Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 November 2014

Rinai Hujan yang Mengingatkan Daun pada Angin

Air dari langit itu akhirya turun juga. Membasahi daratan yang telah terbakar oleh terik matahari selama berbulan-bulan. Bunyi derap miliaran tetesan air yang menimpa tanah dengan rima dan melodi rintik deras dan kembali ke rintik, bergema hingga ke ruang di mana aku duduk menikmati malam. Bau tanah basah menguar. Tercium harum seperti aroma hangat udara pagi yang menyapa sisa embun dari langit malam yang basah. 


Malam ini hujan datang hanya sekejap. Tak lebih dari hitungan pedang panjang penunjuk waktu kembali ke posisinya semula sebelum berputar 360 derajat. Namun, sepenggal waktu yang diguyur secuil hujan ini memberikan sedikit kesejukan yang kurindukan. Seperti pelanduk merindukan bulan, yang selalu setia menanti di atas bukit menatap ke atas langit gelap yang bertabur bintang menemani sang bulan. Seperti juga daun yang selalu menantikan desiran angin. 

Tetesan hujan yang menari di udara selalu membawa kenangan indah bagi daun. Kenangan manis saat daun bercengkerama dengan angin. Dan tiap tetes hujan yang mendarat selamat di atas bumi membawa realita bagi daun. Kenangan manis itu ternyata tertunda oleh rentang waktu juga garis lintang dan bujur yang memisahkan. Karena itu, daun selalu menantikan datangnya hujan. 

Kisah hujan ini selalu membawa daun kembali pada penggalan-penggalan lirik "Hujan" milik Utopia. Begini liriknya :

Rinai hujan basahi aku, temani sepi yang mengendap, 
Kala aku mengingatmu, dan semua saat manis itu

Segalanya seperti mimpi, kujalani hidup sendiri, 
Andai waktu berganti, aku tetap tak'kan berubah

Aku selalu bahagia, saat hujan turun
karena aku dapat mengenangmu, untukku sendiri 

Selalu ada cerita, tersimpan di hatiku
tentang kau dan hujan, tentang cinta kita
yang mengalir seperti air

Aku bisa tersenyum sepanjang hari
karena hujan pernah menahanmu disini
untukku...

*** 

Daun melihat hujan adalah hal terindah. Karena saat hujan turun, daun selalu mempunyai cerita manis dengan angin. Di awal  maupun di akhir perjalanan daun bersama angin. Daun yakin, kisah mereka tak akan berhenti di bukit yang telah ditinggalkan. Karena kisahnya bersama angin masih akan belanjut di bukit dan lembah lainnya. 

Angin memang telah pergi, namun daun yakin suatu saat dia akan datang kembali di waktu dan cara yang terindah, seperti yang pernah daun katakan pada angin. Dimana pun angin berada, daun akan tetap menantinya bersama turunnya hujan di penghujung musim kemarau.  


 -- yudathant --

Kamis, 07 Februari 2013

Without You

Suatu malam yang larut, aku tertegun mengisi malam yang senyap. Terdengar sayup lantunan nyanyian dari arah ponsel yang sejak tadi berdendang dengan bisikan. Lagu milik penyanyi bule yang membuatku melamun. Melamun lebih dalam. Lebih dalam lagi. Lagi, dan lagi. Dan akhirnya pun tertidur pulas. Zzzz.. Grrookk... 






       "Without You"


I can't win, I can't reign. I will never win this game
Without you, without you. I am lost, I am vain,
I will never be the same. Without you, without you


I won't run, I won't fly. I will never make it by
Without you, without you. I can't rest, I can't fight
All I need is you and I, Without you, without you

Can't erase, so I'll take blame. But I can't accept that we're estranged
Without you, without you. I can't quit now, this can't be right
I can't take one more sleepless night. Without you, without you

I won't soar, I won't climb. If you're not here, I'm paralyzed
Without you, without you. I can't look, I'm so blind
I lost my heart, I lost my mind. Without you, without you

I am lost, I am vain, I will never be the same
Without you, without you. Without...you

*** 


Aslinya lagu ini dinyanyikan sama Usher dengan aransemen musik ala-ala disko-nya David Guetta. Tapi yg ini versi cover by Boyce Evenue Acoustic) dan aku lebih suka yang versi ini, karena lebih menyentuh, hehehe... this song specially for you (?)

-yuda thant-


Minggu, 02 Desember 2012

Untuk Angin di Bulan Desember

Apa yang paling hangat dalam pikiran kamu saat ini? Senyum manja istrimu di rumah?, tawa renyah suami yang ada di kantor?, kekasih genit di kampus?, lelaki pujaan yang entah ada di mana?, pizza panas dari oven dengan asap mengepul?, opor ayam buatan mami di rumah?, atau deburan ombak pantai di Pulau Karimunjawa? 

Perut ini memang kosong, tapi bukan makanan yang diinginkan. Otak ini rindu liburan, tapi bukan pantai Kute yang aku idamkan. Tubuh ini memang letih, tapi bukan tukang pijat yang dimaui. Raga ini lagi haus, tapi bukan es teh manis yang dikehendaki. 

Aku memang kosong, haus, letih, juga rindu. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan. Semuanya terasa berhenti, tak bergerak, rusak, bahkan berkarat. Tidak mampu untuk maju, sekalipun mundur. Tidak berdaya untuk bergeser, sekalipun seinci. Tak kuasa untuk melompat, walau sejengkal. Semuanya membeku, kaku. Semuanya kosong, melompong. Semuanya terasa haus, aus. Semuanya pun terasa letih, dan perih. 

Itu karena aku tak pernah ada baginya. Aku hanya bayangan suram, melintas dan hilang. Kabut yang surut saat hujan bertiup. Itu karena aku bukan siapa-siapa baginya. Hanya asap di cermin yang segera diusap, lenyap. 

Untuk angin di bulan Desember. Yang kukenal di ujung waktu yang hendak berganti. Aku hampa tanpa dirimu, karena kau tak lagi mengisinya. Aku lunglai tanpa dirimu, karena kau tak ada tuk meniupnya. Aku tumbang tanpa dirimu, karena kau tak lagi menerbangkannya. 

Aku rindu padamu angin di bulan Desember. Rindu yang tak pernah bertepi. Kepada angin yang kukenal di ujung waktu yang hendak berganti. Pada tahun yang lalu. 

-yuda thant-


Selasa, 27 November 2012

Goes to Kediri


Changing plan in last minutes, it was always happen

Awalnya, akhie pekan kemaren kita mau pergi ke Gunung Bromo, tapi dalam perencanaan tiba-tiba berubah.  “Khawatirnya, sekarang ini musim hujan. Percuma kalau kita ke Bromo, tapi gak bisa lihat sunrise. Sama juga bohong dong,” itulah yang jadi alasan trip “MbambungPacker” kali ini diubah dari Bromo ke Kediri.

Setelah Kediri ditasbihkan sebagai kota tujuan. Mulailah kita berlima (aku, Ade, Fika, Dian, dan Nana) membuat perencanaan. Namanya juga “mbambung” jadi gimana caranya, kita bisa liburan tapi gak menghabiskan duit. Aku dan Dian mulai berselancar mencari lokasi wisata, Nana, Ade, dan Fika mulai mencari tempat tumpangan untuk menginap selama 2 malam di Kediri. Setelah sms sana, bbm sini, dan telpon sana-sini teman-teman satu kelas yang asli Kediri, akhirnya kami dapat kepastian tempat transit dan menginap selama dua malam. (Asik, misi pertama sudah berhasil).

Mengutip kuliah Administrasi dan Manajemen, semua kegiatan butuh perencanaan agar tujuan bisa tercapai. Gimana caranya, cara yang dilakukan efisien dan efektif. Dalam hal ini, prinsip ekonomi pun ambil bagian, less expense more income, sedikit pengeluaran banyak penghasilan. Dengan rumah tumpangan selama dua hari, Jumat-Minggu, setidaknya kita bisa menghemat biaya hotel dan juga biaya sarapan pagi, hehehe...

Ada enam teman sekelas yang orang asli (berdomisili di) Kediri, yakni Arya, Ema, Mbak Galuh, Mbak Intan, Mbak Cucuk, dan Mas Maksun. Semuanya bersedia kami repotin, tapi setelah menimbang dan menilai, kami memutuskan bermalam di rumah Arya dan Mbak Intan. “Mas, tidurnya di rumah bude ku aja ya. Soalnya ada dua kamar kosong di sana, dan rumahnya agak besar. Gak apa-apa kan?” tanya Arya. Serempak kami pun menjawab, oke. Yang penting kita ada tempat buat tidur, dari pada tidur di masjid atau di stasiun.

Agar tidak ribet soal duit saat berlibur, sebaiknya ditunjuk seorang bendahara. Tugasnya, ngumpulin duit dan membayar semua keperluan, mulai dari tiket, makan, sampai duit toilet. Kalau bisa, teman yang ditunjuk jadi bendahara ini kudu teliti dan cerewet soal duit. Setiap hari, dia pun bikin laporan singkat buat kita, berapa uang yang sudah terpakai, dan berapa sisa duitnya. 

“Kita iuran berapa nih?” tanya Nana yang kami tunjuk jadi bendahara. “Sementara ini kita iuran Rp 150.000 aja gimana. Ntar kalau kurang kita tambah lagi,” kata Dian. “Oke,” jawab kami bergantian. Totalnya, kami berbekal Rp 900.000 untuk enam orang. Uang tersebut kami alokasikan untuk sewa mobil sehari selama di Kediri, tiket kereta, tiket masuk obyek wisata, makan selama hari, dll.

Plan B
“Dimana? Keretanya sudah mau datang. Kita beli tiket sekarang atau gimana?” tanya Fika di ujung telepon. “Sorry, ini ban bocor, lagi ditambal. Bentar lagi kita meluncur ke stasiun (Gubeng). Tunggu kita, jangan beli tiket dulu,” jawabku. Tak sampai 5 menit, tukang tambal ban sudah menyelesaikan pekerjaannya mengganti ban depan motorku yang sobek kena tusuk paku sepanjang 7 cm.

Jam ditangan Diyan, sudah menunjukkan 07.30 WIB. Sekitar 20 menit lagi, Kereta Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Blitar, bakal berangkat dari Stasiun Gubeng. Sedangkan waktu tempuh dari lokasi tambal ban ke stasiun sekitar 20-30 menit.

Govinda aku geber, aku ajak dia lari kencang, meski sedikit tersendat-sendat karena terjebak arus orang berangat kerja. Selama perjalanan ke stasiun, otak berpikir alternatif lain berangkat ke Kediri jika kami ketinggalan kereta. Naik motor atau naik kereta lain. Aku dan Diyan sampai di stasiun pukul 07.55, jalur 1 tidak ada kereta. Aku pun berpikir, kereta sudah berangkat. “Sial, telat nih” umpat aku. Tapi, kok teman-teman gak kelihatan. Sewaktu membuka ponsel, ada pesan. “Kami makan di warung depan stasiun,” bunyi sms itu.

Belum sempat menuju ke warung, terdengar pengumuman dari corong suara di lobi stasiun. “KA Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Kertosono-Blitar akan segera masuk stasiun, penumpang yang telah punya tiket dipersilahkan menunggu di jalur 1,” bunyi pengumuman itu. “Lho ternyata keretanya belum berangkat tho! Tapi teman-teman lagi makan, gak mungkin ini!” Aku sempat menelpon mereka, tapi mereka belum selesai makan. Ya sudah lah, terpaksa kami melewatkan kereta.

Kami akhirnya mengambil keputusan naik KA Rapih Dhoho jam 11.00 WIB. Itu berarti kami harus menunggu 3 jam lagi untuk berangkat ke Kediri. Konsekuensinya, waktu berlibur kami jadi sedikit berkurang. Terpaksa, ada perubahan rencana dan pengurangan lokasi tujuan berwisata di Kediri. Rencananya kami tiba di Kediri jam 12 siang, jadi mundur jam 3 siang, sehingga tujuan ke Air Terjun Dolo yang kami rencanakan Jumat sore, digeser besoknya.

Jam 11.00, kami meninggalkan Surabaya dengan berbekal tiket KA Rapih Dhoho tanpa tempat duduk. Ternyata, dari 5 kereta (gerbong), gerbong depan dan belakang disipakan bagi penumpang tanpa nomor tempat duduk. Beruntung, ada kursi kosong di gerbong belakang. Kami pun bergegas menjajah kursi-kursi kosong itu. Merasa beruntung, kami pun langsung bernarsis ria mengabadikan moment di dalak kereta ekonomi yang harga tiketnya Rp 5.500 dari Surabaya ke Kediri.

Cinta dalam Gerbong
Cinta memang tak bisa diduga kapan dan di mana dia datang. Begitlah cinta, muncul tanpa rencana yang tak disangka. Seperti adegan sebuah sinetron atau FTV di stasiun televisi swasta, Nana bertemu dengan kisah cintanya.

Berawal dari selembar tiket yang dihilangkannya, Nana terpaksa harus berurusan dengan kondektur kereta. Tapi, kesialan itu berujung keberuntungan. Mr kondektur KA Rapih Dhoho yang bertugas siang itu boleh dibilang good looking, alias berwajah rupawan (versi Nana). Negosiasi  soal tiket hilang antara Nana dan Mr Kondektur, yang setelah kami kenal namanya Taufiq, berlanjut dengan obrolan santai dan saling tukar nomor telepon dan pin BB. Meski harus membayar Rp 15.000 untuk mengganti tiket yang hilang, bagi Nana tak mengapa sebab dia bisa berkenalan dengan pria tampan, katanya.

Saling pandang, senyum dan goda sana-sini dengan malu-malu, begitulah adegan yang terekam dalam gerbong belakang KA Rapih Dhoho. Sayang, keintiman itu harus terhenti sesaat, karena stasiun tujuan kami sudah di depan mata. Adegan berikutnya adalah perpisahan di Stasiun Kediri. Peluit kecil yang ditiup Taufiq, memberi aba-aba kereta untuk berangkat.

Binar mata Nana terus tertuju pada lelaki berseragam dan bertopi tersebut. Dari ambang pintu gerbong kereta yang melaju perlahan, Taufiq melirik Nana yang terlihat sendu melepas kepergiannya. Nana pun membalas senyuman dengan memberi kode jari jempol kelingking tangan kanan menempel di telinga dan bibir, jangan lupa telpon, begitu kira-kira arti pesannya. Dan ternyata, pesan ini memang terwujud. Komunikasi mereka via BBM berlanjut selama kami di Kediri hingga kami balik ke Surabaya, bahkan sampai hari ini. “Mas Taufiq lagi di Jogja. Lagi di KA Mutiara Selatan, nanti baliknya tugas di KA Logawa,” ujar Nana dengan gayanya yang sedikit centil.

Bukan Parasit
Kalau ada yang bilang kami tak bermodal, itu memang benar. Tapi kalau Anda bilang kami parasit, eeiitt...! Anda keliru. Berlibur dengan menumpang di rumah kenalan bukan berarti kami parasit. Kami hanya memanfaatkan peluang yang ada, sekaligus mempererat silaturahmi antar teman, juga menambah kenalan baru, dengan keluarga/kerabat di rumah yang kami inapi. Untuk makan, kami masih bermodal lho. Kami beli makanan sendiri. Tapi, kalau ditawari sarapan, makan siang, dan makan malam, kami gak nolak kok.

Malam pertama, kami menginap di rumah milik Bulek-nya Arya. Rumahnya ada dua kamar kosong, milik anak-anaknya yang sudah tidak lagi tinggal di Kediri. Bulek dan Paklek-nya Arya sangat ramah dan gembira kami kunjungi. Kebetulan, karena mereka berdua baru pulang ibadah Haji, banyak kudapan yang bisa kita santap dengan lahap, hahaha... 

Di malam kedua, kami menginap di rumah Mbak Intan, di daerah Pesantren. Kami pun disuguhi gurame goreng, yang dipancing dari kolam di belakang rumah Mbak Intan. Alasan kami berpindah “tempat tidur” karena: 1) sungkan jika terlalu lama merepotkan orang. 2) tawaran baik dari teman jangan sampai ditolak. 3) ganti suasana biar gak bosen, hehe..

Jadi, gak ada salahnya kok kalau kita numpang di rumah saudara, teman, dan kerabat untuk berlibur murah meriah. Balik lagi, biarpun liburan prinsip ekonomi jangan sampai dilupakan. Makanya, mulai sekarang bikin list saudara, teman, atau kenalan yang kota-kota tujuan wisata. Sering-seringlah berkomunikasi meski sekadar menyapa mereka lewat SMS, FB, atau twitter, supaya saat Anda butuh mereka menjadi induk semang selama liburan Anda, itu bisa terwujud. Bukan hanya sahabat/teman di Indonesia, kalau perlu perluas jaringan sampai ke benua lain, siapa tahu next trip kita bisa ber-"MbambungPacker" ke Amerika atau Eropa. (dua jempol ke atas). 

Bersambung...

-yuda thant- 

Jumat, 26 Oktober 2012

Lajang atau Selingkuh ?


   Aku masih ingat dengan pertanyaan singkat Giska, seorang teman baru di kampus, di awal perkenalan kita sekitar 1,5 bulan lalu. Gadis berusia 24 tahun, lulusan jurusan bidan di Unair ini bertanya dengan cueknya. "Kamu umur berapa sih mas? udah married belum?" Karena tak (tampak) ada tendensi apa pun dalam pertanyaan itu, aku pun menjawab dengan santai dan tak canggung. "Aku dah umur 30 tahun lewat dikit. Dan belum kawin. Belum kepengen," jawabku singkat. 

   "Hah?!?! kamu udah 30 tahun tho. Kok belum nikah sih? Apa gak pengen?" tanya dia lagi, yang sebenarnya mengulangi pertanyaan di awal. "Kan udah aku bilang aku belum pengen nikah. Belum ada rencana ke sana," kataku sambil memberikan penekanan pada kalimat belum ada rencana. "Emangnya kenapa?" tanyaku balik kepada Giska yang giginya diberi pagar kawat. (entah kenapa harus dipagari? supaya tidak kabur kali yah tuh gigi-giginya). 

   "Hehehe..., kalau aku sih pengen banget nikah mas. Aku hijrah ke Surabaya ajah juga karena biar dekat ama tunanganku. Tapi gak tahu lagi sih sekarang. Soalnya kita lagi "break." Tapi aku pengen banget nikah, punya anak, lalu jadi ibu yang baik," jawabnya sambil menerawang. "Busyeeett..., lha kok gak kawin aja cepet-cepet. Beres kan, hehehe.." celetukku menimpali ucapannya. 

   Tak selang beberapa hari, dua orang teman lain di kelas, pada waktu dan tempat yang berbeda, juga "ber-statement" hampir sama seperti Giska. "Aku pikir lu dah married lho. Umur lu kan dah 30. Aku aja nikah begitu lulus kuliah (S1)," comment Mbak Elyn, yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dari aku. Sedangkan Mbak Dini malah bilang, "aku umur segitu udah punya anak dua," ujarnya yang umurnya sama denganku. 

   Haduh..., kenapa sih orang-orang ini??? Emang ada yang salah yah dengan tidak atau belum menikah di usia lebih dari 30 tahun. Ada kah yang salah dengan menjadi lajang, jomblo, dan gak punya pacar di usia segini??? Atau jangan-jangan tidak memikirkan pernikahan dan belum mau menikah kala usia sudah 30 tahun lewat sedikit itu adalah dosa besar??? 

   Emang gak boleh kalau aku memilih jadi "bupati", bujang kepala tiga puluhan...!!! Kenapa aku gak boleh jadi bupati, sedangkan para pejabat berebut jadi bupati??? (hehe.., bupati yang satu sih enak, ada jabatan, uang banyak, dielu-elukan rakyat, dihormati PNS kelas teri, sampai sering dapat salam tempel dari pengusaha lokal. Nah kalau bupati yang satu lagi, ini gak punya nilai jual tinggi, malah cenderung disebut bapuk, lapuk, atau malah kadaluarsa, hahahaha...) 

   Tiba-tiba, semua orang jadi serba tahu dan serba care. Udah, santai ajah kali... Kan orang tua sering bilang, kalau soal jodoh tuh yang ngatur Gusti Allah. Lalu, buat apa dipikir sampai kepala botak (sayang kan, soalnya rambutku tanpa mikirin nikah aja udah banyak yang rontok, ckckck...). Positive thinking aja deh. Sapa tahu emang belum waktunya punya pacar, belum waktunya nikah, dan belum waktunya ketemu jodoh, dan si Om Penguasa Jagad Raya masih berbaik hati kasih kesempatan buat kita membujang, happy-happy dengan hidup kita sendiri. 

   Aku gak merasa sendiri kok. Soalnya, di genk ku jaman SMA, dari 10 orang yang belum nikah ada 5 orang. Rata-rata mereka juga bupati. Satu-dua orang yang belum menikah emang kepikiran untuk segera mencari jodoh. Sisanya, santai-santai ajah. Teman-teman yang nyantai itu karena sibuk mengejar target hidup yang jadi prioritasnya. Salah satunya, sedang mengejar pendidikan dokter spesialis bedah di Unair, satu lagi menekuni kariernya di dunia perbankan. Sedangkan aku sendiri, masih pengen sekolah, bebas dan berpetualang. 

   Jabatan bupati bukan dominasi laki-laki. Perempuan pun dibolehkan kok memilih jadi bupati. Ini negara demokrasi bung! Perempuan juga punya hak yang setara. Setidaknya, ada lebih dari 10 teman perempuan semasa kuliah di Jogja yang kini usianya sudah 30 tahun, masih melajang. Alasannya juga sederet. Ada yang mengejar karier yang memang lagi bagus-bagusnya. Ada yang sempat akan menikah atau sudah punya hubungan serius tapi gagal di tengah jalan, dan sekarang masih dalam tahap mencari lagi pijakan yang tepat. Atau emang belum mau menikah karena masih menikmati hidup bebas, apalagi tak ada paksaan dari keluarganya. 

   Faktor yang terakhir, paksaan keluarga, ini memang jadi momok yang paling menyebalkan bagi para bupati. Emak-babe, om-tante, budhe-pakdhe, bulek-paklek, malah kakak-adik kita yang sibuk dan bingung tujuh keliling melihat kita belum ada rencana menikah. Biasanya, mereka tuh mulai sibuk menanyakan apa sudah punya calon? Kapan nih mau nikahnya? itu kalau calon udah kita tunjukin ke mereka. Atau mereka dengan sukarela menawarkan orang-orang yang dianggap capable and proper buat kita. 

   Embel-embelnya pasti bilang begini, "Udah..., cepetan nikahnya. Nunggu apa lagi sih," Ada lagi yang comment, "Aku malah nyesel kenapa nikahnya gak lebih cepet. Soalnya nikah itu enak kok," ujar beberapa teman laki dan perempuan yang menikah sebelum usia 25 tahun. Ciyus deh, rempong banget sih mereka (bahasa anak galauers jaman sekarang). Kita ajah yang jadi bupati nyantai kok. 
  
Berdua itu mendua? 

   
   Seandainya ditakar, mana sih yang lebih untung atau lebih rugi. Jadi bupati atau menikah? Hahaha..., itu sama ajah dengan pertanyaan, duluan mana telur apa ayam. Jawabannya pasti relatif dan bergantung. Relatif bagaimana dan bergantung pada apa? Soalnya banyak banget kemungkinannya. Tiap orang pasti beda-beda hasilnya. 

   Apabila memilih melajang, apalagi sampai jadi bupati, siap-siap aja dijuluki perjaka lapuk atau perawan tua (lah kok mereka yakin yang diejekin itu masih perjaka atau perawan, kacian deh lu..!!). Belum lagi bakalan diceramahin ama keluarga, dari yang keluarga dekat sampai keluarga yang kita gak kenal dari mana hubungan keluarganya, soal kenapa kita sebagai manusia sosial harus menunaikan kewajibannya untuk menikah, dengan setumpuk alasan yang meyakinkan ala-ala seles kartu kredit. 

   Lain lagi jika menikah cepat. Kerugiannya tentu kita lebih awal kehilangan masa-masa bebas membujang, bebas berbuat apa saja tanpa butuh banyak pertimbangan pasangan (istri/suami) bahkan tanpa harus mengkompromikan dengan kebutuhan anak. Mau makan apa, mau dugem dimana, mau jalan-jalan kemana, mau berpenghasilan berapa, harus benar-benar dihitung. Kita harus bekerja lebih keras dan giat agar istri dan anak bahagia. Belum lagi harus berdamai dengan keinginan pasangan yang kadang 180 derajat bertolak belakang dengan kemauan kita. Tapi benefit-nya, kapan pun mau, ada sesorang yang bersedia (secara legal). Bahkan, mereka yang menikah, risiko terserang penyakit kanker lebih kecil ketimbang pria bujang dan perempuan lajang yang risikonya 17-18 persen lebih besar. (uppsss..., semoga kanker-nya adalah kantong kering yah).

   Satu lagi yang paling gak enak kalau udah nikah. Kita susah olahraga mata, alias jelalatan melirik pemandangan yang lebih bening. Lirik sedikit, eh ternyata ada bini atau misua yang digandeng di samping kita. Flirting-flirting dikit pun jadi gak bisa. Beda kan kalau kita masih lajang, atau masih berpacaran, dan belum menikah. We feel free to flirting or seducing someone, hehehe. Nah kalo kita nekat, ujung-ujungnya malah mendua, meniga, atau malah selingkuh. 

   Menikah berarti berdua. Nah kalau mendua itu gimana? (walah kok malah puyeng dan njelimet nih obrolanya) Ada yang pernah komentar, dengan nada candaan, selingkuh itu bumbunya pernikahan. Kalau gak ada yang selingkuh berarti belum pas pernikahannya. (Nenek lu nyimeng, mbah lu salto!!! Jadi kalau menikah kita boleh selingkuh gitu?!?!) 

   Bibit-bibit selingkuh itu emang paling gampang dan cepat munculnya. Apalagi kalau di "rumah" si pasangan lagi jenuh-jenuhnya ditambah ada masalah internal yang melibatkan inharmonis kebutuhan dan keinginan atau sampai ke soal hubungan dengan mertua. Salah satu pasangan disibukkan dengan pekerjaan, sedangkan satunya bosan gak ada kerjaan, dan merasa terabaikan. 

   Faktor eksternalnya, kita mendapat teman baru, di yang lingkungan baru, yang sepertinya lebih menarik dan asyik diajak sharing dan curhat. Teman baru ini lebih menarik secara fisik atau inner beauty, atau sama-sama lagi kesepian. Mbah-mbah di kampung pernah berucap, "tresno jalaran soko nggelibet" (jatuh cinta lantaran dari sering bertemu). Malahan, dari pengamatanku, selingkuh sepertinya jadi trend yang mewabah dan terlihat jadi kebutuhan baru pasangan-pasangan muda. Dulu, selingkuh sering terdengar hanya dilakukan pejabat atau bos-bos yang kelebihan duit. Tapi sekarang, motif dan penyebabnya lebih fariatif.

   "Gila. Kemarin sewaktu di warung, aku tiba-tiba disamperin ama cewek. Setelah dia pesan makanan, dia duduk dekat aku. Awalnya sih ngobrol tinggal dimana, kerja apa, sampai soal sudah menikah atau belum. Tahu-tahu dia cerita kalau suaminya pulang ke rumah 2 minggu sekali, karena kerjanya di Madura," ujar Setya, salah seorang anggota genk ku jaman SMA. 

   "Terus kenapa? Biasa kan obrolan kayak gitu," ujarku. "Iya sih. Tapi terus kita tuker-tukeran pin BB. Nah sampai sekarang dia itu terus BBM aku. Nada-nadanya sih pengen ngajak gituan (making love). Aku sih pengen juga, hehehe....," celetuk Setya yang sudah beristri dan punya dua anak. 

   "Gendheng kon!!! Dia kan wis nikah tho," celotehku. "Makanya itu, dia tuh pengen gituan karena ketemuan karo suaminya baru beberapa minggu sekali. Kayaknya dia juga udah biasa deh ama orang lain," jelas Setya sok tahu, yang emang punya tampang playboy dan memikat cewek-cewek sejak jaman SMA. 


   Selingkuh & menyelingkuhi pun terjadi di kampus. Berawal dari masa matrikulasi selama sebulan, tumbuhlan benih-benih cinta lokasi diantara teman sebangku. Menurut catatan data survey pandangan mataku, ada dua kasus benih mendua yang terendus. Si laki-laki sudah menikah dan punya satu anak balita, sedangkan si perempuan adalah gadis muda yang menarik dan siap menikah. Satu lagi, pasangan yang sama-sama sudah punya suami dan istri di rumah, tapi terlihat akrab saat di kampus. Meski beda jurusan, mereka kerap menyempatkan bertemu di sela-sela jam kuliah. 


   "Pokoknya saya ingatkan ya. Meski kuliah, jangan sampai keluarga dikorbankan. Jangan sampai ada yang cerai. Soalnya sudah pernah terjadi," ujar seorang dosen mengingatkan para mahasiswanya, di awal masa perkuliahan. Meski tidak menjelaskan apa penyebab perceraian itu, tapi jawabannya mengarap pada perselingkuhan. 

   Weleh weleh weleh..., jadi makin runyam kan pilihannya. Mau menikah dengan risiko "main api" atau melajang dengan risiko jadi ejekan perjaka lapuk. Walau keduanya sama-sama bakal jadi bahan gunjingan, sepertinya aku pilih jadi bupati aja deh. Bupati terlihat lebih terhormat, meski tak nikmat dilihat. Melajang tak harus olahraga jantung karena main petak umpet supaya aksi perselingkuhan tetap terbungkus rapi dan cantik. Melajang pun tak perlu menyakiti dan tersakiti. Paling-paling siksaan batin karena kok sampai setua ini belum laku-laku, wakakakaakakk....

   Sekali bupati tetap bupati, hahahaha... Berfikir positiflah, sapa tahu besok jodohnya malah bule Perancis, yang kalau jalan bareng bisa buat ngiri teman-teman yang udah buru-buru nikah muda. Sapa suruh nikah cepat-cepat!!!  hahaha...
  


-yuda thant-



Rabu, 03 Oktober 2012

Rejected



Siapa sih yang belum atau malahan mungkin tidak pernah sama sekali ditolak? Hampir semua orang pernah merasakan penolakan. Kalau pun ada, wow salut..!! (*angkat 5 jempol, yang 1 jempol minjem ke tetangga)

Contohnya, dosen yang menolak hasil penelitian kita yang sudah dikerjakan mati-matian (atau kalau anak sekarang bilang berdarah-darah), atau ditolak ama perusahaan yang kamu incar sejak belum lulus kuliah, atau permintaan mu untuk jalan-jalan ke Bromo ditolak ama emak-babe karena kamu perginya cuman ama pacar, ditolak bergabung dalam sebuah grup/komunitas karena dianggap kamu gak kompeten, atau malah ditolak mentah-mentah ama cowok idaman yang kamu taksir dan bikin kamu melayang tiap malam membayangkan dirinya. 

Hehehe..., itu lah bentuk penolakan yang mau gak mau kadang terjadi ama diri kita. Lalu apa maksud aku menulis cerita bertema rejected ini?? (kalau ada asap pasti ada api-nya dong). Apa aku barusan ditolak? (kalau dijawab, ntar jadinya curcol, tapi kalo gak dijawab kok kesannya muna ya...)

Yup, aku emang baru saja ditolak. Dan kamu pasti tahu kan rasanya gimana? Seperti tersandung landak, masuk ke dalam lubang buaya, lalu ketiban batu karang, terus dicaplok ama buaya-buaya yang kelaparan. “Jancoookkk.., loro tenan. Ngene tho rasane ditolak! Asu...! lorone cok..!!” Apa lagi yang nolak itu adalah some one yang udah mati-matian kita kejar dan susah payah kita gapai. Gak sedikit pengorbanan dilakukan demi mendapatkan dirinya. Bahkan, prioritas hidup pun sempat dialihkan hanya demi dia. Tapi apa hasilnya? Nol besar. Padahal, semangat juang udah berkobar-kobar dan pantang menyerah. Tapi kok tetap aja hasilnya ditolak.

Sakit, kecewa, dan putus asa. Yah, sempat ngerasain hal yang anak sekarang bilangnya “galau.” Bingung mau ngapa-ngapain, pikiran gak fokus, dan sedih berlarut. Hati terus menggugat kenapa ditolak? Adakah yang salah dan kurang pada diriku??!! Apakah dia terlalu “besar” untuk digapai?? Atau, apakah dia bukan orang yang tepat untuk berbagi dan mengisi hidup bersamaku????

Tiba-tiba, aku terbangun. “Wake-up dude! Move on. Don’t stuck on your puddle!!” Sekarang ini bukan waktunya terlarut dan terjerembab dalam kubangan. “Ayo semangat. Masih banyak mimpi yang bisa kamu raih. Masih banyak kebahagiaan hidup di depan yang belum kamu nikmati. Jangan terhenti di sini hanya karena kamu ditolak. Dunia belum berakhir!!” hati kecil ini berontak marah.

Pelan-pelan, aku mencoba untuk menata ulang prioritas yang kemarin-kemarin sempat berantakan. Belajar melupakan kenangan indah yang pernah diimpikan dan sempat dilakoni berdua. Menjaga jarak agar suasana terasa lebih netral. Mengalihkan fokus hidup bukan lagi pada dirinya. Mensyukuri semua yang telah aku dapatkan darinya, meski itu hanya sesaat dan mungkin semu. Dan yakin, ada rencana terbaik yang disiapkan untuk aku. Bukan sekarang, tapi nanti. 

Mungkin dia memang bukan yang terbaik bro. Anggap aja begitu, itu supaya lu bisa melupakannya,” saran sahabat di kantor lama, yang dulunya anak psikologi.

Penolakan adalah bentuk ketidaksetujuan seseorang atau kelompok terhadap orang atau obyek yang akan dimasukkan/dilibatkan dalam aktivitas mereka. Penolakan ada bentuknya interpersonal ada juga penolakan romantis. Ciri-ciri penolakan yang ditampilkan seseorang/kelompok kepada orang lain adalah dengan perlakukan diam, mengabaikan, mengejek bahkan mengganggu *bullying). Jaman dulu malah ada yang sampai diasingkan atau dikucilkan karena ditolak oleh kelompok yang berkuasa di daerah itu, dengan alasan tidak sefaham atau akan mengganggu kelangsungan hidup kelompok tersebut.

Nah, pengalaman dan kadar rasa penolakan tiap orang tentu saja beda-beda. Semua bergantung pada karakter, kondisi sosio-psikologi, besarnya tekanan (perlakukan) penolakan, juga lingkungan sekitar orang tersebut. Parahnya, jika orang yang ditolak ternyata over sensitif (haduh.., untung udah belajar supaya aku gak terlalu sensitif, hehehe :P ). Kecenderungan negatif berupa konsekuensi psikologi yang bisa muncul dari dampak penolakan adalah perasaan rendah diri, agresi (perasaan marah), kesepian, hingga depresi.

Secara emosional, penolakan itu menyakitkan (setujuuuu..!! *sambil mengepalkan tangan ke atas tanda menyetujui). Sebab, setertutup apapun seorang individu, secara alamiah dia membutuhkan kelompok atau orang lain yang mau menerimanya (manusia sebagai makhluk sosial). Bahkan, kata Opung Abraham Maslow dalam teori hirarki kebutuhan manusia-nya, kebutuhan ketiga manusia adalah kebutuhan untuk disayangi dan dicintai (diterima) oleh orang lain. Jadi, sadar-gak sadar atau mau-gak-mau, ternyata kita emang butuh yang namanya cinta yah... (haduh capek deh.., padahal baru ajah mau menghapus kata cinta dalam kamus hidup ane).

Ok, back to business. Penolakan bisa dianggap juga sebuah ancaman terselubung dong kalau begitu. Soalnya, penolakan yang terus menerus, gak terkontrol, berlebihan, dan tidak tersolusikan, dapat menimbulkan reaksi individual ataupun sosial. Orang yang ditolak, umumnya akan gelisah, marah, dan bersikap terlalu khawatir dengan penolakan-penolakan lanjutan sehingga malas beraktivitas lagi. Atau malah mungkin berperilaku anarkhis dan ujung-ujungnya menyiksa diri dan bunuh diri. (duhh.., amit-amit jabang monyet.. *sambil ketok-ketok meja tiga kali). 

Singkat kata, buat kamu galauers-galauers yang sekarang lagi kecewa akibat ditolak, jangan sedih berlarut dan putus asa. Hidup masih panjang, gak cuman sebatas daun kelor, daun jati, atau apalagi daun pintu. Masih banyak episode kehidupan yang bisa kamu nikmati dan jalani, yang mungkin lebih menarik dan bahagia dari episode yang baru saja terlewat dan bikin kamu sedih. Supaya kekecewaan kamu gak berlanjut, banyak hal yang bisa kamu kerjakan, seperti :
1.  Singkirkan jauh-jauh topik yang menyebabkan kamu ditolak, lalu ubah prioritas itu sehingga hal tersebut jadi daftar paling akhir dalam hidupmu 
2.  Isi waktu kamu dengan segudang kegiatan positif, seperti olahraga, nonton film, traveling, atau ke perpustakaan dan baca buku, diskusi sama temen-temen, atau malah kerja sosial. Yang jelas jangan sendirian, melamun hal-hal yang gak penting, dan hindari lagu-lagu yang mellow gak jelas supaya kamu gak terbawa suasana
3.  Kalau ditolak kerja atau tugas kuliah, yang penting jangan putus asa. Usaha terus menerus, dan cari ide-ide baru dari temen, buku, film, atau tempat dan lingkungan baru. Yakinlah di suatu tempat ada peluang yang tersembunyi diantara tumpukan daun kering atau kabut asap
4. Perbaiki diri, terutama hal negatif yang merugikan orang lain. Perbaikan dan pengembangan diri bukan berarti harus mengubah jati diri dan memakai topeng supaya bisa diterima oleh suatu kelompok. Jangan lup, yakinkan diri bahwa kamu punya kelebihan dan keunikan dari orang lain
5.   Perluas pergaulan, jangan menutup diri. Sebab, makin luas kamu bergaul (tapi tetep pilih pergaulan yang sehat ya boss) makin besar pikiran kamu terbuka dan menerima bahwa ditolak itu hal lumrah yang semua orang hadapi
6.    Mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Untuk kamu yang punya koneksi dengan dengan Dia, teruslah mendekatkan diri dan minta petunjuk terbaik menjalani hidup pasca-penolakan. Menurutku, meditasi juga baik kok. Caranya gampang, dengan duduk bersila, badan tegak, atur nafas (5-5-5, artinya 5 detik tarik nafas, ambil nafas, dan buang nafas. Lakukan 10-15 menit dalam kondisi ruangan yang tenang biar lebih afdal
7.    Rumus terakhir adalah bersyukur dan ikhlas. Emang susah sih, tapi coba ajah biar kamu bisa lebih menikmati hidup dan gak stress ama masalah yang kamu hadapi

Meski rasa sakit itu masih ada dalam hati sampai sekarang, setidaknya sudah berkurang. Aku gak terlalu ambil pusing bahwa aku ditolak (lagi..., ckckckc, nasib kok isinya cuman ditolak ajah sih) atau aku gagal mendapatkan impian. Anggap aja kalau halte yang kita singgahi barusan itu ternyata salah atau jelek dan gak layak. Nah, efektif atau gak cara-cara di atas, semua tergangtung sama kamu. Yang pasti, it’s time to wake-up guys. Hidup ini terlalu indah kalau hanya kamu perlakukan dengan kesedihan.

- yuda thant -