Minggu, 20 Juli 2014

Chang Chang Chang - Part 2

“Start from Mun River and Finish on Chao Phraya River”


(Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”)

   Thailand merupakan destinasi terpadat di kawasan Asia. Thailand juga menjadi tujuan paling populer nomor dua, setelah Singapura, bagi pelancong-pelancong asal Indonesia. Tak heran jika penerbangan dari Indonesia ke Thailand selalu ramai. Sayangnya, sejak Mei Juni lalu, penerbangan dari Surabaya ke Bangkok, di-suspended, sehingga kalo sekarang mau ke Bangkok ya terpaksa lewat Jakarta. Dulu, selain Air Asia, ada Tiger, yang membawa penumpang dari Surabaya ke Bangkok. Sialnya juga, maskapai Tiger juga melakukan hal yang sama seperti Air Asia. 

   Biasanya, Air Asia sering memberikan tarif promo pada periode tertentu. Namun, harga normal  sekitar Rp 800.000, tapi kalo balik harganya lebih mahal, sekitar Rp 1 juta. Untuk biaya hidup di Thailand terbilang murah, hampir sama seperti biaya hidup di Jakarta atau Surabaya. 1 Bath sekitar Rp 250. Demikian juga dengan biaya hotel, ada yang terjangkau kok, sesuai kantong backpacker. Mulai dari Rp 300.000 per malam juga ada. Biaya bus atau kereta cepat juga terjangkau, sekali jalan gak sampe Rp 10.000. Jadi, kalo dihitung-hitung, bawa bekal Rp 1,5 juta saja udah bisa kok berwisata 2 hari di Bangkok dan sekitarnya.

   Karena kali ini aku adalah tamu undangan, jadi aku gak terlalu mikirin biaya akomodasi, hehehe...

   Setelah rentetan kegiatan akademis, akhirnya dr. Tuk mulai membawa kami berwisata ke sebuah kedai makan terapung di Sungai Mun (Mun River). Di sepanjang sungai berair coklat ini, terdapat beberapa restoran dan kedai makan yang dibangun di tepian atau di tengah sungai. Pengunjung bisa makan sambil main air atau berenang di sungai. Duduk santai menikmati angin yang berembus di bawah teriknya matahari, menyantap berbagai menu ikan dan serangga yang dibumbui sangat menyengat. Dan yang jelas enak, hehehe...

   Sebenarnya, area food court semacam ini isa saja dibangun di Sungai Bengawan Solo atau Sungai Berantas yang membentang di Pulau Jawa. Namun sayang, belum banyak pengusaha dan pemda yang mengembangkan potensi daerahnya menjadi obyek wisata yang layak didatangi. Lokasi Mun River mungkin hampir sama seperti di Indonesia, tetapi kualitas pelayan pengelola wisata di Thailand sangat diacungi jempol. Bersih dan nyaman, itu kuncinya. Bersih karena minim sampah. Nyaman karena tak ada pedagang kaki lima atau pengemis yang berkeliaran di lokasi wisata.

   Sehari sebelumnya, dr.Tuk menjamu kami di sebuah restoran rumahan, Moan Restaurant. Di restoran yang bentuknya seperti rumah, bahkan ruang makannya benar-benar seperti ruang makan di sebuah rumah yang sederhana, ini menyuguhkan menu makanan ikan dan udang.  Malamnya, setelah dari Mun River, dr.Tuk mengajak kami camping di salah satu taman nasional yang terkenal di Ubon, yaitu Phuchong Nayoi National Park. Perjalanan kami tempuh selama 3 jam, dari kota Ubon menuju ke taman nasional. Taman seluas 686 km2, merupakan salah satu taman nasional yang berbatasan dengan negara Kamboja.

  Bersama delapan mahasiswa dan juga suaminya, dr.Tuk menyiapkan barbeque party untuk kami. Mantab man..!!! Bakar-bakar daging di tengah hutan, ala-ala camping gitu deh. Kebetulan pula malam itu bulan berwajah bundar dan bersinar terang. Semalaman kami membakar ikan, udang, cumi, dan daging sapi untuk pesta makan malam. Kekenyangan dan perut sampai kepenuhan, itu yang terjadi. “Perutku dah gak muat lagi Mas,” kata Dian sambil mengelus perutnya yang membuncit kekenyangan.

  Di Nayoi, terdapat sebuah air terjun yang sangat indah. Tapi sayang, karena kami berkunjung pada musim kemarau, debit air terjun sangat kecil, sehingga keindahannya tidak mencuat. Kami harus menuruni ratusan anak tangga untuk mencapai dasar air terjun yang berpasir putih. Menurut salah seorang mahasiswi dr.Tuk, ada kebiasaan orang Ubon menyanggah atau memberdirikan ranting pohon diantara batuan besar atau tebing. Mereka percaya, dengan meletakkan ranting itu, suatu saat mereka akan datang kembali ke tempat yang dianggap indah dan menarik tersebut.  

  Perjalanan kami lanjutkan ke sebuah desa. Melihat kehidupan petani di Thailand. Kami juga mendatangi sebuah pasar desa (village market). Hal yang menarik di sana adalah, petani di Thailand hidup lebih sejahtera dibandingkan petani di Indonesia. Apa indikatornya? Pertama, hampir semua petani di sana punya mesin traktor dan mobil untuk mengangkut hasil taninya. Mobilnya pun bukan mobil pick-up yang butut, tapi mobil dobel gardan yang di Indonesia boleh dibilang mobil mewah.

Coba lihat foto pedagang di pasar desa, di belakangnya terparkir mobil mereka. Dan mereka adalah petani yang menjual hasil buminya. Kedua, ternyata gaya hidup petani di Thailand tidak konsumtif, berlagak ala “borjuis” atau belanja barang mewah yang tak penting. Hampir tidak ada terlihat petani dan konsumen yang belanja di pasar memakai perhiasan mewah, baju bagus, dan dandanan menor. Semuanya serba sederhana. Ini sepertinya yang membedakan dengan petani di desa-desa di Indonesia, yang bergaya dan menirukan pola hidup bak masyarakat metropolis.

Mekong River
  Lepas dari pasar tersebut, kami diantar dr.Tuk ke sisi timur Ubon, menuju sebuah cottage tepi sungai. Cottage ini terletak di tebing Sungai Mekong, sungai yang memisahkan Thailand dengan Laos. Kami tiba saat bulan purnama mulai duduk di singgasananya. Di seberang sungai, terlihat titik-titik api yang menyala. “Musim (kemarau) seperti ini memang sering terjadi kebakaran alang-alang. Tapi, itu bukan masalah,” ujar dr.Tuk. Keindahan dan pesona cottage di sisi Sungai Mekong ini baru bisa kami nikmati saat pagi hari. “Kalau lihat sungai ini jadi ingat film Rambo. Kan di film itu tentara Vietkong atau si Rambo terlihat menyeberangi sungai, persis seperti sungai ini,” kenang Mr Ato.

  Menjelang siang, kami brunch (breakfast ana lunch) di salah satu tepi sungai Mekong yang lain, di daerah Khong Chiam. Lagi-lagi dr Tuk menawari aku makan serangga, dan aku mengiyakan tawaran itu.

  Sebelum makan siang, seorang nelayan mendatangi kami dan menawarkan menyeberang sungai menuju Laos. Hanya dengan 400 Bath, kami ber-15 bisa menyeberang pulang-balik Thailand-Laos dengan kapal kayu bermesin motor. Setelah perut kenyang, kami pun bergegas menuju ke kapal si nelayan. Tak sampai 20 menit, kami pun sudah berada di Laos. Tanpa pasport dan tanpa urusan imigrasi. “Please don’t talk to much while crossing the border,” kata dr.Tuk. Dia berkata begitu agar kami tidak terlihat mencolok seperti turis.

  Penduduk Laos maupun Thailand di sisi Sungai Mekong saling melintas perbatasan negara itu cukup bebas setiap harinya. Tujuannya macam-macam, ada yang berdagang, sekolah, dan menjenguk sanak saudara. Bahasa yang mereka gunakan pun sama. Bahkan, pedagang souvenir di Laos pun menerima pembayarang dengan uang Bath. Sisi kampung di Laos yang kami datangi ini mirip sekali dengan kondisi di Indonesia timur. Gersang dan panas. Jarang sekali tampak warna hijau di sana. Yang terlihat hanya coklat, kuning, dan oranye. Tapi entah mengapa, sepertinya matahari di Laos lebih dari satu, sehingga siang itu kami semua merasa sangat sangat sangat kepanasan.

  Belanja oleh-oleh sudah, menginjak kaki di Laos juga sudah, maka kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kuil yang terletak di tepian Sungai Mekong. Di kuil ini kami melihat deretan patung Budha. Ada patung Budha dengan berbagai pose. Dari tujuh patung yang ditata rapi, tertuliskan tiap patung melambangkan nama hari. “Tiap patung diperuntukkan bagi orang yang lahir pada hari tertentu. Biasanya, orang yang lahir pada hari Jumat, akan berdoa pada patung yang bertuliskan hari Jumat, dan hari-hari lainnya,” jelas dr.Tuk. Karena penasaran, aku pun meminta izin untuk berdoa di patung yang bertuliskan hari kelahiranku. Setelah diizinkan, aku pun berdoa supaya aku selalu dibukakan jalan terbaik oleh Sang Khalik. (#mendadak religius) 

Chao Phraya River
  Bangkok adalah tujuan hari terakhir kami sebelum pulang ke Indonesia. Kami hanya punya waktu sekitar 7 jam di antara waktu transit, sebelum pesawat dari Bangkok terbang ke Surabaya. Kemana tujuan yang paling mudah dan merupakan ikon Thailand. Yap, Sungai Chao Phraya! Sungai sepanjang lebih dari 370 km ini adalah sungai terpenting di Thailand, khususnya Bangkok. Sungai ini adalah salah satu urat nadi kehidupan masyarakat  Bangkok.

  Dari Bandara Don Muaeng, kami menumpang bus lalu lanjut dengan kereta cepat. Kereta ini melintasi pusat kota, termasuk salah satu mall besar di Bangkok. Dari situ kami lanjut lagi dengan kereta cepat, turun di Saphan Taksin, atau dermaga utama wisata Sungai Chao Phraya. Untuk menjelajahi sungai ini kita bisa menggunakan tiket terusan dengan membayar 150 Bath, atau sekitar Rp 45.000. Dengan tiket terursan, kita bisa naik turun di mana saja, yang rupakan lokasi objek wisata. Banyak kuil dan istana indah juga pasar souvenir yang bisa kita kunjungi.

  Lagi-lagi, waktu adalah pembatas paling tegas dalam tiap perjalan. Tidak terasa, sudah pukul 15.00 waktu setempat. Pesawat kami akan berangkat sekitar 4,5 jam lagi, jadi paling tidak kami harus di bandara 2 jam lagi. Padahal, kami baru menikmati Wat Arun, salah satu landmark ikon Bangkok. Kuil ini bernama Arun, karena artinya senja. Sehingga, menikmati kuil ini bagusnya sore hari. Di belakang kuil ini, ada pasar souvenir yang sebagian penjualnya bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, mereka mau menerima uang Rupiah sebagai alat bayarnya. “Ayo..ayo.., baju murah harga murah,” begitu salah satu teriak pedagang menawarkan jualannya kepada pengunjung yang kebanyakan dari Indonesia.


@yudathant 

Chang Chang Chang “The Kingdom of Elephants”

Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”

What is on your mind if I ask you about Thailand?
Jawaban paling cepat yang biasanya keluar dari bibir kita adalah Pattaya, Gajah Putih, Phuket, Sungai Chaupraya, Seks, atau juga Lady Boys. Hehehe... Tapi mas bro and mbak bro, Thailand gak cuman itu doang. Banyak destinasi yang disuguhkan di kerajaan gajah ini, yang sayang sekali jika dilewatkan. Mulai dari alamnya, makanannya, sampai keramah tamahan orang-orangnya yang mungkin melebihi orang Indonesia. Those are what I got when I went to “The White Chang Kingdom” on last March.

The City of Royal Lotus Flower
Horee..., ke Thailand!! Tapi jangan seneng dulu mas bro. Soalnya perjalanan kali ini bukan murni liburan. (langsung deh, wajah ditekuk tiga lapis, hehe..) Trip 8 hari ke “land of elephants” ini berkaitan dengan students exchange. Kebetulan, aku dan dua temanku, Dian dan Hadiyah, mewakili fakultas bertukar pengalaman dengan mahasiswa pascasarjana di Ubon Ratchathani Rajabath University (UBRU) Thailand. Kebetulan juga, fakultas kami sedang melakukan joint research dengan Fakultas Public Health di UBRU.

Tidak hanya kami bertiga yang berangkat, tapi juga dua dosen yang melakukan joint research, yaitu Mr Ato dan Mr Shoim. Mereka berdua nanti akan memberikan kuliah kepada mahasiswa master degree di UBRU. Jadi, mau gak mau harus sedikit jaim, alias jaga image biar gak malu-maluin dosen en kampus. Salah satu agenda kami adalah menghadiri konferensi riset internasional yang dihelat UBRU. Ditambah lagi masih ada a bucket of list agenda dari Ketua Prodi, Ibu Dien, yang harus kami dilakukan selama di sana. Wuiihh.., padet banget sepertinya chiingg!!

Kami terpaksa berangkat dengan waktu dan jadwal penerbangan terpisah. Ini karena paspor Hadiyah belum jadi, sehingga Hadiyah dan Dian harus menyusul dengan flight dan rute yang berbeda. Aku dan dua dosen berangkat naik Air Asia, transit di Bangkok 10 jam, lanjut dengan Air Asia ke Ubon. Sedangkan Dian dan Hadiyah berangkat pada hari yang sama dengan Tiger, transit di Singapore selama 10 jam, transit di Bangkok 7 jam, dan lanjut ke Ubon. Akibatnya, mereka melewatkan agenda di hari pertama.

Dalam bayangan awal, sebelum berangkat, kota tujuan kami akan sama seperti Bangkok; padat dan berisik. Ternyata Ubon tidak seperti itu. Ubon Ratchathani adalah sebuah kota (provinsi) yang tenang, bersih, rapi, dan teratur. Jarang sekali orang membunyikan kelakson saat di jalan raya. Tidak ada orang yang menyeberang jalan sembarangan. semuanya tampak teratur dan rapi. Ubon sendiri adalah provinsi yang berjarak sekitar 700 km ke arah timur laut dari Bangkok. Jika naik pesawat hanya sekitar 1 jam, tapi jika menumpang kereta bisa sekitar 8-10 jam.

Kunjungan kami ke UBRU juga atas undangan dr. Tuk, salah satu dosen yang melakukan joint research dengan Mr Ato dan Mr Shoim. Dulu dia pernah ke Unair, dan kebetulan aku dan Dian sempat jadi liaison officer alias pemandu lapangan yang menemaninya selama sehari mengunjungi Dolly, the biggest red district in Indonesia. Nah, sekarang, dia dan beberapa mahasiswanya yang mendampingi kami sepanjang minggu di Ubon. Oh ya, nama Ubon Ratchathani kalau diartikan adalah the royal city of lotus flower, atau kota praja bunga teratai. Makanya, lambang provinsi ini adalah bunga teratai yang mekar indah di sebuah kolam.

Tiga hari pertama, kami habiskan di kampus dan hotel, lokasi konferensi riset dilangsungkan dan tempat kami menginap. Hotel dengan arsitektur khas Thailand ini adalah hotel milik UBRU. Hotel ini merupakan salah satu aset kampus memeroleh dana untuk menjalankan roda pendidikan di kampus. Selain itu, kalau tidak salah, kampus juga punya lapangan bola dan area camping yang disewakan. Sayangnya, ide entreprenurship semacam ini gak banyak dilakukan oleh  lembaga pendidikan di Indonesia. Kalau begini kan kampus gak perlu khawatir kekurangan duit buat men-support mahasiswa dan dosen-dosennya melakukan riset atau kegiatan-kegiatan adukasi lainnya.

Thai Food
Di dekat hotel, ada semacam gelanggang remaja yang di dalamnya terdapat beberapa kios cendera mata, dan di depannya ada arena food court. Hampir setiap hari kami ke sana, untuk mencoba menu makanan Thailand, yang kami asumsikan halal, seperti mi goreng atau nasi goreng sea food, hehe.. di dekat situ juga ada dua kedai kopi yang enak banget buat nongkrong. Salah satunya adalah kedai kopi "Varisa House" yang dikelola oleh Narm, James, dan Nan, yang terlihat di foto sebelah kanan ini. 

Makanan Thailand sangat kaya bumbu, hampir sama dengan makanan dari Aceh atau Sumatera yang bermain dengan rempah-rempah. Beberapa menu makanan yang sempat kami coba adalah macam-macam  sup, yang biasa disebut “Tom.” Beberapa menunya, adalah “fish salad,” tom sam, dan lan moan. Bahan baku utama ikannya adalah ikan patin atau ikan lele. Jangan bayangin pecel lele yang biasa kamu beli yah. Pengolahan yang apik, membuat daging ikan patin terasa empuk dan saat dikunyah di mulut, semua bumbu terasa bercampur dengan pas. (#waduh, nelan ludah deh jadinya, gara-gara ngebayangin, srrruuppp...)

Thailand juga dikenal dengan menu akstrim, salah satuya adalah menu serangga dan “tetangganya”. Sewaktu menginap di hotel dekat Bandara Don Mueang, pedagang kaki lima menjajakan menu serangga bakar dan goreng yang siap santap sebagai kudapan atau camilan sambil jalan-jalan. Salah satu serangga yang ditawarkan adalah kalajengking, wuih mantab... Sayangnya, gak ada teman buat nyobain menu itu, karena dua dosen tampak ragu untuk mencoba.

Untungnya, menu serangga juga ditawarkan di warung dan restoran. Seingatku, aku dua kali menyantap menu serangga ini. Pertama di tepi Sungai Mun, dan yang kedua di tepi Sungai Mekong. Salah satu menu serangga yang aku santap adalah semut rangrang besar atau disebut "mod daeng". Satu genggam serangga itu disangrai dengan bumbu rempah, lalu ditaburi semacam daun bawang dan cabai hijau. Serangga itu disajikan dalam pincuk daun jati. Dan rasanya, wuueeenaaakk..., aku bahkan bawa satu bungkus untuk dimakan di perjalan (gambar di atas, foto tengah atas), hahaha...

Satu lagi menu favoritku ada ketan mangga atau sticky rice with mango. Mangga yang matang, manis, dan berwana orange dipotong ukuran sedang. Taburi dengan santan kental, lalu disantap bersama dengan ketan putih yang manis. Ketan itu juga direbus dengan sedikit air santan, jadi ada rasa gurih dan manis. Hmm...., mantab deh pokoknya. Bule-bule pun doyan kok menyantap menu ini. Dijamin kalian juga pasti doyan deh...., 100% guaranty.

Sebenarnya masih pengen cobain menu-menu lain yang ekstrem dan gak ada di Indonesia, tapi aku gak ada partner buat coba-cobain. Soalnya semua temen trip kali ini pada “hati-hati” dengan menu yang disantap. Selama di Thailand, kami dibuat kenyang dan puas dengan makanan Thailand yang sangat lezat dan nikmat alias “maknyuss” oleh dr.Tuk. Thank you dr.Tuk  “kha pun khab dr.Tuk”


Lesson Learned
“Menuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Oke karena duit kita masih pas-pasan, jadi ke Thailan aja dulu yah belajarnya, hehehe... Banyak pembelajaran yang bisa aku share selama di negeri gajah putih ini. Di UBRU, penghargaan terhadap ilmu dan pengobatan tradisional begitu diperhatikan. Sampai-sampai, mereka punya satu fakultas khusus pengobatan tradisional. Di situ, mahasiswa belajar tentang berbagai macam bentuk pengobatan, terapi, dan penyembuhan yang berasal dari akar budaya sebagai alternatif pengobatan modern. Mahasiswa juga diajarkan memijat lho, tapi bukan pijat plus-plus. Kalo itu beda area yah..., kapan-kapan aku ceritain yang itu, hehehe...

Mahasiswa juga belajar membuat ramuan dan memproduksinya untuk umum. Salah satunya adalah krim untuk pijat, minyak semacam pelega pernafasan, juga minuman, atau kalo boleh dibilang semacam jamu, yang dikemas lebih modern dan nikmat diminum. Semua aku coba, dan ternyata, seru rasanya. Uniknya, mahasiswa kesehatan masyarakat di UBRU boleh melakukan tindakan medis, sedangkan di Indonesia tidak. 

Mahasiswa di sana sangat disiplin. Mereka juga pakai seragam lho mas bro. Ada guyonan semacam ini. “Jika kamu ingin tahu mereka mahasiswi tingkat berapa,  lihat saja roknya. Kalo rok yang dipake makin pendek, berarti semakin tinggi tingkatan mereka, hehehe...” #mulai deh berburu roknya mbak-mbak mahasiswa yang seliweran di depan kampus ^_^ sambil senyum-senyum sendiri nebak kalo mbak yang dari tadi berdiri di depan ini  pasti bentar lagi lulus kuliah, hehehe... 

Ke sebuah negara tanpa belajar bahasa lokal, itu namanya kamu belum menikmati arti traveling ke luar negeri. Tulisan Thailand emang ruwet, tapi kalo ngomongnya gak susah-susah amat kok. Paling gampang belajar bahasa adalah dimulai dari belajar angka. "ne song sam..." artinya 1,2,3. Kalimat itu pasti diucapkan kalo mau motret seseorang, jadi lama-lama hapal juga. Pengucapan angka lima adalah "ha" sehingga dalam kalimat sms atau FB, biasanya untuk mengungkapkan pernyataan tertawa, cukup ditulis dengan angka 5 sebanyak 3x. (555 = hahaha...).

Belajar bahasa Thai juga bisa lewat lagu. Dengan senang hati, dr.Tuk mengajari kami lagu Thai yang terkanal, yaitu lagu anak-anak tentang Gajah. ohh...tidaakk...!! Tapi, it's oke, mungkin lavel bahasa Thai kami yang masih 0 besar, makanya kami diajirin lagu anak-anak, hehehe.. "Chang..chang..chang..." begitulah dr.Tuk mulai menyanyi. Chang itu artinya gajah lho. Berikut beberapa kata sederhana yang mungkin bermanfaat. 
mai artinya tidak;                             chai artinya iya, 
di artinya baik/bagus;                        mai dii artinya jelek 
sway artinya cantik                          loh artinya tampan
(dek) puying artinya perempuan         (dek) pushai artinya laki-laki 

Oh ya, ada perbedaan di akhir kalimat jika yang mengucapkan itu adalah laki-laki atau perempuan. kalo perempuan berakhiran "ka" sedangkan laki-laki berakhiran "kap." Misalnya, sawadhikap.. (kalimat itu aku - karena laki-laki - ucapkan untuk memberi salam kepada orang lain). Yang buat aku heran, ternyata tone suara orang Thai itu sengau semua, hehehe... jadi kalo ngomong cuaranya "cempreng" gak ada yang nge-bas kayak mas bro Sandhy Sandoro. 

Di luar kampus, masyarakat di Ubon juga sangat tertib dan peduli kesehatan. Sangat jarang sampah berserakan di jalan. Orang sepertinya malu buang sampah sembarangan. Di pasar tradisional juga demikian. Gak ada yang namanya sampah itu “telecekan” alias berceceran di mana-mana. Pedagang sudah memilah sampah-sampah mereka, dan menempatkan pada tempat sampah yang diharuskan. Jadinya, pasar itu bersih dan nyaman buat belanja. Hmmm...., seandainya semua pasar tradisional di negara kita seperti itu yah...!



Pada malam terakhir acara konferensi, panitia menggelar semacam acara pentas seni keakraban. Tuan rumah menyuguhkan tarian dan lagu-lagu tradisional yang biasa mereka pentaskan pada acara bahagia, panen raya, atau ritual bahagia lainnya. Tarian Thailand, sekilas tidak serumit tarian tradisional di Indonesia. Tidak banyak gerak tangan, kaki, pinggul, kepala, atau bahu yang sulit dilakukan oleh pemula. Gerakannya simple, tidak rumit, dan mudah diikuti. Jadi begitu lihat, pasti bisa deh. 


@yudathant

note: Tulisan berikutnya, aku bakal jelasin soal sisi wisata lain di Thailand. Lanjut yah bacanya di next story.

Durian atau Kedondong? What Ever!

Sudah beberapa bulan ini aku menghilang dari jagad maya blogger. Bukan maksud hati seperti itu, tapi apa lah daya, semua ini karena semua tenaga terkuras oleh yang namanya tugas akhir kuliah..., oh nasib jadi mahasiswa..., akhirnya, jadwal untuk mengunjungi salah satu “pondok” ku di dunia maya ini pun tak pernah terealisasi. Anyway, saatnya mulai kembali berkarya di pondok ini. Enjoy your day guys..


“apa yang kaulihat, bukanlah fakta yang akan kau dapat"

Di sela-sela mengurus perizinan riset tugas akhirku di Bojonegoro, aku mendapatkan sebuah ilmu. Sebenarnya sih bukan ilmu baru, tapi ilmu ini dituturkan langsung dari pengalaman hidup seseorang. Pak Yono, begitu lelaki yang kini berusia 58 ini biasa dipanggil, yang menceritakan filosofi durian dan kedondong.
"Kalau orang lihat saya pertama kali itu (kesannya) pasti galak, jahat, kereng, dan gak enak pokoknya. Tapi, orang pasti akan tahu lebih kalau sudah kenal saya. Saya gak suka yang namanya bermanis-manis kalau ada orang (yang baru dikenal). Apa adanya saja," omong dia dengan lugas.
Dalam hati aku membatin. "Ohh.., pantas aja, pas tadi pertama ketemu mukanya galak amat. Gak ramah. Untung ajah tadi aku cuek-cuek monyet, anggap gak tau apa-apa, jadi gak merasa sewot meski Pak Yono pasang muka satpam, hehehe..."

Tapi, setelah sejam lebih ngobrol ngalor ngidul, Pak Yono, yang mantan pegawai dinas pendidikan ini pun mencair. Dia malah cerita perjalanan hidupnya dari pegawai honorer, sampai akhirnya kini menjabat kepala desa yang baru dilantik 11 bulan lalu. Dia juga bercerita tentang keragaman adat yang seharusnya tidak dikotori dengan konflik kepentingan. Serta, kekaguman dia dengan Bali, my encester island.
Kembali lagi soal durian dan kedondong. Baginya, berperilaku seperti durian lebih penting dari pada menjadi kedondong. Dia lebih suka menunjukkan hal-hal yang "pedas" di awal pertemanan. Dia akan melihatkan sisi jelek lebih dulu dan bersikap tegas untuk mendasari hubungan kerja sama. Setelah orang tahu sisi negatifnya, dia akan menyuguhkan sisi positif, koperatif, dan faedah yang ada dalam dirinya. Ibaratnya, orang bisa menikmati legitnya isi buah durian saat bekerja sama dengannya.
Kebalikan durian adalah kedondong. Orang macam ini adalah orang yang selalu tampak baik, tulus, dan menyenangkan. Tapi, di belakang dia malah menjelek-jelekkan dan menikam kita. (Kalo kamu tanya, emang ada orang semacam ini? Aku jawab, banyak! Tentunya dengan kadar yang beda-beda.)
Buah kedondong itu kan mulus kulitnya, kata Pak Yono. Warnanya hijau segar, menggoda untuk dinikmati. Namun setelah dikupas, rasa buahnya yang manis kecut, sering kali membuat dahi kita mengernyit, mata kita menyipit, dan lidah kita mengecap-ecap menahan rasa kecut. Belum lagi biji buah ini yang "berurat-akar" yang membuat kenikmatan makan kita menjadi tercakar-cakar. 


Durian dan kedondong, adalah sebuah filosofi ringan tentang gambaran watak seseorang yang mengorbit di sekeliling kita. Bisa jadi, teman sebangku atau teman yang sering hang out dengan kita itu durian atau kedondong murni, atau malah bukan durian tulen atau kedondong tulen. Sebab, kadar durian dan kedondong tiap orang berbeda-beda. Ada yang KW 1, KW 2, sampai KW 3.
Kalau sudah tau ternyata teman, sohib, bahkan pacar kita itu ternyata kedondong atau durian, so what? Bahkan ternyata diri kita sendiri adalah kedondong atau durian, what next? 
Sejatinya, dengan tahu apa karakter orang lain sebenarnya, hal ini akan menentukan bagaimana kita menyikapi perilaku mereka. Misalnya nih, kalau kamu ketemu dengan kedondong, kamu bakal lebih aware atau waspada. Sebab, siapa tahu yang diomongin tuh kedondong it's not a 100% true, or s/he has another agenda behind you that might harm you.
Di lain waktu, pas kamu ketemu sama durian, jangan anggap semua yang dia lakukan itu maksudnya untuk menyakiti atau melukai perasaanmu. Karena, dia berbuat tegas, keras, dan judas pasti punya tujuan baik buat kamu. Misalnya saja dia mau supaya kamu lebih disiplin, serius, dan bisa bertanggung jawab. Karena aku pernah punya pengalaman pribadi dengan durian, yaitu dengan mantan bosku.
Dia galak banget kalo sudah urusan kerja, semua bakal dimarahin habis-habisan kalo ada yang tidak perfect. Semua orang pasti takut kalo ada telpon dari nomornya, atau dari mejanya. Belum angkat telpon itu sudah panas dingin duluan. Tapi, dengan berjalannya waktu, aku pun tahu apa tujuan dia di balik itu semua. Dia ingin aku bisa menulis dengan baik. (Terima kasih ya Mas HRD, you are my exelent and idol guru).

Durian atau kedondong? What ever! Selama dia dan kamu bisa kerja sama simbiosis mutualisme, gak ada salahnya kan. Selama kalian harmonis dan sama-sama merasakan manis, maka tetaplah optimis bahwa hubungan kalian tidak meninggalkan tangis. Let's enjoy our life with a plenty of good things.  

"Pak, saya pamit dulu, terima kasih waktunya ya Pak." 
"Oh gak apa-apa mas. Nanti kapan-kapan kalau penelitiannya sudah selesai, mampir main-main ke sini lagi yah," ujar Pak Yono penuh keramahan khas orang desa. 

@yudathant