Kamis, 02 Mei 2019

Membaca Guru yang Terdidik

Empat tahun terakhir bergerak di dunia literasi, membuka mata dan otak ini bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan. Termasuk perbaikan pada diri sendiri. 

Salah satu cita-cita terdalam yang mengendap di benak ini adalah menjadi pendidik, bukan sekadar pengajar atau guru. Ini pula yang menjadi alasan kuat kepindahan dari pekerjaan pertama menuju pekerjaan yang kedua. Persiapan pun dilakukan demi mencapai hasrat itu. Sekolah selama dua tahun kelar, saatnya melangkah menuju tujuan utama tersebut. 

Sayangnya, nasib berkata lain. Hanya tinggal satu tahapan langkah lagi, di ujung akhir tes aku tergoda memilih menjadi praktisi pendidikan, alih-alih akademisi yang diinginkan. Sepertinya, terjun di lapangan lebih menantang ketimbang duduk dan berdiri di dalam kelas. Alhasil, dalam hitungan jam aku banting setir, dari kanan menuju ke kiri. 

Yah..., beras sudah menjadi bubur, aku pun terjun menjadi praktisi pendidikan, khususnya literasi bagi anak-anak. Ternyata, berbelok ke arah berbeda ini lebih menantang dan banyak kejutan yang tak kita bayangkan sebelumnya. Pengalaman, praktik lapangan, hingga knowledge yang hanya aku baca di buku, dapat aku lihat dan lakukan secara nyata. Bahkan, memberikan dampak yang tampak, meski hanya baru sebagian kecil abu. 

Tidak hanya satu subjek yang aku hadapi, melainkan subjek dari bawah atau penerima manfaat, hingga subjek yang duduk sebagai pengambil keputusan. Akibatnya, aku benar-benar belajar untuk mengolah diri menghadapi sekaligus me-manage orang yang berbeda status dan karakter sosialnya. Lagi-lagi, mungkin saja tidak aku dapatkan jika aku berbelok ke kanan, menjadi pendidik atau dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. 

Bicara soal subjek yang menjadi sasaran pekerjaanku, bocah-bocah siswa sekolah dasar, ternyata sangat mengasyikkan bekerja dengan mereka. Sebab, mereka tidak banyak punya kepentingan dan punya banyak harapan. Tidak seperti (maaf) orang dewasa yang punya sejuta agenda kepetingan serta napsu tersembunyi dalam melakukan sesuatu. Selaku merasa bahagia saat bekerja dan bermain bersama bocah-bocah ini. "Siapa yang mau bermain games?" sontak mereka pun menyahutt kompak "sayaaaa...." Saat permainan usai, mereka minta bermain yang lain lagi. Tuh, sungguh asyik kan, aku  lebih banyak bermainnya dari pada bekerja saat di lapangan. 


Siapa bilang anak-anak tidak suka membaca? 


Salah satu target dalam pekerjaanku yang terakhir adalah menumbuhkan kebiasaan membaca pada anak-anak. Bukan hanya minat, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Lho..., beda ya antara minat dan kebiasaan. Jelas beda dong sayang. Minat, dalam konteks perilaku, itu barulah sebatas keinginan atau niat terhadap sesuatu yang diinginkan (dipikirkan) dan nanti akan menjadi dorongannya bertindak. Sedangkan kebiasaan adalah sikap yang sudah dilakukan atau tindakan yang perbuat, bahkan telah menjadi rutinitas hidupnya.

Contoh gampangnya: Aku sejak tadi pagi berminat (niat) pergi ke toko buku untuk membeli satu buku yang sudah aku incar. Niat itu sangat kuat, sebab sebulan lebih aku tidak baca buku (selain) buku yang terkait pekerjaan. Namun sayangnya, hingga malam menjelang dan kantuk menyapa, aku tak kunjung berangkat ke toko buku. Sementara kebiasaan, adalah rutinitas yang hal yang harus dilakukan, jika tidak akan merasa ada sesuatu yang "hilang" atau "kurang," bahkan merasa bersalah karena tidak melakukannya. 

Well, kembali ke topik semula yuk! Menumbuhkan kebiasaan membaca anak, menurut para guru-guru di sekolah adalah hal yang susah. Sebab, anak-anak tidak suka membaca buku; anak-anak malas jika disuruh membaca; anak-anak lebih suka bermain ketimbang membaca. Begitulah alasan para guru di sekolah. Aku merasa tidak percaya dengan pendapat mereka. Mungkin anak-anak butuh pemicu untuk mau, suka, dan minat membaca. Dan tidak bermaksud menyudutkan bapak-ibu guru, mungkin saja mereka kurang kreatif mendorong dan menarik minat siswanya mau membaca. 

Selama di lapangan, hipotesis kecil itu pun terbukti. Anak-anak ternyata sangat suka dan punya minat membaca. Bahkan, mereka dengan antusiasnya mencari buku-buku baru yang bisa mereka baca sendiri maupun bersama teman dan saudaranya. Ini semua bergantung bagaimana sekolah, terutama guru menstimulus siswa-siswinya membaca. Selanjutnya, siswa akan mengembangkan dirinya lebih sering dan suka membaca, sehingga terbentuk kebiasaan, meski intensitas tiap anak tersebut berbeda-beda. 




Membaca bukan berarti bisa mengeja, merangkai suku kata, dan mengucapkan teks kata-kalimat dengan benar dan cepat. Membaca juga mencakup unsur memahami dan menyenangkan. Percuma saja jika seorang bocah bisa mengeja dan merangkai kata menjadi kalimat, tetapi tidak memahami arti dan konteks kata-kalimat yang dibacanya. Bahkan lebih parah jika si bocah merasa tidak suka atau enjoy (nyaman) dengan kegiatan membaca yang dilakukannya. Maka, membaca juga butuh perasaan senang agar teks yang dibacanya lebih gampang dikuasai dan dimengerti. 

Anak-anak butuh buku yang tepat untuk dibaca. Setiap anak dan jenjang kelas memerlukan buku yang tidak sama. Bagi siswa yang baru masuk sekolah dan baru belajar membaca tentunya butuh buku yang sederhana secara bahasa, konten, konteks, dan literaturnya. Jika mereka sudah dijejali dengan buku yang "susah" karena menggunakan kata dan bahasa yang sulit dieja dan dipahami, bahkan konteks yang dibahas jauh pun rumit, akan membuatnya merasa kesulitan. Ujung-ujungnya siswa menjadi malas dan enggan sebab mereka menganggap membaca itu tugas yang berat dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu, secara bertahap siswa diberikan buku-buku sesuai kemampuannya membaca dan topik-topik yang disukainya. Saat ini, kecenderungannya, sekolah hanya menyediakan buku tanpa melihat dan memahami kemampuan dan kebutuhan anak didiknya. 

Suasana dan ruangan membaca yang nyaman, dalam hal ini rapi, bersih, santai, relaks, dan tidak ada tekanan, akan membuat siswa betah membaca buku. Percuma saja ada setumpuk buku tetapi tidak ada tempat yang nyaman bagi mereka membaca. Demikian pula tidak tersedia waktu khusus bagi mereka membaca, baik di sekolah dan di rumah. Siswa disibukkan dengan tugas belajar dan pekerjaan rumah yang membuatnya jenuh dan terbebani. Lagi-lagi tidak menyenangkan. Memang sekarang ini Kemendikbud telah menggalakkan gerakan literasi sekolah (GLS) dengan membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun, efektivitas kegiatan ini masih terasa kurang. Sebab, siswa "dipaksakan" membaca buku di dalam kelas. Padahal, suasana yang terbangun di kelas adalah belajar, bukan membaca yang menyenangkan. 


Kreativitas guru pun menentukan bagaimana siswa akan menyukai membaca. Sistem pendidikan di Indonesia kebanyakan belum mendukung siswa dan guru berpikir kreatif. Sebab, membaca dianggap hanya sebagai keterampilan yang wajib dikuasi, bukan sebagai kegiatan yang mampu menumbuhkan daya pikir dan kreativitas siswa. Akibatnya membaca menjadi kegiatan monoton dan membosankan. Guru umumnya juga tidak atau belum mengetahui cara membaca yang baik, sehingga tidak mampu mencontohkan dengan tepat kepada siswanya. Padahal, dengan membaca buku penuh ekspresi dan aksi, diyakini bahkan sudah terbukti, membuat siswa berminat pada kegiatan membaca. Salah satu bentuknya adalah membaca lantang (reading aloud), yang mirip mendongeng, tapi metodenya tidak sama lho. 


Satu hal yang tidak kalah penting, malah sangat penting, adalah modelling dari guru-guru di sekolah. Guru perlu memberikan tauladan dan contoh bahwa membaca adalah sebuah kebiasaan dan kegiatan yang menyenangkan. Hasil survei yang sempat aku lakukan, hanya 2-3 guru dari 10 guru yang suka ataupun aktif membaca buku (selain buku pelajaran dan modul mengajar) setiap hari. Sisanya, tidak pernah atau jarang membaca. Alasannya, terlalu sibuk mengajar, menyiapkan dan menyelesaikan materi pelajaran yang harus dituntaskan setiap semesternya, diribetkan dengan urusan administrasi dan lomba-lomba yang harus diikuti sekolah. Guru super sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk membaca sedetik pun saat di sekolah. Kasihan! 

Terpenuhinya semua hal di atas, sepertinya akan membuat siswa lebih antusias membaca. Mereka tidak akan lagi mengangap membaca adalah tugas menyulitkan dan membosankan. Semua bergantung bagaimana kreativitas kita sebagai pendidik mengarahkan dan membimbing mereka mencintai buku dan membaca. 


Pendidik yang terdidik 
Di hari yang bahagia bagi guru ini, saya hanya ingin sedikit berbagi dengan rekan-rekan pendidik yang berjuang di lapangan. Masalah mereka, baik di dalam dan luar sekolah, sudah menumpuk. Tidak perlu ditambah lagi dengan masalah-masalah lain yang membebani. Guru sepatutnya menjadi pendidik yang berbahagia agar siswa-siswi yang didiknya pun menjadi pribadi-pribadi yang bahagia. 

Seperti disebutkan tadi bahwa guru perlu memberikan contoh yang baik kepada siswanya, salah satunya dengan kebiasaan membaca. Manfaat membaca bagi guru tentu besar sekali. Pengetahuan dan wawasan yang menyangkut langsung maupun tidak langsung pada materi pengajaran pastilah akan meningkat, dibandingkan jika tidak membaca. Dengan membaca, guru akan terus belajar dan terdidik. Sebab, mengajar bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga mendidik karakter dan memberi pengalaman hidup kepada siswanya. 

Pemahaman angka akadimik dan prestasi pelajaran, sebaiknya perlu dikikis dalam pola pikir (mind set) para guru kita. Sebab, umumnya mereka masih terjebak pada hasil, bukanya menikmati proses pembelajaran yang terjadi. Akibatnya, siswa dituntut memiliki nilai tinggi di setiap pelajaran, tanpa memerhatikan kesulitan dan minat yang disukai siswa tersebut. Hal yang sering juga dilupakan oleh guru adalah "mengajar itu menyenangkan." Para guru hanya mengajar demi memenuhi tanggung jawab kurikulum, menyelesaikan kewajiban membuat siswa memunyai nilai matematika dan IPA yang tinggi di raport, bahkan demi periuk nasi di rumah. Padahal, mengajar akan membuahkan hasil yang manis jika didasari perasaan suka dan senang. 



Pak dan Bu Guru, semoga celotehan mantan siswamu ini tidak membuatmu sakit hati atau bilang "Uhh.., sok tahu!" Saya cuman menuliskan apa yang telah sekelumit saya lewati dan akan terus saya jalani, berusaha menjadi pendidik yang baik. 


Salam Pendidikan. 
-- @yudathant -- 

Rabu, 27 Juni 2018

The Other Side of Samosir

Pertama kali mengenal nama Danau Toba adalah saat duduk di bangku SD, ketika membaca sebuah buku yang di dalamnya berisi cerita sejumlah legenda di tanah air, salah satunya legenda Danau Toba. Takjub, rasa yang muncul saat membacanya, dan ternyata lebih takjub saat melihatnya dari dekat. 


Dikisahkan, Toba adalah seorang putri jelmaan ikan yang menikah dengan oleh seorang pemuda desa dan mereka memiliki putra bernama Samosir, yang selalu lapar dan doyan makan.



Karena memakan bekal makan siang ayahnya, Samosir dimaki oleh ayahnya yang kesal, "Dasar kau anak ikan!" Tiba-tiba hujan deras mengguyur dan air menyembur dari dalam tanah, dan sekejap itu area itu terendam dan dipenuhi air. Di saat bersamaan Toba dan Samosir menghilang, lalu muncul pula kecil di tengah danau yang luas. Pulau itu pun diberi nama Samosir, sedangkan danau yang terbentuk diberi nama Toba. 


Danau seluas 1.145 km persegi dengan kedalaman 400 meter, bahkan fakta terbaru disebutkan kedalamannya lebih dari 1.500 meter, ini adalah danau akibat letusan gunung vulkanik purba sekitar 75.000 tahun lalu. Konon, Danau Toba adalah danau terluas di Asia Tenggara. Kehidupan dan isi di dalam danau ini pun masih menjadi misteri dan belum banyak dipetakan. 





Bagi masyarakat di sekitar Toba, danau ini adalah sumber kehidupan. Salah satunya bagi sektor pariwisata. Ribuan wisatawan lokal, nasional, dan internasional berkunjung ke Danau Toba setiap tahunnya. Bahkan, saat aku bertandang ke sini, ada rombongan turis dari China dan Malaysia yang asyik sedang menikmati keindahan danau di atas kapal yang membawa kami menyeberang menuju Pulau Samosir. Langit biru di atas riak tenang air danau yang berwarna hijau emerald bercampur biru samudera. 


Di Pulau Samosir, kehidupan berjalan harmonis nan damai. Modernitas membalut tradisi budaya yang mengakar pada keseharian masyarakat. Tradisi tetap lestari, berjalan bersama teknologi yang mulai menyusup tiap generasi. Kisah masa lalu tersirat di tiap artefak dan arsitekturnya. Drama masa kini tergambar pada alat dan perlengkapan hidupnya. Hitam dan putih, gelap dan terang tampak jelas di sini. Nyata adanya!


Mengelilingi setengah Pulau Samosir dapat dilakukan dalam waktu sehari, dengan motor ataupun mobil. Asalkan berangkat pagi sekali, maka keindahan dan keguyuban masyarakat juga bentang alam pulau ini akan tampak memesona. Bahkan, aku sengaja mengambil jalan ekstrem, yang mungkin tidak akan diambil oleh wisatawan lain, yakni menembus hutan di pulau ini untuk mendapatkan sisi lain Toba dan Samosir. Perjuangan menembus hutan dan jalan tanah pun akhirnya menyuguhkan keindahan itu. Hamparan padang rumput hijau mengelilingi anak danau di bawah bentang cakrawala biru dan taburan awan kapas putih. 


Ternyata tak bisa hanya satu dua hari di pulau ini, harus lebih lama lagi untuk benar-benar bisa menyesapi kehiduapan, keindahan, bahkan kuliner di Samosir ini. Lain waktu, ya, lain waktu aku akan bertandang lagi, kawan!




-- yudathant--
(foto-foto sengaja dibuat hitam-putih) 

Sabtu, 18 November 2017

Tujuh ke Tiga


Akhir November ini, kontrak bekerjaku berakhir. Selembar surat legalitas yang mengikat aku dengan kantor ini pun sampai di ujung perjalanan. Tak ada lagi surat yang berisi klausa-klausa “abu-abu” yang menuntut aku bekerja penuh pengabdian. Tiga tahun. Apakah ini sudah cukup? Atau aku masih ingin bertahan lagi di kontrak yang rapuh itu?  

Keputusan aku untuk mengakhiri “kisah romantis” dengan kantor ini mungkin sedikit nekad. Tanpa memiliki pijakan yang baru dan kondisi badan yang masih ringkih, aku memutuskan untuk berhenti. Aku sudah lelah bekerja dengan tidak profesional. Aku mau lebih dihargai secara profesional dan “serius” sebab aku kerja penuh semangat dan tekad.  

Itu kan hanya kontrak. Tapi di sini, kamu harus mengerjakan semuanya. Tidak hanya pada satu klien saja,” begitu ujar pihak manajemen.  

Hal inilah yang membuat aku harus memutuskan berhenti mengabdi. Usulanku untuk mengubah isi kontrak tidak disetujui. Bahkan, untuk menambah masa kerja hingga enam bulan, hingga projek yang aku kerjakan sampai di titik teraman pun ditolak. Aku hanya diberi waktu tiga bulan. “Oke pak jika maunya demikian,” ujar aku. Dengan begitu, aku hanya diberi kesempatan bekerja ekstra dari September sampai November.  

Dibandingkan dengan masa kerja sebelumnya, periode kerja kali ini lebih pendek, hanya tiga tahun. Padahal, di kantor lama, aku mampu bertahan dan mengabdi sampai tujuh tahun.  

Meski hanya tiga tahun, pencapaian yang aku dapatkan cukup besar. Cita-cita menberikan perubahan secara langsung kepada orang lain, pun terwujud. Aku masih ingat pertanyaan salah satu “pioneer” di kantor ini yang mewawancarai aku sebelum akhirnya menerimaku bekerja. “Kamu pilih mana, ingin menjadi akademisi atau praktisi? Jika akademisi, mungkin dosen adalah jawaban yang tepat. Namun, jika praktisi, di sini mungkin jawabannya,” ujar dia meyakinkan. Dan itu ternyata benar.  

Terlebih lagi, aku mendapat kesempatan belajar banyak hal yang selama ini menjadi keinginan yang terpendam dalam diriku. Bahkan, seorang guru dan mentor menjadi teladan selama aku bekerja. Dia menularkan semua yang dia ketahui, dan aku menyerap semua yang dia curahkan. Bagai bambu, aku diasah menjadi lebih runcing untuk menjadi senjata perang yang sederhana namun mematikan.  

Waktu berjalan, atau mungkin berlari, begitu cepat. Tiga tahun tidak terasa. Tujuh tahun saja tidak, apalagi tiga. Tiba-tiba aku kembali dihadapkan di meja pencari kerja.  

Kemana lagi perjalanan ku akan berlanjut?


Ini belum berakhir!
@yudathant

Kamis, 17 Agustus 2017

Merdekalah Cita-cita!

Langit masih gelap saat pagar rumah aku rapatkan. Satu dua bintang masih bersinar di sudut-sudut langit kala aku meninggalkan komplek perumahan. Dingin pagi menyambut saat motor mulai aku pacu dengan kecepatan 70 km/jam dari Jakarta Barat menuju Jakarta Timur, Pulogadung. 

Pukul 05.15, aku sudah berada di tengah jalan ibu kota. Biasanya, jam segini aku masih meringkuk di balik selimut. Namun, pagi ini, dalam waktu satu jam aku harus tiba di sekolah yang berada di belakang Terminal Pulogadung. Kupacu lebih cepat lagi motorku, beradu cepat dengan pekerja-pekerja lain yang sudah mengawali harinya mungkin lebih dini ketimbang aku. 

"Kalian di mana? Aku sudah di dekat sekolah. Tempat parkir motor di mana ya?" pesan singkat aku ketik dan kirim di grup Kelas Inspirasi Jakarta 29. Dalam sepuluh detik tak ada jawaban, aku pun bawa motor ini masuk ke gang-gang kecil menuju sekolah SDN Pulogadung 01 Pagi. 

Puluhan anak berbaju pramuka tampak sudah memenuhi sekolahnya. Orang tua sibuk mengantar anak-anaknya dari balik pagar dan tembok sekolah. Suara teriak dan tawa anak-anak bergemuruh di semua sudut sekolah. Para guru pun berlalu lalang menyiapkan lapangan yang akan digunakan upacara. 

"Yang lain mana mbak?" tanya aku kepada Mbak Yanti, fasilitator KIJ-29. "Sebentar lagi sampai, masih dalam perjalanan. Ayo masuk aja ke ruang guru, kita bertemu dengan kepala sekolahnya," ajak Mbak Yanti. 

Satu per satu teman-teman inspirator pun berdatangan. Wajah mereka ceria dan bersemangat. Mereka masing-masing datang membawa bekal media peraga untuk memberikan inspirasi kepada siswa-siswi sekolah ini. Gulungan karton warna-warni, tas berisi alat-alat farmasi, laptop, proyektor dan alat peraga pun disiapkan. Semua sudah siap tempur. 

Sebenarnya mau apa kami di sini? Pagi-pagi sudah sibuk di sekolah. Sibuk membawa alat media peraga. Sibuk berlatih gerakan dan tepuk-tepuk yang beragam. Sibuk mendiskusikan skenario saat ada di kelas. 

Kami adalah bagian dari Kelas Inspirasi Jakarta, sebuah gerakan dan komunitas sukarela yang dibentuk untuk menumbuhkan semangat dan cita-cita anak-anak Indonesia. Membangun mimpi dan harapan bahwa anak-anak Indonesia punya masa depan yang cerah, secerah apa yang kami mampu capai dalam berkarya dan bekerja di bidangnya masing-masing. Di Jakarta, tahun ini, ada sekitar 40 kelompok yang terjun ke sekolah-sekolah di hari yang sama ini, Senin, 14 Agustus 2017. 


Kami tak saling kenal. Kami pun tak saling tahu sebelumnya. Mungkin hanya 4-5 orang saja yang sudah saling mengenal sebelumnya melalui kegiatan yang serupa. Kami datang dari latar pekerjaan yang beragam. Mulai dari dokter, auditor, tenaga pemasaran, teknisi industri otomotif, pekerja media, pustakawan, apoteker, humas, bahkan terapis anak-anak berkebutuhan khusus. Kami masing-masing memiliki keunikan dan cerita yang bermacam-macam. 

Namun, kami berangkat dengan tujuan yang sama, yakni menginspirasi anak-anak bahwa mereka mampu menjadi seperti apa yang kami capai. Bahwa mereka bisa mengejar mimpi dan cita-citanya setinggi apa yang mereka mau. Meyakinkan bahwa masa depan mereka sebesar kami jika mereka mau bercita-cita dan bekerja keras menggapainya.  

Kami di sini hanya ingin mengajak mereka untuk merdeka memilih cita-cita. Memandu mereka merdeka memimpikan pekerjaan yang ingin dicapai. Menantang mereka merdeka menjawab masa depannya. sebab, mereka punya hak untuk merdeka menentukan masa depannya. Semerdeka mereka tertawa, berteriak, bernyanyi, melompat, dan bermain.  

Meski terlambat dari jadwal yang telah disusun, kami masuk ke kelas masing-masing sesuai rencana. "Nanti tidak ada kelas kedua. Setelah kelas pertama, siswa langsung pulang. Sebelum pulang, mereka di bawa ke pohon cita-cita menempelkan cita-citanya di sana," jelas Andika, ketua kelompok 29

Di kelas, pertunjukkan pun di mulai. Aku satu kelompok dengan Ve dan Pra. Kami mengenalkan kepada adik-adik di kelas bahwa kami bertiga adalah sahabat sewaktu di sekolah. Kami punya hobi dan pekerjaan yang berbeda-beda, tapi tetap saling berhubungan dan saling membutuhkan. 

Untuk mencairkan suasana, kami pun mengawali perkenalan dengan bermain "tupai pemburu." Keceriaan tersemburat di wajah anak-anak saat mereka harus berlari mencari pohon baru. Dan kami pun berkeringat juga ngos-ngosan. Tapi kami senang. Selanjutnya, satu per satu kami mengenalkan siapa dan apa pekerjaan kami sehari-hari. 

Sering kali, cukup sulit menjelaskan apa pekerjaan kami jika pekerjaan itu tidak familiar terdengar di telinga anak-anak. Umumnya, mereka hanya mengenal dokter, polisi, tentara, insinyur, guru, atau pemain bola. Tidak banyak yang tahu apa itu pekerjaan analis, auditor, terapis, IT security, koordinator program, konsultan, atau media planner. Alhasil, pelan-pelan kami mencoba menjelaskan apa yang kami kerjakan dengan cara sederhana dan memakai alat bantu. Untuk lebih mudah, kami pun bermain peran. Mengajak mereka berlaku seperti pekerjaan yang kami lakukan setiap hari. 


Keceriaan berlanjut hingga sore.  Kami bermain dan bergembira bersama anak-anak. Tawa dan canda pun menyeruak di tiap kelas. Kelakuan anak-anak yang lucu dan bahkan "ganjil" mewarnai pengalaman kami di kelas. Dari cerita teman-teman, ada yang mendapatkan ciuman hangat dari anak-anak, ada yang dipukul tangannya karena si anak memang suka memukul, ada yang harus dipeluk supaya diam dan mau duduk mendengarkan penjelasan, bahkan banyak yang menjadi idola baru siswi-siswi di sekolah tersebut. 


Banyak cerita di tiap kelas, sebelum akhirnya siswa-siswi itu menempelkan stiker bertuliskan mimpi dan cita-citanya di selembar spanduk bergambar balon udara yang kami sebut pohon cita-cita. "Aku mau jadi pemain bola seperti (Cristiano) Ronaldo," ujar seorang anak. "Kalau saya mau jadi pelukis, boleh kan kak?" tanya seorang anak lainnya. "Saya mau jadi insinyur. tulisan insinyur yang benar seperti apa kak?' tanya siswi penuh semangat. 

Silakan tuliskan cita-citamu adik-adikku. Tuliskan apa saja yang kamu suka, apa yang kamu inginkan. Satu, dua, atau tiga cita-cita, bebas, tulislah di kertas itu. Lalu terbangkan bersama balon udara. Terbang tinggi, setinggi mimpi dan cita-cita yang kau angankan. 


Jangan pernah takut bermimpi. 
Jangan pernah gentar bercita-cita. 
Jangan pernah ragu untuk mengerjanya. 
Jangan pernah lupa bahwa kau merdeka untuk bercita-cita. 

- @yudathant - 

Minggu, 18 Juni 2017

Meet the Merlion

Steps to Singapore streets was never bored me. My eyes spoiled with magnificent architecture, buildings, and trees. Old England building or classical Indian and Chinese architecture was side beside with new multilevel glass buildings. In the building, the keep the old and antique material sill function and intact. 









In Singapore, don't forget the trees. They stand firmly, big and tall, also green and lush. Shade the people who walks under it. The government pay a lot of attention to the plants and trees. They build gardens, care the trees (even the oldest trees), and keep it tidy and clean. Once again, walks on Singapore streets was amuse me. They make the streets and city running orderly. 

-- @yudathant--