Jumat, 09 Agustus 2013

D.N.D -- Dilema Nona Dolly


Sejak April, lokalisasi Tambak Asri ditutup secara resmi oleh Pemerintah Kota Surabaya. Penutupan ini mengakibatkan sekitar 350 pekerja seks komersial (PSK) dan 96 mucikari di 96 wisma menghentikan transaksi seks komersialnya. Target selanjutnya adalah Dolly, ladang prostitusi terbesar di Jawa Timur. Jika rencana besar Pemkot Surabaya terealisasi, itu berarti PSK di Surabaya tidak lagi punya tempat mangkal. Lalu, mereka ada dimana?

Pertanyaan semacam itu pasti akan berkecamuk di otak kita. Sebab, tidak dimungkiri, sejak zaman dahulu, penikmat jasa bisnis esek-esek ini akan terus menguber kemana saja si pemberi jasa berada. Maka, besar kemungkinan akan muncul spot-spot baru yang bentuknya terselubung, masuk ke lingkungan perumahan, perkampungan, apartemen, hotel atau motel melati, sampai ke tempat-tempat sepi nan sempit seperti di kuburan atau pojok-pojok terminal. Pembeli tidak perlu lagi datang ke lokalisasi, mereka cukup buka internet, atau dengan saling kontak lewat SMS dan produk-produk jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp, Line, BBM, dan lainnya.

Tujuan Pemkot Surabaya menutup seluruh lokalisasi prostitusi itu sangatlah mulia, yakni memutus rantai penularan HIV/AIDS dan menyadarkan PSK agar meninggalkan pekerjaannya. Mereka pun dibekali materi spiritual dan uang Rp 4,7 juta untuk modal usaha, biaya hidup selama tiga bulan pasca-penutupan lokalisasi, dan ongkos memulangkan mereka ke kota asalnya.

Namun, apakah susutnya jumlah PSK sejalan dengan penurunan jumlah kasus HIV/AIDS di. Sebab, tren temuan kasus HIV/AIDS meningkat tiap tahunnya. Data Dinkes Kota Surabaya menyebutkan tahun 2010 ada 705 kasus dan 2011 ditemukan 811 kasus, dimana 89 persen penularannya melalui hubungan seks. Diperkirakan, angka itu bukanlah jumlah riil karena adaya fenomena gunung es dalam kasus HIV/AIDS.

Penutupan lokalisasi prostitusi adalah program populis. Dukungan dan simpati, juga pujian, datang dari berbagai pihak. Dengan adanya lokalisasi, sejatinya memudahkan Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), ataupun LSM memantau penyebaran dan penularan juga pencegahan HIV/AIDS. Dan, promosi kesehatan, seperti bahaya AIDS maupun IMS serta penggunaan kondom bisa fokus dan tepat sasaran.

Bayangkan, ketika tidak dilokalisasikan, kemungkinan penularan meluas dan sulit dikontrol. PSK yang positif mengidap HIV, jika dia hijrah ke kota lain bakal memperlebar jaringan penularannya. Di satu sisi, butuh waktu lama menyadarkan PSK untuk lebih peduli pada kesehatan reproduksinya, menyadarkan perilaku hidup sehat, dan perawatan intensif bagi yang positif HIV. Padahal, mereka hidup dalam satu komunitas, tapi stiga negatif dan rasa malu tetap jadi kendala memeriksa kesehatannya atau melakukan voluntary counseling and testing (VCT).

Tersebarnya PSK menyulitkan petugas puskesmas mengadvokasi penggunaan kondom dan VCT berkala. Itu karena kesadaran PSK melakukan VCT rendah, maka bila tempat tinggal atau kerjanya berpindah-pindah, upaya intervensi VCT berkelanjutan akan lebih sulit dilakukan. Adapun salah satu upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di kawasan prostitusi dengan penggunaan kondom. Sayangnya, penggunaan kondom, terutama di kalangan PSK dan kliennya, juga rendah. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pernah mengatakan pemakaian kondom di Indonesia baru 35 persen, padahal tahun ini targetnya 45 persen. Salah satu penyebab adalah rendahnya posisi tawar PSK di mata kliennya. Posisi itu akan makin rendah jika PSK beroperasi di luar area prostitusi.

Di Thailand, di mana prostitusi merupakan bisnis yang segar, tapi angka kasus baru dan kematian akibat HIV/AIDS selama 2005-2010 menurun tajam. Data dari Kantor Epidemiologi Thailand, dari 23.339 kasus jadi 5.058 kasus, dan dari 4.389 kematian menjadi 673 kematian. Semua itu karena kampanye kondon 100% di kawasan prostitusi maupun di komunitas publik dilakukan berkelanjutan. Sanksi diberikan kepada pemilik tempat prostitusi jika didapati PSK yang bekerja di sana positif mengidap HIV.

Solusi Pemkot memberdayakan PSK dengan memberi keterampilan dan modal usaha memang tepat. Namun, itu butuh proses, karena persepsi PSK yang biasa mendapatkan uang dengan cara mudah harus diubah. Ketersediaan lapangan kerja bagi eks-PSK harus disiapkan, bukan sekadar memulangkan mereka ke kampung halaman. Sebab, alasan mereka merantau ke kota besar, dan terjebak dalam dunia prostitusi, karena alasan ekonomi dan tidak ada lapangan kerja di kampungnya.

Pemkot Surabaya perlu menyiapkan solusi lain, seperti bekerja sama dengan semua pihak membentuk tenaga kesehatan, kader kesehatan dan pelayanan kesehatan HIV/AIDS yang merata di tiap kecamatan bahkan saling terintegrasi dengan kota/kabupaten lain. Kemudian, mempertebal kepercayaan PSK kepada kader kesehatan yang akan membantunya mengakses layanan kesehatan. Dan yang terpenting, memperbesar kesadaran dan kepedulian PSK pada bahaya HIV/AIDS dan gerakan 100% kondom pada PSK saat bertransaksi seks. Sebab, tujuan utamanya adalah mengurangi munculnya kasus baru dan menekan prevalensi HIV/AIDS di Surabaya.
 (T.H. - 2013)

--yudathant--

2 komentar:

  1. Bro, mbak natri di lokalisasi lima lima nanya tuh.....^_^

    BalasHapus
  2. @azzhra, hahahaah..., yang di "lima-lima" konon katanya kan afkiran dari dolly mas bro, hehehe..

    BalasHapus