yang dikorbankan demi mencapai podium kemerdekaan. Satu lagi yang terpenting kata Mbah Moekri, meski kita perang tapi harus tetap jujur dan sportif. Biarpun rasa dendam berkecamuk karena Belanda telah membunuh teman-temannya, tetap saja jika ada tentara Belanda tertangkap tak bisa dimain hakim sendiri.

Mereka bertiga merupakan saksi sejarah yang mewakili ratusan veteran yang kini masih bertahan hidup menyaksikan 67 tahun kemerdekaan RI. Merekalah yang merintis tangga kemerdekaan yang kita nikmati sekarang. Namun, bukan berarti kehidupan mereka layak. Di Asrama KCVRI Surabaya atau dulunya bernama “Asrama Invalide”adalah tempat tinggal bagi veteran, janda dan keturunan veteran yang cacad perang. Petak-petak rumah saling berimpitan, dengan kamar mandi umum.

Lilis (46) putri Mbah Misroe Harmiyanto (alm), mantan kepala, mengatakan dulu tinggal 30 keluarga veteran cacad dalam rumah yang tersekat-sekat tembok dan papan. Tapi kini, tersisa 14 janda serta keturunan veteran. “Sudah agak lebih lega, karena penghuninya makin sedikit dibandingkan dulu,” ujar Lilis yang lahir dan besar di asrama itu.

Menariknya, sebuah bungker yang separuh bangunannya terendam tanah, juga disulap jadi tempat tinggal bagi dua keluarga. Kediaman ibu Hadi dan ibu Wardoyo. Luas bungker dengan tebal dinding luarnya sekitar 65 cm, dan tebal atapnya sekitar 120 cm, tak lebih dari 30 meter persegi. Ada empat ruang yang terhubung dengan tiga pintu besi. Pintu-pintu, atap kayu jati, dan bagian dalam bunker masih utuh keasliannnya.

Biar di luar panas, tapi kalau di dalam dingin kok. Orang di dalam bisa dengar suara di luar, tapi orang luar tidak akan dengar orang bicara apa di dalam bunker,” jelas warga asrama. “Wow.., tidur di bunker tapi bukan karena perang. Tidur di bunker padahal zaman sudah merdeka,” celotehku riuh dalam otak sendiri.

Aku pun jadi berpikir sama seperti Tole. Apa benar kita sudah merdeka? Atau hanya sebagian orang yang sudah merdeka, sedangkan yang lain masih tetap terjajah? Parahanya, mereka terjajah oleh bangsanya sendiri. Dan anehnya, yang terjajah malah pasrah. Hidup menyerah tanpa asa, menurut apa saja kata si penguasa. Bahkan, si terjajah linglung sehingga gampang digulung. Sementara si penjajah semakin agung di atas kapal limbung.

Katanya merdeka, tapi sekolah aja kok mahalnya minta ampun. Katanya merdeka, tapi rumah masih di kolong jembatan. Katanya merdeka, tapi kok berobat aja harus ngemis dulu sama rumah sakit. Katanya merdeka, tapi jujur sedikit, langsung diprotes. “Huuhh.., merdeka atau setengah merdeka? Kalau telur setengah matang sih enak, tapi kalau setengah merdeka sih sama aja bohong om..!!” 


 
***

   “Lek, besok sarapan ikan asin opo tempe?” tanya si bocah sembari menguap lebar melepaskan kantuk yang amat dalam. 
   “Sarapan?! Bocah semprul. Wong bengi iki ae kita cuman mangan angin karo teh tawar. Wis gak usah dipikir sesuk mangan opo, sing penting kowe isih iso ambeg-an ae iku lak yo wis untung-untungan,” timpal Paklek yang lalu meniup mati api lampu ublik (lampu tempel) yang nyalanya temaram.


--yuda thant--

Kamis, 09 Agustus 2012

Berpuasa dengan Pantun Arguni

(tulisan ini adalah pengalaman unik yang aku rasakan di sebuah pulau kecil berpenduduk kurang dari 100 keluarga, di negeri cenderawasih, dimana nafas ramadhan terasa hangat menyelimuti kedamaian hidup beragama)

Pukul satu setengah dua, pukul tiga hampir siang. Masak nasi berpanas kuah, orang puasa kita semua,” suara remaja lelaki bergema di tengah malam. Tak sampai lima detik, balasan sajak berima pun terlontar dari suara remaja laki-laki lainnya. “Bulan ramadhan bulan yang mulia, umatnya islam wajib berpuasa. Sebulan lamanya menahan dahaga, lapar dan haus napsu amarah.”

Seperti itulah, puisi-puisi Arguni yang disajakkan oleh belasan remaja kampung untuk membangunkan warga Kampung Arguni, di Fakfak, Papua Barat, bulan puasa tahun lalu. Suara rebana dan tifa yang dipukuli penuh semangat, menambah gairah balas pantun itu. Tidak hanya berkoar-koar kata“sahur”, tapi mereka berbalas pantun dengan indahnya. 


Saling bersahutan, dan diselingi shalawat nabi dengan iringan rampak rebana. Cara pantun yang didendangkan ternyata mirip seperti lantunan pantun melayu di Aceh. Mendayu-dayu dan cengkoknya sangat khas. Bagi mereka, berpantun bak menyanyi koor tanpa pembagian nada kaku itu adalah bentuk ibadah menambah pahala bulan ramadhan, sekaligus pelestarian tradisi kampung agar tak susut oleh zaman. 

Lagunya (pantun) ada 20-an lebih, tapi dorang (kami/saya) hanya hapal sebagian saja. Yang dorang tahu, itu yang dinyanyikan,” kata Haris Patiran, salah seorang remaja yang bertugas mendendangkan syair pantun.

Menurut Raja Arguni (pemimpin adat di kampung itu), Hanafi Paus Paus, tradisi pantun sahur sudah berlangsung ratusan tahun. Tidak tahu bagaimana muasalnya, namun sejak dia belum lahir, kata orang tuanya, sudah dilagukan saat bulan puasa. Syair yang dipantunkan adalah ayat dan hadist dalam Al’quran, dan ajaran-ajaran islam juga kaidan berpuasa.
 
Dulu, para pelantun pantun sahur berdiri di beberapa rumah. Setelah mengetok pintu, dimulailah pantun pertama dari rumah paling ujung kampung. Pantun berlanjut dinyanyikan oleh pelantun yang ada berdiri di rumah sebelahnya. Bahkan, jika pemilik rumah tahu atau hapal syair pantunnya, dia bisa ikut berbalas pantunnya. Tapi sekarang, cara itu tak lagi diterapkan. Repot mungkin.

Sekarang, bahasa yang dipakai bukan bahasa daerah, tapi bahasa Indonesia. Bahkan, tak banyak lagi yang hapal pantun-pantunnya karena tidak dipelajari secara khusus. “Dulu kan orang pandai mengaji, jadi mereka bisa membalas pantunnya,” ujar Machmud Paus Paus, sesepuh adat Kampung Arguni. 


Meski memudar, tradisi pantun sahur Arguni tetap dilakoni. Tradisi ini sebenarnya juga ada lho di Kampung Baru dan Kampung Kokas, sekitar 15-30 menit jarak tempuhnya dari Pulau Arguni, dengan menggunakan perahu kayu kecil yang disebut katingting. Menurut Siti Iha, warga Kampung Baru, cara membangunan orang sahur semacam itu sudah turun temurun. Sayangnya, beberapa tahun terakhir tak ada. Gak tahu apa penyebabnya.
 
Tradisi unik lainnya yang masih lestari di Pulau Arguni adalah bersih-bersih makam keluarga pada hari ke-25 bulan puasa. Malamnya, yakni di malam lailatul qadar, mereka membakar kemenyan dan menyalakan obor tempurung kelapa. Obornya berupa tumpukan batok kelapa ditusukkan pada kayu atau besi setinggi satu meter. Obor dinyalakan jika usai adzan dari masjid dikumandangkan oleh empat muadzin secara berbarengan. 
 
Machmud bercerita, tradisi ini disebut malam damar. Dilihat dari kaca mata adat, malam damar bermaksud untuk menerangi jalan leluhur yang kuburannya telah dibersihkan. Bukan hanya leluhur, tapi nyala api obor yang diletakkan di depan tiap rumah untuk menerangi sekaligus menuntun umat islam di malam-malam ramadhan. Minimal, tiap rumah memasang dua obor sebagai perlambang pasangan hidup dalam satu keluarga. Dulunya, bukan minyak tanah yang dipakai untuk bahan bakar, tapi getak pohon damar. 

Soal mengapa harus menunggu adzan empat muadzin, konon begutulah tradisinya. Empat muadzin melambangkan pilar-pilar pada kabah dan empat elemen kehidupan di bumi, yaitu air, api, angin, dan tanah, yang saling bersahabat.  Sedangkan soal pembakaran kemenyan, itu sih bentuk ritual untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal. “Bakar kemenyan itu tradisi bangsa Arab yang masuk ke Papua dalam penyebaran agama islam,” tambah kakek yang pernah merantau dan bekerja di Jawa selama beberapa tahun saat masih muda. 

Sensasi berpuasa di tiap daerah tentulah berbeda-beda, demikian pula di kampung nelayan  Pulau Arguni. Yang penting niatnya. Seperti dendang pantun sahur ini yang dinyanyikan Haris bersama teman-temannya, “Jika puasa kita selamat, mendapat kemenangan bangkit kiamat. Di bawah bendera Nabi Muhammad, mendapat Tuhan yang penuh rahmat.”

-yuda thant-

Rabu, 08 Agustus 2012

Dislessia su Libri di Luca

Hampir seminggu aku tenggelam dalam buku fiksi  bersampul merah tua-coklat gelap bergambar lorong perpustakaan antik. Judulnya “Libri di Luca.” Novel karangan Mikkel Birkegaard, penulis asal Denmark, ini membuat aku terbius dan menyadari bahwa buku merupakan wujud pengejawantahan imajinasi liar otak. Sebab, segala persepsi, histori, mimpi, bercampur imajinasi, akan muncul saat kita membaca dan membayangkan perjalanan cerita isi bukunya. Namun, bukan isi atau menariknya buku itu yang hendak aku celotehkan. 

Di novel itu, ada satu karakter pendukung, Katherina namanya, gadis berambut merah penjaga toko buku antik yang menderita disleksia (dyslexia). Meski tak lancar membaca, dia bisa melayani pembeli hanya dengan “membaca” judul yang dibaca pembelinya, meski itu dalam hati si pembeli. 

Nah, gangguan kesehatan ini yang membuatku tertarik karena aku pernah merasa mengidap penyakit disleksia. Sebab, acap kali aku merasa kesulitan mendapatkan konsentrasi untuk mengerjakan sesuatu, termasuk itu membaca. Kadang, aku harus membaca berulang kali sebuah paragraf karena aku belum memahami maknanya, meski aku bisa membaca tiap katanya dengan lancar. Tapi, terkadang kata-kata yang aku baca pun terselip atau terlewat, sehingga menjadi kalimat yang kacau. 

Waduh gawat, sepertinya aku menderita disleksia. Parah gak ya?” pikirku.

Suatu waktu, saat di Jakarta, aku menyempatkan mampir ke sebuah sekolah khusus bagi penderita disleksia. Aku menemuai seorang gurunya, bahkan diajak masuk ke dalam kelas untuk melihat aktivitas belajar-mengajar anak-anak yang menderita gangguan kesulitan konsentrasi membaca dan berhitung. Dan, memang benar. Di kelas yang hanya berisi kurang dari 10 anak berusia sekitar 7-9 tahun, anak-anaknya terlihat hiperaktif dan sulit sekali jika diminta fokus dan serius mengikuti pelajaran dari bu guru yang di depan kelas. 

Kepada aku, bu guru menjelaskan, tidak semua anak di dalam kelas ini punya masalah yang sama. Ada anak yang kesulitan membaca, ada yang kesulitan berhitung, dan ada kesulitan menghapalkan bentuk benda. Saat itu, aku melihat kelucuan dan hiperaktif anak-anak itu bukan sebagai gangguan, tapi sebuah keunikan yang menarik jika ditelaah. 

Disleksia, dislessia, atau dyslexia, sebuah ketidakmampuan anak-anak (bahkan orang dewasa) untuk belajar  akibat kesulitan saat mengeja, membaca, menulis, dan sebagian lagi berhitung. Menurut pemaparan ahli dalam Asosiasi Disleksia Indonesia, disleksia akibat kelainan neurobiologis yang ditandai kesulitan mengenal kata dengan tepat/akurat dalam pengejaan serta kemampuan mengodekan simbol-simbol. Kalau mengacu pada bahasa aslinya, bahasa Yunani, dys (kesulitan) dan lexix (leksikal/huruf) – sumber wikepedia – 

Dilihat dari penyebabnya, ada dua, yakni developmental dyslexia (bahawan lahir/keturunan) serta acquired dyslexia (gangguan/cidera otak kiri). Berdasarkan penelitian, 70 persen penderita disleksia karena faktor genetis, sisanya karena cidera saat beranjak dewasa. Diperkirakan, disleksia terjangkit pada 15 persen populasi di masyarakat, dan laki-laki dua kali lebih banyak menderita. (jeng jenggg...!!)

Ciri-ciri disleksia bisa dideteksi saat tumbuh kembang anak-anak. Biasanya, mereka kesulitan membaca dan membedakan huruf (d/b/q/p/f/v/u/n/m), membedakan kata-kata yang bunyinya mirip atau huruf-hurufnya saling terbalik (palu/malu, nakal/kanal, kepala/kelapa), bahkan kesulitan mengeja furuh dari kata yang disebutkannya. Sehingga, membuat anak-anak ini malas belajar membbaca dan menulis. 

Beberapa ciri lainnya: mencatat yang tertulis di papan tulis, mengingat kata-kata dan ingatan jangka pendek, sehingga besar kemungkinan tidak menyelesaikan tugas/pesan yang disampaikan berurutan. Beberapa anak akan kesulitan memperkirakan waktu dan uang, tidak sabaran melakukan kegiatan motorik halus (memegang benang dan jarum). Akibatnya, anak-anak penderita disleksian kerap kali disebut anak bodoh, bahkan idiot. Tak jarang, mereka terlambat dideteksi. Padahal, banyak anak-anak penderita disleksia memiliki IQ di atas rata-rata, dan banyak yang menjadi orang besar dan ternama, seperti Walt Disney dan Einstein.

Kebanyakan, orang tua tak acuh dengan yang dialami anaknya, dan melihat anaknya bodoh. Sebaliknya, orang tua, kakak, om, atau tante, harus lebih peka pada adik-adik dan anak-anak. Belum tentu mereka bodoh, namun mengalami kesulitan membaca. Jadi, jika aku atau ada keluarga yang menderita disleksia itu belum kiamat man!! 

Salah satu solusinya adalah memberikan pendidikan atau sekolah khusus yang sesuai kebutuhan si bocah. Belajarnya tidak bisa dicampur dengan anak-anak biasa, agar selanjutnya setelah beranjak remaja/dewasa mereka bisa berbaur dengan masyarakat. Dan tak jarang, kemampuan mereka di atas rata-rata anak-anak biasa. Cara belajar anak-anak penderita disleksia bisa dilakukan melalui metode dan pendekatan multisensor, seperti visual, auditorial, dan perabaan. Memberikan instruksi yang pendek, tidak bertubi-tubi, mengajarkan kata-kata bukan sekadar melafalkan keras tapi juga memberikan rasa pada tiap katanya, dan jika sempat membacakan buku sebagai pengantar anak-anak tidur. Namun yang terpenting, bersikaplah positif. 

Akhirnya, aku mengembalikan scene disleksia ini pada novel “Libri di Luca,” yang memberi tautan cukup besar. Jon Campelli, tumbuh besar dengan buku-buku dan cerita yang dibacakan oleh ayahnya, Luca Campelli. Dari membaca, tiap jendela informasi serta imaji terbuka semua. Membaca adalah terapi, membaca adalah relaksasi, dan membaca adalah tempatku berlari. Berlari mengejar mimpi, mengejar hari sampai esok nanti...

 -yuda thant-