Tampilkan postingan dengan label features. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label features. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 November 2014

Sehat itu Hak Semua Orang

Semua orang berhak mendapatkan keadilan, termasuk dalam hal kesehatan. Sebab, sehat adalah salah satu bagian dari hak asazi manusia. Sepertinya, hal inilah yang coba diangkat menjadi isu utama rencana kerja oleh Bu Nila Moeloek, selaku Menteri Kesehatan dalam Kabinet Kerja, yang tertuang dalam artikel Kompas (Sabtu, 15 Novermber 2014) halaman 14.  

Bu Menteri, menyatakan bahwa 96,7 juta penduduk di Indonesia membutuhkan jaminan kesehatan atas dasar ketidakberdayaan mereka mengakses pelayanan kesehatan dasar. Namun, 10,3 juta dari penduduk itu belum sama sekali belum terjamin oleh bantuan jaminan kesehatan. Padahal, sebagai warga negara, mereka berhak mendapatkan hak yang sama dengan orang yang mampu mengakses pelayanan kesehatan.

Karena miskin, sakit mereka semakin parah. Karena daerahnya terpencil, tidak ada tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai. Karena biaya obat mahal, mereka memilih membeli obat sembarangan. Karena pelayanan di puskesmas sekadarnya, mereka memilih ke rumah sakit, meski tidak punya duit untuk berobat. Karena anggaran untuk kesehatan dari pemerintah daerah minim, pengadaan obat dan fasilitas kesehatan terbatas. Karena mereka tidak tahu, sehingga lingkungan yang kotor dan kebiasaan hidup yang buruk tetap dipelihara.

Masalah kesehatan tidak bisa dilihat dari satu sisi, atau harus dilihat secara keseluruhan. Sebab, kesehatan dalam bahasa Inggris adalah health, yang dalam Bahasa Inggris Kuno health mengacu pada kata “whole” yaitu seluruhnya. Sehingga, tak salah jika kesehatan dilihat sebagai suatu entitas yang “holistik.”

Benar kata Bu Menteri, bahwa kesehatan itu nggak bisa berdiri sendiri. Kesehatan harus dilihat dari berbagai segi. Sehat bukan berarti badan itu tidak sakit dan tidak ada luka. Tetapi sehat itu berarti juga kondisi mental (jiwa) kita tidak mengalami gangguan, bahkan hidup sejahera secara sosial dan ekonomi. Statement ini sesuai dengan definisi sehat dari World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahka kesehatan bukan semata-mata tidak adanya penyakit maupun kecacadan pada tubuh.


Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kesehatan juga tidak bisa dilihat hanya dai satu kaca mata kesehatan (medis). Masalah itu harus dicermati, diterawang, bahkan ditelusuri dari beragam kaca mata dan bingkai, seperti kaca mata ekonomi, sosiologi, budaya, bingkai teknologi dan informasi, gender, transportasi, lingkungan, dan bingkai-bingkai lainnya.  Sebab, belum tentu problematika kesehatan itu bermuara di masalah medis seseorang.

Banyak determinan sosial yang memicu teradinya masalah kesehatan. Mulai dari masalah tidak adanya tenaga kesehatan di puskesmas terpencil, pengangguran, kemiskinan, lansia, kenaikan BBM, jalan desa yang buruk, tidak ada MCK, tidak tersedia air bersih, hingga luapan lumpur gas pun bisa menimbulkan sakit dan penyakit.  Jadi, masalah kesehatan bukanlah masalah gampang yang bisa diselesaikan satu pihak. Kesehatan harus melibatkan banyak pihak, banyak prespektif, dan banyak usaha yang berkelanjutan. 

Mencegah Lebih Baik
Bu Menteri juga menekankan, keadilan kesehatan tidak mungkin terwujud jika pengentasannya hanya terpusat pada upaya kuratif atau pengobatan pasien. Problema kesehatan harus mulai ditangani sebelum masyarakat sakit, yakni dengan upaya promotif dan preventif (pencegahan).

Jika kita berandai-andai. Berapa miliaran rupiah anggaran yang digelotorkan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruh penduduk sehat? Jawabannya sangat banyak dan tidak mungkin. Sebab, konsep sehat pada masyarakat saat ini masih konsep lama, yakni tidak sakit. jika sakit maka diobati. Isu kesehatan bukan prioritas dalam hidup. Sehat dan sakit dilihat sebagai dampak, bukan sebab. Konsep ini yang masih terbenam dalam otak dan sikap kita, yang sebenarnya harus diubah.


Konsep sehat yang tepat adalah preventif dan promotif, bukan kuratif dan rehabilitatif. Promotif adalah meningkatkan kualitas kesehatan, sedangkan preventif mencegah tubuh menderita akibat gangguan kesehatan. Sehat tidak lagi mengobati, tapi mencegah. Sebab, mencegah sakit berarti penghematan dan keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Tidak sakit berarti kita tidak perlu mengeluarkan biaya mahal berobat; tidak kehilangan waktu bekerja dan upah kerja; tidak kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan; tidak kehilangan waktu bersama keluarga; dan tidak menderita akibat penyakit. Sehat berarti kita dapat hidup dengan tenang, bekerja dengan lancar, menikmati liburan dengan nyaman, menabung dan hidup sejahtera.

Biarkan urusan kuratif dan rehabilitatif menjadi tanggung jawab pemerintah (seperti kartu sehat dan jamkesmas). Namun, prefentif dan promotif harus menjadi tanggung jawab kita sebagai individu dan bagian dari anggota masyarakat. Konsep promotif dan preventif dapat dilakukan dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu dalam rumah tangga dan diri sendiri. Mulai dengan membiasakan gaya hidup sehat (tidak merokok, tidak minum miras, dan tidak seks bebas), olah raga teratur, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dan cuci tangan pakai sabun. Perilaku hidup sehat di lingkungan sosial juga harus ditingkatkan seperti tidak membuang sampah sembarangan, buang hajat di WC, menanam pohon, olah raga bersama, hingga mendaur ulang sampah. Semua itu adalah langkah preventif dan promotif agar kita sehat, baik fisik, mental, dan sosio-ekonomi.

Wujud hasil dari perilaku preventif dan promotif memang tidak langsung terlihat. Berbeda 180 derajat dengan perilaku kuratif, yang ces pleng dan bim salabim akan terlihat. Butuh proses agar perilaku preventif-promotif ini mempertontonkan hasilnya. Misalnya, dengan menanam pohon, butuh 5-10 tahun akan terlihat perubahan kualitas udara di suatu kota. Udara menjadi lebih bersih, pencemaran menurun, risiko warga mengalami gangguan sakit ISPA berkurang. Preventif ini gampangnya seperti pemberian vaksinasi pada tubuh sewaktu kita bayi. Jika tubuh diberikan vaksinasi untuk meningkatkan imunitas tubuh, maka risiko menderita suatu penyakit tertentu akan lebih rendah.

Sehat memang hak setiap orang, tapi sehat juga tanggung jawab semua orang, tanpa terkecuali. Kita berkewajiban menjaga dan mempertahankan kesehatan diri kita sendiri, kesehatan keluarga, hingga kesehatan lingkungan tempat kita hidup. Mulailah dengan mencegah agar tidak sakit; mencegah agar tidak rentan terkena penyakit; mencegah tidak tertular maupun menularkan penyakit; dan mencegah melakukan tindakan yang berisiko menimbulkan sakit. Mulailah pula mempertahankan stamina tubuh agar makin kebal terhadap serangan mendadak si biang sakit. Memang tidak mudah, tapi itu bisa dilakukan. 

Tampaknya, tugas Bu Menteri nggak gampang. Sebab yang diajak berubah untuk berpikir hidup sehat bukan hanya para petugas kesehatan, tetapi semua penduduk Indonesia, demi mencapai derajat kehidupan dan status kesehatan bangsa yang berkualitas. 

@yudathant


Selasa, 28 Oktober 2014

Ksatria Pekerja Berkemeja Putih

Minggu sore, sekitar jam 17.15, Jokowi dan JK bergegas masuk ke taman Istana Negara. Langkahnya cepat, seperti biasa. Pak JK pun sampai terpaksa lari kecil untuk mengimbangi langkah “sprint” Pak Jokowi. Sesekali keduanya melempar senyum kepada orang-orang yang menyapanya saat melintas. Wajah kedua pemimpin negara itu tampak segar dengan kemeja putih dan celana hitam yang membalut tubuh mereka.

Sambil menuang segelas minuman dingin dan menjumput lalu mengunyah melinjo manis dari toples plastik, aku pun antusias mengikuti acara pengumuman “kabinet kerja” pilihan Pak Jokowi dan Pak JK. Ponsel di tangan memampang 34 nama menteri, kiriman teman seorang jurnalis dari sebuah milis di akun whatsap. “Katanya ini sudah pasti nama-nama menterinya. Hasil akhir,” begitu kata dia dalam milis.

Dalam milis itu pun disebutkan bahwa nanti, sewaktu pengenalan 34 menteri, para calon menteri akan menggenakan baju warna putih. Awalnya sih gak terlalu peduli. Tapi, sewaktu benar-benar melihat di layar TV para menteri yang dipanggil satu per satu datang dengan kemeja warna putih, rasanya hati sedikit terenyuh. Semua menteri, laki-laki maupun perempuan, mengenakan kemeja polos warna putih, yang sepertinya sama modelnya seperti yang dikenakan oleh Pak Jokowi dan Pak JK. Celana yang dipakai pun celana hitam polos. Rasanya sangat santun, bersahaja, sederhana, dan damai melihat barisan para panglima beserta nahkoda-nya berbusana warna putih.

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi pengenalan menteri-menteri baru ini terasa berbeda, segar, dan memberikan harapan baru. Tidak adak kesan glamour atau lebay yang sengaja dipertontonkan. Mereka, para ksatria, dikenalkan kepada publik sebagai pekerja dan panglima, bukan sebagai pejabat dan pembesar. Dari kemeja putih itu, sepertinya Pak Jokowi-JK ingin memberikan sebuah pesan kepada rakyat bahwa panglima-panglima yang dipilihnya adalah ksatria yang siap bekerja dan memberikan yang terbaik kepada bangsa.


Pelangi pada Tunic Romawi 
Tiap menteri memiliki gayanya masing-masing dalam mengenakan kemeja putihnya. Misal Pak Yuddy Chrisnandi, selaku Menpan, tampil dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya, dengan bagian lengan yang digulung 7/8. Serupa dengan Ibu Retno Marsudi, yang didapuk sebagai Menlu, memasukkan kemeja putihnya yang sedikit kedodoran. Sementara Ibu Siti Nurbaja, Menlinghut, membiarkan kemeja putihnya terjuntai keluar dengan bagian lengan yang tertutup rapi sampai pergelangan tangan. Sedangkan yang sedikit berwarna adalah tampilan Ibu Susi, selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, yang melilitkan scraf warna-warni pada lehernya.

Dalam benak ini masih bertanya apa alasan sebenarnya yang membuat Pak Jokowi dan Pak JK ingin para panglima perangnya tampil dengan kemeja putih dan celana hitam. Busana yang mereka kenakan membuat aku teringat dengan kostum para pekerja yang sedang magang. Pakainnya pasti hitam dan putih. Apakah Pak Jokowi-JK ingin mengingatkan bahwa para menteri yang terpilih ini adalah para pekerja mula atau pekerja magang yang akan berkarya di dalam sebuah kapal baru bernama “kabinet kerja.” Ataukah mereka sengaja ditampilkan kepada publik sebagai orang-orang bersih yang tidak akan melakukan tindak korupsi, dan tidak punya raport merah dari KPK.

Atau mungkin, Pak Jokowi-JK ingin menunjukkan bahwa para ksatria yang dipilihnya adalah orang-orang yang siap bekerja, bekerja, dan bekerja. Kesan bahwa mereka yang terpilih tidak memiliki agenda penting lain yang disisipkan oleh partai atau kelompok kepentingan yang menjadi afiliasi mereka. Tak ada warna kuning, biru, merah, oranye, hijau, ungu, dan lainnya. Hanya putih. Ini bisa diartikan bahwa mereka memiliki warna yang sama, tujuan yang sama, dan semangat yang sama, yaitu untuk kebaikan rakyat dan bangsa.

Kemeja warna putih ini mengingatkan aku pada para negarawan dan pemikir di masa Romawi-Yunani kuno. Para negarawan dan pemikir selalu tampil mengenakan tunica (baju dengan ukuran lebih pendek) atau toga (baju berukuran lebih panjang) berwarna putih. Selain perbedaan bahan, tunic atau toga putih itu memberikan kesan bahwa orang yang mengenakan adalah orang penting dan memiliki posisi tertentu. Di zaman Romawi kuno, seorang gadis akan tetap mengenakan baju putih hingga dewasa dan menikah. Orang Romawi juga yakin bahwa mengenakan baju berwarna putih akan memberikan ketenangan dan mimpi yang indah.

Dalam berbagai budaya dan tradisi, warna putih melambangkan kesucian dan kemurnian. Tak pelak, warna putih sering dikenakan oleh pengantin perempuan atau bahkan dalam upacara penyucian diri. Secara tradisional, laki-laki yang mengenakan baju putih dilambangkan sebagai bentuk kebajikan dan kepolosan. Baju berwarna putih mampu memancarkan aura kebaikan dan kesan yang tulus seseorang. Bak kanvas, warna putih bagi pelukis adalah media paling murni baginya menuangkan karya ciptanya.

Namun, menurutku, warna putih adalah hasil akhir dari penggabungan seluruh warna. Saat semua warna bertumpuk menjadi satu barisan, warna terakhir yang terlihat adalah putih. Ibarat pelangi yang membujur di langit usai hujan reda, merupakan sebuah pembiasan cahaya dari matahari. Warna putih sang surya yang kuat ternyata jika diuraikan melalui media air akan membentuk spektrum warna-warni pelangi. Jadi, seperti itulah pesan putih yang ingin disampaikan Pak Jokowi-JK melalui kemeja putih para panglima perangnya.

Yah, semoga yang aku harapkan, dan mungkin kamu dan orang lain harapkan adalah seperti itu. Bahwa Pak Jokowi dan Pak JK ingin membawa pembaruan dan mewujudkan Indonesia yang lebih baik dengan para “ksatria putih”-nya. Semoga juga, kemeja putih ini tetap putih sampai akhir masa kerja mereka, tidak tercoreng oleh warna-warna gelap, atau malah berganti dengan warna kemeja sesuai dengan afiliasinya.

Oh ya, ngomong-ngomong aku belum punya kemeja putih nih... (bukan mau dipanggil Pak Jokowi buat jadi calon menteri, tapi mau ngelamar kerjaan, hahaha...)

--  @yudathant  --


Minggu, 20 Juli 2014

Durian atau Kedondong? What Ever!

Sudah beberapa bulan ini aku menghilang dari jagad maya blogger. Bukan maksud hati seperti itu, tapi apa lah daya, semua ini karena semua tenaga terkuras oleh yang namanya tugas akhir kuliah..., oh nasib jadi mahasiswa..., akhirnya, jadwal untuk mengunjungi salah satu “pondok” ku di dunia maya ini pun tak pernah terealisasi. Anyway, saatnya mulai kembali berkarya di pondok ini. Enjoy your day guys..


“apa yang kaulihat, bukanlah fakta yang akan kau dapat"

Di sela-sela mengurus perizinan riset tugas akhirku di Bojonegoro, aku mendapatkan sebuah ilmu. Sebenarnya sih bukan ilmu baru, tapi ilmu ini dituturkan langsung dari pengalaman hidup seseorang. Pak Yono, begitu lelaki yang kini berusia 58 ini biasa dipanggil, yang menceritakan filosofi durian dan kedondong.
"Kalau orang lihat saya pertama kali itu (kesannya) pasti galak, jahat, kereng, dan gak enak pokoknya. Tapi, orang pasti akan tahu lebih kalau sudah kenal saya. Saya gak suka yang namanya bermanis-manis kalau ada orang (yang baru dikenal). Apa adanya saja," omong dia dengan lugas.
Dalam hati aku membatin. "Ohh.., pantas aja, pas tadi pertama ketemu mukanya galak amat. Gak ramah. Untung ajah tadi aku cuek-cuek monyet, anggap gak tau apa-apa, jadi gak merasa sewot meski Pak Yono pasang muka satpam, hehehe..."

Tapi, setelah sejam lebih ngobrol ngalor ngidul, Pak Yono, yang mantan pegawai dinas pendidikan ini pun mencair. Dia malah cerita perjalanan hidupnya dari pegawai honorer, sampai akhirnya kini menjabat kepala desa yang baru dilantik 11 bulan lalu. Dia juga bercerita tentang keragaman adat yang seharusnya tidak dikotori dengan konflik kepentingan. Serta, kekaguman dia dengan Bali, my encester island.
Kembali lagi soal durian dan kedondong. Baginya, berperilaku seperti durian lebih penting dari pada menjadi kedondong. Dia lebih suka menunjukkan hal-hal yang "pedas" di awal pertemanan. Dia akan melihatkan sisi jelek lebih dulu dan bersikap tegas untuk mendasari hubungan kerja sama. Setelah orang tahu sisi negatifnya, dia akan menyuguhkan sisi positif, koperatif, dan faedah yang ada dalam dirinya. Ibaratnya, orang bisa menikmati legitnya isi buah durian saat bekerja sama dengannya.
Kebalikan durian adalah kedondong. Orang macam ini adalah orang yang selalu tampak baik, tulus, dan menyenangkan. Tapi, di belakang dia malah menjelek-jelekkan dan menikam kita. (Kalo kamu tanya, emang ada orang semacam ini? Aku jawab, banyak! Tentunya dengan kadar yang beda-beda.)
Buah kedondong itu kan mulus kulitnya, kata Pak Yono. Warnanya hijau segar, menggoda untuk dinikmati. Namun setelah dikupas, rasa buahnya yang manis kecut, sering kali membuat dahi kita mengernyit, mata kita menyipit, dan lidah kita mengecap-ecap menahan rasa kecut. Belum lagi biji buah ini yang "berurat-akar" yang membuat kenikmatan makan kita menjadi tercakar-cakar. 


Durian dan kedondong, adalah sebuah filosofi ringan tentang gambaran watak seseorang yang mengorbit di sekeliling kita. Bisa jadi, teman sebangku atau teman yang sering hang out dengan kita itu durian atau kedondong murni, atau malah bukan durian tulen atau kedondong tulen. Sebab, kadar durian dan kedondong tiap orang berbeda-beda. Ada yang KW 1, KW 2, sampai KW 3.
Kalau sudah tau ternyata teman, sohib, bahkan pacar kita itu ternyata kedondong atau durian, so what? Bahkan ternyata diri kita sendiri adalah kedondong atau durian, what next? 
Sejatinya, dengan tahu apa karakter orang lain sebenarnya, hal ini akan menentukan bagaimana kita menyikapi perilaku mereka. Misalnya nih, kalau kamu ketemu dengan kedondong, kamu bakal lebih aware atau waspada. Sebab, siapa tahu yang diomongin tuh kedondong it's not a 100% true, or s/he has another agenda behind you that might harm you.
Di lain waktu, pas kamu ketemu sama durian, jangan anggap semua yang dia lakukan itu maksudnya untuk menyakiti atau melukai perasaanmu. Karena, dia berbuat tegas, keras, dan judas pasti punya tujuan baik buat kamu. Misalnya saja dia mau supaya kamu lebih disiplin, serius, dan bisa bertanggung jawab. Karena aku pernah punya pengalaman pribadi dengan durian, yaitu dengan mantan bosku.
Dia galak banget kalo sudah urusan kerja, semua bakal dimarahin habis-habisan kalo ada yang tidak perfect. Semua orang pasti takut kalo ada telpon dari nomornya, atau dari mejanya. Belum angkat telpon itu sudah panas dingin duluan. Tapi, dengan berjalannya waktu, aku pun tahu apa tujuan dia di balik itu semua. Dia ingin aku bisa menulis dengan baik. (Terima kasih ya Mas HRD, you are my exelent and idol guru).

Durian atau kedondong? What ever! Selama dia dan kamu bisa kerja sama simbiosis mutualisme, gak ada salahnya kan. Selama kalian harmonis dan sama-sama merasakan manis, maka tetaplah optimis bahwa hubungan kalian tidak meninggalkan tangis. Let's enjoy our life with a plenty of good things.  

"Pak, saya pamit dulu, terima kasih waktunya ya Pak." 
"Oh gak apa-apa mas. Nanti kapan-kapan kalau penelitiannya sudah selesai, mampir main-main ke sini lagi yah," ujar Pak Yono penuh keramahan khas orang desa. 

@yudathant

Rabu, 28 Agustus 2013

Berlomba menjadi Pengabdi Negara


Akhir pekan lalu, sahabat baik ku melontarkan pertanyaan, "Kamu daftar PNS gak? Daftar yuk", ajak dia sekaligus. "Memang kamu mau daftar apa? Jawabku. “Aku mau daftar ke Kementerian Kelautan, sesuai dengan kuliah aku dulu,” jawabnya. “Kalau gak salah pendaftaran nanti dibuka mulai 1 September. Ayo kita siap-siap. Aku mau legalisir ijazah dulu,” ajaknya antusias lagi.
Kalau "matahariku" ini niat hijrah menjadi PNS, berarti dia harus melepaskan kursi empuknya di bank swasta yang dia rintis sejak 6 tahun lalu. Entah apa alasannya ingin menjadi pegawai negara, tapi yang pasti tawaran itu menggoyahkan hati ku. Jadi PNS a.k.a pegawai negeri sipil, emang aku mampuTanya hati kecil ini.
Sejak Juli kemarin, kehebohan penerimaan PNS sudah terasa. Seorang teman di kampus pun sengaja menunda balik ke Surabaya karena dia berniat mendaftar dan mengikuti tes CPNS di kotanya, di serambi Mekah. Katanya, lumayan lah coba-coba, siapa tahu tembus, kilahnya. Seorang teman kampus lainnya, sibuk menanyakan di mana alamat BKD (badan kepegawaian daerah) Surabaya dan Jatim. Saat kutanya untuk apa, dia menjawab “Mau lihat formasi (PNS yang ditawarkan) mas bro,” ujarnya.
Malahan, tadi pagi, kakak perempuanku memposting daftar alamat situs seluruh kementerian yang membuka lowongan PNS tahun ini. Dia menyarankan aku mendaftar CPNS, sembari menamatkan pendidikan pascasarjana. Alhasil, aku pun mulai berselancar di internet mencari informasi tentang penerimaan CPNS tahun ini.

Segudang alasan membuat orang berbondong-bondong mendaftar sebagai pegawai negara. Mulai dari jaminan dan tunjangan hari tua, opsi tidak akan dipecat atau dirumahkan (selama tidak melanggar aturan), biaya hidup yang ditanggung negara, kerja tidak berat dan tidak perlu dikejar target, santai tapi digaji, sampai kesempatan mendapatkan beasiswa pendidikan. Lalu apa motifku?

Sejak lulus kuliah S1, di otak ini sudah tertanam untuk tidak ingin menjadi PNS. Kalaupun dulu sempat mendaftar dan ikutan test di Kementerian Luar Negeri, itu adalah syarat karena aku lulusan hubungan internasional dan test-nya ramai-ramai bareng dengan temen satu kampus. Tidak ada niat sama sekali menjadi PNS, sebab dalam pikiranku, PNS itu tidak berkembang. Aku bukan orang yang bisa tenang duduk di belakang meja, gak bisa diam dan santai-santai, juga gak suka terlalu ngikutin apa maunya atasan. Begitulah persepsi tentang PNS yang menjalar di otak ini.
Dari pengalaman di lapangan, selama kerja 7 tahun di media massa, aku melihat bahwa kerja mereka (maaf) tidak becus. Hanya sedikit dari PNS yang benar-benar bisa bekerja, tahu caranya bekerja, dan mengabdi pada pekerjaannya. Kalau mungkin dijumlah, tidak sampai 20 persen yang benar-benar terampil dan mampu bekerja baik. Kinerja buruk ini bukan hanya terjadi pada pejabat berlabel eselon sekian, tapi juga pada anak buahnya. Yah, seperti peribahasa lah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Contoh gampangnya, belum jam 12 siang, seorang pegawai sudah “kabur” dengan alasan menjemput anaknya. Ditanya kapan baliknya, tidak tahu. Malah, belum jam 4 sore, dia juga sudah pulang. Kerjaan di kantor, kalau gak ngobrol, ngetik sebentar, lalu duduk santai. Kerja mereka juga lamban. (Bukan aku banget!)
Tapi, aku pernah kenal sejumlah pegawai yang benar-benar mengabdi. Salah satunya Pak Ali, beliau kepala dinas pertanian di Cirebon. Biarpun anak buahnya pulang sebelum jam 4, dia tetap pulang jam 5. Biarpun habis meninjau lahan sawah yang terserang hama, dia pasti balik ke kantor untuk membuat laporan. Jadi, dia bukan hanya tahu, tapi juga memahami dan mendalami pekerjaannya.
Kekhawatiran aku tentang kinerja PNS ini memang terjawab dengan pernyataan Wamen Pemberdayaan Aparatur Negara Eko Prasojo, bahwa masih banyak PNS yang kinerjanya tidak baik, belum memenuhi standar kompetensi, dan tidak bekerja fungsional. Saat ini, jumlah PNS hampir 4,5 juta orang yang tersebar di lembaga pemerintahan pusat hingga daerah. Dana yang digelontorkan untuk membiayai para PNS itu lebih dari Rp 1.200 triliun per tahun. Ngomong-ngomong, gaji PNS mulai dari golongan 1a sampai 4e itu dari Rp 1,3 juta sampai Rp 5 juta.
Tiap tahun, gaji mereka selalu dinaikkan, dan malahan akan disesuaikan dengan gaji pegawai swasta. Alasannya, penyetaraan untuk meningkatkan kinerja mereka, sehingga tidak ada lagi PNS yang santai-santai dan menunda pekerjaannya. Hal ini tentu akan menimbulkan kontroversi dan tantangan yang tidak mudah. Sebab, yang diubah adalah perilaku PNS yang selama ini sudah tertanam di pola kerja mereka. Pegawai baru mungkin saja bisa berubah, lalu bagaimana dengan pegawai lama, yang punya status dan jabatan di daerah, ini sangat susah dan butuh kerja keras. Menurut aku, pemerintah harus merealisasikan aturan pensiun dini bagi pegawai yang tidak credible atau yang tidak sesuai standar.
Apa masih mau daftar jadi PNS? Sebenarnya, bokap dulu juga PNS, keluarga bokap juga beberapa yang PNS, tapi hasrat jadi PNS belum membuncah. Lalu, kalau ditanya motif jadi PNS, mungkin aku bakalan menjawab untuk mengabdi, tentu saja mengabdi dengan caraku sendiri, hehehe... Aku mau jadi PNS asal ritme kerjanya seperti pegawai swasta, dan sistem renumerasi-nya juga seperti perusahaan swasta. Maksudnya, gaji diberikan berdasarkan kinerja, bukan sekadar daftar hadir dan lama kerja. Sebab, daftar hadir bisa dimanipulasi, seperti daftar hadir di kelas waktu kuliah, hehehe...
Ohya, sebelum mulai mendaftar, kata teman, siapkan dulu syarat-syarat yang pasti dibutuhkan untuk mendaftar test CPNS, diantaranya: ijazah dan transkrip nilai yang dilegalisir, foto diri (gak usah pake gaya ala cherrybelle yah) 4x6, surat keterangan sehat dari dokter pemerintah, dan kartu kuning atau surat keterangan pencari kerja dari depnaker.
Well, aku bakal coba aja deh, kan nothing to lose. Siapa tahu, ladang merumput aku selanjutnya adalah lembaga pemerintahan, dan menjadi pengabdi negara. Bukan sekadar beban negara, tapi mencoba memberikan dan melayani yang terbaik untuk negara, hehe.., sok idealis. ^_^ 
  
-yudathant- 

Jumat, 23 Agustus 2013

Menduniakan Batik Lewat XL

Beberapa scene Julia Roberts di film "Eat, Pray, Love"

Dengan dress batik warna biru turquoise, Julia Robert mengayuh sepedanya menyusuri jalanan desa yang kanan-kirinya dihiasi pemandangan sawah. Wajahnya yang cantik tersapu angin dan mentari pagi, tampak bahagia saat mencari kisah cintanya di Pulau Dewata.

Itulah salah satu scene dalam film “Eat, Pray, Love” yang dirilis tahun 2010 lalu. Yang menarik dalam scene ini, dress batik yang dikenakan Julia. Sepertinya, ini film pertama Hollywood yang menyuguhkan batik menjadi kostum bagi pemeran utamanya. Batik masuk film Hollywood, meski hanya tampil sebagai “figuran.”

Saat ini, makin banyak pesohor dunia yang menggemari batik. Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela yang menggemari batik sejak 15 tahun silam, salah satunya. Selebritis dunia, seperti Jessica Alba dan Heidi Klum pun demikian. Batik juga mulai masuk ke butik-butik di luar negeri, yang menjadi destinasi selebritis jagad raya ini belanja. Batik makin mendunia, dan dunia mulai mengenal batik Indonesia.

Sejak disahkan sebagai warisan budaya tak benda (intengible cultural heritage) oleh UNESCO tahun 2009, industri batik di tanah air bergeliat. Jika dibandingkan dengan tahun 2006, pertumbuhan industri batik tahun 2010 melejit di atas 56 persen. Bahkan, batik mampu menyumbang pendapatan negara yang tidak sedikit. Kontribusi batik dari hasil ekspor sebesar  69 juta dolar AS, dan diperkirakan tiap tahun pendapatan dari produksi batik mencapai Rp 100 miliar. Hal ini dilihat dari sumbangan industri fashion tahun 2011 saja sebesar Rp 147 triliun atau 28 persen dari total PDB industri kreatif.

Sebagai salah satu produk subsektor indsutri kreatif, industri batik mampu menyerap 3,5 juta orang tenaga kerja. Ini belum termasuk dengan tenaga kerja tidak langsung yang mendukung industri batik. Pihak Kementerian Perindustrian memperkirakan sekitar 7 juta orang tenaga kerja, yang langsung dan tidak langsung, berkecimpung dalam industri batik. Batik merupakan salah satu lokomotif terkuat industri kreatif di Indonesia.

Umumnya, 99 persen industri batik di Indonesia adalah unit usaha kecil menengah. Sebanyak 55.912 unit usaha tersebar di tanah air dan membentuk sentra industri batik, seperti di Pekalongan dan Solo di Jawa Tengah; Cirebon, Indramayu, dan Garut di Jawa Barat; Madura, Pacitan, danTuban di Jawa Timur; Bantul di Yogyakarta; Serang di Banten; Jambi dan Palembang di Sumatera, juga di Pare-pare Sulawesi.

Potensi pasar batik dalam negeri sendiri juga terus meningkat, sejak pemerintah menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai batik nasional. Euforia masyarakat untuk “berbatik” yang meledak-ledak makin menyuburkan pasar batik di dalam negeri sendiri. Batik tidak lagi menjadi produk fashion yang dikenakan, seperti kemeja, gaun, rok, dan aksesoris busana, tapi sudah merambah ke tas, sepatu, cover laptop, sarung bantal dan hiasan dinding. Malahan, konsep batik diadopsi menjadi ornamen penghias produk, seperti mobil batik dan gitar batik. Konsumen domestik diperhitungkan mencapai 72,8 juta.
Angka 72 juta sebetulnya belum bisa disebut bagus. Sebab, jumlah itu hanya sekitar 30 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dan 26 persen jika dibandingkan dengan 270 juta pengguna ponsel di Indonesia. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pertumbuhan industri batik diyakini bisa meroket lagi. Asalkan, industri batik dalam negeri memaksimalkan layanan dan akses kemudahan yang disediakan oleh operator seluler.

Melalui telepon seluler, pengguna kini dengan gampangnya mengakses internet. Tarif berselancar lewat ponsel pun kian terjangkau, dengan koneksi super cepat. XL dengan “hotrod 3G+” menjanjikan layanan internet yang cepat dan stabil, juga XL Bebas yang memberikan fasilitas internet gratis 6 bulan. Demikian pula operator lain seperti Tri dan Axis yang menawarkan layanan “tidak pernah mati” (always on) dan pulsa gratis.

Situasi seperti ini adalah peluang bagi produsen, distributor, dan desainer batik menjajakan produk kreatifnya. Mereka tidak perlu lagi khawatir dengan biaya iklan yang mahal. Sebab, hanya berbekal internet di ponsel, promosi ke tetangga desa, kerabat di kota lain, sampai ke klien dari negara di ujung dunia pun dengan gampangnya bisa dilakukan. Transaksi jual beli e-commerce juga bisa lewat ponsel. Hanya tinggal tentukan barangnya, jumlahnya, tawar menawar harganya, lalu bayar. Tidak perlu lagi harus bertemu, karena “pasar dunia maya” menawarkan kemudahan yang tak terkira.

Konsumen mancanegara adalah target berikutnya yang bisa dilakukan melalui akses internet di ponsel. Pasar Eropa dan Amerika Serikat adalah sangat menjanjikan. Konsumen di kedua benua itu tidak hanya peduli dengan produk kreatif, namun juga produk bernilai seni budaya, berbahan alam dan ramah lingkungan, yang terwujud dalam sehelai kain atau sebuah gaun batik. Penetrasi internet di kedua benua itu juga sudah tinggi, lebih dari 60 persen, sementara di Asia baru 32 persen dari populasi penduduknya.

 Batik pun dapat menjadi magnet wisatawan mancanagara datang ke Indonesia. Proses produksi dan filosofi membatik merupakan daya tarik wisata yang elok ditawarkan kepada mereka. “Banyak kok bule yang suka membatik. Mereka bikin batik, terus hasilnya mereka bawa pulang,” ujar salah seorang pemandu wisata di kawasan Taman Sari Yogyakarta.

Jika hal menarik ini dipromosikan lewat internet, tentu makin banyak bule yang datang. Caranya? Gampang, dan bisa dilakukan sendiri oleh si perajin batik. Cukup rekam gambar proses membatik dan kain-kain batik yang dihasilkan dengan kamera, unggah ke situs Youtube dan Facebook.  Di sinilah peran operator seluler, seperti XL, bisa menjadi kunci pembuka gerbang mendunianya batik. Berperan sebagai prootor dan pemasaran merupakan tanggung jawab pihak swasta, melanjutkan kerja pemerinttah yang telah memudahkan akses produksi perajin dan desainer batik.

Bandingkan, kolom pertama dan kedua
adalah koleksi busana batik, sedangkan
pada kolom ketiga dan empat adalah
busaha koleksi Versace.
Tarif murah dan kecepatan akses internet adalah tawaran terbaik yang diberikan para operator seluler. Harapannya, kemudahan akses internet membuka wawasan dan mengembangkan ide-ide perajin/desainer batik tentang desain baru yang sesuai selera pasar.  Sudah ada batik bermotif logo club bola, mobil (alat transportasi), dan motif lainna yang modern dengan warna-warna cerah. Siapa tahu, sebentar lagi XL bakal meluncurkan simcard bermotif batik.

Dalam film “Eat, Pray, Love” batik memang tampil seklebatan. Namun, jika promosi batik gencar dan berkelanjutan, tentunya melalui ponsel yang kita genggam, yakinlah batik bakal menjadi pemeran utama dalam film-film Hollywood berikutnya. Seperti kain sari di India, batik merupakan jati diri budaya bangsa Indonesia. Namun di saat bersamaan, batik juga layak disandingkan dengan Versace di panggung industri fashion dunia. Maka dari itu, mulailah dari sekarang menduniakan batik dari ponsel Anda.

-yudathant-
 
Tulisan ini diikutkan lomba karya tulis XL Award 2013

Sumber tulisan diambil dari situs:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/146342 Industri Batik Sumbang Ekonomi Kreatif Rp 3 Miliar.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Melatih Nasionalisme

Seorang teman membuat status di akun FB-nya, "Nasionalisme itu bisa dilatih kok, coba aja deh!" tepat pada hari peringatan 68 tahun kemerdekaan Indonesia. Apa benar nasionalisme itu bisa dilatih? Dia dilatih atau ditanam? Mana yang benar? (#sambil pegang dagu dan garuk-garuk jidat) 

Euforia independence day tiap bulan Agustus memang terasa sekali. Bendera di pasang di depan rumah atau di gantung di atas jalan-jalan kampung, gapura perumahan dihias secantik mungkin, dan beragam lomba dan pesta hiburan rakyat dihelat di mana-mana. Semua serba merah dan putih. 

Inikahi bentuk nasionalisme? Aku rasa bukan. Ini hanya bentuk perayaan, pesta, dan luapan kegembiraan atas sebuah kata "merdeka" yang telah diperjuangkan rakyat dan bangsa kita sebelum 68 tahun yang lalu. Perayaan yang serba wah dan spektakuler itu, aku rasa, belum bisa disebut kita telah bersikap nasionalisme. Ini hanya artifisial. 

Apa yang harus dilakukan supaya kita disebut memiliki nasionalisme kepada bangsa ini? Apa benar nasionalsme ini bisa dilatih? Siapa yang melatih? Apa materi yang dilatihkan? seperti apa bentuk latihannya? Dan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk latihannya? Atau..., nasionalisme itu sebenarnya ditanamkan? Lalu, siapa yang menanamkannya? Bagaimana cara menanamkannya? Kapan dan berapa lama proses penanamannnya? (#makin kusut nih rambut gara-gara digaruk-garuk dan diusek-usek mikirin jawabannya!) 

"Wis gak usah dipikir. Biar gak masang bendera di depan rumah, tapi kan aku dah memasang bendera merah putih di hati-ku," seloroh kakakku sambil ngeloyor dan tertawa riang. 

Mungkin benar juga kata dia. Gak usah dipikirin! Yang penting, hati dan jiwa kita adalah untuk tanah air ini. Untuk kemerdekaannya, untuk kemajuannya, untuk keindahannya, untuk kelestariannya, dan untuk masa depannya. Biar kata orang aku tidak nasionalis hanya karena aku gak pasang bendera di depan rumah, gak ikutan upacara, gak ikutan lomba-lomba 17-an, atau gak teriak-teriak "merdeka" sambil mengacungkan bendera kertas merah-putih. Yang jelas aku bangga kok jadi orang Indonesia. 

Seperti pernyataan dari seorang Senator Amerika Serikat di abad ke 19, Carl Schurz, bahwa "This is My Country, right or wrong. If right, to be kept right. If wrong, to be set right." Maksudnya, apa pun yang terjadi, kita harus membela negara dan bangsa ini. seberapa buruk sikapnya dan seberapa cantik parasnya, inilah Indonesia. Yang baik harus dibesarkan, yang busuk harus disapu-bersihkan. And this is my first lesson for what I call nationalism. Damn, I Love Indonesia! 

-yudathant-

Kamis, 15 Agustus 2013

Homesick, Bukan Rumah Sakit

Pertengahan Agustus ini hingga awal September nanti, kampus-kampus pasti akan disibukkan dengan ribuan mahasiswa baru. Masa orientasi kampus telah tiba. Sebenarnya, bukan cumanpihak kampus dan fakultas yang sibuk, si calon mahasiswa ini juga gak kalah sibuknya. 

Ada yang semangat, karena akan menjadi mahasiswa, ada yang resah karena harus jauh dari orang tua merantau di kota lain demi menuntut ilmu, dan malah ada yang panik karena takut tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. 

"Om, pas kuliah homesick gak?" tanya Nuz, pacar dari keponakanku. "Ya iyalah. Pasti, Sebulan sampai pulang dua kali. Gak betah di Jogja. Tapi setelah satu-dua semester berlalu, malah jarang pulang. Hahahaha...," jawabku sambil menyetir mobil dari Pasuruan menuju Surabaya. 

Penyakit homesick, kalau boleh disebut penyakit meski tidak ada gejala-gejala medisnya, adalah gejala normal yang sering muncul saat kita berada di lokasi baru untuk waktu yang relatif lama. Menurut kamus Oxford, homesick itu adalah perasaan seseorang yang rindu rumah atau kampung halamannya. Hal serupa dijelaskan oleh Chris Thurber dan juga Edward Walton dalam makalahnya yang diterbitkan di jurnal American Academy of Pediatrics, bahwa homesickness didefinisikan sebagai penderitaan dan penurunan fungsional akibat pemisahan dirinya dengan rumah atau objek-objek tertentu.


Makanya, homesick sebenarnya wujud dari distress (stress) seseorang yang muncul karena terpisah dari lingkungan (rumah) tempatnya biasa bermukim, atau tidak berada di lingkungan dengan budaya, kebiasaan, dan orang-orang yang dikenalnya. Perasaan ini muncul di saat kita berada di situasi, kondisi, dan lingkungan yang baru, dan mungkin benar-benar asing dengan kehidupan kita biasanya. Misal, jika di kampung kita biasa ngobrol dengan cablak dan makanan serba asin pedas, tapi di tempat baru ini kita harus bicara lebih halus dan makan hidangan yang cenderung manis rasanya. 

Homesick memang biasa dirasakan oleh para remaja atau dewasa muda yang baru pertama kali pergi jauh dari rumahnya. Alasan mereka pergi dari rumah adalah untuk sekolah, liburan, atau pindah rumah. Rasa kangen dengan orang tua, kakak-adik, pacar, teman satu genk, sampai hewan piaraan, biasanya berujung pada kondisi homesick. Konon, perasaan ini muncul secara naluriah karena mausia adalah makhluk yang membutuhkan perasaan (zona) nyaman, aman, terlindungi, dan dicintai. Gejala-gejala homesick yang sering kali terlihat adalah lesu tak bergairah, sedih, gak punya semangat, kadang juga gampang marah, sampai muncul sindrom agoraphobia (takut jika orang-orang di tempat baru tidak akan membantunya). 

Tapi, tidak semua orang dan pada usia yang sama akan mengalami homesick. Rasa stress ini akan timbul (bukan nama pelawak srimulat) berbeda-beda tiap orangnya. Bahkan, kadar homesicknya pun berbeda-beda. Ada yang cuma sesaat, tapi ada juga yang sampai stress berat sampai gak bisa makan dan tidur. 

Ckckckckk..., sampai segitunya. 

Obat paling mujarab adalah membawa si penderita homesick pulang ke kampung halamannya, dan bertemu dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Tapi metode ini tentu tidak terus menerus bisa direkomendasikan. Sebab, apabila kampungnya jauh nan berada di daerah antahberantah, tentu saja ongkos, waktu, dan tenaga untuk bolak-balik tiap bulan untuk melepas kerinduan bakalan sangat mahal. Cara ini juga tidak menyembuhkan, malah membuat "penyakit" ini menjadi bayang-bayang yang akan terus mengikuti kemana kita pergi. Repot kan!

Supaya tidak homesick itu tidak susah kok. Awalnya memang sedikit berat, namun karena manusia juga makhluk yang mudah beradaptasi, maka secara alamiah derita homesick itu akan pudar dengan sendirinya. Tips ini mungkin pas buat temen-temen yang baru saja pindah ke kota lain untuk kuliah dan tugas belajar. 

1. Cari kenalan baru sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, satu kampus diajak kenanalan semua. Biarin kalau ada yang bilang kamu sok jual diri. Sebab, sebagian besar dari mereka yang juga "anak rantau" yang butuh teman baru untuk dapat beradaptasi di "rumah" barunya. Malahan, kalau perlu, kenalan sama semua dosen, penjaga parkir, sampai ibu-ibu yang jualan di kantin. Jika sudah punya banyak kenalan, tidak ada salahnya ajak mereka berkumpul untuk diskusi atau belajar kelompok. Sembari belajar sambil menjalin keakraban. Sapa tahu malah jadian, hahaha... 

2. Ikut kegiatan kampus supaya kamu gak merasa sendiri dan selalu kangen dengan rumah. Kesibukan ekstrakurikuler dan aktivitas positif di luar tugas-tugas kuliah merupakan media "hiburan" yang murah dan bagus untuk pengembangan potensi juga bakat kita. Siapa tahu, waktu ikutan ekskul malah dapat pacar baru, jadi selebritis kampus, dan jadi mahasiswa paling beken se-jagad kampus. 

3. Buat komunitas atau bergabung dengan komunitas yang berasal dari satu daerah atau kampung yang sama. Misal, kerukunan mahasiswa Sunda, Bali, Purwokerto, atau lainnya. Tujuannya, pengobat rasa rindu saat kita homesick dengan kampung halaman, sekaligus membuat jejaring dengan orang-orang dari satu kampung yang berada di negeri orang. Biasanya, di sini kita bisa ngobrol dengan bahasa daerah kita dan saling curhat kalau kita lagi rindu ama emak di kampung, hehehe... 

4. Jelajahi daerah baru tempat kamu tinggal. Mulai dari kampus tempat kamu belajar, gang-gang tembus di sekitar kos-kosan, pasar-pasar tempat jual barang-barang unik yang bagus untuk dikoleksi, lokasi-lokasi wisata di sekitar kampus, sampai kota-kota kecil di sekitar kota tempat kampus kita berada. Dijamin, banyak petualangan dan cerita seru yang bakal bisa kamu ceritakan kepada keluarga di rumah saat pulang kampung nanti. 

5. Berkunjung ke rumah-rumah teman yang dekat dengan kampus untuk silaturahmi sembari menikmati suasana rumah yang kamu rindukan. Maklum, kadang-kadang suasana kos-kosan dan kampus bikin otak kita jenuh, sehingga kita butuh refreshing. 


Aku rasa lima trik di atas, yang aku praktikkan selama kuliah 4,5 tahun di Jogja, itu sudah cukup dan terbukti manjur. Malahan, aku jadi betah tinggal di Jogja, karena ada sesuatu di kota dan penduduk Jogja yang tidak aku dapatkan di Surabaya. Begitu juga sebaliknya. 

Seperti peribahasa lawas yang dulu pernah dijelaskan oleh Bu Wayan, guru kelas VI SD-ku dulu, "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Yang intinya, kita harus mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal kita yang baru supaya kita dapat bertahan dan survive. And, I will survive..!!! 


-yudathant-
 

Senin, 12 Agustus 2013

Yang Murah, Yang Berkualitas


Coba hitung, berapa uang yang Anda habiskan dalam sebulan untuk membeli pulsa? Rp 20.000, Rp 50.000, Rp 100.000, Rp 500.000, atau Rp 1.000.000?
Jawabannya pasti tidak sama dan beda-beda tiap orang. Sebab, itu bergantung apa pekerjaan, penghasilan, status sosial, sampai seberapa penting peran kita di dalam masyarakat. Terkadang juga bergantung moment atau situasi apa yang sedang terjadi. Misalnya, pas lebaran atau saat ada hajatan keluarga, mau tak mau, biaya pulsa membengkak. Telepon sana, telepon sini. SMS sana, SMS sini. Pokoknya, ponsel gak bisa jauh-jauh dari tangan, bibir, dan telinga kita deh.
Belanja pulsa setiap orang itu juga fluktuaktif. Makin banyak ponsel yang dipunya, berarti budget untuk beli pulsa juga harus lebih besar. Kadang, makin besar penghasilan seseorang, semakin besar pula duit yang disedot untuk belanja pulsa. Sewaktu kantong tipis, beli pulsanya ketengan. Tapi pas gajian, pasti dong beli voucher pulsa yang nominalnya paling besar. Pulsa itu seperti bahan pelengkap gaya hidup masa kini yang borderless. “Kayak orang susah aja. Sudah telepon saja. Lama jawabnya kalau pakai SMS,” begitu candaan yang sering terlontar kalau kita lagi nongkrong dengan teman-teman.
Indonesia termasuk negara dengan tarif telepon yang murah, jauh lebih murah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Jika dirata-rata, biaya yang dibayarkan oleh pelanggan untuk ngobrol di telepon hanya sekitar Rp 90-100 per menit. Tarif itu tidak jauh beda dengan di India, meski negari Bollywood itu pernah menawarkan tarif sampai Rp 50 per menit. Coba bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang tarif teleponnya sekitar Rp 1.000-Rp 1.500 per menit. Jelas, tarif telpon di Indonesia itu murah.
Tarif itu sepertinya sudah dihitung degan tarif atau paket promo yang sering kali diluncurkan operator seluler. Hampir semua operator menawarkan tarif murah, bahkan sempat terjadi perang tarif demi merebut hati pelanggan. Ada paket yang basisnya periode waktu, jumlah menit bicara, hingga bonus pulsa kartu perdana. XL misalnya, dengan membayar tarif Rp 2.000 per hari untuk “Paket Serbu,” pelanggan bisa menelepon 200 menit ke sesama pengguna XL, kirim 1.000 SMS ke semua operator, ditambah akses media sosial, seperti Line, WeChat, dan WhatsApp seharian. Asik bukan!
Tidak heran jika belanja pulsa masyarakat Indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Dari survei yang dilakukan Nielsen, 11 persen dari pengeluaran masyarakat kelas menengah adalah untuk belanja pulsa. Nilainya diperkirakan Rp 110.000-Rp 220.000 per bulan. Angka itu lebih tinggi dari rata-rata ARPU yang diterima operator berkisar Rp 40.000 per pelanggan. Hal ini mungkin wajar, karena satu orang bisa memiliki dua-tiga nomor berbeda dari beberapa operator.
Jika di negara berkembang kebanyakan adalah pengguna prabayar, untuk pengguna telepon di negara maju umumnya pelanggan pascabayar. Namun uniknya, tarif telepon di negara-negara maju, seperti kebanyakan negara di Eropa dan Amerika, justru lebih mahal. Di Inggris dan Amerika, pelanggan yang berkomunikasi lewat telepon seluler dikenai tarif sekitar Rp 3.800-Rp 4.000 per menit. Itu berarti hampir 40 kali lipat dari biaya menelepon di Indonesia. Gila, bisa-bisa jika tarif ini berlaku di sini, gaji sebulan bakalan habis hanya buat bayar tagihan telepon.
Murahnya tarif telepon di Indonesia seharusnya lebih membawa manfaat bagi pengguna telepon, dan masyarakat pada umumnya. Sebab, dana pulsa tidak sampai menguras pundi-pundi penghasilan si pemakai telepon, sehingga mereka masih punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan bergizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, hingga lingkungan yang bersih dan sehat. Malah, dengan paket-paket tarif murah, keuntungan pelanggan berlipat, produktivitas meningkat, dan kesejahteraan keluarga bergeliat. Namun, apakah sudah demikian?  
Data Organization for Economic Cooperation and Develompent (OECD) tahun 2005, menunjukkan posisi Indonesia adalah urutan ke 71 sebagai negara yang punya kualitas hidup baik. Itu artinya, dari kaca mata alat ukur yang digunakan OECD Indonesia belum dinilai punya kualitas hidup yang baik. Karena masih ada 28 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, belum semua anak-anak usia sekolah mengenyam pendidikan hingga SMA, fasilitas dan akses kesehatan belum merata, dan tingkat pencemaran tinggi, bahkan Jakarta disebut kota paling berpolusi setelah Beijing, New Delhi, dan Mexico City.
Meski merayap, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia membaik. Tahun 2012, United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan IPM Indonesia naik tiga tingkat menjadi ke posisi 121. Peringkat ini memang di bawah Singapura (18), Brunai (30), Malaysia (64), Thailand (103), dan Filipina (114), sehingga Indonesia masih berada dalam “area” negara pembangunan menengah. Saat ini, angka harapan hidup di Indonesia 69,8 tahun, jauh lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu, yang hanya 57,6 tahun. Demikian pula dengan angka partisipasi sekolah naik dari 8,3 tahun menjadi 12,9 tahun.
Naiknya peringkat IPM Indonesia adalah sinyal positif, dan ini tentu saja salah satunya karena peran industri telekomunikasi yang memberikan kemudahan akses dan tarif sehingga membuat para pelanggan tidak perlu bernafas dengan dada yang sesak. Mengapa bisa begitu? Gampang. Mari kita gunakan analogi paling sederhana. Ketika uang di dompet tidak terkuras hanya untuk satu jenis kebutuhan, maka kebutuhan-kebutuhan lainnya akan terpenuhi secara seimbang. Apalagi yang bisa dihemat itu adalah budget pulsa, yang sekarang jadi salah satu pos pengeluaran primer bagi masyarakat Indonesia.

Bisa Menabung
Bayangkan, jika tarif yang sekarang 10 kali lipat lebih mahal, maka belanja pulsa yang harusnya hanya Rp 50.000 menjadi Rp 500.000 per bulan. Apabila gaji saya mengacu standar upah minimum Kota Surabaya misalnya, Rp 1,7 juta, dengan tingginya tarif telepon itu berarti 30 persen penghasilan tersedot untuk belanja pulsa. Sedangkan jika belanja pulsa hanya Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan, atau sekitar 3-6 persen penghasilannya, jelas sangat besar bedanya. Selisih yang sampai Rp 400.000 dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan dasar, seperti makanan yang bergizi, pendidikan, dan kesehatan.
Yang lebih penting, pelanggan bisa menghemat dan menabung lebih banyak penghasilan yang dia dapatkan tiap bulan. Taruhlah dengan Rp 400.000 tersebut, seorang bujang yang belum punya istri, bisa menginvestasikannya untuk asuransi kesehatan atau asuransi sekaligus investasi. Jika seorang ayah yang punya anak, uang itu tentunya cukup untuk membeli susu selama sebulan, sudah termasuk membayar premi asuransi termurah untuk kesehatan anak. Untuk ibu yang bijak, uang Rp 400.000 bisa diolahnya menjadi menu makanan bergizi seimbang dan sedikit mewah, meski hanya sebulan dua kali.
Dengan tarif telepon yang murah, seorang kepala keluarga dengan dua anak kembar yang duduk di sekolah dasar, tentu bisa menyisihkan uang dari belanja pulsanya untuk biaya pendidikan anaknya. Seorang guru atau dosen dapat menelepon atau mengirim SMS sesering mungkin tanpa takut bayar mahal untuk mengetahui perkembangan tugas sekolah atau tugas belajar yang dikerjakan siswanya. Tarif internet dan SMS murah, memudahkan dosen memberikan tugas kepada mahasiswa saat dia tidak hadir atau terlambat datang di kelas, sehingga tidak ada lagi jam pelajaran kosong dan pemborosan waktu.
Menurut survei Nielsen tahun 2010 di 9 kota besar di Indonesia, belanja pulsa pengguna ponsel memang menciut. Namun, pendapatan operator seluler tetap tinggi Hal ini mengindikasikan terjadi penurunan tarif telepon yang disambut baik konsumen. Tahun 2010, dari hasil survei, pelanggan yang membelii pulsa kurang dari Rp 50.000 per bulan sebanyak 58 persen, meningkat  dibandingkan angkat tahun 2005 yang hanya 18 persen. Sementara pelanggan yang budget pulsanya Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan turuan dari 51 persen menjadi 29 persen, yang belanjanya Rp 100.000-Rp 150.000 per bulan turun dari 13 persen menjadi 6 persen, demikian pula yang belanjanya di atas Rp 150.000 turun dari 18 persen menjadi 7 persen.

Tambah Setoran  
Murahnya tarif telepon yang berbanding lurus dengan terjangkaunya harga ponsel, bahkan yang berbasis telepon pintar dan berbasis android, membuat hampir semua orang dewasa di tanah air ini punya ponsel. Dari manajer kantor perusahaan multinasional, sampai bakul jamu keliling komplek, dari pemilik cafe franchise hingga pemilik warung tegal, dari pilot burung besi sampai tukang ojek di simpang lima, dan sampai wanita karier hingga ibu-ibu rumah tangga. Ponsel adalah pelengkap sekaligus benda pentiing dalam karier atau ketebalan dompet seseorang.
Dulu, tukang ojeg yang mangkal di simpang lima hanya mengandalkan orang-orang yang melintas di pangkalan untuk diantar ke tempat tujuan. Tapi dengan tarif yang murah, mas-mas tukang ojeg bisa menjadi sopir pribadi yang mengantar sekaligus menjempet penumpang. Jika belum ada panggilan, dia pun aktif menanyakan apakah si penumpang sudah waktunya dijemput. Hal yang sama dengan sopir mobil jeep rental di Bromo, yang akan menjemput sesuai dengan waktu yang disepakati di area parkir. “Nanti saya telepon mbak kalau sudah jam (pukul) 08.00, terus saya antar mbak dan teman-temannya ke atas (tempat parkir) lagi. Boleh minta nomor teleponnya mbak?,” tanya sopir jeep kepada temanku.
Pengalaman soal murahnya biaya telepon, memudahkan tukang pijat langganan saya datang dan pergi ke rumah pelanggannya, meski dia (maaf) tunanetra. “Saya sengaja pasang nomor HP saya di plag (papan) depan gang rumah. Supaya nanti kalau ada orang yang butuh tinggal telepon saya,” begitu kata dia. “Setelah ada panggilan, saya baru telepon tukang ojeg langganan saya untuk mengantar dan jemput saya nanti. Begini kan sama-sama enak, saya dapat untung, teman saya yang tukang ojeg juga dapat,” dia menjelaskan.
Paket tarif murah membuat siapa saja bisa berpromosi lewat SMS dan menelepon bermenit-menit calon klien yang akan mendatangkan keuntungan. XL misalnya, dengan “Paket Serbu” pelanggan hanya perlu membayar Rp 2.000 per hari sudah bisa mengirimkan sampai 1.000 SMS kepada siapa saja dan ke operator mana saja. Demikian pula dengan operator lain seperti Indosat dan Telkomsel, dengan paket tarif murahnya. Jika Indosat IM3 memberikan fasilitas SMS gratis ke semua operator setelah penggunaan telepon minimal Rp 250, maka pengguna kartu Simpati bisa mendapatkan 1.000 SMS dari paket SMS Mania setelah melakukan aktivasi dengan tarif Rp 2.500 per hari.
Seandainya saya pemilik cafe kecil-kecilan di Bandung yang baru grand opening, pastilah paket-paket tarif murah itu akan langsung saya manfaatkan untuk memudahkan aksi promosi ke teman-teman lewat SMS atau media sosial. “Hi guys, gue baru buka cafe di Dago, menunya asik dan ada live music, kalau butuh tempat nongkrong mampir ya,” begitu mungkin kira-kira bunyi pesan yang bakal aku sebar kepada 1.000 teman.
Tarif telepon, SMS, dan internet melalui ponsel (data) murah jelas meningkatkan produktivitas seseorang. Order, job, pesanan, atau tugas-tugas bisa diinsormasikan dengan mudah dan murah, efisien dan efektif. Bos tidak harus selalu mengadakan meeting di ruangan, jika rapat itu bisa dilakukan secara teleconfrence lewat telepon atau media sosial. Seorang seniman tak perlu lagi harus saling bertemu untuk membuat karya musik bersama, cukup dengan saling menelepon atau chatting di WhatsApp dan WeChat untuk berbagi materi. Tinggal jreeng jreeng dan lalalala yeyeye, kirim, dengarkan, diskusi, edit, dan voila, jadilah sebuah lagu.

Makin Akrab, Makin Sayang
 “Dulu, jarak membelah kita. Kini, tak ada jarak yang mampu memisahkan kita,” begitu rayuan temanku, seorang laki-laki kepada kekasihnya yang terpisah ratusan kilometer, antara Surabaya-Bogor. Hubungan jarak jauh adalah momok paling ditakuti siapa pun. Tidak bisa ngobrol, tidak bisa say hello, tidak bisa bilang “I love you,” dan sebagainya. Untunglah, para operator telepon ini menjadi dewa-dewi penolong. Terbukti, tiap hari pasangan ini saling mengirimkan belasan pesan lewat SMS atau WhatsApp.
Tarif bicara, berkirim pesan, dan data yang murah, membuat hubungan keluarga, pertemanan, dan percintaan makin harmonis. Seorang ayah tidak perlu lagi khawatir bagaimana kabar putrinya yang sedang berkuliah di Jogjakarta. Karena kapan pun si ayah bisa menelepon putrinya yang sama-sama jadi pelanggan di satu operator.  Kawan yang terpisah jauh dan sudah lama tidak bersua, bisa tetap saling berkomunikasi, atau seorang bos yang baik hati menanyakan kabar anak-anak buahnya yang tersebar di seluruh nusantara. “Gimana, kerjaan lancar di sana? Ada kesulitan tidak? Ada isu yang menarik tidak yang bisa dijadikan bahan tulisan?,” tanya Mas Haryadi, bosku dulu, sewaktu aku bekerja di salah satu kantor penerbitan.
Seperti XL dengan program “Paket Akrab”-nya, yang akan semakin mengakrabkan tali silaturahmi. Sebab, hanya dengan Rp 5.000 dan mendaftarkan 2 nomor kerabat yang juga pengguna XL, pelanggan sudah bisa mendapat gratis telepon satu jam dan 60 SMS per hari selama lima hari. Wow.., kalau begini pacaran jarak jauh pun tidak masalah, toh telepon murah bisa dilakoni kapan saja. Banyak pilihan paket yang disediakan sembilan operator telepon di Indonesia. Dengan begitu, kerja tidak terganggu karena komunikasi tetap bisa terjalin lancar, sehingga produktivitas tetap berkualitas. 
Tarif telepon murah, yang sempat dipelopori oleh XL sekitar enam tahun lalu, merupakan peluang bagi pelanggan telepon, termasuk saya, untuk mempertebal produktivitas dan menggapai kehidupan yang lebih sejahtera. Jadi, tidak selamanya yan murah itu tidak berkualitas. Murah apabila dipadankan dengan kreativitas dan bekerja yang bijak, akan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, termasuk hidup yang berkualitas.

-yudathant-
(timbuktu h)
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Lomba Karya Tulis XL Award 2013"

Sumber data:
Tarif Telepon di Indonesia Paling Murah Sejagad, diakses dari situ http://www.merdeka.com/uang/tarif-telepon-di-indonesia-paling-murah-sejagat.html
Survei: Biaya Telekomunikasi Tak Lagi Mahal, diakses dari situs http://www.tempo.co/read/news/2011/02/08/090312035/Survei
Indeks Kualitas Hidup, diakses dari situs http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Kualitas_Hidup
Paket dan tarif XL, diakses dari situs http://www.xl.co.id/id/prabayar
Tarif IM3, diakses dari situs http://www.indosat.com/im3