Tampilkan postingan dengan label kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kontemplasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 November 2017

Tujuh ke Tiga


Akhir November ini, kontrak bekerjaku berakhir. Selembar surat legalitas yang mengikat aku dengan kantor ini pun sampai di ujung perjalanan. Tak ada lagi surat yang berisi klausa-klausa “abu-abu” yang menuntut aku bekerja penuh pengabdian. Tiga tahun. Apakah ini sudah cukup? Atau aku masih ingin bertahan lagi di kontrak yang rapuh itu?  

Keputusan aku untuk mengakhiri “kisah romantis” dengan kantor ini mungkin sedikit nekad. Tanpa memiliki pijakan yang baru dan kondisi badan yang masih ringkih, aku memutuskan untuk berhenti. Aku sudah lelah bekerja dengan tidak profesional. Aku mau lebih dihargai secara profesional dan “serius” sebab aku kerja penuh semangat dan tekad.  

Itu kan hanya kontrak. Tapi di sini, kamu harus mengerjakan semuanya. Tidak hanya pada satu klien saja,” begitu ujar pihak manajemen.  

Hal inilah yang membuat aku harus memutuskan berhenti mengabdi. Usulanku untuk mengubah isi kontrak tidak disetujui. Bahkan, untuk menambah masa kerja hingga enam bulan, hingga projek yang aku kerjakan sampai di titik teraman pun ditolak. Aku hanya diberi waktu tiga bulan. “Oke pak jika maunya demikian,” ujar aku. Dengan begitu, aku hanya diberi kesempatan bekerja ekstra dari September sampai November.  

Dibandingkan dengan masa kerja sebelumnya, periode kerja kali ini lebih pendek, hanya tiga tahun. Padahal, di kantor lama, aku mampu bertahan dan mengabdi sampai tujuh tahun.  

Meski hanya tiga tahun, pencapaian yang aku dapatkan cukup besar. Cita-cita menberikan perubahan secara langsung kepada orang lain, pun terwujud. Aku masih ingat pertanyaan salah satu “pioneer” di kantor ini yang mewawancarai aku sebelum akhirnya menerimaku bekerja. “Kamu pilih mana, ingin menjadi akademisi atau praktisi? Jika akademisi, mungkin dosen adalah jawaban yang tepat. Namun, jika praktisi, di sini mungkin jawabannya,” ujar dia meyakinkan. Dan itu ternyata benar.  

Terlebih lagi, aku mendapat kesempatan belajar banyak hal yang selama ini menjadi keinginan yang terpendam dalam diriku. Bahkan, seorang guru dan mentor menjadi teladan selama aku bekerja. Dia menularkan semua yang dia ketahui, dan aku menyerap semua yang dia curahkan. Bagai bambu, aku diasah menjadi lebih runcing untuk menjadi senjata perang yang sederhana namun mematikan.  

Waktu berjalan, atau mungkin berlari, begitu cepat. Tiga tahun tidak terasa. Tujuh tahun saja tidak, apalagi tiga. Tiba-tiba aku kembali dihadapkan di meja pencari kerja.  

Kemana lagi perjalanan ku akan berlanjut?


Ini belum berakhir!
@yudathant

Kamis, 06 April 2017

Menjadi Manusia dengan Menjadi Pengusaha

Braakk! Pintu taksi aku tutup. "Sudah pak? Kita jalan sekarang?" Tanya Pak Tri, sopir taksi burung biru dengan sopannya kepada aku.
"Iya pak, kita langsung ke airport ya. Pesawat saya jam 1 siang, di terminal 3," balas saya pun dengan sopan.

Mobil pun melaju melewati rumah toko, perumahan, dan jalan-jalan selebar 6 meter sebelum akhirnya menembus ke jalan tol. Sepanjang perjalanan kami pun berbincang tentang dua hal, dan salah satu yang menarik adalah bagaimana menjadi seorang pengusaha.

Pak Tri mengisahkan hidupnya. Dulu saat masih berjaya, dia adalah bos pengembangan produk tekstil di salah satu pabrik tekstil besar di Jawa Barat. Dia bekerja di bidangnya, sesuai keahliannya, sebab dia adalah lulusan salah satu sekolah tekstil yang ada di Indonesia.

Hidupnya berkecukupan, meski tidak kaya raya. Setidaknya, dia memiliki satu rumah dan mobil, sebagai penanda bahwa dia berkecukupan. Namun, sejalannya waktu, dan rosa tekstil mengalami penyurutan, dia pun terkena imbasnya. Pabrik yang dikelolanya kolaps, di saat usianya menuju senja, hampir 45 tahun.

Di usia semacam ini, masuk ke dalam perusahaan baru sangat kecil peluangnya. Terlalu banyak pesaing dengan usia dan kinerja yang mungkin jauh lebih baik darinya. Keputusan cepat yang dia ambil pun adalah menjadi pengemudi transportasi umum. "Yang penting keluarga masih terus bias makan mas," ujarnya.

Satu hal yang dia lupa lakukan, - bahkan dia sesali saat ini, - sewaktu masih berjaya adalah memulai menjadi pengusaha bagi dirinya sendiri. Dulu, dia memiliki peluang untuk mendapatkan barang sisa-sisa tekstil kualitas bagus untuk dijual kembali di pasar lokal. Atau mengolah "barang sampah" itu menjadi produk olahan tekstil yang dibutuhkan pasar. "Saya dulu berpikiran, masak sih boss ngerjain hal remeh kayak gitu. Bersaing sama anak buah saya dong yang memunguti sisa-sisa kain tersebut," kata Tri.

Jika saja ego-nya dulu mampu dikendalikan oleh akal sehat dan rasional, apa yang ada di depan mata pasti dapat menjadi ladang bisnis. Kain-kain bekas itu bisa dia jual atau dibuat baju dan tas murah yang laku di pasar. Namun, semua sudah jauh berlalu. Sekarang, anak-anak buahnya yang dulu "memunguti" kain bekas di pabrik, bertahan menjadi penjual kain dan pengolah kain bekas, bahkan berpenghasilan cukup. Lebih cukup dari upah seorang pengemudi taksi.

"Dari situ saya belajar mas. Bahwa, kita itu perlu menjadi pengusaha untuk bisa menjadi manusia. Kalo kayak gini-gini aja ya kita gak akan berkembang. Dengan jadi pengusaha, kita menentukan sendiri nasib hidup kita. Kalau mau makin sukses, ya berarti kudu kerja yang keras lagi. Iya kan?" tegas dia.

Mendengarkan cerita Pak Tri, aku berpikir jauh ke depan. Mau sampai kapan aku menjadi "buruh" di sebuah perusahaan ini? Kerja yang berdasarkan kontrak yang diperbarui setiap setahun sekali. Kerja yang sewaktu-waktu bisa diganti dengan angkatan-angkatan kerja yang lebih fresh dan energic. Kerja yang hanya menunggu gaji di akhir bulan, yang nilainya selalu sama dari bulan ke bulan.

Apakah aku tidak ingin lebih? -- bukan serakah, namun hanya ingin mendapatkan yang lebih layak lagi.

Otak pun mulai berkelana sembari telinga mendengarkan kicauan Pak Tri dan bibir mengomentari ceritanya. Ada peluang apa yang dapat aku lakukan agar diri ini bisa menjadi pengusaha dan memeroleh income lebih. Sederet daftar pertanyaan pun muncul.

1) Aset (fisik/materi) apa yang aku miliki?
2) Keterampilan apa yang aku kuasai dan dapat "dijual"?
3) Jaringan (koneksi) apa yang aku punyai?
4) Kesukaan (hobi) apa yang aku gemari dan tak akan bosan aku lakukan?
5) Tren (minat) pasar saat ini seperti apa?

Hmmm, seeprtinya sudah banyak pertanyaan yang muncul. Saatnya menjawabnya. Pertama..., "Pak, kita sudah sampai di terminal 3. Saya berhenti di depan sedikit ya," kata Pak Tri. "Oh iya Pak, di depan tidak apa-apa," aku spontan menjawab, lalu mencari dompet dan mengambil uang senilai Rupiah yang tertera di argometer taksi.

"Kembaliannya ambil saja Pak buat parkir dan tol balik," kataku. "Wah terima kasih mas. Terima kasih ya," balasnya. Dan braakkk!..., aku menutup pintu taksi lalu bergegas menuju pintu masuk.

(thant)

Selasa, 03 Januari 2017

Finding the Happiness

Malam di Tangerang Selatan bertabur pijaran cahaya kembang api. Langit yang gelap tiba-tiba penuh warna. Dentum dan gemuruh bersahutan di berbagai ujung jalan kota, bak meriam yang mendesing dan jatuh ke bumi. Dua puluh detik lewat dari tengah malam. Selamat datang tahun yang baru. 

Sesaat sepi. Langit kembali tak bercahaya dan bersuara. Hanya gelap tersisa. Tak satu pun bintang berkedip menyapa. Sesaat itu pula hati kecil bertanya pada otak besar: Apa yang kamu mau di tahun 2017 ini? 

Otak pun berpikir keras. Berjuang mencari jawaban yang berserakan namun kasat mata di cakrawala yang buram akibat asap-asap kembang api. "Apa yang kuinginkan?" "Apa yang hati kecil harapkan?" "Apakah keinginan aku harus bertemu dengan kehendak hati?"

"Aku ingin MENEMUKAN KEBAHAGIAAN" jawab otak yakin. 

Tak ada tanggapan dari hati selama beberapa detik. Hanya terdiam merenung. Kemudian, rentetan tanya terlontar "Mengapa menemukan? Apakah kamu tak bahagia selama ini? Dimana kamu akan menemukannya? Apa yang terjadi setelah kamu bertemu dengannya?" 

"Aku tak tahu dia dimana. Aku tak tahu apakah aku sudah bahagia selama ini. Oleh karena itu aku ingin menemukannya!" jawab otak kilat. 

"Lalu, apa selanjutnya setelah kamu berpikir bahagia?" tanya hati selidik. 

Otak terdiam sejenak. Hanya bergumam tak jelas, kemudian bersuara pelan dan yakin. "Jika aku berpikir telah bahagia, aku yakin kamu, hati kecil, telah merasakan kebahagiaan itu terlebih dulu sebelum aku memikirkannya," 

Hati kecil pun hanya tersenyum. "Kalau begitu, TEMUKANLAN BAHAGIA itu dengan segera. Aku akan menunggu dan merasakannya bersama kamu," balas hati sambil senyum bangga. 

Bahagia itu Sederhana 
Aku pun teringat pada sebuah lirik lagu yang dinyanyikan Wina & Abdul-The Coffee Theory. Di lirik pertamanya berbunyi, "bahagia itu sederhana, hanya dengan melihat senyumnya, saat dunia mengacuh..." 

Sesederhanakah itu kebahagiaan? Hanya dengan melihat tawa dan senyum orang yang kita kasihi. Hanya merasakan kecupan mesra dari orang yang tercinta. Hanya menerima pesan singkat bertuliskan "jangan lupa makan siang" dari orang yang kita rindukan?

Bagiku iya. Kebahagiaan itu sangatlah sederhana. 

Kebahagiaan tak harus mahal, tak harus mewah, tak harus besar, dan tak harus tenar. Kebahagiaan itu sederhana. Karena ada pada diri kita sendiri. Ada pada jiwa dan benak kita sendiri. Kebahagiaan itu ada pada kita. 

Saiful, 38 tahun, bahagia saat kedua anak laki-lakinya menelepon dan bercerita kisah-kisah mereka selama seharian ketika sang ayah tak ada di rumah. "Iya, Abi nanti pulang sebentar lagi, tunggu yah..." 

Rina, 29 tahun, bahagia kala bisa menikmati sore berjalan-jalan keluar-masuk toko di mall mencuci mata dengan mode-mode baju terbaru. Sesekali membelanjakan gajinya khusus untuk baju dan sepatu. "Wooww.., diskon, diskon, diskon..., asyik...." 

Diyan, 28 tahun, bahagia itu saat bisa berkumpul duduk di warung kopi bersama sahabat-sahabat somplak-nya, sambil saling berhujat dan menertawakan kebodohan masing-masing. "Idung gue besar, tapi jidat lu tuh lebar... hahahaha...." 

Nita, 42 tahun, bahagia itu saat kedua anjing dan seekor kucingnya bercanda dan saling goda sehingga terjadi kelucuan yang aneh diantara dua makhluk itu. "Anjing bego, hehehe..." 

Ken, 4 tahun, bahagia saat bisa bermain sepeda sepuas-puasnya tanpa harus diomelin mamanya karena bermain sepeda di siang bolong. "Mama..., aku bisa lepas tangan, lihat ma..." 

Khat-khat, 22 tahun, bahagia saat jualan online-nya laris manis, dan banyak followers di akun instagramnya. Ting..., satu lagi followers bertambah. 

Adi, 34 tahun, bahagia saat menjajaki dan menikmati keindahan alam gunung-gunung di nusantara bersama gadis yang kini telah menjadi istrinya. "Subhanallah..., indahnya..." 

Parvati, 60 tahun, bahagia saat anak bungsunya menelepon menanyakan kabar di rumah dan kesehatannya. "Ibu sudah makan belum?..." 

Itulah kebahagiaan sederhana cara mereka. Tiap orang punya bentuk dan cara bahagia yang berbeda-beda. Tak selalu sama ukuran dan kadarnya. Yang jelas, bahagian itu memang sederhana. Apakah kamu punya kesederhanaan dari kebahagiaan itu? 

Emas di Ujung Pelangi
Mencari kebahagiaan bak mencari sepundi emas di ujung bianglala. Semakin dicari makin tersembunyi keberadaannya. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya apabila kita mau dan sedia menerima apa yang ada. Mensyukuri apa dan siapa yang kita punya. Di situ adalah kita bahagia. 

Lalu apa masih perlu kita mencarinya? Apakah tidak bisa dia tiba dengan sendirinya? 

Bagi aku, kebahagiaan itu masih perlu dicari. Masih perlu diraih. Dan masih perlu dinanti. Kebahagiaan yang sudah lama aku tunggu. Yang telah lama ingin diunduh, juga telah lama aku buru. Otak dan hati tahu jawabnya. Mereka pun sudah ribuan juta detik menanti dan merindukannya. Sebuah kebahagiaan yang melengkapi ratusan kebahagiaan lain yang ada selama ini dalam hidupku. 


Aku bahagia. Aku selalu bahagia. Dan aku akan terus mencari kebahagiaan itu. 

Kamu, di suatu tempat di sana. Mungkin jawabnya. 

- yudathant - 

Minggu, 20 Juli 2014

Durian atau Kedondong? What Ever!

Sudah beberapa bulan ini aku menghilang dari jagad maya blogger. Bukan maksud hati seperti itu, tapi apa lah daya, semua ini karena semua tenaga terkuras oleh yang namanya tugas akhir kuliah..., oh nasib jadi mahasiswa..., akhirnya, jadwal untuk mengunjungi salah satu “pondok” ku di dunia maya ini pun tak pernah terealisasi. Anyway, saatnya mulai kembali berkarya di pondok ini. Enjoy your day guys..


“apa yang kaulihat, bukanlah fakta yang akan kau dapat"

Di sela-sela mengurus perizinan riset tugas akhirku di Bojonegoro, aku mendapatkan sebuah ilmu. Sebenarnya sih bukan ilmu baru, tapi ilmu ini dituturkan langsung dari pengalaman hidup seseorang. Pak Yono, begitu lelaki yang kini berusia 58 ini biasa dipanggil, yang menceritakan filosofi durian dan kedondong.
"Kalau orang lihat saya pertama kali itu (kesannya) pasti galak, jahat, kereng, dan gak enak pokoknya. Tapi, orang pasti akan tahu lebih kalau sudah kenal saya. Saya gak suka yang namanya bermanis-manis kalau ada orang (yang baru dikenal). Apa adanya saja," omong dia dengan lugas.
Dalam hati aku membatin. "Ohh.., pantas aja, pas tadi pertama ketemu mukanya galak amat. Gak ramah. Untung ajah tadi aku cuek-cuek monyet, anggap gak tau apa-apa, jadi gak merasa sewot meski Pak Yono pasang muka satpam, hehehe..."

Tapi, setelah sejam lebih ngobrol ngalor ngidul, Pak Yono, yang mantan pegawai dinas pendidikan ini pun mencair. Dia malah cerita perjalanan hidupnya dari pegawai honorer, sampai akhirnya kini menjabat kepala desa yang baru dilantik 11 bulan lalu. Dia juga bercerita tentang keragaman adat yang seharusnya tidak dikotori dengan konflik kepentingan. Serta, kekaguman dia dengan Bali, my encester island.
Kembali lagi soal durian dan kedondong. Baginya, berperilaku seperti durian lebih penting dari pada menjadi kedondong. Dia lebih suka menunjukkan hal-hal yang "pedas" di awal pertemanan. Dia akan melihatkan sisi jelek lebih dulu dan bersikap tegas untuk mendasari hubungan kerja sama. Setelah orang tahu sisi negatifnya, dia akan menyuguhkan sisi positif, koperatif, dan faedah yang ada dalam dirinya. Ibaratnya, orang bisa menikmati legitnya isi buah durian saat bekerja sama dengannya.
Kebalikan durian adalah kedondong. Orang macam ini adalah orang yang selalu tampak baik, tulus, dan menyenangkan. Tapi, di belakang dia malah menjelek-jelekkan dan menikam kita. (Kalo kamu tanya, emang ada orang semacam ini? Aku jawab, banyak! Tentunya dengan kadar yang beda-beda.)
Buah kedondong itu kan mulus kulitnya, kata Pak Yono. Warnanya hijau segar, menggoda untuk dinikmati. Namun setelah dikupas, rasa buahnya yang manis kecut, sering kali membuat dahi kita mengernyit, mata kita menyipit, dan lidah kita mengecap-ecap menahan rasa kecut. Belum lagi biji buah ini yang "berurat-akar" yang membuat kenikmatan makan kita menjadi tercakar-cakar. 


Durian dan kedondong, adalah sebuah filosofi ringan tentang gambaran watak seseorang yang mengorbit di sekeliling kita. Bisa jadi, teman sebangku atau teman yang sering hang out dengan kita itu durian atau kedondong murni, atau malah bukan durian tulen atau kedondong tulen. Sebab, kadar durian dan kedondong tiap orang berbeda-beda. Ada yang KW 1, KW 2, sampai KW 3.
Kalau sudah tau ternyata teman, sohib, bahkan pacar kita itu ternyata kedondong atau durian, so what? Bahkan ternyata diri kita sendiri adalah kedondong atau durian, what next? 
Sejatinya, dengan tahu apa karakter orang lain sebenarnya, hal ini akan menentukan bagaimana kita menyikapi perilaku mereka. Misalnya nih, kalau kamu ketemu dengan kedondong, kamu bakal lebih aware atau waspada. Sebab, siapa tahu yang diomongin tuh kedondong it's not a 100% true, or s/he has another agenda behind you that might harm you.
Di lain waktu, pas kamu ketemu sama durian, jangan anggap semua yang dia lakukan itu maksudnya untuk menyakiti atau melukai perasaanmu. Karena, dia berbuat tegas, keras, dan judas pasti punya tujuan baik buat kamu. Misalnya saja dia mau supaya kamu lebih disiplin, serius, dan bisa bertanggung jawab. Karena aku pernah punya pengalaman pribadi dengan durian, yaitu dengan mantan bosku.
Dia galak banget kalo sudah urusan kerja, semua bakal dimarahin habis-habisan kalo ada yang tidak perfect. Semua orang pasti takut kalo ada telpon dari nomornya, atau dari mejanya. Belum angkat telpon itu sudah panas dingin duluan. Tapi, dengan berjalannya waktu, aku pun tahu apa tujuan dia di balik itu semua. Dia ingin aku bisa menulis dengan baik. (Terima kasih ya Mas HRD, you are my exelent and idol guru).

Durian atau kedondong? What ever! Selama dia dan kamu bisa kerja sama simbiosis mutualisme, gak ada salahnya kan. Selama kalian harmonis dan sama-sama merasakan manis, maka tetaplah optimis bahwa hubungan kalian tidak meninggalkan tangis. Let's enjoy our life with a plenty of good things.  

"Pak, saya pamit dulu, terima kasih waktunya ya Pak." 
"Oh gak apa-apa mas. Nanti kapan-kapan kalau penelitiannya sudah selesai, mampir main-main ke sini lagi yah," ujar Pak Yono penuh keramahan khas orang desa. 

@yudathant

Sabtu, 17 Agustus 2013

Melatih Nasionalisme

Seorang teman membuat status di akun FB-nya, "Nasionalisme itu bisa dilatih kok, coba aja deh!" tepat pada hari peringatan 68 tahun kemerdekaan Indonesia. Apa benar nasionalisme itu bisa dilatih? Dia dilatih atau ditanam? Mana yang benar? (#sambil pegang dagu dan garuk-garuk jidat) 

Euforia independence day tiap bulan Agustus memang terasa sekali. Bendera di pasang di depan rumah atau di gantung di atas jalan-jalan kampung, gapura perumahan dihias secantik mungkin, dan beragam lomba dan pesta hiburan rakyat dihelat di mana-mana. Semua serba merah dan putih. 

Inikahi bentuk nasionalisme? Aku rasa bukan. Ini hanya bentuk perayaan, pesta, dan luapan kegembiraan atas sebuah kata "merdeka" yang telah diperjuangkan rakyat dan bangsa kita sebelum 68 tahun yang lalu. Perayaan yang serba wah dan spektakuler itu, aku rasa, belum bisa disebut kita telah bersikap nasionalisme. Ini hanya artifisial. 

Apa yang harus dilakukan supaya kita disebut memiliki nasionalisme kepada bangsa ini? Apa benar nasionalsme ini bisa dilatih? Siapa yang melatih? Apa materi yang dilatihkan? seperti apa bentuk latihannya? Dan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk latihannya? Atau..., nasionalisme itu sebenarnya ditanamkan? Lalu, siapa yang menanamkannya? Bagaimana cara menanamkannya? Kapan dan berapa lama proses penanamannnya? (#makin kusut nih rambut gara-gara digaruk-garuk dan diusek-usek mikirin jawabannya!) 

"Wis gak usah dipikir. Biar gak masang bendera di depan rumah, tapi kan aku dah memasang bendera merah putih di hati-ku," seloroh kakakku sambil ngeloyor dan tertawa riang. 

Mungkin benar juga kata dia. Gak usah dipikirin! Yang penting, hati dan jiwa kita adalah untuk tanah air ini. Untuk kemerdekaannya, untuk kemajuannya, untuk keindahannya, untuk kelestariannya, dan untuk masa depannya. Biar kata orang aku tidak nasionalis hanya karena aku gak pasang bendera di depan rumah, gak ikutan upacara, gak ikutan lomba-lomba 17-an, atau gak teriak-teriak "merdeka" sambil mengacungkan bendera kertas merah-putih. Yang jelas aku bangga kok jadi orang Indonesia. 

Seperti pernyataan dari seorang Senator Amerika Serikat di abad ke 19, Carl Schurz, bahwa "This is My Country, right or wrong. If right, to be kept right. If wrong, to be set right." Maksudnya, apa pun yang terjadi, kita harus membela negara dan bangsa ini. seberapa buruk sikapnya dan seberapa cantik parasnya, inilah Indonesia. Yang baik harus dibesarkan, yang busuk harus disapu-bersihkan. And this is my first lesson for what I call nationalism. Damn, I Love Indonesia! 

-yudathant-

Senin, 05 Agustus 2013

Kuasa Drupadi di Istana Khayalan

Aku membaca buku ini dua bulan lalu, dan aku sudah bercerita kepada dua orang teman perempuan, tentang betapa mahadaya buku ini, "Palace of Illusion" tulisan Chitra B Divakaruni. Buku ini bakal cocok buat kamu yang suka dengan dongen klasik Mahabarata atau Ramayana. Sebab, dalam buku terjemahan ini kita akan melihat kisah perang barata yuda di tanah kurukshetra dari sudut pandang mata dan batin seorang perempuan, yang konon adalah pemicu perang ini, yakni Drupadi. 

Mengapa aku sebut mahadaya, sebab buku ini bisa menjadi cermin bagi para perempuan untuk melihat kodrat, peran, dan kekuatan mereka dalam dunia yang dijalankan oleh laki-laki. Meski latar kisahnya adalah India dan pada zaman dahulu, namun kesan yang terbangun tetap hangat dan malah tak jauh beda dengan kondisi sekitar kita saat ini. Jika yang baca tulisan ini adalah perempuan, aku rekomendasikan Anda baca buku ini. Tapi jika Anda laki-laki, tak ada salahnya juga membacanya. Sebab Anda akan tahu bahwa dibalik semua kisah dan pergolakan dunia, ternyata perempuan bukanlah figuran. Mereka punya campur tangan yang besar dalam tiap kisah sejarah di muka bumi ini. 

Untuk gambaran awal, aku akan mencoba memberi ulasan singkat konten dari buku ini. 

Pada bab-bab awal buku ini, kita akan dikenalkan tentang siapa sebenarnya Drupadi, seorang putri dari Raja Drupada dari Kerajaan Pancala. Sosok putri cantik  yang juga dikenal dengan nama Pancali ini berkulit gelap namun eksotis. Dia sangat dekat dengan kakak laki-lakinya, juga dengan Kresna yang sering bertandang ke kerajaannya. Dikisahkan pula bahwa dia bukan seperti putri-putri lain yang gemar berlatih menari atau berdandan, tetapi dia senang mendengarkan kisah dan strategi perang dari kakak laki-lakinya. Dia sosok yang cerdas, penuh ambisi, namun terbatas oleh kondisinya sebagai perempuan yang hanya boleh duduk dan melihat. 

Pada bab selanjutnya, mulai dikisahkan asmara yang menggelora dalam jiwa Drupadi. Selain Arjuna yang berhasil memenangkan sayembara untuk menikahinya, ternyata Drupadi menyimpan gejolak cinta pada Karna, yang mengikuti sayembara namun ditolak oleh pihak Kerajaan. Perasaan itu tersimpan dan bersembunyi rapat di ceruk paling dalam hatinya, dan sering kali berontak tatkala dia melihat dan bersua dengan Karna. Di satu sisi, Karna pun ternyata memendam perasaan yang sama, namun tak mampu berbuat apa-apa untuk menyatakan cinta terdalamnya kepada perempuan yang selalu dipujanya. 

Jika poligami itu mungkin biasa, tapi bagaimana jika poliandri. Bagaimana perasaan seorang perempuan yang terpaksa harus melakukan "permainan" poliandri ini. Bagaimana dia harus membagi cintanya bukan hanya kepada satu atau dua laki-laki, tapi lima sekaligus dan mereka hidup dalam satu atap yang sama. Kelima suaminya yang disebut Pandawa itu adalah kakak beradik, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bagaiman kecemburuan Drupadi kepada perempuan-perempuan lain yang menjadi istri-istri dari suami-suaminya. Kemarahan dalam hati Drupadi saat pada awal tahun dia harus berganti suami, tanpa boleh bercengkerama dengan suami-suaminya yang lain. Serta kegelisahan Drupadi bahwa dia tidak bisa menjadi istri terbaik bagi suami-suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Dari kelima pria itu, ternyata yang paling menyayangi Drupadi bukanlah Arjuna, tetapi Bima. 

Kemudian bab berikutnya, yang merupakan klimaks dari buku ini adalah bagaimana Drupadi berperan, entah langsung ataupun tidak, dalam perang mahabarata. Kisah tentang permainan judi (dadu) Yudhistira dengan Duryodana (sulung dari Kurawa), yang berakhir dengan kekalahan Pandawa, diusir dari istana impian mereka, dan dipermalukan di depan para undangan. Bahkan, Drupadi menjadi "barang" taruhan dan berakhir dengan tragedi pelucutan kain sari (baju) Drupadi oleh Dursasana (adik Duryodana) di depan Pandawa yang tak bisa berbuat apa-apa karena kalah judi. Tragedi inilah yang memicu kebencian Drupadi dan para Pandawa, suami-suaminya, sehingga berakhir dengan perang besar di kurukshetra. 

Luka, dendam, ambisi, asmara, cinta, suka cita, mimpi, dan harapan Drupadi menjadi refleksi kisah perempuan-perempuan di jagad raya ini. Perempuan yang harus mengabdi pada suami, tanpa boleh menolak untuk tindakan yang tercela yang akan menimpanya. Perempuan yang menaati aturan, tanpa bisa berkata tidak pada aturan main yang hanya menyengsarakan perempuan. Perempuan yang ingin merdeka, tapa harus ada yang terluka. Inilah kisah dan gelisah perempuan, yang tertuang dalam wujud Drupadi. 

Dari buku ini aku belajar, bahwa perempuan juga punya gairah, hasrat, dan cita-cita sebesar laki-laki. Mereka juga punya peran dan fungsi yang tak kalah penting seperti laki-laki. Perempuan juga mampu menjadi biang masalah sekaligus penyelesai masalah. Kalau ada yang bilang "selesaikan dengan secara jantan (laki-laki)," berarti sebuah masalah juga bisa diselesaikan secara perempuan. Dan mungkin, cara itu lebih baik, lebih damai, dan lebih win-win solution


- yudathant -

nb: 
dalam foto ada gambar Dian Sastro (my idol actress), itu sengaja karena dia berperan sebagai Drupadi dalam film berjudul Drupadi, produksi tahun 2008. Aku pengen banget nonton filmnya, tapi sampai sekarang belum pernah lihat DVD nya dijual di lapak, atau ada stasiun TV di Indoensia yang muter film ini. Oh ya, aku sempat nemu teaser film-nya, coba chek di video yang aku attach. Ckckckck.., kapan yah bisa lihat mbak Dian Sastro... #wajah mupeng. 



Sabtu, 20 April 2013

Kalo Bisa Sekarang, Kenapa Harus Nanti?


Sebulan terakhir, tugas kampus rasanya menumpuk seperti gundukan bata di toko bangunan. Bertubi-tubi datang gak karuan. Satu belum selesai, eh.., datang lagi tugas berikutnya. Mulai dari tugas baca sampai bikin paper dan presentasi. Wuuiihh..., ini namanya kuliah.
Sudah tahu bakal ada tugas-tugas lain, tapi rasanya kok malas yah ngerjain tugas yang sudah dikasih sama dosen. “Ah, bentar aja deh... Besok aja... Sekarang mau maen dulu, lumayan ada yang ngajak jalan-jalan,” godaan puun muncul mencuri perhatian.
Kebiasaan seperti ini gak cuman sekali-dua kali kejadian. Sering banget, malah sudah jadi habbit yang susah dihilangkan. Dan ternyata, bukan cuman aku doang yang punya kelakuan buruk suka menunda pekerjaan. Hampir semua teman yang aku kenal doyan juga mengantre-kan pekerjaan dan tugas yang jadi tanggungjawabnya.


Kenapa ya..? Kok senang banget aku menunda-nunda pekerjaan? Bisa gak kebiasaan ini dihilangkan..?


Aku sadar betul, salah satu kelemahanku adalah suka menunda pekerjaan atau istilah kerennya procratination. Istilah prokrastinasi bisa diartikan menunda dengan sengaja kegiatan yang diinginkan, walaupun mengetahui bahwa penundaan tersebut dapat menghasilkan dampak buruk. Dalam artian lain, menunda mengerjakan tugas tanpa mempermasalahkan tujuan dan alasan penundaan.
Kebiasaan prokrastinasi kerap menimbulkan sensasi zona kenyamanan bersifat sesaat bagi orang yang melakukan penundaan, meski akhirnya akan berdampak buruk pada dirinya maupun lingkungannya. Dalam dunia pendidikan, menurut Dra Sulis Mariyanti M.Psi, tanda-tanda prokrastinasi pada diri seorang pelajar atau mahasiswa bisa dilihat seperti antara lain: menunda memulai tugas yang didapatkannya; terlambat menyelesaikan tugas karena melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan; melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan dari pada tugas yang dikerjakan.
Tabiat malas adalah awal dari kebiasaan menunda pekerjaan, jika hal ini tetap dipelihara maka pekerjaan yang seharusnya dikerjakan akan menumpuk dan tidak terselesaikan. Katanya, orang yang suka menunda pekerjaan tidak punya daftar prioritas pekerjaan, sehingga tidak tahu atau bingung mana yang harus diselesaikan lebih dulu. Jadinya, tidak cepat merespon tugasnya.
Pekerjaan yang menumpuk atau overload dan sibuk, kadang menyebabkan seseorang bingung harus menyelesaikan tugas mana lebih dulu, sehingga memilih menundanya. Kenyataan lainnya, orang menunda pekerjaan karena mengentengkan tugas yang dibebankan kepadanya. Secara personal, ada beberapa faktor penyebab seseorang menjadi prokrastinator, diantaranya keyakinan yang salah, takut gagal, dan perfeksionis.
Aku ngerasa gak bisa mengerjakan sesuatu jika tidak mendapat tekanan, dalam hal  ini deadline, jadinya gak aneh kalau pekerjaan sementara dibiarkan di atas meja. Kadang, karena takut hasil yang dibuat tidak bagus atau menuntut produk akhir yang terbaik, dan gak menyukai pekerjaan yang diterimanya, seseorang memilih menghindarinya. Satu lagi adalah kebiasaan terburu-buru, yang membuat seorang prokrastinator suka mengalihkan fokusnya pada hal lain yang lebih menyenangkan dirinya atau disukai.
Faktor eksternal, dari luar diri kita, kadang juga memicu seseorang memilih menunda pekerjaanya. Seperti ada masalah lain yang tiba-tiba muncul, cuaca buruk, acara hiburan yang menarik yang ditayangkan di media televisi, bioskop, dan pertunjukan out door. Lemahnya pengawasan dan gak ada hukuman dari pihak yang lebih tinggi statusnya, juga menjadikan kita tidak segera mengerjakan tugasnya.
Motivasi yang rendah didukung oleh lingkungan (fisik dan sosial) yang tidak kondusif, akan membuat seseorang tetap bertahan pada kebiasaannya menunda pekerjaan. Padahal, dengan menunda pekerjaan, banyak hal penting, kesempatan atau keuntungan yang terpaksa kita lewatkan. Misalnya, karena gak segera mengerjakan PR, terpaksa deh begadang semalaman, terus besok paginya bangun kesiangan, telat masuk ke kampus, dan seterusnya.
Nah, kalau kita mau mengubah kebiasaan jelek ini bisa gak ya? Hehehe.., pasti bisa lah. Tapi yang jelas butuh pengorbanan dan kudu telaten alias sabar. Mulai dari yang paling gampang, yakni bikin daftar pekerjaan yang harus diselesaikan. Setiap ada pekerjaan, segera tulis dalam daftar, sertakan pula kapan pekerjaan itu harus diselesaikan atau dikumpulkan. Kalau perlu, masukkan pula target dari pekerjaan itu dalam daftar. Misalnya, tugas makalah komunikasi marketing à dikumpulkan seminggu lagi à target nilai A.
Karena kita sudah menentukan target waktu, maka sebaiknya kita bisa memanajemen waktu yang tersedia dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Selanjutnya, buat komitmen pada diri sendiri bahwa kita harus menyelesaikan pekerjaan itu tepat waktu, jika mungkin malah sebelum waktunya habis. Jika tugas yang kita dapatkan itu hal yang tidak disukai, jangan anggap sebagai beban, tapi harus dipahami sebagai tanggung jawab. Malah, kalau bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan agar terasa lebih ringan dan mudah.
Gak jarang, kita malah mengentengkan pekerjaan yang itu dengan dalih bahwa kerjaan itu sudah biasa melakukan, tidak susah, tahu cara cepatnya, atau waktunya masih lama. Oleh karena itu, yakinkan diri segera mengerjakannya karena ada kemungkinan muncul pekerjaan-pekerjaan lain yang bebannya atau tingkatnya lebih sulit.

-yudathant- 

Kamis, 07 Februari 2013

Let's Giving

   Awalnya Cami Walker kecewa saat hanya menemukan 3 lembar uang 1 dollar di dalam dompetnya. padahal dia berharap ada selemba 5 dolar atau 10 dolar untuk disumbangkannya pada acara pertemuan perkumpulan perempuan pecandu. Tapi kemudian dia sadar. Uang sumbangannya itu sebenarnya sudah cukup untuk membeli se-pak minuman coklat panas yang dijadikan konsumsi pertemuan ini selanjutnya. Karena inti pertemuan ini bukanlah besarnya sumbangan, tapi saling menguatkan diri darn membesarkan hati para mantan pecandu untuk bangkit dan hidup lebih baik. Hari itu, Cami sudah memberi sesuatu untuk membuat orang lain lebih bahagia dan lebih baik. 

***
   Cerita singkat itu aku ringkas dari 29 hari siklus pertama ritual memberi Cami Walker, yang tertulis dalam bukunya, "29 Gifts - Keajaiban Memberi." Menurutku, buku ini sangat apik dan inspiratif. Buku setebal 313 halaman itu berisi perjalanan Cami menemukan lagi semangat hidupnya yang pudar akibat penyakit multiple sklerosis yang sempat membuat dia seperti mayat hidup. Siksaan yang menyakitkan akibat penyakit yang menyerang sistem saraf pusat, yakni otak, tulang belakang, dan penglihatan, membuat Cami putus asa. Segala pengobatan, termasuk perawatan alternatif seperti pijat, akupuntur, dan terapi lainnya, sudah dijalani.
 
   Namun, hanya pada metode "29 pemberian (gifts)" inilah Cami merengkuh kembali jiwanya yang sempat melayang. Dia merasa bangkit dari kuburnya di dalam apartemen. Dia menapaki hidupnya yang lama, meski tak secepat dulu. Bahkan setelah setahun, atau setelah melewati 13 siklus 29 pemberian, konsultan periklanan ini merasa penderitaan karena sakitnya telah berkurang. Walau penyakit itu masih bercokol di tubuhnya, kesehatannya malah jauh lebih prima setelah semakin sering dia memberi. 

   Konsep 29 gifts adalah konsep sederhana yang mengajarkan manusia bahwa kehidupan ini penuh dengan proses memberi dan menerima. Dalam keterbatasan pun kita masih dapat memberi. Menerima sesuatu, berarti kita telah memberikan sesuatu pada diri kita bahkan orang lain. Dalam ajaran tiap agama atau kepercayaan pun, konsep ini sudah ada. Seperti konsep karma-phala dalam ajaran Hindu ataupun Budha. Atapun dalam ajaran Islam, yang mengajak umatnya untuk tangan kanan memberi tapi jangan sampai tangan kiri melihatnya.
 
   Semakin banyak memberi, semakin banyak pula kita menerima. Dan tentu saja, yang kita berikan adalah kebaikan, keuntungan, kemanfaatan, dan kebahagian kepada orang lain. Pemberian yang kita berikan tidak diukur dari seberapa besar nilainya, bentuknya, bagusnya, mahalnya, atau mereknya. Biarpun murah, tidak berlabel, tidak bernilai rupiah, tidak baru, tidak berwujud, karena berupa waktu dan tindakan, dan hanya kita kumpulkan dari alam, pemberian itu tetaplah sebuah pemberian. Dia bermakna bagi yang menerimanya. 

   Berat. Diawal ritual 29 gifts ini pasti akan terasa berat. Cami mengatakan, saat memberi si pemberi harus sadar dan tanpa rasa pamrih apa pun. Maksudnya, sadar bahwa memberikan sesuatu kepada orang lain, dan tidak mengharapkan imbalan apa pun dari si penerima. Dan, saat memberi jauhkan perasaan bahwa kegiatan ini adalah kewajiban atau keharuskan. Sebaliknya, tumbuhkan bahwa dengan memberi kita sedang melayani diri sendri melalui orang lain. 

   Mbali Creazzo, adalah perempuan Afrika yang menginspirasi Cami Walker menyebarluaskan gerakan 29 gifts. Mbali adalah perempuan penyembuh, atau boleh dibilang semacam guru spiritual. Mbali menularkan konsep ini dengan keyakinan bahwa memberi membuat kita lebih mensyukuri karunia yang telah kita dapatkan. Hidup menjadi lebih terbuka, sikap rendah hati membesar, dan proses menuju manusia sejati, yang menghargai setiap nilai kehidupan, akan terbuka. 

   Dalam buku ini, juga ditulis beberapa rekan dan kenalan Cami yang telah/mulai melakukan tantangan 29 hari memberi. Salah satunya adalah Daryn Kagan, mantan reporter CNN. (aku suka banget dengan cerita yang ditulisnya, berjudul "inspirasi dalam memberi"). Daryn sempat bingung saat tahu dirinya dipecat setelah 12 tahun bekerja sebagai reporter. Tapi dengan melakoni tantangan memberi, dia menemukan kebahagiaan dan banyak inspirasi. Menurutnya, hal yang paling mudah diberikan adalah uang, dan yang tersulit adalah bagian dari diri kita sendiri (terkait dengan emosional/perasaan). "Bila kita fokus pada orang lain, lebih banyak lagi pemberian tak terbayangkan yang akan datang," begitu ujar Daryn. 

   Cami dan Mbali mengajak kita mulai mempraktikkan tantangan 29 hari memberi agar kita mendapatkan keajaiban-keajaiban yang tanpa kita sadari akan datang dengan sendirinya. Untuk lebih asiknya dan jelasnya, kita bisa membuka dan klik di situs http://www.29gifts.org/  Di situs ini banyak cerita dan kisah inspiratif yang akan menyemangati hidup kita, di saat hidup terasa berat. Tak ada salahnya memberi, malah di saat kita sedang membutuhkan dan menderita sekalipun. Karena memberi tak mengenal batasan. So, let's give our gifts to others cakbro'... 

-yuda thant-

Selasa, 18 Desember 2012

Bohong Bikin Bolong

   "Kok hp-nya sibuk terus. Aku telpon-telpon gak bisa-bisa. Lagi nelpon siapa?" tanya Ang kepada Wu. Dengan sedikit gugup, Wu menjawab "Barusan Abah telpon, jadi ngobrol lama." Gak mau kalah, karena merasa curiga, Ang bertanya lagi, "Beneran kamu tadi ditelpon Abah?." Wu kembali menimpali "Iya kok. Abah yang telpon."

   Karena belum yakin, lagi, Ang mengorek jawaban yang sejatinya dari Wu. "Yang bener? soalya aku lho barusan nelpon Abah tanya kabar kamu," Deg..., seperti derit belati yang menghujam ke jantung hati Wu. Hening sekian detik pun mengudara dan mengisi kekosongan sinyal di antara dua telepon seluler yang berjarak 95 km. Tak ada yang bersuara, baik Wu maupun Ang, yang diselimuti tirai kedustaan dalam jalinan asmara mereka.

   Hubungan kedua insan ini, salah satunya temanku, sedang bergulir di papan kayu jungkat-jangkit yang lapuk. Naik-turun, menunggu waktu untuk retak dan terbelah berkeping-keping. Lagi-lagi, kesetiaan dan pilihan adalah penyebabnya. Bumbu-bumbu kebohongan lah yang meperuncing kenikmatan gelora cinta segitiga itu.

   Wu, tak bisa lagi berdusta. Kebohongan kecilnya soal siapa yang menelpon, terbongkar! Padahal, Wu sudah susah payah mencoba menutupi siapa di balik telponnya saat Ang, kekeasihnya, belasan kali mencoba menelpon. Dana, lelaki yang mencuri hati Wu selama 4 bulan terakhir, adalah yang sedari tadi berbicara penuh kasih kepada Wu dari ujung telpon di tempat lain di kota yang sama.

   Bukan sekali Wu berbohong. Belasan, atau mungkin sudah puluhan kebohongan yang dia ciptakan untuk menutupi jejak kisah kasihnya yang terlarang dengan Dana. Berderet skenario Wu siapkan demi kisah cintanya yang entah dimana ujungnya. Bohong yang satu, menutup bohong yang sebelumnya. Dusta  yang tadi, akan ditutup dengan dusta yang lainnya nanti.

   Bohong memang asik. Membuat adrenalin yang mengalir di hati hingga otak menegang. Akal berpikir lebih kreatif, dan jantung berdetak lebih kencang saat bibir ini bercuap kata dan kalimat dusta. Entah apa alasan di balik dusta itu, bohong membuat hidup lebih berwarna, menantang, dan penuh jebakan setan. Berbohong juga kadang menjadi candu yang sulit untuk dilepaskan. Candu yang nikmat dilakukan, namun berakhir pada kesakitan yang menyesatkan.

Sssttt..., mengapa berbohong?

   Pasti ada sesuatu yang ditutupi, yang tak ingin orang lain tahu, yang bukan sepatutnya dilakukan, bentuk kesalahan, pelanggaran yang tak boleh diulang, dan atau melindung hal yang tak ingin orang lain nikmati.

   Besar atau kecil kadar bohong, tetap saja namanya berdusta, berkata atau bersikap tak jujur. Ingat tidak dengan dongen dari negeri Menara Pissa, berjudul Pinokio. Hidung bocah kayu ini bertambah panjang setiap dia berbohong. Semakin menumpuk kebohongan yang dibuat, makin panjanglah hidung kayunya. Namun, saat kejujuran yang disampaikannya, hidungnya akan kembali normal.

   Ternyata, teori itu bukan dongeng. Penelitian dari Universitas Granada menyebutkan adanya pinocchio effect, saat orang berbohong. Yang dimaksud efek ini adalah, meningkatnya suhu di hidung akibat rasa gelisah dari berbohong. Selain itu, daerah otot orbital (penggerak bola mata) di sudut mata juga akan bila seseorang berbohong. (Mata emang gak bisa berbohong, "you can see the real truth from his eyes" hehe..)

   Bukan hanya menyakitkan perasaan, penelitian juga mencatat bahwa bohong memberi pengaruh buruk pada kesehatan. Hasil penelitian di Universitas Notre Dame, pada 110 orang yang diwawancarai dan uji polygraph, menunjukkan orang yang berbohong lebih gampang sakit kepala, sakit tenggorokan, dan mudah cemas dan ketegangan, dibandingkan yang berkata jujur. Demikian pula kesehatan mental orang yang berbohong akan mengalami gangguan, akibat tumpukan stress dan depresi dari tiap kebohongan. 

   Tekanan jiwa akibat bohong memicu neurosis (gangguan jiwa) hingga gangguan fisik akibat kejiwaan (psikosomatik). Lazimnya, penyakit akan muncul bila ada faktoe stress yang memicunya. Seperti asam lambung yang akan meningkat jika stress berlebih, sehingga orang bakal mudah diare, atau malah susah buang air besar. Nafsu makan turun, juga susah tidur, kadang sesak napas atau gatal-gatal tampa sebab yang jelas. Sementara yang punya riwayat asma, bakal kambuh, atau malahan ada yang sampai stroke (serangan jantung) akibat depresi dan stress akut. 

   Psikiater dari Lenox Hill Hospital, di New York City, Amerika Serikat, kebohongan bukan hanya mengganggu kesehatan pribadi, tapi juga kualitas hubungan dengan orang lain. "Kebanyakan orang tahu dampak buruk dari kebohongan pada hubungan, tapi tidak mengenali sejauh mana kebohongan dapat menyebabkan stress," kata dia. Malahan, juga dari hasip penelitian, rata-rata orang berbohong sekali dalam sehari, baik itu bohong demi menyelamatkan gengsi, atau berkaitan dengan integritas, loyalitas, dan sebagainya. 

   Gak ada satu pun dari kita yang mau dibohongi. Untuk alasan apapun. Kalau pun ada, pasti nih orang udah terganggu jiwanya (maaf, hehehe...). Jika tak mau diingkari, maka janganlah berbohong pada orang lain. Bohong pada orang lain sama aja berdusta pada diri sendiri. Terus gimana dong menghindar dari kebiasaan atau kegemaran berdusta? 

   Pertama, lihat dan perhatikan efek juga risikonya. Orang yang kita bohongi pasti gak akan respect lagi dengan kita, jika ternyata kalimat yang kita ucapkan ternyata dusta. Sebab, yang dibohongi pasti merasa kecewa, terluka, juga marah (sebel/jengkel). Akibatnya, hubungan yang terjalin pun jadi merenggang. Kedua, hindari sumber-sumber yang membuat kita ingkar, seperti serakah, selingkuh, atau melanggar aturan main. Ketiga, tekankan bahwa bohong itu dosa dan hal yang memalukan, atau gak terhormat. Keempat, terakhir, buat daftar dosa "bohong" yang sudah pernah dirapalkan kepada orang lain. 

   Emang sih, mengubah kebiasaan ingkar, apalagi jamak dilakukan sejak piyik (kanak-kanak), gak seperti balik kanan maju jalan. Empat mantra yang di atas bisa dipakai, asal niatnya sekeras baja hitam. Padat dan solid. Yang jelas, mas bro dan mbak bro kudu step by step. Dijamin, manfaatnya lebih gede setelah hobi bohong itu lenyap dari hidup kita. Bolong-bolong di jiwa karena bohong bakal memudar, dan hidup pun jadi lebih sehat. Sehat raga, dan jiwa pastinya. 

   Kembali pada dilema Wu dan Ang. Teman yang sempat ikut mendengarkan "perang" cinta Wu-Ang, balik bertanya. "Jadi, yang cerita tukaran mobil supaya kalian bisa ke Malang, itu beneran atau cerita bohong?," tanya Lin, yang terkejut bahwa Wu membohongi Ang. "Oh kalau yang tukar mobil itu cerita benar, bukan bohong," jawabku. Pertanyaan Lin seperti jadi contoh bentuk ketidakpercayaan orang kepada seseorang yang telah berbohong. Kalau begitu, masih mau berbohong?

-yuda thant- 



Jumat, 19 Oktober 2012

Di Ujung Kemarau

Sudah dua kali Surabaya diguyur hujan. Meski itu hanya gerimis tipis. Udara kota yang sesak ini pun mendadak sejuk. Dan gerah di badan terasa hilang sesaat. Sayangnya, buliran air langit itu pun langsung menguap terkena sisa-sisa panas yang masih melekat di malam hari. Dan Surabaya panas kembali. 

Ini lah yang aku rasakan hari ini. Seperti disiram hujan di ujung musim kemarau. Enam bulan aku tidak berpenghasilan. Dan selama itu pula aku tidak merasakan detik-detik penantian "upah" bulanan masuk ke rekening. Selama setengah tahun, uang di rekening makin mengempis dan menyusut. Soalnya, tiap minggu ditarik tunai dari mesin ATM, sedangkan selama itu juga tak ada yang memasukkan uang ke dalam rekening itu. Huuuuhh...., seret rasanya..

Akhirnya, aku menerima "upah" dari hasil keringat yang bercucuran selama 3-4 hari kemarin menggarap karya kreatif. Jika dibandingkan dengan salary di kantor yang dulu, wuuiiihhh..., jauh banget, alias njomplang. Proyek bikin video slide untuk acara kantor temanku, itu membuahkan upah senilai sebuah printer canon standar. Atau kalau ditakar, hanya 1/16 dari gaji terakhir yang diterima sewaktu kerja dulu. 

Kalau mau banding-membandingkan, emang gak imbang banget. Bagikan langit ama bumi. Upah baru diterima, otak pun sudah langsung berfikiran konsumtif. Banyak banget yang mau dibeli. Mulai dari sepatu, baju, sampai mau traktir nonton ponakan. Maklum dulu kan statusnya "beruang" kalo sekarang "berutang." Tapi ada kewajiban yang prioritas harus dibeli yakni printer, yang sudah direncakan jauh-jauh hari sebelum Bella swan ketemuan ama di Edward Cullen (hehe..), supaya kalo ada tugas-tugas kampus gak keteteran. (anak kampus nih yee...)

Meski upah ini kecil, tapi aku harus bersyukur. (Harus..!!) Soalnya, semua jalan pasti ada gerbang permulaannya. Dia sudah membuka sedikit jalan dan kesempatan rezeki buat aku, dan semoga ada jalan-jalan yang selanjutnya. Nyokap pernah bilang, "jangan selalu melihat ke atas. lihatlah ke bawah, karena di bawah masih banyak yang lebih gak beruntung," Itu sepertinya pesan buat aku agar selalu bisa mensyukuri berapa pun (rezeki) yang Dia berikan. Jangan sampai serakah dan berkecil hati ama yang sudah kita peroleh. Apalagi kalo dapetnya halal, gak pake acara korupsi-korupsi-an. 
 
Well, hidup kan memang bukan untuk kaya atau duit, tapi hidup tetap butuh duit. Jadi, ayo cari kerjaan lagi supaya bulan depan punya duit buat senang-senang sekalian jalan-jalan, hahaha.., Soalnya udah sekarat lebih dari sebulan gak jalan2 backpackeran nih. Yang jelas, hidup harus penuh warna dan jangan sampai terasa "datar" dan menjemukan. 


 Any way, thanks God. (Om Dewa Sukma Parama Acintyaya Namah Swaha sarwa Karya Parasidhantam, Om Santhi Santhi Santhi...




- yudathant -





Jumat, 12 Oktober 2012

Apabila Esok Datang



Sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan yang sulit atau belum bisa kita jawab. Namun, kita yakin bahwa kita tidak salah langkah. Sebab, kita mengikuti apa kata hati, naluri, dan apa yang sebenarnya diinginkan.  Bukan mengikuti apa kemauan orang lain atas diri kita.

Lho.., lu kok masuk (fakultas) kesehatan masyarakat sih? Emangnya mau jadi apa nanti? Dulu lu kan anak lulusan (fakultas) politik. Terus lu sempat kerja di media. Nah kok tiba-tiba masuk kesmas. Gak nyambung kali jek..!!” ujar beberapa teman yang terkejut mengetahui kalo aku mengambil kuliah S2 di fak. kesmas.

Aku mau jadi menteri kesehatan, gantiin (alm) bu menteri endang rahayu sedyaningsih. Dia kan dulu dari kesmas juga S2-nya, hehehe...” jawabku asal-asalan.

Dulu, aku pun tidak pernah terfikir untuk masuk ke fak.kesmas. Tapi, sejalan dengan perjalanan hidup, ada sesuatu yang menarik sehingga tiba-tiba aku berniat “mencemplungkan” diri dalam dunia kesehatan. Mengutip kata dosen di kampus; tiap sikap dan perilaku itu pasti didasari oleh keingan dan motif. Dan motif itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengalaman hidup dan lingkungan.

Lagi-lagi, ini soal pilihan hidup. Banyak kok lulusan pertanian dan ilmu botani dari IPB yang sukses jadi bankir di bank-bank nasional. Sarjana hukum malah mumpuni sebagai marketer di perusahaan-perusahaan bonafide. Gak selalu apa yang jadi pilihan awal akan menjadi penentu sukses di akhir. Semua itu berjalan sesuai proses, serta keinginan keras dan keyakinan kita memilihnya. Semuanya bisa berubah di tengah jalan, karena banyak persimpangan yang harus kita pilih salah satu.

Bicara soal keberanian memilih atau berani mengubah hidup yang sedang kita jalani. Ada buku menarik tulisan Peter O’Connor, yang aku baca minggu lalu. Sebuah buku saku, model 2-in-1, yakni dua cerita yang disatukan dalam satu buku. Cerita pertama (“when tomorrow comes”/gerhana terakhir) dimuali dari cover depan, sedangkan cerita kedua (“seeking daylight’s end”/mengejar matahari) dimylai dari cover belakang. Unik. Meski bukunya kecil dan cerita yang disuguhkan itu ringan, tapi isinya mendalam dan memotivasi untuk bertahan dan selalu yakin pada pilihan kita. 


Beberapa puisi singkat dan nasihat dari buku diary Joseph yang dihibahkan kepada cucunya, Sarah, itu penuh dengan pencerahan bagi kita yang menyimak buku ini.  Terutama bagi yang sedang bimbang dengan jalan hidup yang sedang dipijak. Joseph menyemangati Sarah yang selama ini hidup dengan bayang-batang orang lain, bukan bayang-bayangnya sendiri. Joseph membuka cakrawala pikir Sarah, menunjukkan dunia yang harusnya dia pilih, dan mengajaknya mencicipinya.
 
Dalam buku ini, kita diajak untuk tidak takut pada kegagalan ataupun kesalahan, karena dari situlah kita belajar hal baru untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, dan lebih kita inginkan. Ini adalah puisi yang apik dari diary Joseph:

Pikirku, aku butuh kebebasan
Tapi kata orang, aku butuh pengarahan.
Pikirku, aku bisa membuat pilihan sendiri
Tapi kata orang, aku punya kewajiban
Pikirku, seharusnya aku mengikuti impianku
Tapi kata, orang aku harus mengikuti peraturan

Nah kalo yang ini, beberapa kalimat yang tertulis dalam diary Joseph, 

Akan selalu ada hal-hal yang tak mampu kau kendalikan, tapi kau baru benar-benar gagal kalau kau membiarkan hal-hal ini mencegahmu mencoba. Kalau kau tak pernah mengambil resiko, kau pun takkan pernah mencapai apa-apa. Lebih baik mencoba dan gagal, daripada takut mencoba.

Ada orang yang menghabiskan hidup tanpa pernah sekali pun mencoba melakukan hal-hal baru, karena mereka takut gagal. Yang tidak mereka sadari adalah, walaupun orang pemberani tidak hidup abadi, orang yang selalu berhati-hati malahan tidak pernah hidup sama sekali.

Ingatlah apa yang kaucari dari hidup ini, dan teruslah maju ke arah tujuan itu. Hanya kau yang punya kuasa untuk meraihnya, atau membuat dirimu sendiri gagal.

“Yang penting bukan berapa lama kita hidup. Tapi hidup yang bagaimana yang telah kita jalani. Dan aku beruntung sudah menjalni hidup (yang panjang dan) mengasyikkan. Tak ada yang kusesali.”

***

Sedangkan cerita kedua, berkisah tentang Talan, seekor elang muda yang penasaran melihat matahari tenggelam di telan samudera. Elang muda ini harus bersusah payah melintasi pegunungan es, gurun, pemukiman penduduk, juga rintangan cuaca ekstrem dan kelaparan untuk melihat sendiri “dongeng” yang dikisahkan oleh seekor elang tua yang bijaksana. 

Untuk mencapai keinginan yang dianggap mustahil dan ditabukan oleh klan (kelompok)-nya, Talan berulang kali ingin menyerah dan merasa putus asa. Namun, dia mencoba mendengarkan bisikan “angin” yang merupakan suara hatinya yang paling dalam. Dalam menempuh perjalanan, Talan tak sekadar melampiaskan hasrat besar dan egoisme jiwa mudanya. Dia harus berpikir dan bersikap cerdas menghadapi kesulitan dan rintangan selama perjalanan. Karena dia yakin, pasti ada jalan terang bagi yang mau berusaha keras.

Tujuan apa yang menggerakakkan hidupmu? Tujuanmu sendirikah, atau tujuan orang lain?

Siapa pun bisa berani membayangkan hal yang luar biasa, tapi hanya sedikit yang benar-benar luar biasa sehingga berani mencoba melakukannya.

Keberanian lahir dari kekuatan untuk percaya pada dirimu sendiri, meski tak ada orang lain yang percaya padamu. Hadapi rasa takutmu dan lakukan apa yang harus kaulakukan. Jangan sampai rasa takut menghalangimu hidup.

Jangan pernah putus asa dalam menggapai impianmu, karena hanya ada satu orang yang bisa menghentikanmu, yaitu dirimu sendiri. Ingat! Kalau kaupikir kau akan gagal, kau pasti akan gagal. Mereka yang percaya sesuatu itu mustahil, akan selalu mendapati hal itu memang mustahil. Tapi mereka yang percaya tidak ada yang mustahil, akan selalu menemukan jalan.

Ketika rasa putus asa menghancurkan semangatmu dan keletihan menjerat tubuhmu, satu-satunya pilihanmu adalah meneruskan perjalanan, meski tampaknya kau pasti gagal, karena hanya pada saat itulah kau punya kesempatan untuk berhasil.

Kembali lagi pada pertanyaan beberapa teman dan mantan rekan kerja-ku. “Kok kamu pilih fak.kesmas? Nanti kamu mau kerja dimana?” Hehehe..., dengan modal tulisan Peter O’Connor, pasti kalian bisa menyimpulkan sendiri. Akan lari kemana kita? Asalkan yakin pada pilihan, maka yang terlihat mustahil dan tak mungkin, bisa jadi mungkin dan terwujud bila kita sendiri yakin itu nanti akan terwujud. Jadi, tetaplah semangat dan yakinlah dengan pilihan hidupmu. Jangan ragu dan menyerah di tengah jalan teman...


-yuda thant-