Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Agustus 2013

Kuasa Drupadi di Istana Khayalan

Aku membaca buku ini dua bulan lalu, dan aku sudah bercerita kepada dua orang teman perempuan, tentang betapa mahadaya buku ini, "Palace of Illusion" tulisan Chitra B Divakaruni. Buku ini bakal cocok buat kamu yang suka dengan dongen klasik Mahabarata atau Ramayana. Sebab, dalam buku terjemahan ini kita akan melihat kisah perang barata yuda di tanah kurukshetra dari sudut pandang mata dan batin seorang perempuan, yang konon adalah pemicu perang ini, yakni Drupadi. 

Mengapa aku sebut mahadaya, sebab buku ini bisa menjadi cermin bagi para perempuan untuk melihat kodrat, peran, dan kekuatan mereka dalam dunia yang dijalankan oleh laki-laki. Meski latar kisahnya adalah India dan pada zaman dahulu, namun kesan yang terbangun tetap hangat dan malah tak jauh beda dengan kondisi sekitar kita saat ini. Jika yang baca tulisan ini adalah perempuan, aku rekomendasikan Anda baca buku ini. Tapi jika Anda laki-laki, tak ada salahnya juga membacanya. Sebab Anda akan tahu bahwa dibalik semua kisah dan pergolakan dunia, ternyata perempuan bukanlah figuran. Mereka punya campur tangan yang besar dalam tiap kisah sejarah di muka bumi ini. 

Untuk gambaran awal, aku akan mencoba memberi ulasan singkat konten dari buku ini. 

Pada bab-bab awal buku ini, kita akan dikenalkan tentang siapa sebenarnya Drupadi, seorang putri dari Raja Drupada dari Kerajaan Pancala. Sosok putri cantik  yang juga dikenal dengan nama Pancali ini berkulit gelap namun eksotis. Dia sangat dekat dengan kakak laki-lakinya, juga dengan Kresna yang sering bertandang ke kerajaannya. Dikisahkan pula bahwa dia bukan seperti putri-putri lain yang gemar berlatih menari atau berdandan, tetapi dia senang mendengarkan kisah dan strategi perang dari kakak laki-lakinya. Dia sosok yang cerdas, penuh ambisi, namun terbatas oleh kondisinya sebagai perempuan yang hanya boleh duduk dan melihat. 

Pada bab selanjutnya, mulai dikisahkan asmara yang menggelora dalam jiwa Drupadi. Selain Arjuna yang berhasil memenangkan sayembara untuk menikahinya, ternyata Drupadi menyimpan gejolak cinta pada Karna, yang mengikuti sayembara namun ditolak oleh pihak Kerajaan. Perasaan itu tersimpan dan bersembunyi rapat di ceruk paling dalam hatinya, dan sering kali berontak tatkala dia melihat dan bersua dengan Karna. Di satu sisi, Karna pun ternyata memendam perasaan yang sama, namun tak mampu berbuat apa-apa untuk menyatakan cinta terdalamnya kepada perempuan yang selalu dipujanya. 

Jika poligami itu mungkin biasa, tapi bagaimana jika poliandri. Bagaimana perasaan seorang perempuan yang terpaksa harus melakukan "permainan" poliandri ini. Bagaimana dia harus membagi cintanya bukan hanya kepada satu atau dua laki-laki, tapi lima sekaligus dan mereka hidup dalam satu atap yang sama. Kelima suaminya yang disebut Pandawa itu adalah kakak beradik, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bagaiman kecemburuan Drupadi kepada perempuan-perempuan lain yang menjadi istri-istri dari suami-suaminya. Kemarahan dalam hati Drupadi saat pada awal tahun dia harus berganti suami, tanpa boleh bercengkerama dengan suami-suaminya yang lain. Serta kegelisahan Drupadi bahwa dia tidak bisa menjadi istri terbaik bagi suami-suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Dari kelima pria itu, ternyata yang paling menyayangi Drupadi bukanlah Arjuna, tetapi Bima. 

Kemudian bab berikutnya, yang merupakan klimaks dari buku ini adalah bagaimana Drupadi berperan, entah langsung ataupun tidak, dalam perang mahabarata. Kisah tentang permainan judi (dadu) Yudhistira dengan Duryodana (sulung dari Kurawa), yang berakhir dengan kekalahan Pandawa, diusir dari istana impian mereka, dan dipermalukan di depan para undangan. Bahkan, Drupadi menjadi "barang" taruhan dan berakhir dengan tragedi pelucutan kain sari (baju) Drupadi oleh Dursasana (adik Duryodana) di depan Pandawa yang tak bisa berbuat apa-apa karena kalah judi. Tragedi inilah yang memicu kebencian Drupadi dan para Pandawa, suami-suaminya, sehingga berakhir dengan perang besar di kurukshetra. 

Luka, dendam, ambisi, asmara, cinta, suka cita, mimpi, dan harapan Drupadi menjadi refleksi kisah perempuan-perempuan di jagad raya ini. Perempuan yang harus mengabdi pada suami, tanpa boleh menolak untuk tindakan yang tercela yang akan menimpanya. Perempuan yang menaati aturan, tanpa bisa berkata tidak pada aturan main yang hanya menyengsarakan perempuan. Perempuan yang ingin merdeka, tapa harus ada yang terluka. Inilah kisah dan gelisah perempuan, yang tertuang dalam wujud Drupadi. 

Dari buku ini aku belajar, bahwa perempuan juga punya gairah, hasrat, dan cita-cita sebesar laki-laki. Mereka juga punya peran dan fungsi yang tak kalah penting seperti laki-laki. Perempuan juga mampu menjadi biang masalah sekaligus penyelesai masalah. Kalau ada yang bilang "selesaikan dengan secara jantan (laki-laki)," berarti sebuah masalah juga bisa diselesaikan secara perempuan. Dan mungkin, cara itu lebih baik, lebih damai, dan lebih win-win solution


- yudathant -

nb: 
dalam foto ada gambar Dian Sastro (my idol actress), itu sengaja karena dia berperan sebagai Drupadi dalam film berjudul Drupadi, produksi tahun 2008. Aku pengen banget nonton filmnya, tapi sampai sekarang belum pernah lihat DVD nya dijual di lapak, atau ada stasiun TV di Indoensia yang muter film ini. Oh ya, aku sempat nemu teaser film-nya, coba chek di video yang aku attach. Ckckckck.., kapan yah bisa lihat mbak Dian Sastro... #wajah mupeng. 



Minggu, 05 Mei 2013

Istri Raja dan Istri Petani

Konon, di suatu masa, hidup seorang raja bersama istrinya yang terkenal rajin. Mereka berdua suka terjun melihat langsung kondisi rakyatnya. Saat tiba di deretan gubuk petani miskin, mereke berdua sedih melihat kondisi tersebut. Raja berujar iba pada nasib mereka, “setekun apa pun mereke bekerja, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Terkadang, aku tidak memahami maksud para Dewa,” ujarnya.

Istri raja tidak setuju dengan pendapat itu. Menurutnya, ada peran perempuan yang hilang dan tak berfungsi baik dalam keluarga petani tersebut. Makanya, istri raja pun menyampaikan idenya. “Izinkan aku tinggal di dalam gubuk itu selama beberapa bulan, dan biarkan istri petani tinggal di dalam istana. Dan, kau akan memahami maksudku.”

Permintaan istri raja dikabulkan. Saat bertukar posisi, Ratu terkejut melihat betapa kotornya gubuk milik si petani. Maka, dia mulai membersihkan semua sudut rumah sampai tiap perlengkapan dapurnya. Alas rumah yang berupa tanah lembab ditutupnya dengan kotoran sapi yang mengeras bercampur bubuk kapur. Petani tidak dia biarkan duduk-duduk santai, tapi disuruhnya bekerja apa pun yang bisa dia ditemukan. Tiap sen uang yang dihasilkan petani saban sore, disisihkan (ditabung) Ratu ke dalam periuk.

Setelah beberapa pekan, si petani memiliki uang untuk membeli kambing yang susunya bisa dijual atau diminum sendiri. Di lain tempat, istri petani yang tinggal di istana masih bersikap seperti di gubuknya, bermalas-malasan, berantakan, dan bersikap kasar. Setelah beberapa bulan berjalan sesuai permintaan Ratu, nasib keuangan petani pun berubah, bahkan dia sudah tahu bagaimana seorang perempuan itu harusnya bersikap dalam sebuah keluarga.

Ratu pun berujar, “masalah ini tidak ada hubungannya dengan para dewa. Kebahagian dan kemakmuran sebuah keluarga bergantung pada pada perempuan,” ujarnya. Cerita ini aku cuplik dari buku “101 Kisah Inspiratif dari India, by Eunice de Souza.”

Kisah semacam ini bukan hanya dongeng, tapi menurutku adalah refleksi kehidupan nyata yang terjadi sampai saat ini. Perempuan di sejumlah masyarakat, komunitas dan wilayah, masih dianggap sebagai anggota penduduk kelas dua. Nasibnya, belum merdeka seutuhnya. Banyak kekangan, batasan, juga aturan yang membelenggunya. Bahkan, di masyarakat yang sudah mengaku modern pun, tetap melihat perempuan sebagai individu yang tidak penting, rapuh, dan butuh perlindungan.

Aku mau menghubungkan cerita “Istri Raja dan Istri Petani” itu dengan konsep pemberdayaan perempuan. Minggu lalu, di kelas sempat dibahas tentang indikator pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan kaum perempuan umumnya terganjal konsep kodrat perempuan yang sering menjadi “lubang hitam” sehingga sampai kini masih banyak perempuan yang tidak berdaya. Kondrat perempuan hanyalah empat, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Keempat hal ini adalah yang tidak dimiliki dan  bisa dilakukan oleh laki-laki. Sisanya, hakikat perempuan dan laki-laki adalah sama.

Untuk berdaya, perempuan harus memulainya dari level individu, keluarga, sampai lingkungan sosial. Menurut UNDP, dimensi pemberdayaan perempuan adalah pada pemberdayaan ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Pada pemberdayaan ekonomi, meliputi peluang memperbesar pendapatan, akses luas terhadap pelayanan dan penguasaan pada sumber daya. Di pemberdayaan sosial meliputi adanya lingkungan yang kondusif dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. Pada sektor politik dan hukum, meliputi memperbesar partisipasi dan kesempatan memberikan pendapat dan mengambil keputusan, serta menyadarkan hak dan wewenangnya sebagai warga sebuah negara yang dilindungi hukum.

Dari kisah Ratu yang berperan aktif dalam menentukan nasibnya sebagai perempuan dan istri di sebuah rumah tangga, membuktikan bahwa kesejahteraan keluarga itu bisa bangkit dari keterpurukan dengan campur tangan perempuan. Istri harusnya diberi kesempatan untuk ikut memutuskan finansial sebuah rumah tangga, memelihara lingkungan rumah tetap sehat, kondusif, dan produktif. Perempuan juga punya peran membangun keluarga dan masyarakat. Lihatlah perempuan di sekitarmu. Betapa mereka banting-tulang demi keutuhan sebuah keluarga. Tengoklah ibumu, kakak/adik perempuanmu, istrimu, atau perempuan yang baru saja kau lewati di tikungan jalan tadi. 

Tak heran jika ada kalimat singkat yang mengatakan, “dibalik kesuksesan seorang laki-laki, berdiri tegar sosok perempuan.” Maka, berbanggalah Anda yang sebagai perempuan. Mulailah Anda memberdayakan diri Anda sendiri. Bukan harus berbentuk hasil atau wujud yang "besar", tapi mulailah dari yang paling sederhana atau simple. Do it now...!, jadilah istri raja, jangan istri petani, seperti dalam cerita ini. 

-yuda thant-


Kamis, 07 Februari 2013

Let's Giving

   Awalnya Cami Walker kecewa saat hanya menemukan 3 lembar uang 1 dollar di dalam dompetnya. padahal dia berharap ada selemba 5 dolar atau 10 dolar untuk disumbangkannya pada acara pertemuan perkumpulan perempuan pecandu. Tapi kemudian dia sadar. Uang sumbangannya itu sebenarnya sudah cukup untuk membeli se-pak minuman coklat panas yang dijadikan konsumsi pertemuan ini selanjutnya. Karena inti pertemuan ini bukanlah besarnya sumbangan, tapi saling menguatkan diri darn membesarkan hati para mantan pecandu untuk bangkit dan hidup lebih baik. Hari itu, Cami sudah memberi sesuatu untuk membuat orang lain lebih bahagia dan lebih baik. 

***
   Cerita singkat itu aku ringkas dari 29 hari siklus pertama ritual memberi Cami Walker, yang tertulis dalam bukunya, "29 Gifts - Keajaiban Memberi." Menurutku, buku ini sangat apik dan inspiratif. Buku setebal 313 halaman itu berisi perjalanan Cami menemukan lagi semangat hidupnya yang pudar akibat penyakit multiple sklerosis yang sempat membuat dia seperti mayat hidup. Siksaan yang menyakitkan akibat penyakit yang menyerang sistem saraf pusat, yakni otak, tulang belakang, dan penglihatan, membuat Cami putus asa. Segala pengobatan, termasuk perawatan alternatif seperti pijat, akupuntur, dan terapi lainnya, sudah dijalani.
 
   Namun, hanya pada metode "29 pemberian (gifts)" inilah Cami merengkuh kembali jiwanya yang sempat melayang. Dia merasa bangkit dari kuburnya di dalam apartemen. Dia menapaki hidupnya yang lama, meski tak secepat dulu. Bahkan setelah setahun, atau setelah melewati 13 siklus 29 pemberian, konsultan periklanan ini merasa penderitaan karena sakitnya telah berkurang. Walau penyakit itu masih bercokol di tubuhnya, kesehatannya malah jauh lebih prima setelah semakin sering dia memberi. 

   Konsep 29 gifts adalah konsep sederhana yang mengajarkan manusia bahwa kehidupan ini penuh dengan proses memberi dan menerima. Dalam keterbatasan pun kita masih dapat memberi. Menerima sesuatu, berarti kita telah memberikan sesuatu pada diri kita bahkan orang lain. Dalam ajaran tiap agama atau kepercayaan pun, konsep ini sudah ada. Seperti konsep karma-phala dalam ajaran Hindu ataupun Budha. Atapun dalam ajaran Islam, yang mengajak umatnya untuk tangan kanan memberi tapi jangan sampai tangan kiri melihatnya.
 
   Semakin banyak memberi, semakin banyak pula kita menerima. Dan tentu saja, yang kita berikan adalah kebaikan, keuntungan, kemanfaatan, dan kebahagian kepada orang lain. Pemberian yang kita berikan tidak diukur dari seberapa besar nilainya, bentuknya, bagusnya, mahalnya, atau mereknya. Biarpun murah, tidak berlabel, tidak bernilai rupiah, tidak baru, tidak berwujud, karena berupa waktu dan tindakan, dan hanya kita kumpulkan dari alam, pemberian itu tetaplah sebuah pemberian. Dia bermakna bagi yang menerimanya. 

   Berat. Diawal ritual 29 gifts ini pasti akan terasa berat. Cami mengatakan, saat memberi si pemberi harus sadar dan tanpa rasa pamrih apa pun. Maksudnya, sadar bahwa memberikan sesuatu kepada orang lain, dan tidak mengharapkan imbalan apa pun dari si penerima. Dan, saat memberi jauhkan perasaan bahwa kegiatan ini adalah kewajiban atau keharuskan. Sebaliknya, tumbuhkan bahwa dengan memberi kita sedang melayani diri sendri melalui orang lain. 

   Mbali Creazzo, adalah perempuan Afrika yang menginspirasi Cami Walker menyebarluaskan gerakan 29 gifts. Mbali adalah perempuan penyembuh, atau boleh dibilang semacam guru spiritual. Mbali menularkan konsep ini dengan keyakinan bahwa memberi membuat kita lebih mensyukuri karunia yang telah kita dapatkan. Hidup menjadi lebih terbuka, sikap rendah hati membesar, dan proses menuju manusia sejati, yang menghargai setiap nilai kehidupan, akan terbuka. 

   Dalam buku ini, juga ditulis beberapa rekan dan kenalan Cami yang telah/mulai melakukan tantangan 29 hari memberi. Salah satunya adalah Daryn Kagan, mantan reporter CNN. (aku suka banget dengan cerita yang ditulisnya, berjudul "inspirasi dalam memberi"). Daryn sempat bingung saat tahu dirinya dipecat setelah 12 tahun bekerja sebagai reporter. Tapi dengan melakoni tantangan memberi, dia menemukan kebahagiaan dan banyak inspirasi. Menurutnya, hal yang paling mudah diberikan adalah uang, dan yang tersulit adalah bagian dari diri kita sendiri (terkait dengan emosional/perasaan). "Bila kita fokus pada orang lain, lebih banyak lagi pemberian tak terbayangkan yang akan datang," begitu ujar Daryn. 

   Cami dan Mbali mengajak kita mulai mempraktikkan tantangan 29 hari memberi agar kita mendapatkan keajaiban-keajaiban yang tanpa kita sadari akan datang dengan sendirinya. Untuk lebih asiknya dan jelasnya, kita bisa membuka dan klik di situs http://www.29gifts.org/  Di situs ini banyak cerita dan kisah inspiratif yang akan menyemangati hidup kita, di saat hidup terasa berat. Tak ada salahnya memberi, malah di saat kita sedang membutuhkan dan menderita sekalipun. Karena memberi tak mengenal batasan. So, let's give our gifts to others cakbro'... 

-yuda thant-

Kamis, 25 Oktober 2012

Bajakan


Di sebuah kios toko buku ukuran 2m x 2m, di lantai dasar pasar yang sedikit pengap dengan aroma campur aduk antara bau makanan dan bau yang apek dan lapuk. 

thant : Berapa harga bukunya pak
seller : Harganya Rp 20.000 
thant : Berapa pak? (antara kaget dan gak yakin)
seller : Rp 20.000 mas 
thant : Gak bisa kurang pak? Rp 15.000 ya pak? (meski tahu harganya sudah super murah, tapi tetap nawar supaya bisa dapat harga yang lebih murah)
seller : Hmm, gak bisa. Harganya pas 
thant : Segitu ya pak..., hmm.. (sambil pura-pura mikir, biar meyakinkan kalo duitnya pas-pasan) 
kris    : Rp 20.000 lho mas. Murah banget (sambil berbisik, dan antusias) Tadi buku yang ini harganya di toko yang tadi sekitar Rp 50.000. Tahu gini aku beli di sini (keluh kris yang baru saja membeli 2 buku yang harga totalnya hampir Rp 100.000)
thant : Iya yah.., (sambil membolak-balik buku setebal 2cm yang masih terbungkus plastik) Emang murah si boss (mengiyakan statement si kris) 
kris    : Nek aku belum beli dulu mas. Bulan depan ae. Duitnya wis habis buat beli buku di toko tadi (dengan nada sedikit mengeluh)
thant : Iya pak, aku jadi beli bukunya (sambil membuka dompet dan mengambil satu-satunya uang bergambar I Gusti Ngurah Rai di dalamnya, lalu menyerahkan kepada si penjual)
seller : Ini mas bukunya, ini kembaliannya.


Transaksi jual-beli buku pun berakhir. Lalu muncul pertanyaan. Mengapa harga buku yang sama, -- judul, pengarang, gambar sampul, dan isinya -- harga jualnya bisa beda. Di toko buku Manyar Jaya, harganya sekitar Rp 40.000-Rp 50.000, itu pun sudah dapat diskon 25 persen, sedangkan di salah satu lapak kios buku di Pasar Blauran, harganya hanya Rp 20.000. Hmmm...., kok bisa ya??? 



The answer is simple, "bajakan". Yup, buku yang baru saja aku beli adalah buku bajakan. It's hundred percent pirated.

Selintas, kalau dari cover, buku yang aku beli emang mirip dengan aslinya. Tapi setelah dicermati, harga emang gak bisa bohong. Kualitas kertas dan cetakan pada buku yang lebih murah itu memang jauh dari sempurna. Kertasnya tipis, tulisan yang tercetak di halaman-halaman putihnya itu kabur, miring-miring gak jelas, dan seperti hasil fotocopy-an. 


Tapi gimana lagi yah..., namanya juga mahasiswa yang "tak berpenghasilan" buku bajakan sepertinya jadi solusi terbaik. Maklumlah, kalo harus beli buku yang asli, seperti yang sebelumnya aku lakukan, kerasa banget beratnya. Sebelumnya, aku dah sempat beli buku untuk bacaan tambahan materi kuliah. Udah hampir Rp 300.000 uang aku keluarin dari dompet, tapi cuma dapat 6 buku. Waduh..., kalau ini diteruskan, bisa-bisa bangkrut nih bandar. 



Fenomena buku bajakan, honestly, sudah aku kenal 12 tahun lalu, sejak kuliah di Jogja. Di kota pendidikan itu, buku-buku bajakan bertebaran dengan maraknya. "Shopping", sebuah pasar dekat Pasar Bringharjo/Malioboro, adalah salah stau tempat favorit untuk belanja buku bajakan. Selain itu ada juga di toko-toko buku kecil di daerah Gejayan. Buku bajakan, adalah alternatif buat kita punya buku bacaan selain memfotocopy buku perpustakaan. 


 
Selepas kuliah, dan sudah mulai kerja, dan tentunya beruang, buku bajakan pun keluar dari daftar belanjaan. Tempat belanja buku juga "pilih-pilih." Cari yang nyaman dan lengkap. Soalnya sekalian buat window shopping. Tapi, di tengah jalan, karier harus distop sementara untuk kuliah lagi. Karena tidak lagi menerima "dana segar" tiap bulan, terpaksa lah, buku bajakan jadi pilihan tepat untuk sementara waktu. 



"Penyakit endemik" yang sudah ada sejak jaman dulu, mungkin begitulah realita buku bajakan. Hal ini terasa banget di kota-kota besar yang banyak terdapat kampus dan perguruan tinggi. Harga buku-buku yang ditawarkan di pasar buku bajakan, bisa sampai 70 persen lebih murah dari harga buku aslinya. Jadi, tak heran, buku bajakan masih menjadi magnet bagi mahasiswa atau penikmat buku yang berkantong cekak. Salah satunya adalah aku. Tidak ada asap jika tidak ada api. Adanya permintaan buku bajakan muncul karena harga buku yang melangit. Tiap saat, harga buku terus saja naik. Makin lama makin tak terbeli. Itu buku-buku lokal, gimana dengan buku-buku impor? Wuiiihhhh.., tambah mahal cingg...

 

Namanya juga bajakan, pasti ilegal, murah, tapi melanggar aturan yang udah dibuat. Bicara soal aturan, hal-hal terkait pembajakan itu sebenarnya melanggar hak cipta sebuah karya, yang termaktub dalam UU Hak Cipta nomor 12 tahun 1997. Hukumannya pun gak tanggung-tanggung, sampai 7 tahun penjara atau denda Rp 5 miliar. (Waduuuhhhh..., lha kok besar yah dendanya..!!!) 



Di satu sisi, saat kita membeli produk bajakan, --entah itu buku, film, baju, sepatu, sampai celana dalam-- sebenarnya kita sudah melakukan sikap tidak menghargai karya orang lain. Sebab, karya yang dihargai dengan nilai rupiah itu adalah kerja keras mereka (khususnya karya dan produk intelektual) yang gak sehari-dua hari proses ngebuatnya. Jika tabiat tak menghargai ini dibudayakan, jangan heran kalau kita gak akan pernah dihargai dan dihormati oleh orang lain. 


 
Impitan ekonomi berbenturan dengan kebutuhan intelektual yang "menggila." Di satu sisi, budaya membaca pada sebagian masyarakat kian meningkat. Tapi, status eknomi mereka membuat keterbatasan dan kemampuan membeli buku yang diinginkan. Meski sudah ada perpustakaan, bukan berarti kita bisa membaca semua buku yang (benar-benar) diinginkan. Selain harus mengantre, belum tentu buku itu selalu ada saat dibutuhkan. Akan beda jika kita memiliki sendiri buku-buku favorit yang sudah kita incar. Rasanya seperti memiliki harta yang tak ternilai.


Jadi ini salah siapa? Aku harus bagaimana?


"Sing penting iso diwoco mas. Wislah..., Bajakan gak opo-opolah. Kan sing penting isine," ujar kris yang masih kesal karena terkena winner's curse (kutukan pemenang). 








 








-yuda thant-
 






Jumat, 12 Oktober 2012

Apabila Esok Datang



Sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan yang sulit atau belum bisa kita jawab. Namun, kita yakin bahwa kita tidak salah langkah. Sebab, kita mengikuti apa kata hati, naluri, dan apa yang sebenarnya diinginkan.  Bukan mengikuti apa kemauan orang lain atas diri kita.

Lho.., lu kok masuk (fakultas) kesehatan masyarakat sih? Emangnya mau jadi apa nanti? Dulu lu kan anak lulusan (fakultas) politik. Terus lu sempat kerja di media. Nah kok tiba-tiba masuk kesmas. Gak nyambung kali jek..!!” ujar beberapa teman yang terkejut mengetahui kalo aku mengambil kuliah S2 di fak. kesmas.

Aku mau jadi menteri kesehatan, gantiin (alm) bu menteri endang rahayu sedyaningsih. Dia kan dulu dari kesmas juga S2-nya, hehehe...” jawabku asal-asalan.

Dulu, aku pun tidak pernah terfikir untuk masuk ke fak.kesmas. Tapi, sejalan dengan perjalanan hidup, ada sesuatu yang menarik sehingga tiba-tiba aku berniat “mencemplungkan” diri dalam dunia kesehatan. Mengutip kata dosen di kampus; tiap sikap dan perilaku itu pasti didasari oleh keingan dan motif. Dan motif itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengalaman hidup dan lingkungan.

Lagi-lagi, ini soal pilihan hidup. Banyak kok lulusan pertanian dan ilmu botani dari IPB yang sukses jadi bankir di bank-bank nasional. Sarjana hukum malah mumpuni sebagai marketer di perusahaan-perusahaan bonafide. Gak selalu apa yang jadi pilihan awal akan menjadi penentu sukses di akhir. Semua itu berjalan sesuai proses, serta keinginan keras dan keyakinan kita memilihnya. Semuanya bisa berubah di tengah jalan, karena banyak persimpangan yang harus kita pilih salah satu.

Bicara soal keberanian memilih atau berani mengubah hidup yang sedang kita jalani. Ada buku menarik tulisan Peter O’Connor, yang aku baca minggu lalu. Sebuah buku saku, model 2-in-1, yakni dua cerita yang disatukan dalam satu buku. Cerita pertama (“when tomorrow comes”/gerhana terakhir) dimuali dari cover depan, sedangkan cerita kedua (“seeking daylight’s end”/mengejar matahari) dimylai dari cover belakang. Unik. Meski bukunya kecil dan cerita yang disuguhkan itu ringan, tapi isinya mendalam dan memotivasi untuk bertahan dan selalu yakin pada pilihan kita. 


Beberapa puisi singkat dan nasihat dari buku diary Joseph yang dihibahkan kepada cucunya, Sarah, itu penuh dengan pencerahan bagi kita yang menyimak buku ini.  Terutama bagi yang sedang bimbang dengan jalan hidup yang sedang dipijak. Joseph menyemangati Sarah yang selama ini hidup dengan bayang-batang orang lain, bukan bayang-bayangnya sendiri. Joseph membuka cakrawala pikir Sarah, menunjukkan dunia yang harusnya dia pilih, dan mengajaknya mencicipinya.
 
Dalam buku ini, kita diajak untuk tidak takut pada kegagalan ataupun kesalahan, karena dari situlah kita belajar hal baru untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, dan lebih kita inginkan. Ini adalah puisi yang apik dari diary Joseph:

Pikirku, aku butuh kebebasan
Tapi kata orang, aku butuh pengarahan.
Pikirku, aku bisa membuat pilihan sendiri
Tapi kata orang, aku punya kewajiban
Pikirku, seharusnya aku mengikuti impianku
Tapi kata, orang aku harus mengikuti peraturan

Nah kalo yang ini, beberapa kalimat yang tertulis dalam diary Joseph, 

Akan selalu ada hal-hal yang tak mampu kau kendalikan, tapi kau baru benar-benar gagal kalau kau membiarkan hal-hal ini mencegahmu mencoba. Kalau kau tak pernah mengambil resiko, kau pun takkan pernah mencapai apa-apa. Lebih baik mencoba dan gagal, daripada takut mencoba.

Ada orang yang menghabiskan hidup tanpa pernah sekali pun mencoba melakukan hal-hal baru, karena mereka takut gagal. Yang tidak mereka sadari adalah, walaupun orang pemberani tidak hidup abadi, orang yang selalu berhati-hati malahan tidak pernah hidup sama sekali.

Ingatlah apa yang kaucari dari hidup ini, dan teruslah maju ke arah tujuan itu. Hanya kau yang punya kuasa untuk meraihnya, atau membuat dirimu sendiri gagal.

“Yang penting bukan berapa lama kita hidup. Tapi hidup yang bagaimana yang telah kita jalani. Dan aku beruntung sudah menjalni hidup (yang panjang dan) mengasyikkan. Tak ada yang kusesali.”

***

Sedangkan cerita kedua, berkisah tentang Talan, seekor elang muda yang penasaran melihat matahari tenggelam di telan samudera. Elang muda ini harus bersusah payah melintasi pegunungan es, gurun, pemukiman penduduk, juga rintangan cuaca ekstrem dan kelaparan untuk melihat sendiri “dongeng” yang dikisahkan oleh seekor elang tua yang bijaksana. 

Untuk mencapai keinginan yang dianggap mustahil dan ditabukan oleh klan (kelompok)-nya, Talan berulang kali ingin menyerah dan merasa putus asa. Namun, dia mencoba mendengarkan bisikan “angin” yang merupakan suara hatinya yang paling dalam. Dalam menempuh perjalanan, Talan tak sekadar melampiaskan hasrat besar dan egoisme jiwa mudanya. Dia harus berpikir dan bersikap cerdas menghadapi kesulitan dan rintangan selama perjalanan. Karena dia yakin, pasti ada jalan terang bagi yang mau berusaha keras.

Tujuan apa yang menggerakakkan hidupmu? Tujuanmu sendirikah, atau tujuan orang lain?

Siapa pun bisa berani membayangkan hal yang luar biasa, tapi hanya sedikit yang benar-benar luar biasa sehingga berani mencoba melakukannya.

Keberanian lahir dari kekuatan untuk percaya pada dirimu sendiri, meski tak ada orang lain yang percaya padamu. Hadapi rasa takutmu dan lakukan apa yang harus kaulakukan. Jangan sampai rasa takut menghalangimu hidup.

Jangan pernah putus asa dalam menggapai impianmu, karena hanya ada satu orang yang bisa menghentikanmu, yaitu dirimu sendiri. Ingat! Kalau kaupikir kau akan gagal, kau pasti akan gagal. Mereka yang percaya sesuatu itu mustahil, akan selalu mendapati hal itu memang mustahil. Tapi mereka yang percaya tidak ada yang mustahil, akan selalu menemukan jalan.

Ketika rasa putus asa menghancurkan semangatmu dan keletihan menjerat tubuhmu, satu-satunya pilihanmu adalah meneruskan perjalanan, meski tampaknya kau pasti gagal, karena hanya pada saat itulah kau punya kesempatan untuk berhasil.

Kembali lagi pada pertanyaan beberapa teman dan mantan rekan kerja-ku. “Kok kamu pilih fak.kesmas? Nanti kamu mau kerja dimana?” Hehehe..., dengan modal tulisan Peter O’Connor, pasti kalian bisa menyimpulkan sendiri. Akan lari kemana kita? Asalkan yakin pada pilihan, maka yang terlihat mustahil dan tak mungkin, bisa jadi mungkin dan terwujud bila kita sendiri yakin itu nanti akan terwujud. Jadi, tetaplah semangat dan yakinlah dengan pilihan hidupmu. Jangan ragu dan menyerah di tengah jalan teman...


-yuda thant- 


Rabu, 08 Agustus 2012

Dislessia su Libri di Luca

Hampir seminggu aku tenggelam dalam buku fiksi  bersampul merah tua-coklat gelap bergambar lorong perpustakaan antik. Judulnya “Libri di Luca.” Novel karangan Mikkel Birkegaard, penulis asal Denmark, ini membuat aku terbius dan menyadari bahwa buku merupakan wujud pengejawantahan imajinasi liar otak. Sebab, segala persepsi, histori, mimpi, bercampur imajinasi, akan muncul saat kita membaca dan membayangkan perjalanan cerita isi bukunya. Namun, bukan isi atau menariknya buku itu yang hendak aku celotehkan. 

Di novel itu, ada satu karakter pendukung, Katherina namanya, gadis berambut merah penjaga toko buku antik yang menderita disleksia (dyslexia). Meski tak lancar membaca, dia bisa melayani pembeli hanya dengan “membaca” judul yang dibaca pembelinya, meski itu dalam hati si pembeli. 

Nah, gangguan kesehatan ini yang membuatku tertarik karena aku pernah merasa mengidap penyakit disleksia. Sebab, acap kali aku merasa kesulitan mendapatkan konsentrasi untuk mengerjakan sesuatu, termasuk itu membaca. Kadang, aku harus membaca berulang kali sebuah paragraf karena aku belum memahami maknanya, meski aku bisa membaca tiap katanya dengan lancar. Tapi, terkadang kata-kata yang aku baca pun terselip atau terlewat, sehingga menjadi kalimat yang kacau. 

Waduh gawat, sepertinya aku menderita disleksia. Parah gak ya?” pikirku.

Suatu waktu, saat di Jakarta, aku menyempatkan mampir ke sebuah sekolah khusus bagi penderita disleksia. Aku menemuai seorang gurunya, bahkan diajak masuk ke dalam kelas untuk melihat aktivitas belajar-mengajar anak-anak yang menderita gangguan kesulitan konsentrasi membaca dan berhitung. Dan, memang benar. Di kelas yang hanya berisi kurang dari 10 anak berusia sekitar 7-9 tahun, anak-anaknya terlihat hiperaktif dan sulit sekali jika diminta fokus dan serius mengikuti pelajaran dari bu guru yang di depan kelas. 

Kepada aku, bu guru menjelaskan, tidak semua anak di dalam kelas ini punya masalah yang sama. Ada anak yang kesulitan membaca, ada yang kesulitan berhitung, dan ada kesulitan menghapalkan bentuk benda. Saat itu, aku melihat kelucuan dan hiperaktif anak-anak itu bukan sebagai gangguan, tapi sebuah keunikan yang menarik jika ditelaah. 

Disleksia, dislessia, atau dyslexia, sebuah ketidakmampuan anak-anak (bahkan orang dewasa) untuk belajar  akibat kesulitan saat mengeja, membaca, menulis, dan sebagian lagi berhitung. Menurut pemaparan ahli dalam Asosiasi Disleksia Indonesia, disleksia akibat kelainan neurobiologis yang ditandai kesulitan mengenal kata dengan tepat/akurat dalam pengejaan serta kemampuan mengodekan simbol-simbol. Kalau mengacu pada bahasa aslinya, bahasa Yunani, dys (kesulitan) dan lexix (leksikal/huruf) – sumber wikepedia – 

Dilihat dari penyebabnya, ada dua, yakni developmental dyslexia (bahawan lahir/keturunan) serta acquired dyslexia (gangguan/cidera otak kiri). Berdasarkan penelitian, 70 persen penderita disleksia karena faktor genetis, sisanya karena cidera saat beranjak dewasa. Diperkirakan, disleksia terjangkit pada 15 persen populasi di masyarakat, dan laki-laki dua kali lebih banyak menderita. (jeng jenggg...!!)

Ciri-ciri disleksia bisa dideteksi saat tumbuh kembang anak-anak. Biasanya, mereka kesulitan membaca dan membedakan huruf (d/b/q/p/f/v/u/n/m), membedakan kata-kata yang bunyinya mirip atau huruf-hurufnya saling terbalik (palu/malu, nakal/kanal, kepala/kelapa), bahkan kesulitan mengeja furuh dari kata yang disebutkannya. Sehingga, membuat anak-anak ini malas belajar membbaca dan menulis. 

Beberapa ciri lainnya: mencatat yang tertulis di papan tulis, mengingat kata-kata dan ingatan jangka pendek, sehingga besar kemungkinan tidak menyelesaikan tugas/pesan yang disampaikan berurutan. Beberapa anak akan kesulitan memperkirakan waktu dan uang, tidak sabaran melakukan kegiatan motorik halus (memegang benang dan jarum). Akibatnya, anak-anak penderita disleksian kerap kali disebut anak bodoh, bahkan idiot. Tak jarang, mereka terlambat dideteksi. Padahal, banyak anak-anak penderita disleksia memiliki IQ di atas rata-rata, dan banyak yang menjadi orang besar dan ternama, seperti Walt Disney dan Einstein.

Kebanyakan, orang tua tak acuh dengan yang dialami anaknya, dan melihat anaknya bodoh. Sebaliknya, orang tua, kakak, om, atau tante, harus lebih peka pada adik-adik dan anak-anak. Belum tentu mereka bodoh, namun mengalami kesulitan membaca. Jadi, jika aku atau ada keluarga yang menderita disleksia itu belum kiamat man!! 

Salah satu solusinya adalah memberikan pendidikan atau sekolah khusus yang sesuai kebutuhan si bocah. Belajarnya tidak bisa dicampur dengan anak-anak biasa, agar selanjutnya setelah beranjak remaja/dewasa mereka bisa berbaur dengan masyarakat. Dan tak jarang, kemampuan mereka di atas rata-rata anak-anak biasa. Cara belajar anak-anak penderita disleksia bisa dilakukan melalui metode dan pendekatan multisensor, seperti visual, auditorial, dan perabaan. Memberikan instruksi yang pendek, tidak bertubi-tubi, mengajarkan kata-kata bukan sekadar melafalkan keras tapi juga memberikan rasa pada tiap katanya, dan jika sempat membacakan buku sebagai pengantar anak-anak tidur. Namun yang terpenting, bersikaplah positif. 

Akhirnya, aku mengembalikan scene disleksia ini pada novel “Libri di Luca,” yang memberi tautan cukup besar. Jon Campelli, tumbuh besar dengan buku-buku dan cerita yang dibacakan oleh ayahnya, Luca Campelli. Dari membaca, tiap jendela informasi serta imaji terbuka semua. Membaca adalah terapi, membaca adalah relaksasi, dan membaca adalah tempatku berlari. Berlari mengejar mimpi, mengejar hari sampai esok nanti...

 -yuda thant-