Sabtu, 18 November 2017

Tujuh ke Tiga


Akhir November ini, kontrak bekerjaku berakhir. Selembar surat legalitas yang mengikat aku dengan kantor ini pun sampai di ujung perjalanan. Tak ada lagi surat yang berisi klausa-klausa “abu-abu” yang menuntut aku bekerja penuh pengabdian. Tiga tahun. Apakah ini sudah cukup? Atau aku masih ingin bertahan lagi di kontrak yang rapuh itu?  

Keputusan aku untuk mengakhiri “kisah romantis” dengan kantor ini mungkin sedikit nekad. Tanpa memiliki pijakan yang baru dan kondisi badan yang masih ringkih, aku memutuskan untuk berhenti. Aku sudah lelah bekerja dengan tidak profesional. Aku mau lebih dihargai secara profesional dan “serius” sebab aku kerja penuh semangat dan tekad.  

Itu kan hanya kontrak. Tapi di sini, kamu harus mengerjakan semuanya. Tidak hanya pada satu klien saja,” begitu ujar pihak manajemen.  

Hal inilah yang membuat aku harus memutuskan berhenti mengabdi. Usulanku untuk mengubah isi kontrak tidak disetujui. Bahkan, untuk menambah masa kerja hingga enam bulan, hingga projek yang aku kerjakan sampai di titik teraman pun ditolak. Aku hanya diberi waktu tiga bulan. “Oke pak jika maunya demikian,” ujar aku. Dengan begitu, aku hanya diberi kesempatan bekerja ekstra dari September sampai November.  

Dibandingkan dengan masa kerja sebelumnya, periode kerja kali ini lebih pendek, hanya tiga tahun. Padahal, di kantor lama, aku mampu bertahan dan mengabdi sampai tujuh tahun.  

Meski hanya tiga tahun, pencapaian yang aku dapatkan cukup besar. Cita-cita menberikan perubahan secara langsung kepada orang lain, pun terwujud. Aku masih ingat pertanyaan salah satu “pioneer” di kantor ini yang mewawancarai aku sebelum akhirnya menerimaku bekerja. “Kamu pilih mana, ingin menjadi akademisi atau praktisi? Jika akademisi, mungkin dosen adalah jawaban yang tepat. Namun, jika praktisi, di sini mungkin jawabannya,” ujar dia meyakinkan. Dan itu ternyata benar.  

Terlebih lagi, aku mendapat kesempatan belajar banyak hal yang selama ini menjadi keinginan yang terpendam dalam diriku. Bahkan, seorang guru dan mentor menjadi teladan selama aku bekerja. Dia menularkan semua yang dia ketahui, dan aku menyerap semua yang dia curahkan. Bagai bambu, aku diasah menjadi lebih runcing untuk menjadi senjata perang yang sederhana namun mematikan.  

Waktu berjalan, atau mungkin berlari, begitu cepat. Tiga tahun tidak terasa. Tujuh tahun saja tidak, apalagi tiga. Tiba-tiba aku kembali dihadapkan di meja pencari kerja.  

Kemana lagi perjalanan ku akan berlanjut?


Ini belum berakhir!
@yudathant

Kamis, 17 Agustus 2017

Merdekalah Cita-cita!

Langit masih gelap saat pagar rumah aku rapatkan. Satu dua bintang masih bersinar di sudut-sudut langit kala aku meninggalkan komplek perumahan. Dingin pagi menyambut saat motor mulai aku pacu dengan kecepatan 70 km/jam dari Jakarta Barat menuju Jakarta Timur, Pulogadung. 

Pukul 05.15, aku sudah berada di tengah jalan ibu kota. Biasanya, jam segini aku masih meringkuk di balik selimut. Namun, pagi ini, dalam waktu satu jam aku harus tiba di sekolah yang berada di belakang Terminal Pulogadung. Kupacu lebih cepat lagi motorku, beradu cepat dengan pekerja-pekerja lain yang sudah mengawali harinya mungkin lebih dini ketimbang aku. 

"Kalian di mana? Aku sudah di dekat sekolah. Tempat parkir motor di mana ya?" pesan singkat aku ketik dan kirim di grup Kelas Inspirasi Jakarta 29. Dalam sepuluh detik tak ada jawaban, aku pun bawa motor ini masuk ke gang-gang kecil menuju sekolah SDN Pulogadung 01 Pagi. 

Puluhan anak berbaju pramuka tampak sudah memenuhi sekolahnya. Orang tua sibuk mengantar anak-anaknya dari balik pagar dan tembok sekolah. Suara teriak dan tawa anak-anak bergemuruh di semua sudut sekolah. Para guru pun berlalu lalang menyiapkan lapangan yang akan digunakan upacara. 

"Yang lain mana mbak?" tanya aku kepada Mbak Yanti, fasilitator KIJ-29. "Sebentar lagi sampai, masih dalam perjalanan. Ayo masuk aja ke ruang guru, kita bertemu dengan kepala sekolahnya," ajak Mbak Yanti. 

Satu per satu teman-teman inspirator pun berdatangan. Wajah mereka ceria dan bersemangat. Mereka masing-masing datang membawa bekal media peraga untuk memberikan inspirasi kepada siswa-siswi sekolah ini. Gulungan karton warna-warni, tas berisi alat-alat farmasi, laptop, proyektor dan alat peraga pun disiapkan. Semua sudah siap tempur. 

Sebenarnya mau apa kami di sini? Pagi-pagi sudah sibuk di sekolah. Sibuk membawa alat media peraga. Sibuk berlatih gerakan dan tepuk-tepuk yang beragam. Sibuk mendiskusikan skenario saat ada di kelas. 

Kami adalah bagian dari Kelas Inspirasi Jakarta, sebuah gerakan dan komunitas sukarela yang dibentuk untuk menumbuhkan semangat dan cita-cita anak-anak Indonesia. Membangun mimpi dan harapan bahwa anak-anak Indonesia punya masa depan yang cerah, secerah apa yang kami mampu capai dalam berkarya dan bekerja di bidangnya masing-masing. Di Jakarta, tahun ini, ada sekitar 40 kelompok yang terjun ke sekolah-sekolah di hari yang sama ini, Senin, 14 Agustus 2017. 


Kami tak saling kenal. Kami pun tak saling tahu sebelumnya. Mungkin hanya 4-5 orang saja yang sudah saling mengenal sebelumnya melalui kegiatan yang serupa. Kami datang dari latar pekerjaan yang beragam. Mulai dari dokter, auditor, tenaga pemasaran, teknisi industri otomotif, pekerja media, pustakawan, apoteker, humas, bahkan terapis anak-anak berkebutuhan khusus. Kami masing-masing memiliki keunikan dan cerita yang bermacam-macam. 

Namun, kami berangkat dengan tujuan yang sama, yakni menginspirasi anak-anak bahwa mereka mampu menjadi seperti apa yang kami capai. Bahwa mereka bisa mengejar mimpi dan cita-citanya setinggi apa yang mereka mau. Meyakinkan bahwa masa depan mereka sebesar kami jika mereka mau bercita-cita dan bekerja keras menggapainya.  

Kami di sini hanya ingin mengajak mereka untuk merdeka memilih cita-cita. Memandu mereka merdeka memimpikan pekerjaan yang ingin dicapai. Menantang mereka merdeka menjawab masa depannya. sebab, mereka punya hak untuk merdeka menentukan masa depannya. Semerdeka mereka tertawa, berteriak, bernyanyi, melompat, dan bermain.  

Meski terlambat dari jadwal yang telah disusun, kami masuk ke kelas masing-masing sesuai rencana. "Nanti tidak ada kelas kedua. Setelah kelas pertama, siswa langsung pulang. Sebelum pulang, mereka di bawa ke pohon cita-cita menempelkan cita-citanya di sana," jelas Andika, ketua kelompok 29

Di kelas, pertunjukkan pun di mulai. Aku satu kelompok dengan Ve dan Pra. Kami mengenalkan kepada adik-adik di kelas bahwa kami bertiga adalah sahabat sewaktu di sekolah. Kami punya hobi dan pekerjaan yang berbeda-beda, tapi tetap saling berhubungan dan saling membutuhkan. 

Untuk mencairkan suasana, kami pun mengawali perkenalan dengan bermain "tupai pemburu." Keceriaan tersemburat di wajah anak-anak saat mereka harus berlari mencari pohon baru. Dan kami pun berkeringat juga ngos-ngosan. Tapi kami senang. Selanjutnya, satu per satu kami mengenalkan siapa dan apa pekerjaan kami sehari-hari. 

Sering kali, cukup sulit menjelaskan apa pekerjaan kami jika pekerjaan itu tidak familiar terdengar di telinga anak-anak. Umumnya, mereka hanya mengenal dokter, polisi, tentara, insinyur, guru, atau pemain bola. Tidak banyak yang tahu apa itu pekerjaan analis, auditor, terapis, IT security, koordinator program, konsultan, atau media planner. Alhasil, pelan-pelan kami mencoba menjelaskan apa yang kami kerjakan dengan cara sederhana dan memakai alat bantu. Untuk lebih mudah, kami pun bermain peran. Mengajak mereka berlaku seperti pekerjaan yang kami lakukan setiap hari. 


Keceriaan berlanjut hingga sore.  Kami bermain dan bergembira bersama anak-anak. Tawa dan canda pun menyeruak di tiap kelas. Kelakuan anak-anak yang lucu dan bahkan "ganjil" mewarnai pengalaman kami di kelas. Dari cerita teman-teman, ada yang mendapatkan ciuman hangat dari anak-anak, ada yang dipukul tangannya karena si anak memang suka memukul, ada yang harus dipeluk supaya diam dan mau duduk mendengarkan penjelasan, bahkan banyak yang menjadi idola baru siswi-siswi di sekolah tersebut. 


Banyak cerita di tiap kelas, sebelum akhirnya siswa-siswi itu menempelkan stiker bertuliskan mimpi dan cita-citanya di selembar spanduk bergambar balon udara yang kami sebut pohon cita-cita. "Aku mau jadi pemain bola seperti (Cristiano) Ronaldo," ujar seorang anak. "Kalau saya mau jadi pelukis, boleh kan kak?" tanya seorang anak lainnya. "Saya mau jadi insinyur. tulisan insinyur yang benar seperti apa kak?' tanya siswi penuh semangat. 

Silakan tuliskan cita-citamu adik-adikku. Tuliskan apa saja yang kamu suka, apa yang kamu inginkan. Satu, dua, atau tiga cita-cita, bebas, tulislah di kertas itu. Lalu terbangkan bersama balon udara. Terbang tinggi, setinggi mimpi dan cita-cita yang kau angankan. 


Jangan pernah takut bermimpi. 
Jangan pernah gentar bercita-cita. 
Jangan pernah ragu untuk mengerjanya. 
Jangan pernah lupa bahwa kau merdeka untuk bercita-cita. 

- @yudathant - 

Minggu, 18 Juni 2017

Meet the Merlion

Steps to Singapore streets was never bored me. My eyes spoiled with magnificent architecture, buildings, and trees. Old England building or classical Indian and Chinese architecture was side beside with new multilevel glass buildings. In the building, the keep the old and antique material sill function and intact. 









In Singapore, don't forget the trees. They stand firmly, big and tall, also green and lush. Shade the people who walks under it. The government pay a lot of attention to the plants and trees. They build gardens, care the trees (even the oldest trees), and keep it tidy and clean. Once again, walks on Singapore streets was amuse me. They make the streets and city running orderly. 

-- @yudathant-- 

Rabu, 03 Mei 2017

45 Jam Jakarta-Lampung-Jakarta

Aku menyeruput kopi sachet yang diseduh di gelas kecil. Terakhir kali sebelum kami benar-benar meninggalkan warung roti panggang yang menempel di pinggir kosan Enda dan Saiful. Malam sudah beralih ke dini hari, dan rintik air dari langit mulai menitik samar-samar. "Kita doa dulu ya sebelum jalan. Semoga kita selamat dalam perjalan pergi dan pulang," ujar Saiful.

Kemana sebenarnya kami akan pergi? Mengapa kami harus berangkat dini hari, pukul 01.00 WIB?


Ya, kami akan pergi ke Lampung. Menempuh 612 km - pergi pulang - dengan menaiki sepeda motor, dua hari dua malam. Melelahkan? Iya. Menantang? Tentu. Mengasyikkan? Sangat!


Kali ini kami pergi berdelapan, dengan empat sepeda motor. Aku membonceng Enda, Reza dengan Rina, Moemoe berduet dengan Fajri, dan Bang Saiful mengajak Altaf, anaknya. Etape pertama kami starts dari Kosambi (Jakarta Barat) ke Pelabuhan Merak, sekitar 125 kilometer jarak tempuhnya. Waktu yang dibutuhkan adalah 3,5 jam, itu sudah termasuk istirahat dan mengisi bensin di SPBU. Rutenya Jakarta - Tangerang - Balaraja - Cikande - Serang - Cilegon - Merak.


Kami harus berangkat selepas tengah malam karena kami ingin menikmati sunrise di atas kapal yang menyeberangkan kami dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakaheuni. Sesuai rencana, kami tiba di pelabuhan pukul 04.35 WIB. Pelabuhan terlihat ramai dengan mobil pribadi dan sepeda motor. Rupanya banyak juga rombongan touring yang terlihat sedang mengantre tiket di jalur gardu tiket khusus motor.



Tiap sepeda motor harus membayar Rp 45.000 (sudah termasuk pengendaranya) untuk menumpang kapal ferry. Sebelum membayar siapkan KTP yang nanti dicatat oleh petugas tiket. Sewaktu akan membayar empat motor sekaligus, petugas menolak. "Saya minta satu-satu saja mas bayarnya, jangan digabung, supaya tertib," ujar petugas tegas. Dan akhirnya, Enda pun membagikan uang Rp 50.000 ke tiap "pilot" untuk membayar sendiri tiket kapalnya.


Pukul 05.09 WIB kapal ferry yang sudah tua dan kurang perawatan ini pun melepas sauh, mulai berlayar. Waktu yang dibutuhkan menyeberangi Selat Sunda yang berjarak 27-30 km itu sebenarnya sekitar 1,5 jam. Namun karena harus mengantre masuk ke dermaga, butuh ekstra 30-40 menit untuk bisa turun dari kapal. Ini adalah etape kedua kami.


Pagi itu di Selat Sunda langit masih gelap, meski jam di tangan menunjukkan 06.15 WIB. Awan mendung menyebar di langit, menutupi matahari yang enggan bangun pagi itu. Akibatnya, cahaya sunrise yang kami tunggu pun tak kunjung muncul. Hanya langit gelap dengan semburat jingga yang tampak. Bukan sunrise yang sempurna.



Pagi makin terang saat kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Bakaheuni. Ternyata perut tak mampu menahan lapar. Si perut sudah butuh asupan sarapan. Warung Padang terdekat pun jadi sasaran mengatasi kelaparan. Kenyang dengan makan seharga Rp 20.000, murah dan kenyang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional Way Kambas, melihat kampung gajah di Tanah Sumatera.



Menuju ke Way Kambas, kami menyusuri sisi timur Lampung, Raya Lintas Pantai Timur Sumatera. Jarak yang kami tempuh adalah 105 km, atau sekitar 2,5-3 jam. Perjalanan sedikit lebih lama, karena kami berhenti menepi berteduh dari hujan sembari menikmati pisang, tempe, dan tahu goreng di daerah Maringgai. Kami berisitirahat dua kali di etape ketiga ini, sebab Altaf mengantuk, sehingga Bang Ipul harus memindahkannya duduk di bangku depan.



Di sepanjang jalan yang kami lintasi, kami seperti berpindah dari pulau ke pulau. Sebab, dari kampung yang penuh dengan arsitektur bangunan dan ornament Bali, kami beralih ke daerah yang banyak terpampang papan nama bertuliskan kota-kota di Jawa Barat, seperti Warung Ciamis, Banten.



Konon, kawasan Lampung adalah salah satu wilayah tujuan transmigrasi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1900-an, di masa kolonial Belanda, dilanjutkan pada masa awal pemerintahan Indonesia 1950-1970. Pada era penjejahan Belanda, pemindahan penduduk dari Jawa adalah untuk penyediaan tenaga buruh di perkebunan. Namun, setelah tahun 1950-an, tujuannya beralih menjadi pemerataan penduduk dan merelokasi penduduk yang terkena musibah bencana alam di Jawa, Bali, dan Madura. Alhasil, penduduk Lampung pun beragam. Akulturasi budaya bercampur harmonis. 



Dari patung gajah  di pinggir jalan Lintas Timur Sumatera menuju gerbang masuk ke Taman Nasional Way Kambas sekitar 10 km, dengan jalan yang separuh rusak. Tiket masuk dibayarkan di gerbang selamat datang. Tiap sepeda motor (termasuk dua penumpang) ialah Rp 19.000. Tidak mahal. Namun, di dalam kami harus bayar Rp 5.000 lagi untuk biaya parkir.



Way Kambas adalah sebuah taman nasional seluas 1.300 km persegi dengan satwa utama yang mendiaminya adalah populasi Gajah Sumatera. Tapi, selain gajah juga ada Harimau dan Badak Sumatera. Kawasan yang biasa dikunjungi wisatawan adalah Pusat Pelatihan Gajah. Di sana, pengunjung dapat menunggangi gajah. Biaya sekali naik Rp 150.000 per orang untuk rute keliling hutan selama 45 menit; dan Rp 20.000, berkeling di taman selama 15-20 menit.



Tujuan kami datang ke Way Kambas adalah ingin melihat dan memotret gajah mandi. Sebab, dari sejumlah foto yang kami lihat di media social, moment gajah mandi sangat keren sekali. "Kalau gajah mandi nanti jam 15.30 sampai jam 16.00. Tunggu aja. Nanti gajah mandi di kolam sebelah sana," ujar salah seorang petugas sambil menunjuk sebuah danau buatan.



Sayangnya, siang menjelang pukul 14.00, hujan deras mengguyur Way Kambas. Mendekati waktu gajah-gajah mandi, hujan tak kunjung reda. malah makin deras. Hujan reda setelah lewat pukul 16.00. Fajri dan Moemoe sempat mengintip ke arah danau dan melihat seekor gajah mandi. "Ada tapi tidak ramai. Soalnya lagi hujan," ujar Moemoe.



Karena tak ingin kemalaman tiba di tempat kami menginap, yakni di Kalianda, kami harus bergegas melewati etape keempat, dari Way Kambas menuju Kota Bandar Lampung, dilanjutkan ke Kalianda. Jarak Way Kambas, lewat Metro dan Branti sekitar 102 km yang ditempuh sekitar 3 jam. Sedangkan jarak Bandar Lampung ke Kalianda adalah 60 km, ditempuh selama 2 jam.

Gerimis dan jalan becek menjadi teman perjalanan. Jas hujan terpasang rapat menutupi tubuh agar tak basah. Jalanan yang pada mulai dari Branti ke Bandar Lampung, akhirnya kami dapatkan. Truk barang dan bus penumpang harus kami lalui dan salip agar laju motor stabil menderu di kisaran 60-80 km/jam.



Memasuki Kota Bandar Lampung, aku kagum dan takjub. Ternyata Bandar Lampung tak kalah dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Gemerlap dan hidup. Jalanan di kota ramai dengan lalu langan kendaraan. Pusat pertokoan ramai pengunjung. "Kita makan di Bakso Sony. Terkenal di Lampung. Ayo aku tahu tempatnya," ujar Fajri. Lagi-lagi, hari ini nasib baik belum berpihak kepada kami. Warungnya baru saja tutup karena sudah habis. Terpaksa mencari warung makan terdekat agar perut tidak kelaparan dan tidak masuk angin.



Setelah makan, kami melanjutkan perjalan menuju Kalianda. Butuh waktu hampir 2 jam tiba di penginapan kami di Kalianda, Penginapan Way Urang. Pak Agus, salah satu petugas penginapan menyambut kami. Dia langsung mengantar kami ke tiga kamar yang telah kami pesan sebelum berangkat. Harga per kamar ber-AC yang lumayan nyaman untuk merebahkan badan ini hanya Rp 250.000 per malam. Sudah dengan sarapan nasi uduk, air panas untuk kopi/teh di tiap kamar.



Dugaan kami, ini adalah salah satu penginapan tua di Kalianda. Sebab bentuknya seperti rumah yang kemudian dibuatkan kamar-kamar. Totalnya ada 15 kamar yang selalu siap menyambut tamu. "Kalau ada apa-apa, minta ke saya langsung ya mas. Sarapan mau jam berapa besok," tanya Pak Agus dengan ramah.




Paginya, setelah sarapan, kami menuju deretan pantai yang ada di Kalianda. Menurut Pak Agus, banyak sekali pantai bagus di Kalianda, bahkan ada kawasan sumber air panas di dekat dermaga. Kali ini, kami memutuskan ke Pantai Laguna.



Sebelum sampai di Pantai Laguna, kami melewati Pantai Kedu dan Pantai Batu Rame. Di Pantai Kedu, pantai yang baru dibuka untuk wisata, terdapat sebuah kapal karam yang terseret hingga ke pinggir pantai. Menurut cerita warga, itu adalah kapal nelayan Malaysia yang karam lalu terseret ombak hingga terdampar di pantai itu. Selain menikmati kapal karam dengan latar belakang Gunung Kalianda dan Gunung Anak Krakatau, pengunjung dapat mencoba mengendarai motor ATV mini di medan berpasir. Sementara di Pantai Batu Rame, hamparan karang membentang dihempas ombak yang terlalu kencang. Lagi-lagi, bayang-bayang Gunung Anak Krakatau di seberang lautan menjadi latar keindahan pantai ini.



Pantai terakhir yang kami datangi adalah Pantai Laguna, yang merupakan kawasan Alau-Alau Boutique Resort. Hamparan pasir putih dengan ombak biru menyatu dengan langit membentuk keindahan pesisir teluk Lampung. Meskipun indah, pengunjung tidak boleh mandi di pantai ini, sebab ada arus bawah pantai yang dapat membahayakan orang yang berenang. Akibatnya, bendera-bendera bertuliskan "larangan berenang" ditancapkan di sepanjang pantai.



Akan tetapi ada hal kurang sedap yang tampak di pantai ini, adalah sampah laut. Menurut salah seorang petugas di pantai, sampah-sampah ini adalah sampah kiriman yang selalu muncul setiap beberapa hari sekali. Sampah terus berputar mengikuti arus di area pantai itu, hingga terhempas ke pinggiran pantai. "Setiap hari harus dibersihkan sampahnya," tambah petugas itu.



Siang makin terik. Saatnya kembali meneruskan perjalanan, yakni pulang ke Jakarta. Kami mengejar kapal yang berangkat pukul 14.00 WIB dari Bakaheuni ke Merak. Etape kelima kami adalah Kalianda-Bakaheuni-Merak, yang diperkirakan menempuh waktu 4 jam. Sebenarnya dari Kalianda ke Bakaheuni tidak jauh hanya 30 km, atau 1 jam perjalanan.


Siang ini kami lebih beruntung dari kemaren waktu berangkat. Kami menumpang kapal ferry yang jauh lebih bagus. Semua dek ber-AC, bahkan ada area permainan anak-anak dan cinema bagi penumpang. Di Kapal Mutiara Persada 2, yang kami tumpangi, sebagian ada yang tidur namun sebagian dari kami bermain kartu Uno hingga kapal berlabuh di Merak.


Setelah mengisi bensin untuk yang terakhir, kami melanjutkan perjalanan etape terakhir, yakni Merak-Serang-Tangerang-Jakarta. Butuh waktu sampai 4 jam menyusuri jalan yang ramai di kala petang dan malam. Belum lagi jalan yang bergelombang di sepanjang Serang-Tangerang, membuat kami lebih berhati-hati di perjalanan menuju pulang ini.

Akhirnya, setelah 612 km dan 45 jam di jalan, kami kembali ke titik semua, Duri Kosambi, Jakarta Barat. Perjalanan ke Lampung pun diakhir dengan letih dan bahagia bercampur jadi satu. "Lalu, selanjutnya kita kemana setelah Lampung? Kita mau touring kemana lagi?" tanya Rina sambal tersenyum.

(video perjalanan 45 jam) 


                                                                                                       -- yudathant --

Kamis, 06 April 2017

Menjadi Manusia dengan Menjadi Pengusaha

Braakk! Pintu taksi aku tutup. "Sudah pak? Kita jalan sekarang?" Tanya Pak Tri, sopir taksi burung biru dengan sopannya kepada aku.
"Iya pak, kita langsung ke airport ya. Pesawat saya jam 1 siang, di terminal 3," balas saya pun dengan sopan.

Mobil pun melaju melewati rumah toko, perumahan, dan jalan-jalan selebar 6 meter sebelum akhirnya menembus ke jalan tol. Sepanjang perjalanan kami pun berbincang tentang dua hal, dan salah satu yang menarik adalah bagaimana menjadi seorang pengusaha.

Pak Tri mengisahkan hidupnya. Dulu saat masih berjaya, dia adalah bos pengembangan produk tekstil di salah satu pabrik tekstil besar di Jawa Barat. Dia bekerja di bidangnya, sesuai keahliannya, sebab dia adalah lulusan salah satu sekolah tekstil yang ada di Indonesia.

Hidupnya berkecukupan, meski tidak kaya raya. Setidaknya, dia memiliki satu rumah dan mobil, sebagai penanda bahwa dia berkecukupan. Namun, sejalannya waktu, dan rosa tekstil mengalami penyurutan, dia pun terkena imbasnya. Pabrik yang dikelolanya kolaps, di saat usianya menuju senja, hampir 45 tahun.

Di usia semacam ini, masuk ke dalam perusahaan baru sangat kecil peluangnya. Terlalu banyak pesaing dengan usia dan kinerja yang mungkin jauh lebih baik darinya. Keputusan cepat yang dia ambil pun adalah menjadi pengemudi transportasi umum. "Yang penting keluarga masih terus bias makan mas," ujarnya.

Satu hal yang dia lupa lakukan, - bahkan dia sesali saat ini, - sewaktu masih berjaya adalah memulai menjadi pengusaha bagi dirinya sendiri. Dulu, dia memiliki peluang untuk mendapatkan barang sisa-sisa tekstil kualitas bagus untuk dijual kembali di pasar lokal. Atau mengolah "barang sampah" itu menjadi produk olahan tekstil yang dibutuhkan pasar. "Saya dulu berpikiran, masak sih boss ngerjain hal remeh kayak gitu. Bersaing sama anak buah saya dong yang memunguti sisa-sisa kain tersebut," kata Tri.

Jika saja ego-nya dulu mampu dikendalikan oleh akal sehat dan rasional, apa yang ada di depan mata pasti dapat menjadi ladang bisnis. Kain-kain bekas itu bisa dia jual atau dibuat baju dan tas murah yang laku di pasar. Namun, semua sudah jauh berlalu. Sekarang, anak-anak buahnya yang dulu "memunguti" kain bekas di pabrik, bertahan menjadi penjual kain dan pengolah kain bekas, bahkan berpenghasilan cukup. Lebih cukup dari upah seorang pengemudi taksi.

"Dari situ saya belajar mas. Bahwa, kita itu perlu menjadi pengusaha untuk bisa menjadi manusia. Kalo kayak gini-gini aja ya kita gak akan berkembang. Dengan jadi pengusaha, kita menentukan sendiri nasib hidup kita. Kalau mau makin sukses, ya berarti kudu kerja yang keras lagi. Iya kan?" tegas dia.

Mendengarkan cerita Pak Tri, aku berpikir jauh ke depan. Mau sampai kapan aku menjadi "buruh" di sebuah perusahaan ini? Kerja yang berdasarkan kontrak yang diperbarui setiap setahun sekali. Kerja yang sewaktu-waktu bisa diganti dengan angkatan-angkatan kerja yang lebih fresh dan energic. Kerja yang hanya menunggu gaji di akhir bulan, yang nilainya selalu sama dari bulan ke bulan.

Apakah aku tidak ingin lebih? -- bukan serakah, namun hanya ingin mendapatkan yang lebih layak lagi.

Otak pun mulai berkelana sembari telinga mendengarkan kicauan Pak Tri dan bibir mengomentari ceritanya. Ada peluang apa yang dapat aku lakukan agar diri ini bisa menjadi pengusaha dan memeroleh income lebih. Sederet daftar pertanyaan pun muncul.

1) Aset (fisik/materi) apa yang aku miliki?
2) Keterampilan apa yang aku kuasai dan dapat "dijual"?
3) Jaringan (koneksi) apa yang aku punyai?
4) Kesukaan (hobi) apa yang aku gemari dan tak akan bosan aku lakukan?
5) Tren (minat) pasar saat ini seperti apa?

Hmmm, seeprtinya sudah banyak pertanyaan yang muncul. Saatnya menjawabnya. Pertama..., "Pak, kita sudah sampai di terminal 3. Saya berhenti di depan sedikit ya," kata Pak Tri. "Oh iya Pak, di depan tidak apa-apa," aku spontan menjawab, lalu mencari dompet dan mengambil uang senilai Rupiah yang tertera di argometer taksi.

"Kembaliannya ambil saja Pak buat parkir dan tol balik," kataku. "Wah terima kasih mas. Terima kasih ya," balasnya. Dan braakkk!..., aku menutup pintu taksi lalu bergegas menuju pintu masuk.

(thant)

Selasa, 03 Januari 2017

Finding the Happiness

Malam di Tangerang Selatan bertabur pijaran cahaya kembang api. Langit yang gelap tiba-tiba penuh warna. Dentum dan gemuruh bersahutan di berbagai ujung jalan kota, bak meriam yang mendesing dan jatuh ke bumi. Dua puluh detik lewat dari tengah malam. Selamat datang tahun yang baru. 

Sesaat sepi. Langit kembali tak bercahaya dan bersuara. Hanya gelap tersisa. Tak satu pun bintang berkedip menyapa. Sesaat itu pula hati kecil bertanya pada otak besar: Apa yang kamu mau di tahun 2017 ini? 

Otak pun berpikir keras. Berjuang mencari jawaban yang berserakan namun kasat mata di cakrawala yang buram akibat asap-asap kembang api. "Apa yang kuinginkan?" "Apa yang hati kecil harapkan?" "Apakah keinginan aku harus bertemu dengan kehendak hati?"

"Aku ingin MENEMUKAN KEBAHAGIAAN" jawab otak yakin. 

Tak ada tanggapan dari hati selama beberapa detik. Hanya terdiam merenung. Kemudian, rentetan tanya terlontar "Mengapa menemukan? Apakah kamu tak bahagia selama ini? Dimana kamu akan menemukannya? Apa yang terjadi setelah kamu bertemu dengannya?" 

"Aku tak tahu dia dimana. Aku tak tahu apakah aku sudah bahagia selama ini. Oleh karena itu aku ingin menemukannya!" jawab otak kilat. 

"Lalu, apa selanjutnya setelah kamu berpikir bahagia?" tanya hati selidik. 

Otak terdiam sejenak. Hanya bergumam tak jelas, kemudian bersuara pelan dan yakin. "Jika aku berpikir telah bahagia, aku yakin kamu, hati kecil, telah merasakan kebahagiaan itu terlebih dulu sebelum aku memikirkannya," 

Hati kecil pun hanya tersenyum. "Kalau begitu, TEMUKANLAN BAHAGIA itu dengan segera. Aku akan menunggu dan merasakannya bersama kamu," balas hati sambil senyum bangga. 

Bahagia itu Sederhana 
Aku pun teringat pada sebuah lirik lagu yang dinyanyikan Wina & Abdul-The Coffee Theory. Di lirik pertamanya berbunyi, "bahagia itu sederhana, hanya dengan melihat senyumnya, saat dunia mengacuh..." 

Sesederhanakah itu kebahagiaan? Hanya dengan melihat tawa dan senyum orang yang kita kasihi. Hanya merasakan kecupan mesra dari orang yang tercinta. Hanya menerima pesan singkat bertuliskan "jangan lupa makan siang" dari orang yang kita rindukan?

Bagiku iya. Kebahagiaan itu sangatlah sederhana. 

Kebahagiaan tak harus mahal, tak harus mewah, tak harus besar, dan tak harus tenar. Kebahagiaan itu sederhana. Karena ada pada diri kita sendiri. Ada pada jiwa dan benak kita sendiri. Kebahagiaan itu ada pada kita. 

Saiful, 38 tahun, bahagia saat kedua anak laki-lakinya menelepon dan bercerita kisah-kisah mereka selama seharian ketika sang ayah tak ada di rumah. "Iya, Abi nanti pulang sebentar lagi, tunggu yah..." 

Rina, 29 tahun, bahagia kala bisa menikmati sore berjalan-jalan keluar-masuk toko di mall mencuci mata dengan mode-mode baju terbaru. Sesekali membelanjakan gajinya khusus untuk baju dan sepatu. "Wooww.., diskon, diskon, diskon..., asyik...." 

Diyan, 28 tahun, bahagia itu saat bisa berkumpul duduk di warung kopi bersama sahabat-sahabat somplak-nya, sambil saling berhujat dan menertawakan kebodohan masing-masing. "Idung gue besar, tapi jidat lu tuh lebar... hahahaha...." 

Nita, 42 tahun, bahagia itu saat kedua anjing dan seekor kucingnya bercanda dan saling goda sehingga terjadi kelucuan yang aneh diantara dua makhluk itu. "Anjing bego, hehehe..." 

Ken, 4 tahun, bahagia saat bisa bermain sepeda sepuas-puasnya tanpa harus diomelin mamanya karena bermain sepeda di siang bolong. "Mama..., aku bisa lepas tangan, lihat ma..." 

Khat-khat, 22 tahun, bahagia saat jualan online-nya laris manis, dan banyak followers di akun instagramnya. Ting..., satu lagi followers bertambah. 

Adi, 34 tahun, bahagia saat menjajaki dan menikmati keindahan alam gunung-gunung di nusantara bersama gadis yang kini telah menjadi istrinya. "Subhanallah..., indahnya..." 

Parvati, 60 tahun, bahagia saat anak bungsunya menelepon menanyakan kabar di rumah dan kesehatannya. "Ibu sudah makan belum?..." 

Itulah kebahagiaan sederhana cara mereka. Tiap orang punya bentuk dan cara bahagia yang berbeda-beda. Tak selalu sama ukuran dan kadarnya. Yang jelas, bahagian itu memang sederhana. Apakah kamu punya kesederhanaan dari kebahagiaan itu? 

Emas di Ujung Pelangi
Mencari kebahagiaan bak mencari sepundi emas di ujung bianglala. Semakin dicari makin tersembunyi keberadaannya. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya apabila kita mau dan sedia menerima apa yang ada. Mensyukuri apa dan siapa yang kita punya. Di situ adalah kita bahagia. 

Lalu apa masih perlu kita mencarinya? Apakah tidak bisa dia tiba dengan sendirinya? 

Bagi aku, kebahagiaan itu masih perlu dicari. Masih perlu diraih. Dan masih perlu dinanti. Kebahagiaan yang sudah lama aku tunggu. Yang telah lama ingin diunduh, juga telah lama aku buru. Otak dan hati tahu jawabnya. Mereka pun sudah ribuan juta detik menanti dan merindukannya. Sebuah kebahagiaan yang melengkapi ratusan kebahagiaan lain yang ada selama ini dalam hidupku. 


Aku bahagia. Aku selalu bahagia. Dan aku akan terus mencari kebahagiaan itu. 

Kamu, di suatu tempat di sana. Mungkin jawabnya. 

- yudathant -