Tampilkan postingan dengan label health. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label health. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 November 2014

Sehat itu Hak Semua Orang

Semua orang berhak mendapatkan keadilan, termasuk dalam hal kesehatan. Sebab, sehat adalah salah satu bagian dari hak asazi manusia. Sepertinya, hal inilah yang coba diangkat menjadi isu utama rencana kerja oleh Bu Nila Moeloek, selaku Menteri Kesehatan dalam Kabinet Kerja, yang tertuang dalam artikel Kompas (Sabtu, 15 Novermber 2014) halaman 14.  

Bu Menteri, menyatakan bahwa 96,7 juta penduduk di Indonesia membutuhkan jaminan kesehatan atas dasar ketidakberdayaan mereka mengakses pelayanan kesehatan dasar. Namun, 10,3 juta dari penduduk itu belum sama sekali belum terjamin oleh bantuan jaminan kesehatan. Padahal, sebagai warga negara, mereka berhak mendapatkan hak yang sama dengan orang yang mampu mengakses pelayanan kesehatan.

Karena miskin, sakit mereka semakin parah. Karena daerahnya terpencil, tidak ada tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai. Karena biaya obat mahal, mereka memilih membeli obat sembarangan. Karena pelayanan di puskesmas sekadarnya, mereka memilih ke rumah sakit, meski tidak punya duit untuk berobat. Karena anggaran untuk kesehatan dari pemerintah daerah minim, pengadaan obat dan fasilitas kesehatan terbatas. Karena mereka tidak tahu, sehingga lingkungan yang kotor dan kebiasaan hidup yang buruk tetap dipelihara.

Masalah kesehatan tidak bisa dilihat dari satu sisi, atau harus dilihat secara keseluruhan. Sebab, kesehatan dalam bahasa Inggris adalah health, yang dalam Bahasa Inggris Kuno health mengacu pada kata “whole” yaitu seluruhnya. Sehingga, tak salah jika kesehatan dilihat sebagai suatu entitas yang “holistik.”

Benar kata Bu Menteri, bahwa kesehatan itu nggak bisa berdiri sendiri. Kesehatan harus dilihat dari berbagai segi. Sehat bukan berarti badan itu tidak sakit dan tidak ada luka. Tetapi sehat itu berarti juga kondisi mental (jiwa) kita tidak mengalami gangguan, bahkan hidup sejahera secara sosial dan ekonomi. Statement ini sesuai dengan definisi sehat dari World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahka kesehatan bukan semata-mata tidak adanya penyakit maupun kecacadan pada tubuh.


Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kesehatan juga tidak bisa dilihat hanya dai satu kaca mata kesehatan (medis). Masalah itu harus dicermati, diterawang, bahkan ditelusuri dari beragam kaca mata dan bingkai, seperti kaca mata ekonomi, sosiologi, budaya, bingkai teknologi dan informasi, gender, transportasi, lingkungan, dan bingkai-bingkai lainnya.  Sebab, belum tentu problematika kesehatan itu bermuara di masalah medis seseorang.

Banyak determinan sosial yang memicu teradinya masalah kesehatan. Mulai dari masalah tidak adanya tenaga kesehatan di puskesmas terpencil, pengangguran, kemiskinan, lansia, kenaikan BBM, jalan desa yang buruk, tidak ada MCK, tidak tersedia air bersih, hingga luapan lumpur gas pun bisa menimbulkan sakit dan penyakit.  Jadi, masalah kesehatan bukanlah masalah gampang yang bisa diselesaikan satu pihak. Kesehatan harus melibatkan banyak pihak, banyak prespektif, dan banyak usaha yang berkelanjutan. 

Mencegah Lebih Baik
Bu Menteri juga menekankan, keadilan kesehatan tidak mungkin terwujud jika pengentasannya hanya terpusat pada upaya kuratif atau pengobatan pasien. Problema kesehatan harus mulai ditangani sebelum masyarakat sakit, yakni dengan upaya promotif dan preventif (pencegahan).

Jika kita berandai-andai. Berapa miliaran rupiah anggaran yang digelotorkan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruh penduduk sehat? Jawabannya sangat banyak dan tidak mungkin. Sebab, konsep sehat pada masyarakat saat ini masih konsep lama, yakni tidak sakit. jika sakit maka diobati. Isu kesehatan bukan prioritas dalam hidup. Sehat dan sakit dilihat sebagai dampak, bukan sebab. Konsep ini yang masih terbenam dalam otak dan sikap kita, yang sebenarnya harus diubah.


Konsep sehat yang tepat adalah preventif dan promotif, bukan kuratif dan rehabilitatif. Promotif adalah meningkatkan kualitas kesehatan, sedangkan preventif mencegah tubuh menderita akibat gangguan kesehatan. Sehat tidak lagi mengobati, tapi mencegah. Sebab, mencegah sakit berarti penghematan dan keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Tidak sakit berarti kita tidak perlu mengeluarkan biaya mahal berobat; tidak kehilangan waktu bekerja dan upah kerja; tidak kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan; tidak kehilangan waktu bersama keluarga; dan tidak menderita akibat penyakit. Sehat berarti kita dapat hidup dengan tenang, bekerja dengan lancar, menikmati liburan dengan nyaman, menabung dan hidup sejahtera.

Biarkan urusan kuratif dan rehabilitatif menjadi tanggung jawab pemerintah (seperti kartu sehat dan jamkesmas). Namun, prefentif dan promotif harus menjadi tanggung jawab kita sebagai individu dan bagian dari anggota masyarakat. Konsep promotif dan preventif dapat dilakukan dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu dalam rumah tangga dan diri sendiri. Mulai dengan membiasakan gaya hidup sehat (tidak merokok, tidak minum miras, dan tidak seks bebas), olah raga teratur, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dan cuci tangan pakai sabun. Perilaku hidup sehat di lingkungan sosial juga harus ditingkatkan seperti tidak membuang sampah sembarangan, buang hajat di WC, menanam pohon, olah raga bersama, hingga mendaur ulang sampah. Semua itu adalah langkah preventif dan promotif agar kita sehat, baik fisik, mental, dan sosio-ekonomi.

Wujud hasil dari perilaku preventif dan promotif memang tidak langsung terlihat. Berbeda 180 derajat dengan perilaku kuratif, yang ces pleng dan bim salabim akan terlihat. Butuh proses agar perilaku preventif-promotif ini mempertontonkan hasilnya. Misalnya, dengan menanam pohon, butuh 5-10 tahun akan terlihat perubahan kualitas udara di suatu kota. Udara menjadi lebih bersih, pencemaran menurun, risiko warga mengalami gangguan sakit ISPA berkurang. Preventif ini gampangnya seperti pemberian vaksinasi pada tubuh sewaktu kita bayi. Jika tubuh diberikan vaksinasi untuk meningkatkan imunitas tubuh, maka risiko menderita suatu penyakit tertentu akan lebih rendah.

Sehat memang hak setiap orang, tapi sehat juga tanggung jawab semua orang, tanpa terkecuali. Kita berkewajiban menjaga dan mempertahankan kesehatan diri kita sendiri, kesehatan keluarga, hingga kesehatan lingkungan tempat kita hidup. Mulailah dengan mencegah agar tidak sakit; mencegah agar tidak rentan terkena penyakit; mencegah tidak tertular maupun menularkan penyakit; dan mencegah melakukan tindakan yang berisiko menimbulkan sakit. Mulailah pula mempertahankan stamina tubuh agar makin kebal terhadap serangan mendadak si biang sakit. Memang tidak mudah, tapi itu bisa dilakukan. 

Tampaknya, tugas Bu Menteri nggak gampang. Sebab yang diajak berubah untuk berpikir hidup sehat bukan hanya para petugas kesehatan, tetapi semua penduduk Indonesia, demi mencapai derajat kehidupan dan status kesehatan bangsa yang berkualitas. 

@yudathant


Kamis, 15 Agustus 2013

Homesick, Bukan Rumah Sakit

Pertengahan Agustus ini hingga awal September nanti, kampus-kampus pasti akan disibukkan dengan ribuan mahasiswa baru. Masa orientasi kampus telah tiba. Sebenarnya, bukan cumanpihak kampus dan fakultas yang sibuk, si calon mahasiswa ini juga gak kalah sibuknya. 

Ada yang semangat, karena akan menjadi mahasiswa, ada yang resah karena harus jauh dari orang tua merantau di kota lain demi menuntut ilmu, dan malah ada yang panik karena takut tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. 

"Om, pas kuliah homesick gak?" tanya Nuz, pacar dari keponakanku. "Ya iyalah. Pasti, Sebulan sampai pulang dua kali. Gak betah di Jogja. Tapi setelah satu-dua semester berlalu, malah jarang pulang. Hahahaha...," jawabku sambil menyetir mobil dari Pasuruan menuju Surabaya. 

Penyakit homesick, kalau boleh disebut penyakit meski tidak ada gejala-gejala medisnya, adalah gejala normal yang sering muncul saat kita berada di lokasi baru untuk waktu yang relatif lama. Menurut kamus Oxford, homesick itu adalah perasaan seseorang yang rindu rumah atau kampung halamannya. Hal serupa dijelaskan oleh Chris Thurber dan juga Edward Walton dalam makalahnya yang diterbitkan di jurnal American Academy of Pediatrics, bahwa homesickness didefinisikan sebagai penderitaan dan penurunan fungsional akibat pemisahan dirinya dengan rumah atau objek-objek tertentu.


Makanya, homesick sebenarnya wujud dari distress (stress) seseorang yang muncul karena terpisah dari lingkungan (rumah) tempatnya biasa bermukim, atau tidak berada di lingkungan dengan budaya, kebiasaan, dan orang-orang yang dikenalnya. Perasaan ini muncul di saat kita berada di situasi, kondisi, dan lingkungan yang baru, dan mungkin benar-benar asing dengan kehidupan kita biasanya. Misal, jika di kampung kita biasa ngobrol dengan cablak dan makanan serba asin pedas, tapi di tempat baru ini kita harus bicara lebih halus dan makan hidangan yang cenderung manis rasanya. 

Homesick memang biasa dirasakan oleh para remaja atau dewasa muda yang baru pertama kali pergi jauh dari rumahnya. Alasan mereka pergi dari rumah adalah untuk sekolah, liburan, atau pindah rumah. Rasa kangen dengan orang tua, kakak-adik, pacar, teman satu genk, sampai hewan piaraan, biasanya berujung pada kondisi homesick. Konon, perasaan ini muncul secara naluriah karena mausia adalah makhluk yang membutuhkan perasaan (zona) nyaman, aman, terlindungi, dan dicintai. Gejala-gejala homesick yang sering kali terlihat adalah lesu tak bergairah, sedih, gak punya semangat, kadang juga gampang marah, sampai muncul sindrom agoraphobia (takut jika orang-orang di tempat baru tidak akan membantunya). 

Tapi, tidak semua orang dan pada usia yang sama akan mengalami homesick. Rasa stress ini akan timbul (bukan nama pelawak srimulat) berbeda-beda tiap orangnya. Bahkan, kadar homesicknya pun berbeda-beda. Ada yang cuma sesaat, tapi ada juga yang sampai stress berat sampai gak bisa makan dan tidur. 

Ckckckckk..., sampai segitunya. 

Obat paling mujarab adalah membawa si penderita homesick pulang ke kampung halamannya, dan bertemu dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Tapi metode ini tentu tidak terus menerus bisa direkomendasikan. Sebab, apabila kampungnya jauh nan berada di daerah antahberantah, tentu saja ongkos, waktu, dan tenaga untuk bolak-balik tiap bulan untuk melepas kerinduan bakalan sangat mahal. Cara ini juga tidak menyembuhkan, malah membuat "penyakit" ini menjadi bayang-bayang yang akan terus mengikuti kemana kita pergi. Repot kan!

Supaya tidak homesick itu tidak susah kok. Awalnya memang sedikit berat, namun karena manusia juga makhluk yang mudah beradaptasi, maka secara alamiah derita homesick itu akan pudar dengan sendirinya. Tips ini mungkin pas buat temen-temen yang baru saja pindah ke kota lain untuk kuliah dan tugas belajar. 

1. Cari kenalan baru sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, satu kampus diajak kenanalan semua. Biarin kalau ada yang bilang kamu sok jual diri. Sebab, sebagian besar dari mereka yang juga "anak rantau" yang butuh teman baru untuk dapat beradaptasi di "rumah" barunya. Malahan, kalau perlu, kenalan sama semua dosen, penjaga parkir, sampai ibu-ibu yang jualan di kantin. Jika sudah punya banyak kenalan, tidak ada salahnya ajak mereka berkumpul untuk diskusi atau belajar kelompok. Sembari belajar sambil menjalin keakraban. Sapa tahu malah jadian, hahaha... 

2. Ikut kegiatan kampus supaya kamu gak merasa sendiri dan selalu kangen dengan rumah. Kesibukan ekstrakurikuler dan aktivitas positif di luar tugas-tugas kuliah merupakan media "hiburan" yang murah dan bagus untuk pengembangan potensi juga bakat kita. Siapa tahu, waktu ikutan ekskul malah dapat pacar baru, jadi selebritis kampus, dan jadi mahasiswa paling beken se-jagad kampus. 

3. Buat komunitas atau bergabung dengan komunitas yang berasal dari satu daerah atau kampung yang sama. Misal, kerukunan mahasiswa Sunda, Bali, Purwokerto, atau lainnya. Tujuannya, pengobat rasa rindu saat kita homesick dengan kampung halaman, sekaligus membuat jejaring dengan orang-orang dari satu kampung yang berada di negeri orang. Biasanya, di sini kita bisa ngobrol dengan bahasa daerah kita dan saling curhat kalau kita lagi rindu ama emak di kampung, hehehe... 

4. Jelajahi daerah baru tempat kamu tinggal. Mulai dari kampus tempat kamu belajar, gang-gang tembus di sekitar kos-kosan, pasar-pasar tempat jual barang-barang unik yang bagus untuk dikoleksi, lokasi-lokasi wisata di sekitar kampus, sampai kota-kota kecil di sekitar kota tempat kampus kita berada. Dijamin, banyak petualangan dan cerita seru yang bakal bisa kamu ceritakan kepada keluarga di rumah saat pulang kampung nanti. 

5. Berkunjung ke rumah-rumah teman yang dekat dengan kampus untuk silaturahmi sembari menikmati suasana rumah yang kamu rindukan. Maklum, kadang-kadang suasana kos-kosan dan kampus bikin otak kita jenuh, sehingga kita butuh refreshing. 


Aku rasa lima trik di atas, yang aku praktikkan selama kuliah 4,5 tahun di Jogja, itu sudah cukup dan terbukti manjur. Malahan, aku jadi betah tinggal di Jogja, karena ada sesuatu di kota dan penduduk Jogja yang tidak aku dapatkan di Surabaya. Begitu juga sebaliknya. 

Seperti peribahasa lawas yang dulu pernah dijelaskan oleh Bu Wayan, guru kelas VI SD-ku dulu, "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Yang intinya, kita harus mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal kita yang baru supaya kita dapat bertahan dan survive. And, I will survive..!!! 


-yudathant-
 

Jumat, 09 Agustus 2013

D.N.D -- Dilema Nona Dolly


Sejak April, lokalisasi Tambak Asri ditutup secara resmi oleh Pemerintah Kota Surabaya. Penutupan ini mengakibatkan sekitar 350 pekerja seks komersial (PSK) dan 96 mucikari di 96 wisma menghentikan transaksi seks komersialnya. Target selanjutnya adalah Dolly, ladang prostitusi terbesar di Jawa Timur. Jika rencana besar Pemkot Surabaya terealisasi, itu berarti PSK di Surabaya tidak lagi punya tempat mangkal. Lalu, mereka ada dimana?

Pertanyaan semacam itu pasti akan berkecamuk di otak kita. Sebab, tidak dimungkiri, sejak zaman dahulu, penikmat jasa bisnis esek-esek ini akan terus menguber kemana saja si pemberi jasa berada. Maka, besar kemungkinan akan muncul spot-spot baru yang bentuknya terselubung, masuk ke lingkungan perumahan, perkampungan, apartemen, hotel atau motel melati, sampai ke tempat-tempat sepi nan sempit seperti di kuburan atau pojok-pojok terminal. Pembeli tidak perlu lagi datang ke lokalisasi, mereka cukup buka internet, atau dengan saling kontak lewat SMS dan produk-produk jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp, Line, BBM, dan lainnya.

Tujuan Pemkot Surabaya menutup seluruh lokalisasi prostitusi itu sangatlah mulia, yakni memutus rantai penularan HIV/AIDS dan menyadarkan PSK agar meninggalkan pekerjaannya. Mereka pun dibekali materi spiritual dan uang Rp 4,7 juta untuk modal usaha, biaya hidup selama tiga bulan pasca-penutupan lokalisasi, dan ongkos memulangkan mereka ke kota asalnya.

Namun, apakah susutnya jumlah PSK sejalan dengan penurunan jumlah kasus HIV/AIDS di. Sebab, tren temuan kasus HIV/AIDS meningkat tiap tahunnya. Data Dinkes Kota Surabaya menyebutkan tahun 2010 ada 705 kasus dan 2011 ditemukan 811 kasus, dimana 89 persen penularannya melalui hubungan seks. Diperkirakan, angka itu bukanlah jumlah riil karena adaya fenomena gunung es dalam kasus HIV/AIDS.

Penutupan lokalisasi prostitusi adalah program populis. Dukungan dan simpati, juga pujian, datang dari berbagai pihak. Dengan adanya lokalisasi, sejatinya memudahkan Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), ataupun LSM memantau penyebaran dan penularan juga pencegahan HIV/AIDS. Dan, promosi kesehatan, seperti bahaya AIDS maupun IMS serta penggunaan kondom bisa fokus dan tepat sasaran.

Bayangkan, ketika tidak dilokalisasikan, kemungkinan penularan meluas dan sulit dikontrol. PSK yang positif mengidap HIV, jika dia hijrah ke kota lain bakal memperlebar jaringan penularannya. Di satu sisi, butuh waktu lama menyadarkan PSK untuk lebih peduli pada kesehatan reproduksinya, menyadarkan perilaku hidup sehat, dan perawatan intensif bagi yang positif HIV. Padahal, mereka hidup dalam satu komunitas, tapi stiga negatif dan rasa malu tetap jadi kendala memeriksa kesehatannya atau melakukan voluntary counseling and testing (VCT).

Tersebarnya PSK menyulitkan petugas puskesmas mengadvokasi penggunaan kondom dan VCT berkala. Itu karena kesadaran PSK melakukan VCT rendah, maka bila tempat tinggal atau kerjanya berpindah-pindah, upaya intervensi VCT berkelanjutan akan lebih sulit dilakukan. Adapun salah satu upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di kawasan prostitusi dengan penggunaan kondom. Sayangnya, penggunaan kondom, terutama di kalangan PSK dan kliennya, juga rendah. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pernah mengatakan pemakaian kondom di Indonesia baru 35 persen, padahal tahun ini targetnya 45 persen. Salah satu penyebab adalah rendahnya posisi tawar PSK di mata kliennya. Posisi itu akan makin rendah jika PSK beroperasi di luar area prostitusi.

Di Thailand, di mana prostitusi merupakan bisnis yang segar, tapi angka kasus baru dan kematian akibat HIV/AIDS selama 2005-2010 menurun tajam. Data dari Kantor Epidemiologi Thailand, dari 23.339 kasus jadi 5.058 kasus, dan dari 4.389 kematian menjadi 673 kematian. Semua itu karena kampanye kondon 100% di kawasan prostitusi maupun di komunitas publik dilakukan berkelanjutan. Sanksi diberikan kepada pemilik tempat prostitusi jika didapati PSK yang bekerja di sana positif mengidap HIV.

Solusi Pemkot memberdayakan PSK dengan memberi keterampilan dan modal usaha memang tepat. Namun, itu butuh proses, karena persepsi PSK yang biasa mendapatkan uang dengan cara mudah harus diubah. Ketersediaan lapangan kerja bagi eks-PSK harus disiapkan, bukan sekadar memulangkan mereka ke kampung halaman. Sebab, alasan mereka merantau ke kota besar, dan terjebak dalam dunia prostitusi, karena alasan ekonomi dan tidak ada lapangan kerja di kampungnya.

Pemkot Surabaya perlu menyiapkan solusi lain, seperti bekerja sama dengan semua pihak membentuk tenaga kesehatan, kader kesehatan dan pelayanan kesehatan HIV/AIDS yang merata di tiap kecamatan bahkan saling terintegrasi dengan kota/kabupaten lain. Kemudian, mempertebal kepercayaan PSK kepada kader kesehatan yang akan membantunya mengakses layanan kesehatan. Dan yang terpenting, memperbesar kesadaran dan kepedulian PSK pada bahaya HIV/AIDS dan gerakan 100% kondom pada PSK saat bertransaksi seks. Sebab, tujuan utamanya adalah mengurangi munculnya kasus baru dan menekan prevalensi HIV/AIDS di Surabaya.
 (T.H. - 2013)

--yudathant--

Kamis, 08 Agustus 2013

Ponsel di Kantong Anak-Anak

Beberapa hari lalu, Komenk bertanya. "Kapan kita punya HP Thant?" sambil berjalan menyusuri Plaza Marina, Surabaya. "Hmmm, pas kuliah lah Menk," jawabku cepat. "Coba kamu lihat sekarang, anak-anak kecil ajah pegangannya udah BB," ujarnya sambil menunjuk dua keponakan kembaranya yang berjalan gesit diatara lalu-lalang pembeli dan pengunjung di Plaza Marina. Dan aku pun hanya tersenyum melihat realita menarik ini. 

Dulu sama sekarang jelas beda. Kalau dulu, HP itu barang mewah, tidak semua orang bisa. Atau setidaknya harus menabung dulu supaya bisa memakai HP yang bisa untuk telpon dan kirim SMS. Belum lagi beli nomor perdananya, itu juga butuh duit yang gak murah. Seingatku, aku harus merogoh Rp 150.000 hanya untuk beli nomor perdana. Nomornya gak canti pula, nomor yang asal nomor ajah. Kalau mau punya nomor cantik, paling gak harus punya duit Rp 500.000. 

Nah sekarang, dengan Rp 150.000 kita bakalan sudah punya nomer yang jelita dan menggoda. Sebab, nomor perdana aja ada yang dijual Rp 5.000, dan itu sudah dengan pulsa senilai harga belinya dengan masa aktif sebulan. Harganya cuma setengah harga satu bungkus rokok, atau seharga minuman botol teh rasa buah. 

Begitu juga dengan HP, harganya sudah kacang goreng. Model dan kualitasnya juga ada 1001 pilihan. Tinggal tunjuk dan tinggal sesuaikan dengan duit yang di kantong, atau sesuaikan THR tahun ini. Ada yang super mahal, sampai seharga tiket pesawat ke London, Inggris, tapi ada juga yang harganya cuma cepek ceng alias seratus ribu. Murahnya harga HP dan pulsa, juga kartu perdana ini membuat siapa saja, dari kakek nenek, sampe bocah yang masih suka ngompol, menenteng HP kemana-mana. 

Makanya, jangan heran kalau dimana-mana tiap orang sudah pegang HP, bahkan anak-anak. Konon, orang tua membekali anaknya dengan HP supaya anak-anaknya mudah dijangkau, berkomunikasi, dan dipantau. Sedangkan bagi anak-anak, HP hanyalah gedget elektronik yang menarik untuk diotak-atik. Sebagian lagi melihat HP adalah pengganti game watch, nonton film di youtube, dan tentu saja status pergaulan dikalangan teman-temannya. 

Wajarlah kalau yang diberi HP itu usia anak SD, tapi kalau TK, buat apa ya HP-nya? 


Untuk komunikasi, HP memang juaranya, tapi dari sisi kesehatan, ada efek yang perlu kita cermati sama-sama. Hasil penelitian di Jerman menyebutkan sinyal-sinyal yang dipancarkan HP mampu membuat kita resah, mengganggu jaringan dan fungsi otak, dan fatalnya mampu berdampak kanker atau tumor pada otak kita. "W.O.W..!!" Pengaruh itu bisa lebih besar pada anak-anak yang otaknya sedang berkembang hingga mereka mencapai usaia 14 tahun. Karena sangat rentan, maka kemungkinan anak-anak akan mengidap kanker otak akan semakin besar jika intensitas pemakaian HP mereka tinggi. 

Salah satu kebiasaan yang memicu dampak HP makin terasa adalah menelepon dengan HP sebelum tidur, atau menggunakannya untuk aktivitas lain, seperti browsing dan gaming. Penelitian di Jerman juga menyebutkan bahwa meletakkan HP di tempat tidur, atau di dalam kamar akan membuat kita mengalami kesulitan tidur, resah, dan gelisah. (Waduh, kok betul banget, sering banget gak bisa tidur. Tapi bukan cuman karena HP di kasur, tapi karena gak punya duit, hahahaah...) 

Betapa "keji" nya HP ternyata bagi kesehatan. Tapi, bukan berarti kita kemudian menyerah. Semua bisa kita kontrol kok supaya jangan sampai muncul penyakit atau masalah kesehatan tersebut. Mulai dari yang paling gampang, misalnya letakkan HP jauh-jauh dari kasur saat Anda tidur, letakkan aja di meja. Pakai earphone/hands-free saat menelepon, itu lebih baik ketimbang menempelkan langsung HP ke telinga. Mungkin juga bisa manfaatkan speaker phone, kecuali kalau obrolannya top secret, hehehe.. 

Saat dimobil yang berjalan, kereta, atau lift, sebaiknya jangan menerima telepon, sebab konon sinyal HP lebih besar radiasinya saat objeknya bergerak. Jika sudah tidak digunakan, sebaiknya matikan WIFI yang ada di rumah, dan tidak memakai earphone saat tidur sambil mendengarkan musik dari HP. Nenek bilang itu berbahaya..., soalnya kalau ada maling gak bakalan kedengeran, hahaha... 

Solusi ini bukan cuma buat Anda lho, yang lebih penting buat anak, adik, atau ponakan Anda yang masih kecil. Biasakan mereka melakukan hal-hal yang mengurangi risiko terpapar sinyal radiasi dari HP. Tapi, mulailah dari diri kita sendiri, biar mereka belajar dan meniru kita. 

"Om, lihat di HP-nya ada game apa aja? Boleh pinjam kan?" taya Alven, salah satu bocah kembar itu kepadaku. 
--yudathant--

Jumat, 02 Agustus 2013

Perang Nyamuk


Who is your biggest anemy? Well, lets I see my list first. Dan ternyata, nyamuk adalah musuh terbesarku.

Kenapa? Meski ukurannya kecil, mungkin seperseribu ukuran badanku, si nyamuk telah berhasil meng-KO-kan diriku dan membuat aku tepar selama seminggu lebih. Hahaha..., (tertawa jengkel) jahat banget si nyamuk, padahal aku gak pernah bikin salah salah sama dia.

Pertama kali “beradu jotos” sama nyamuk itu sewaktu masih duduk di bangku SD. Kelas VI SD kalo gak salah. Yah, nyamuk yang nama gaulnya aedes aegypty, yang sukanya pake baju hitam polkadot putih. Dresscode mereka sih keren, tapi ganasnya itu, beuuhh.., bikin nyesel dan males kenal lagi sama dia. Seminggu diopname di rumah sakit gara-gara demam berdarah udah cukup deh. Gak mau lagi.

Yang kedua adalah si miss anopheles. Nyamuk yang satu ini udah bikin badan “meriang belina” sepuluh hari. Terbaring menggigil dengan sakit kepala yang sangat. Pagi sehat bugar, tapi siang sampe malem loyo tak bertenaga. Katanya, parasit nyamuk yang terlihat ringkih ini bisa kambuh sewaktu-waktu jika sudah masuk ke dalam darah. “Waduh..., pantesan beberapa bulan lalu, pas kecapekan gara-gara ujian dan deadline tugas kampus, badan ini tiba-tiba menggigil dan mengalami gejala yang sama saat aku pertama kali kena malaria, ups..”

Dua nyamuk ini punya gaya hidup yang berbeda.  Si aedes suka banget bercengkerama di air bersih, seperti bak mandi, vas bunga, atau genangan air di kaleng bekas. Sedangkan miss anopheles doyan banget kongkow di rawa-rawa atau genangan air kotor. Jadinya, treatment atau strategi supaya bisa menang saat berantem dengan mereka pun beda-beda.


Mister Aedes
Untuk nyamuk yang doyan bersarang di air bersih ini, cukup dengan 3M, menguras, menutup, dan mengubur. Yang dimaksud menguras adalah menguras bak mandi atau tempat penampungan air yang menjadi habitat telur hingga pupa nyamuk hidup. Seminggu dua kali kalo bisa, kalo gak bisa ya seminggu sekali lah. Menutup adalah menutup tempat-tempat penampungan air, sedangkan mengubur adalah menimbun sampah-sampah yang bisa digenangi air hujan.

Perlu diingat nyamuk ini punya 4 fase hidup, yakni telur, larva, pula, dan nyamuk dewasa selama 21 hari. Agar strategi lebih afdal, pengasapan atau fogging bisa juga dilakukan. Biasanya sih Pak RT atau Pak RW yang mengusulkan fogging jika kasus DB meningkat tajam di satu wilayah. Sebab, radius terbang si aedes ini bisa sampai 100 meter. Pola hidup bersih sehat, disertai menyisati kondisi agar tidak ada sarang nyamuk, seperti mengganti bak mandi dengan shower, atau memasang obat anti nyamuk pada musim hujan.

Miss Anopheles
Nyamuk yang satu ini memang tidak ada di semua wilayah di Indonesia, sebab sejak tahun 1980-an Jawa sudah bebas miss anopheles. Tapi, untuk beberapa daerah di wilayah Indonesia timur, seperti Papua, Maluku, dan NTT, masih banyak bertebaran nyamuk-nyamuk yang menyebabkan malaria ini. Lalu, gimana caranya bisa menang melawan si anopheles.

Strategi yang umum dilakukan adalah memasang kelambu berinsektisida di tempat tidur. Trik ini biasa digunakan di daerah epidemi malaria. Tentu saja, selain menjaga lingkungan tetap bersih, tidak jorok, dan meniadakan (menutup) genangan-genangan air di sekitar rumah, dan membakar semak yang tidak terawat. Minimalkan menggantung baju yang menjadi tempat mangkal si nyamuk, dan menutup ventilasi udara atau pintu dan jendela.  Jika si aedes suka beroperasi pagi dan sore, tapi si anopheles sukanya beroperasi pada malam hari.

Well well well.., nyamuk-nyamuk ini memang nakal, seperti kata Eno Lerian (mantan penyanyi cilik), tapi bukan berarti kita tidak bisa mengendalikan kenakalan si nyamuk. Pola hidup bersih-sehat dan menjaga lingkungan tidak jorok adalah kunci penting untuk menghindari terpapar sakit malaria dan DB. Lagi-lagi kata mbak Eno, kalo kita malas bersih-bersih, pasti si anopheles dan aedes and the gank, pasti makin doyan nongkrong di rumah kita.

“Banyak nyamuk di rumah ku, gara-gara aku, malas bersih-bersih..., Nyamuk-nyamuk nakal, semut-semut nakal, sukanya menggoda aku” (sing by Eno Lerian, yang dulu waktu masih kecil imut-imut banget)

Plaak.., yes! dapet juga nih nyamuk yang dari tadi "ngoweeng ngoweeng" di telinga..., hahahaha...!!

-yudathant- 

Sabtu, 20 April 2013

Kalo Bisa Sekarang, Kenapa Harus Nanti?


Sebulan terakhir, tugas kampus rasanya menumpuk seperti gundukan bata di toko bangunan. Bertubi-tubi datang gak karuan. Satu belum selesai, eh.., datang lagi tugas berikutnya. Mulai dari tugas baca sampai bikin paper dan presentasi. Wuuiihh..., ini namanya kuliah.
Sudah tahu bakal ada tugas-tugas lain, tapi rasanya kok malas yah ngerjain tugas yang sudah dikasih sama dosen. “Ah, bentar aja deh... Besok aja... Sekarang mau maen dulu, lumayan ada yang ngajak jalan-jalan,” godaan puun muncul mencuri perhatian.
Kebiasaan seperti ini gak cuman sekali-dua kali kejadian. Sering banget, malah sudah jadi habbit yang susah dihilangkan. Dan ternyata, bukan cuman aku doang yang punya kelakuan buruk suka menunda pekerjaan. Hampir semua teman yang aku kenal doyan juga mengantre-kan pekerjaan dan tugas yang jadi tanggungjawabnya.


Kenapa ya..? Kok senang banget aku menunda-nunda pekerjaan? Bisa gak kebiasaan ini dihilangkan..?


Aku sadar betul, salah satu kelemahanku adalah suka menunda pekerjaan atau istilah kerennya procratination. Istilah prokrastinasi bisa diartikan menunda dengan sengaja kegiatan yang diinginkan, walaupun mengetahui bahwa penundaan tersebut dapat menghasilkan dampak buruk. Dalam artian lain, menunda mengerjakan tugas tanpa mempermasalahkan tujuan dan alasan penundaan.
Kebiasaan prokrastinasi kerap menimbulkan sensasi zona kenyamanan bersifat sesaat bagi orang yang melakukan penundaan, meski akhirnya akan berdampak buruk pada dirinya maupun lingkungannya. Dalam dunia pendidikan, menurut Dra Sulis Mariyanti M.Psi, tanda-tanda prokrastinasi pada diri seorang pelajar atau mahasiswa bisa dilihat seperti antara lain: menunda memulai tugas yang didapatkannya; terlambat menyelesaikan tugas karena melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan; melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan dari pada tugas yang dikerjakan.
Tabiat malas adalah awal dari kebiasaan menunda pekerjaan, jika hal ini tetap dipelihara maka pekerjaan yang seharusnya dikerjakan akan menumpuk dan tidak terselesaikan. Katanya, orang yang suka menunda pekerjaan tidak punya daftar prioritas pekerjaan, sehingga tidak tahu atau bingung mana yang harus diselesaikan lebih dulu. Jadinya, tidak cepat merespon tugasnya.
Pekerjaan yang menumpuk atau overload dan sibuk, kadang menyebabkan seseorang bingung harus menyelesaikan tugas mana lebih dulu, sehingga memilih menundanya. Kenyataan lainnya, orang menunda pekerjaan karena mengentengkan tugas yang dibebankan kepadanya. Secara personal, ada beberapa faktor penyebab seseorang menjadi prokrastinator, diantaranya keyakinan yang salah, takut gagal, dan perfeksionis.
Aku ngerasa gak bisa mengerjakan sesuatu jika tidak mendapat tekanan, dalam hal  ini deadline, jadinya gak aneh kalau pekerjaan sementara dibiarkan di atas meja. Kadang, karena takut hasil yang dibuat tidak bagus atau menuntut produk akhir yang terbaik, dan gak menyukai pekerjaan yang diterimanya, seseorang memilih menghindarinya. Satu lagi adalah kebiasaan terburu-buru, yang membuat seorang prokrastinator suka mengalihkan fokusnya pada hal lain yang lebih menyenangkan dirinya atau disukai.
Faktor eksternal, dari luar diri kita, kadang juga memicu seseorang memilih menunda pekerjaanya. Seperti ada masalah lain yang tiba-tiba muncul, cuaca buruk, acara hiburan yang menarik yang ditayangkan di media televisi, bioskop, dan pertunjukan out door. Lemahnya pengawasan dan gak ada hukuman dari pihak yang lebih tinggi statusnya, juga menjadikan kita tidak segera mengerjakan tugasnya.
Motivasi yang rendah didukung oleh lingkungan (fisik dan sosial) yang tidak kondusif, akan membuat seseorang tetap bertahan pada kebiasaannya menunda pekerjaan. Padahal, dengan menunda pekerjaan, banyak hal penting, kesempatan atau keuntungan yang terpaksa kita lewatkan. Misalnya, karena gak segera mengerjakan PR, terpaksa deh begadang semalaman, terus besok paginya bangun kesiangan, telat masuk ke kampus, dan seterusnya.
Nah, kalau kita mau mengubah kebiasaan jelek ini bisa gak ya? Hehehe.., pasti bisa lah. Tapi yang jelas butuh pengorbanan dan kudu telaten alias sabar. Mulai dari yang paling gampang, yakni bikin daftar pekerjaan yang harus diselesaikan. Setiap ada pekerjaan, segera tulis dalam daftar, sertakan pula kapan pekerjaan itu harus diselesaikan atau dikumpulkan. Kalau perlu, masukkan pula target dari pekerjaan itu dalam daftar. Misalnya, tugas makalah komunikasi marketing à dikumpulkan seminggu lagi à target nilai A.
Karena kita sudah menentukan target waktu, maka sebaiknya kita bisa memanajemen waktu yang tersedia dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Selanjutnya, buat komitmen pada diri sendiri bahwa kita harus menyelesaikan pekerjaan itu tepat waktu, jika mungkin malah sebelum waktunya habis. Jika tugas yang kita dapatkan itu hal yang tidak disukai, jangan anggap sebagai beban, tapi harus dipahami sebagai tanggung jawab. Malah, kalau bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan agar terasa lebih ringan dan mudah.
Gak jarang, kita malah mengentengkan pekerjaan yang itu dengan dalih bahwa kerjaan itu sudah biasa melakukan, tidak susah, tahu cara cepatnya, atau waktunya masih lama. Oleh karena itu, yakinkan diri segera mengerjakannya karena ada kemungkinan muncul pekerjaan-pekerjaan lain yang bebannya atau tingkatnya lebih sulit.

-yudathant- 

Minggu, 14 April 2013

Haus itu Awal Dehidrasi

   Di kelas Gizi seminggu lalu, Ibu Ike, dosen terbang dari ITB, membahas mengenai kecukupan gizi dan cara mengukur asupan gizi yang kita konsumsi. Salah satu dari sumber gizi yang sering dilupakan adalah air. Sebab, umumnya sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita hanya dikenalkan dengan lima sumber gizi yang pokok, yakni karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Air sering dilupakan. Padahal, sering dibilang, "jangan lupa minum susu, supaya makanan kita itu selalu empat sehat lima sempurna." 

   Ibu Ike mengatakan, air adalah sumber gizi paling dasar yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Oleh karena itu, dalam piraminda makanan pokok, air berada di posisi paling dasar. Itu wajar saja, karena diperkirakan 60 persen tubuh kita terdiri dari cairan, dan semua organ tubuh kita bergantung pada air. Seperti contoh untuk mengedarkan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh, atau sebagai alat transportasi, juga untuk melembabkan tubuh kita. 

   Makanya, tidak heran jika saat tubuh kekurangan cairan, kita akan merasa kehausana. Malah, jika sudah sangat kekurangan air, maka bakal terjadi dehidrasi, atau tubuh tidak dapat menjalankan fungsinya dengan normal karena kehilangan banyak cairan. "Jadi, kalau kamu Anda haus, itu berarti tanda-tanda tubuh Anda mengalami dehidrasi ringan," ujarnya mengingatkan. 

   Wajarlah setiap hari kita butuh "suntikan" cairan, karena air yang kita minum secara otomatis akan disekresikan tubuh melalui keringat, urine, sampai air mata dan ingus yang meleleh dari hidung mancung kita. (maaf, yang merasa pesek, gak usah tersinggung ya, hehehe..). Sehingga, saban hari kita tidak boleh kekurangan cairan, paling tidak kita harus minum minimal delapan gelas. Itu setara dengan 2 liter air. Ohya.., kalo soal 8 gelas per hari minum air putih, aku jadi ingat sewaktu pelajaran pendidikan kesehatan dan jasmani di masa SMP. Waktu itu, guru memberi kami kuis mendadak dengan model siapa yang bisa langsung tunjuk jari untuk menjawab. 

   Salah satu pertanyannya adalah, berapa banyak air minum yang harus dikonsumsi manusia setiap harinya. Nah, dengan sangat percaya diri aku pun tunjuk jari. "Ya berapa?" tanya bu guru. "delapan liter bu..," jawabku dengan yakin. "hahahaahahah....," sontak beberapa teman pun tertawa. Tak sampai 10 detik, temaku yg lain menjawab "delapan gelas bu," dan ibu guru yang berdiri anggun di depan kelas itu pun membenarkan, "ya betul." Malu campur merasa bego ajah sih setelah kejadian itu, hehehehe... Ingat, 8 gelas, bukan 8 liter. Ntar bakal jadi galon berjalan dong kalo minum 8 liter per hari, wekekekek... #tahanmalu.com 

   Angka 8 gelas (2 liter) air itu muncul berdasarkan perkiraan rata-rata buangan urine orang dewasa sekitar 1,5 liter per hari. Jumlah itu belum termasuk keringat dan air mata. Kebutuhan ini tiap orang pastinya tidak sama, bergantung usia, jenis kelamin, dan aktivitas. Kondisi lingkungan dan kondisi tubuh yang sakit juga membutuhkan air yang berbeda volumenya. Makanya, tidak heran kan kalau kita sakit demam harus banyak minum air putih, itu karena salah satu fungsinya adalah mengontrol suhu tubuh. Untuk ibu yang hamil dan menyusui juga butuh mengonsumsi air yang lebih banyak dari biasanya. Oleh karena itu, agar lebih mudah, Institute of Medicine menganjurkan agar laki-laki dewasa mengonsumsi 13 gelas dan perempuan minum 9 gelas air minum. 

   Supaya lebih akurat, kita sebenarnya bisa menghitung sendiri berapa kebutuhan air dalam tubuh tiap harinya. Ibu Ike menjelaskan, caranya dengan menghitung lebih dulu angka kebutuhan energi (AKE) harian. Patokannya, 1 kilo kalori = 1 mililiter. Jadi, bila kebutuhan energi kita sehari-hari adalah 2.250 kilo kalori, itu berarti kebutuhan air kita adalah 2,25 liter. Namun, dalam kondisi tidak normal, misalnya asupan gizi kita tidak berimbang, maka kebutuhan air kita akan lebih banyak 500-1.000 mili liter. Pemenuhan kebutuhan air ini tidak melulu hanya dari air putih. Sebab, cairan juga bisa diperoleh dari buah-buahan, sayuran, atau minuman lain, seperti es kelapa muda, es jeruk nipis, jus buah, atau minuman kaleng. Jadi, dikira-kira aja sendiri, kebutuhan dan asupan cairan yang kita konsumsi.

    Di samping kiri ini ada tabel tentang kebutuhan air pada tubuh berdasarkan berat badan, yang diambil dari fullspike.com. Berat badan dalam tabel memakai satuan pound (lbs), untuk tahu satuan kg ditinggal kalikan aja dengan 0,45. Misal, untuk berat 160 lbs itu setara dengan 72 kg, atau untuk 200 lbs setara dengan 90 kg, dan seterusnya. Makanya, untuk yang beratnya sekitar 70-75 kg paling tidak harus minum 8 gelas air minum, sedangkan yang beratnya 80-90 kg, kebutuhan air minumnya sampai 9-10 gelas per hari. 

Menghaluskan kulit 

   Apa sih manfaat sebenarnya air, bagi tubuh kita itu. "Aku gak suka minum soda om," kata keponakan aku yang sudah beranjak gadis. "Aku mau terapi air putih, biar kulitnya mulus," tambah Lia menjelaskan. Hmm, kok bisa air putih bikin kulit mulus? 

   Secara basic, air berfungsi untuk melembabkan tubuh, sehingga kulit terasa lebih halus dan tidak kering. Katanya, minum banyak air juga mampu menekan nafsu makan, sehingga rasa lapar bisa ditahan. Tapi, gak gitu juga kali, terus kita gak makan sama sekali. Kita kudu tetap makan seimbang, sesuai kebutuhan gizi yang ideal. 

   Selain itu, air yang cukup ternyata membantu kerja ginjal untuk membuang atau menetralkan racun dalam tubuh, dan membuang kotoran sisa pencernaan dari dalam tubuh, sehingga penyakit sembelit (konstipasi) pun bisa dicegah. Air juga menjaga membrane mukosa tetap lembab, melumasi sendi, membantu pencernaan, dan menjaga kekentalan darah. Konsumsi air yang cukup akan memudahkan kerja ginjal, sehingga potensi penyakit batu ginjal bisa dicegah. 

   Air putih ternyata bisa juga menenangkan jiwa yang sedang shock, sebab air sebagai alat transportasi juga mengalirkan protein dan enzim-emzim sampai ke otak. Oleh sebab itu, saat shock, kaget, dan bingung, air putih dapat menenangkan kondisi jiwa tersebut, karena pikiran menjadi lebih rileks. 
   Bicara soal air minum, kita perlu tetap cermat memilih air yang kita konsumsi. Jangan asal 8-9 liter, upsss..., 8-9 gelas per hari. Tapi harus pula yang memenuhi standar kesehatan. Apa dong standar kualitasnya? Gampang saja, yang jelas tidak berwarna, jernih, tidak berbau, tidak mengandung bakteri, dan tidak mengandung zat mineral organik yang mengganggu tubuh. Intinya, air minum harus memenuhi syarat fisiki, kimia, mikrobiologis, dan radioaktif (pasal 3, Permenkes 492/2010 tentang persyaratan kualitas air minum). 

   Namun, ada ukuran batas ambang zat mineral yang masih diper bolehkan pada air yang kita konsumsi. Seperti kadar klorin yang ditoleransi adalah kurang dari 4 mg/liter atau kadar besi (fe) yang batas ambangnya 0,3 mg/liter. Tapi jika berlebih, berarti air itu tidak layak minum. Nah..., hari ini sudah berapa gelas air putih yang Anda minum? 

- yuda thant -


Minggu, 07 April 2013

Siapa Bilang Aku Nggak Cantik?


Aku kan gak cantik kayak Kakak.., gak bisa pose kayak Kakak..,” keluh Diyan, saat beberapa kali gagal mengekspresikan diri dalam tiap jepretan foto. “Sudah deh, fotonya tanpa aku aja...,” rengeknya lagi. Tak mau melihat Diyan murung, sahabat-sahabatnya pun segera menghibur dan memberikan saran.
Sudah nggak apa-apa. Santai aja. Coba rileks, terus gaya yang senatural mungkin. Coba ekspresinya di mata itu ditambah lagi. Kamu pasti bisa kok..,” ujar Nana dan Fika memberi dukungan kepadanya. “Oke, sekarang kita coba lagi yah,” tambah Nana.

Voila.., semua pun terlihat cantik. Cantik dengan ragamnya masing-masing.

 Bicara tentang kecantikan tidak akan ada habisnya. Seperti mengurai sebuah air hingga tetes terakhirnya. Kecantikan itu tidak mutlak, dinamis, dan sebuah komoditas. Setiap orang, komunitas, daerah, dan negara, punya konsep dan sudut pandang yang beragam tentang kecantikan. Cantik bagi saya, belum tentu cantik bagi Anda. Begitu pula cantik menurut Diyan, tidak akan sama cantik menurut Fika ataupun Nana. Oleh karena itu, definisi cantik pun akan beragam hasilnya.
Perempuan cantik itu yang punya (bentuk) mata indah,” ujar ku. “Gak lah. Wanita cantik itu yang punya tubuh seksi,” kata Kris. “Kalau aku sih yang punya kulit mulus dan wajah yang ayu,” ujar yang lainnya. “Aku apa yah? Oh ya, cewek cantik itu yang punya bulu mata lentik,” tambah Arya, mencoba mencari konsep perempuan cantik ketika melihat perempuan. 

Universal
Ada gak sih definisi cantik secara universal? Aku rasa tidak ada. Sebab, cantik dan kecantikan itu sendiri sudah universal. Konsep kecantikan tidak mutlak. Setiap komunitas, daerah dan negara memiliki punya pengertian cantik sendiri-sendiri. Oleh karena itu, segenap cara diupayakan untuk mendapatkan makna canti itu.
Di suku Padaung, Myanmar, konsep cantik bagi perempuan adalah yang memiliki leher jenjang (panjang). Makanya, sejak usia enam tahun leher mereka dililit dengan gelang besi oleh seorang dukun adat. Makin bertambah umur, gelang yang dililitkan makin banyak. Sementara di Mauritania, Afrika, konsep cantik bagi perempuan adalah memiliki tubuh yang montok, sebab dianggap lambang kesuburan dan kemakmuran. Oleh karena itu, agar terlihat gemuk, sejak kecil anak-anak gadis di sana diwajibkan mengonsumsi susu kambing dan makan makanan berlemak. Di belahan negara lain, cantik itu punya cuping telinga yang panjang, atau punya hidung yg mungil, atau mata yang lebar (tidak sipit), atau malah memilii kaki yang kecil, seperti yang berlaku di China pada masa kekaisaran.  
Cantik itu dinamis, selalu berkembang dari zaman ke zaman. Masanya Monalissa dan Lady Gaga, konsep cantik itu ditafsirkan sangat berbeda. Demikian pula zaman Titik Puspa dibanding Agnes Monica, konsep cantiknya juga beda. Dulu, perempuan di Jawa yang memiliki tubuh sintal (berisi/tidak terlalu gemuk) berkulit sawo matang dianggap perempuan yang cantik. Sekarang, perempuan cantik adalah yang tubuhnya kurus dan berkulit putih yang dinilai cantik. Hal yang sama juga berlaku di Amerika. Kemunculan boneka Berbie, dan penyebarannya yang melesat, membuat konsep cantik adalah seperti sosok boneka itu, yang kurus langsing, tinggi, rambut panjang (pirang), dada dan pantat montok.

Cantik itu fashion. Kecantikan bergantung pakaian, aksesoris, hingga kosmetik yang dikenakan oleh seorang perempuan. Dulu, wanita Jawa berbaju kebaya, perempuan Jepang yang berbaju kimono, atau wanita suku priitif beranting-anting besi yang banyak itu disebut cantik. Namun kini, perempuan cantik identik dengan perempuan yang mengenakan baju merek keluaran desainer ternama, model dan warna baju saling bertabakan, sepatu dengan hak yang bikit tumit kesakitan, aksesoris tas seharga jutaan, atau kosmetik impor yang anti luntur.
Jika demikian, cantik boleh dong disebut sebuah komoditas. Komoditas yang tak akan pernah ada matinya. Sebuah bahan “jualan” yang selalu memberi nilai untung, bagi yang memakainya, terlebih bagi yang menjualnya. Sebuah komoditas dengan pasar yang tak pernah mati. Malah mungkin menjadi kebutuhan pokok setelah nasi dan mandi. Tidak heran, jika salah satu iklan yang memadati layar TV adalah iklan untuk mempercantik perempuan (untuk laki-laki sekrang juga makin banyak produk yang diiklankan).
Tindakan ekstrem, seperti sedot lemak, pasang kawat gigi, operasi plastik hidung, dagu, kelopak mata, pasang silikon, dan suntik obat khusus agar kulit menjadi putih, rela dilakukan oleh kaum hawa. Tentu saja, semua praktik itu biayanya tidak murah. Maka, tak salah jika ada yang dengan sedikit kasar mengatakan bahwa cantik adalah kapitalis. Sebab, untuk terihat cantik seorang harus berduit, bermodal, dan kalau perlu sedikit pandai berbohong. Membohongi suami kalau uang belanja sudah habis, padahal duitnya ludes  untuk beli baju, kosmetik, dan perawatan rambut juga kuku di salon. Cantik itu mahal.

Sehat itu cantik
Dalam kamus bahasa Inggris Oxford, kata cantik berasal dari bahasa Perancis tua, “beaute,” dan bahasa Latin “bellus.” Dalam pengertian tersebut, cantik adalah kombinasi bentuk, wujud, warna, dan lainnya yang terkait dengan unsur estetika. Oleh sebab itu, cantik bergantung sudut pandang tiap orang yang melihatnya. Tidak ada cantik yang sama pada setiap orang. Jadi, untuk apa melihat kecantikan diri sendiri dengan bercermin pada orang lain. Anda dan dia tidak akan pernah sama cantiknya.
Dia mungkin lebih bagus bentuk matanya, tapi bentuk bibir Anda mungkin saja lebih sensual. Menurut dua pemikir teori konstruksi sosial, Micahel Foucault dan Erving Goffman, kecantikan itu dibentuk dan dikendalikan oleh masyarakat  dan struktur sosial. Maka, akan berubah seiring dengan ruang dan waktu. Akibatnya, perilaku perempuan pun dari masa ke masa terus berubah dalam hal mempercantik dirinya. Dulu, perempuan sibuk memadatkan tubuhnya agar tampak montok nan seksi. Tapi sekarang, malah mati-matian menguruskan badan agar terlihat memesona di mata pria.

Memang benar cantik itu tidak murah, tapi cantik itu mudah kok. Hal yang paling mudah untuk tampil menjadi cantik adalah dengan dengan menjadi sehat. Saat tubuh Anda sehat, spontan Anda akan merasa sebagai perempuan yang paling cantik di dunia ini. Sehat yang dimaksud ini bukan cuman sehat fisik, tapi juga sehat jiwa dan mental. Sehat lahiriah dan batiniah. Seperti yang sudah banyak dibilang orang, salah satu tips untuk cantik adalah dengan mengonsumsi air putih yang seimbang, buah dan sayuran, juga cukup olah raga dan istirahat. Sisanya, coba mulai kendalikan emosi dan selalu berpikir positif agar terhindar dari stress dan keresahan tingkat akut. Coba secara bertahap, tidak usah terlalu terburu-buru supaya hasil cantik yang Anda peroleh lebih datah lama.
Hhmmmm..., edisi kali ini memang sedikit serius ngobrolnya,  maklum yang dibahas soal perempuan cantik, jadi harus fokus, hehehe... Anyway, menjadi cantik memang hasrat semua perempuan. Tapi, banyak yang ragu bahwa di dalam dirinya sudah tersimpan kecantikan yang tidak dia lihat dengan cermat dan sungguh-sungguh. Lagi-lagi, mereka selalu berkaca pada kecantikan perempuan lain, dan selalu lupa bahwa dirinya juga cantik. Cantik budinya, cantik sikapnya, cantik otaknya, cantik jiwanya, dan cantik parasnya. Percaya dirilah..!, bahwa Anda itu cantik kok. Jadi, siapa yang bilang Anda tidak cantik?

Ok, siap..., satu... dua... tiga... “jepreet.., jepreett..” kamera pun beraksi kembali

-yuda thant-


Senin, 18 Februari 2013

Erie, Ibu Hamil juga Butuh Yodium Lho

"Kapan perkiraan lahirnya Er?" aku bertanya kepada Erie, istri sahabatku. "Perkiraannya akhir Maret," jawabnya. "Lalu sudah ada nama buat si calon baby belum?" tanya ku lagi. "Hehe.., belum. Tapi, sudah ada sih," timpalnya dengan sedikit ragu. 

Obrolan ringan itu meluncur saat kami bertemu dalam pesta pernikahan salah satu sahabat kami, Sabtu (16/2/13) malam lalu. Dengan busana warna pink-nya, Erie terlihat seperti seorang ibu yang dengan sabar menanti kehadiran buah hatinya ke dunia. "Baby Luth @ 33 weeks" begitu tulisnya pada status wazap. Ohya, Luth adalah nama suaminya, teman satu genk dulu jaman SMA. 

Ada yang pernah bilang kepadaku, seorang ibu hamil akan terlihat lebih cantik dari biasanya. Benar gak sih? Tapi yang jelas, menurutku, ibu hamil adalah seorang pejuang yang sedang mempertaruhkan nyawa dia dalam sebuah garis kehidupan. Mengapa? karena risiko kematian yang ada dihadapannya sangatlah besar. Salah satunya adalah kematian akibat pendarahan yang dipicu oleh anemia atau keguguran akibat kekurangan zat yodium. 

Ngomongin soal zat yodium, yang biasa kita peroleh dari garam, memang sepele. Tapi jika kekurang zat gizi ini, bisa berakibat buruk bagi ibu yang sedang hamil atupun menyusui. Efeknya bukan saja kepada si ibu, tapi juga kepada si jabang bayi yang dikandungnya. Selain penyakit gondok, kekurangan yodium pada ibu hamil akan memunculkan risiko keguguran hingga tumbuhnya sel kanker. Sementara janin yang dikandungnya bisa lahir mati, keterbelakangan mental, dan gangguan psikomotor. 

Akibat si ibu kekurangan asupan yodium, dampaknya pada janin yang terparah adalah kematian pada bayi atau cacat bawaan karena pertumbuhan janin dipengaruhi jumlah/kadar yodium dalam tubuh ibu. Kekurangan yodium sangat memengaruhi tumbuh dan kembang anak selanjutnya, terutama otak janin, tak jarang bayi lahir dengan berat badan rendah atau BBLR. 

Semua gangguan kesehatan atau penyakit yang disebutkan di atas termasuk GAKY, gangguan akibat kekurangan yodium. Boleh dibilang, GAKY adalah masalah serius di Indonesia, karena hal ini terkait dengan kualitas sumber daya manusia Indoneisa masa depan. Sebab, dampak GAKY adalah munculnya keterbelakangan mental dan menurunnya kecerdasan anak. Jika dibiarkan, besar kemungkinan kualitas manusia Indonesia akan jauh tertinggal dengan negara-negara tetangganya. Penduduk yang tinggal di daerah rawan GAKY kehilangan IQ sebesar 13,5 poin lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang cukup pasokan yodium.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995, satu dari tiga ibu hamil berisiko kekurangan yodium. Angka itu terkoneksi dengan realita kematian ibu dan bayi di Indonesia. Sampai tahun 2010, angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan kematian bayi masih 25 per 1.000 bayi lahir hidup. Angkanya jauh di atas pencapaian negara tetangga, seperti di Malaysia, AKI hanya 29 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB hanya 6 per 1.000 bayi lahir hidup. Demikian pula di Thailand dengan pencapaian AKI 48 per 100.000 lahir hidup dan AKB 11 per 1.000 bayi lahir hidup.  

Kebutuhan yodium tiap manusia berbeda-beda, bergantung usia, tempat tinggal (domisili), dan siklus hidup manusia yang bersangkutan. Menurut Hetzel (1989), kebutuhan normal yodium intake harian orang dewasa adalah sekitar 100-150 mikrogram. Di Indonesia, untuk bayi (0-12 bulan) kecukupan yodium yang dianjurkan 50 mikrogram/hari, anak-anak (2-6 tahun) kebutuhannya 90 mikrogram/hari, sedangkan anak usia sekolah (7-12 tahun) dianjurkan 120 mikrogram/hari. Adapun orang dewasa normal, (di atas 12 tahun) kebutuhannya 150 mikrogram/hari. 

Sementara bagi ibu hamil dan ibu menyusui, masing-masing harus tercukupi asupan yodium sebanyak 175 mikrogram/hari dan 200 mikrogram/hari. Orang yang mengonsumsi kurang dari 50 mikrogram/hari berarti berisiko untuk berkembang menjadi goiter (pembesaran kelenjar tiroid). Tambahan yodium pada ibu hamil sebagian dipakai untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid dan sebagian lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya perkembangan otak janin. 

Ternyata, asupan garam, terutama yang bertodium, itu penting bagi ibu hamil. Mulai dari trimester pertama sampai yang ketiga. Seringnya, ibu-ibu takut makan garam saat hamil, karena khawatir garam bisa memicu darah tinggi atau pre-eklamsia. Sebenarnya gak ada yang perlu ditakutkan atau diresahkan asal saat mengonsumsi garam maupun zat gizi lainnya dilakukan dengan seimbang dan tidak berlebihan alias lebay. 

Jadi rie, garam itu penting juga lho buat kamu maupun buat baby kamu. Terutama untuk pertumbuhan dan perkembangan otak juga psikomotor si baby. Nah, kalo gak punya riwayat darah tinggi, jangan khawatir deh mengonsumsi garam. Tapi ingat lho, yang beryodium. Karena zat yodium yang kamu butuhin. 
 
-yuda thant-

Rabu, 06 Februari 2013

Drop Shoot


Handuk sudah nangkring di pundak. Sudah 30 menit mungkin. Kadang berganti tempat. Di pundak kiri, lalu kanan, atau melingkar di kedua pundak, juga kadang di atas kepala. Sudah bosan mungkin handuk yang warnanya sudah pudar ini menunggu untuk digunakan. Digunakan mengelap tiap tetes air yang akan membanjiri tubuhku selepas mandi. Tapi tunggu dulu. Aku masih asyik di depan laptopku, lagi masyuk menulis. Jadi jangan suruh aku mandi. Nanti dulu. 

Kali ini bukan mau ngomongin soal badminton atau olah raga yang "menggampar" bulu-bulu angsa, meski judul yang aku pasang itu drop shoot. Aku cuma mau mengambil kata drop doang dari frase itu. Yah, drop, alias terjatuh. Tapi sumpah! kali ini juga bukan soal tulisan cinta-cinta-an kok. Sudah bosan nulisnya, dan sudah ada yang request kalau sekali-sekali nulis tema yang bukan love story or something about it, hehehe... :p

Drop yang aku maksud itu soal kesehatan. Pengalaman ini baru saja terjadi seminggu lalu, tepatnya di hari-hari terahir ujian akhir semester (UAS). Pada dua ujian terakhir, badan mulai meriang. Materi ujian menumpuk, tugas-tugas tambahan maupun pengganti ujian masih ada 3 yang belum dikerjain. Semua tugas death line-nya berdekatan, dalam satu minggu. Otak yang satu mikirin ujian, salah satunya ujian statistik, otak yang satu lagi mikirin tugas. Semua harus perfect dan kalau bisa hasilnya sempurna. (Meski aku tahu, sempurna itu milik-nya bunda Dorce ama Andra and the Backbone, oh ya, Gita Gutawa juga ikutan).
Selama jadi pegawai, belum pernah sakit akibat stress, nah pas jadi mahasiswa lagi baru ngerasain sakit gara-gara stress. Lha kok bisa? Gak tahu lah, namanya mungkin nervous, bersaing dengan teman-teman sekelas, ngapalin materi, juga cari bahan buat paper/makalah. Maka, terjadilah. Penyakit yang tersimpan rapi itu muncul. Malaria-ku kumat. 

Setahun lalu aku terpapar Malaria, di Papua. Konon, nyamuk malaria yang menggigit atau plasmodium malaria yang terjangkit di tubuh adalah tertiana. Malaria jenis ini membuat tubuh kehilangan energi dan panas dingin, sehingga tubuh malas beraktivitas. Untungnya (masih tertanam budaya orang Jawa, yang selalu bilang "untungnya") bukan tipe yang lain yang menyerang ke otak. Penyakit ini bereaksi pada jam-jam tertentu. 

Saat pagi, badan terasa fit, tapi menjelang siang sampai malam, tubuh ini menggigil. Badan terasa kedinginan, tapi suhu badan meninggi. Kepala pusingnya minta ampun. Dipakai berpikir sedikit langsung "teeenggg..." Terpaksa, dua tablet klorokuin yang pahit jadi harapan terakhir, karena obat sakit kepala dan suplemen vitamin C sudah gak mempan. Oh ya, klorokuin itu sejenis obat malaria yang dijual bebas di apotik. Dan hasilnya manjur. Sehari setelah minum klorikuin, badan mulai enak-an, sudah mulai bisa buat mikir ngerjain tugas. Batas kumpulin tugas tinggal 3 hari lagi, dan masih dua yang belum disentuh sama sekali. Ampun deh, lagi-lagi SKS. 

Nukilan ceritaku sih sebenernya bisa terjadi sama siapa saja, dalam kondisi yang berbeda dan tekanan yang berbeda pula. Dan mungkin saja malah lebih parah. Stress memang biang kerok. Dia itu pemicu segala penyakit yang sudah bersarang di tubuh kita. Semakin kita strees atau malah depresi, semakin cepat penyakit itu terbangun dari kuburnya. Tapi, semakin kita terampil mengelola dan mengendalikan stress dan segala tekanan (hidup, pekerjaan, atau kuliahan), makin kecil kemungkinan "momok" itu nongol. 

Lalu gimana supaya gak stress cak-bro? (berhubung ane tinggal di Surabaya, jadi pake Cak Bro, karena Cak = Mas)

Gampang-gampang susah sih ngurus stress itu. Semuanya harus dimulai dari hati (ceileeeehhh.., pakai hati juga nih ujung-ujungnya). 

1. Sewaktu stress tiba-tiba menyerang, jangan panik terus loncat dari loteng. Tenangkan diri, lalu ambil napas panjang. Atur napas dengan tempo yang lebih lambat, mulai dari tarik napas, tahan, dan buang napas, semuanya dalam tempo yang slow-down. Malah kalau sempat, luangkan meditasi singkat sekitar 10-15 menit, untuk meredakan otot-otot yang menegang gara-gara stress. 

2. Kalau masih panik, coba cari bahan hiburan yang paling pas dan paling bisa buat kamu bahagia. Misal, dengenrin girls band atau boy band idola mu (hehehe..., itu kalo suka boy-girls-band lho), atau dengerin lagu-lagu rohani, atau malah dengerin lagu jazz atau dangdutan (kan sempet ngetrend tuh lagu nya Ayu Ting-Ting). Bisa juga nonton film, lihat foto-foto moment bahagia sama pacar, temen sekelas, sohib jaman SMA, atau sama ortu. Yang jelas, cari hiburan buat pengalihan. 

3. Terkait sama kerjaan dan tugas, ini butuh re-organizing. Maksud ane, lu cek lagi, jangan-jangan selama ini lu orangnya gak teratur dan berantakan, atau malah menggampangkan sesuatu, sehingga semua kerjaan ditumpuk di belakang. Jadinya kebingungan pas lagi dikejar tayang atau ditagih ama bos mana hasil kerjaannya. Makanya, ente-ente sekalian kudu bikin daftar "what to-do". Bisa aja dengan menempel post-it (kertas kuning kecil-kecil) di papan partisi kantor/ruang kerja, atau di tembok kamar.

4. Jeda alias break. Kadang-kadang, kalau lagi seneng-senengnya kerja atau adrenalin lagi memuncak, kita lupa sama yang namanya istirahat. Perlu diingat, tubuh kita ini bukan robot alias mesin. Mesin jahit ajah butuh berhenti sebentar sebelum dipake lagi, apalagi tubuh kita. Jadi, jangan segan-segan untuk istirahat sejenak, entah 20-30 menit buat nongkrong di WC, ngerumpi di balkon, atau lihat film-film di YouTube. Pokoknya, break for a minutes lah.
  
5. Katanya, banyak-banyak minum air putih biar bisa ngurangin stress. Ingat, yang diminum air putih atau air menirel, bukan air aki (meski bisa tambah tenaga) atau air kobokan (yang penuh zat-zat sisa), hehehe... Susu juga boleh kok, baik yang rasa coklat atau rasa apa ajah, karena susu itu mengandung protein yang bisa meningkatkan hormon peredam ketegangan. 

6. Tidur dan olahraga yang teratur dan cukup, terbukti ampuh untuk mengurangi stress. Sudah pada tahu kan kalau tidur yang dianjurkan itu 8 jam sehari, atau paling gak jangan kurang dari 5 jam lah. Apa lagi kalau sampai begadang saban hari, bakalan stress-nya numpuk deh. Dan yang penting (meski aku juga rada jarang melakukannya) adalah olah raga. Biarpun sekedar jalan kaki atau naik sepeda udah bisa disebut olah raga kok. Tapi biar afdal, olah raga beregu, seperti futsal, badminton, voli atau basket, itu lebih bagus lagi. 

7. Jadilah orang yang realistis. Nah, kalau yang ini nih agak susah cak-bro. Aku juga kesusahan kalau berurusan dengan yang satu ini, soalnya aku kan "pria pemimpi" hahahaha... Kadang, kita terlalu tinggi memasang target dengan dalih, setiap orang berhak bermimpi! Tapi, kadang realita gak seindah impian. Nah, pas kita sadar, kita gak kuat untuk menghadapinya. So, jangan mimpi terlalu tinggi cing..!!!! 

Weleh-weleh, udah sejam lebih aku nulis. Handuk sudah entah kemana. Batere laptop juga sudah mau drop. Ini gejala kalau aku harus menyudahi dan segera mandi. Well, semoga yang aku obrolin malam ini ada manfaat-nya buat kita semua. And, jangan sampai (amit-amit) aku kena serangan stress lagi. Yowis, aku mandi dulu, semoga handuk ini tidak basah oleh keringat karena menggantung sejam lebih di pundakku yang dekil, hehehehe...

-yuda thant-