Jumat, 27 Juli 2012

Pendidik yang Ikhlas

Masih melekat dalam kotak memoriku, ironisnya pendidikan di daerah pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Bukan hanya di luar Pulau Jawa, kadang realita yang menguras rasa pedih di hati ini pun terpampang di desa yang jaraknya kurang dari 100 km dari ibu kota kabupaten/provinsi.
Aku beruntung, atau mungkin malah tidak, karena diberi kesempatan melihat sendiri ketidak-adilan yang terjadi itu, saat bekerja di tanah Cenderawasih selama 1,5 tahun. Mataku terbelalak dan hatiku perih. Bayangkan, sistem pendidikan yang berlangsung di kampung-kampung dan kebanyakan distrik (kecamatan) yang jauh dari pusat kabupaten/kota, ternyata lebih parah dibandingkan sistem pendidikan yang aku nikmati sewaktu duduk di bangku sekolah dasar dulu, 20 tahun yang lalu.
Bagi murid, minusnya fasilitas sekolah, ketiadaan buku pelajaran, bahkan absennya guru mengajar merupakan hal wajar saat mereka mencicipi ilmu pengetahuan. Jangan harap melihat papan tulis yang bagus, bangku yang kokoh, guru yang hadir tiap hari, atau alat-alat peraga yang membantu penyampaian materi pelajaran yang lengkap. Sekadar peta Indonesia atau tabel perkalian dasar pun tak terpasang di dinding. Padahal, semangat belajar mereka menggelora. Jadi, jangan heran apabila menjumpai beberapa anak-anak sekolah dasar kelas IV hingga VI yang belum lancar berhitung dan membaca.
Seperti beberapa siswa di Kampung Mokwam, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, yang kutemui setahun lalu. Waktu itu, kebetulan sebulan menjelang ujian nasional, aku berkunjung ke sekolah dasar yang tiap kelas hanya berisi 5-12 anak saja. Aku menawarkan diri membantu seorang guru bantu, yang lulusan SMA, memberi pelajaran tambahan berupa soal-soal latihan ujian, seperti yang biasa diperoleh anak-anak di kota besar. Saat aku minta salah seorang anak itu membaca soal, apa yang aku dapati? Bocah perempuan yang  berusia sekitar 12 tahun itu terbata-bata membacanya. Demikian pula saat aku minta anak-anak mengitung menjumlahan angka ratusan, butuh waktu 10 menit untuk menyelesaikannya. Cara menghitungnya pun masih dengan menderetkan pagar lidi di kertas atau mejanya. Hebat! Gumanku dengan perasaan miris sekaligus sedih.
Di sini hanya ada lima guru tetap (pegawai negeri sipil), tapi mereka jarang masuk. Yang sering mengajar malah guru bantu yang jumlahnya dua orang,” kata guru bantu yang berusia 20-an tahun itu. Tak jarang, guru harus menggabungkan murid dari dua kelas menjadi satu, seperti kelas V dan VI digabung jadi satu, atau kelas 1 dan kelas 2. Sementara di sekolah setingkat SMP, malah kekurangan guru, sehingga beberapa mata pelajaran penting, seperti fisika, bahasa inggris, dan matematika, diajarkan oleh guru bidang studi lain.
Hal serupa pun aku jumpai di Kampung Siboru, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, terletak di tanjung kecil, yang harus ditempuh dengan perahu untuk sampai ke sana. Waktu itu, aku berkunjung ke tempat pengabdian seorang kawan yang menjadi guru sukarelawan selama setahun. Dilihat dari fisik gedung dan fasilitas memang mencukupi, tapi kehadiran gurunya malah lebih sering absen dari pada muridnya. Banyak sekali alasan guru pergi meninggalkan tanggung jawabnya mengajar, seperti urusan keluarga atau pergi ke kota urusan dinas, tapi baru kembali lagi seminggu atau malah sebulan kemudian.
Seringnya guru yang absennya sempat diakui oleh wali murid, bahkan oleh kepal dinas pendidikan di kabupaten itu. Meski meresahkan, tapi belum ada sanksi tegas bagi para pendidik itu karena tenaga mereka memang benar-benar dibutuhkan. Perbandingan sekolah dengan ketersediaan guru belum sebanding. Sebuah dilema. Sayangnya, tak banyak guru yang benar-benar iklas dan punya semangat sebagai pendidik. Sebagian hanya melihatnya semata-mata profesi yang kesejahteraan hidupnya dijamin oleh negara.
Aku pun jadi gemas sendiri. “Mana itu pahlawan tanpa tanda jasa?!,” pikiranku menggugat realita pahit ini. Kemana mereka? Dimana mereka saat murid-murid ini butuh diasuh, diajar, dan dididik dengan segudang ilmu pengetahuan. Jangankan hadir di sekolah, cara mengajarnya pun sekenanya saja. Asalkan sesuai kurikulum atau silabus dinas pendidikan, tak sadar kalau anak didiknya belum lancar membaca dan berhitung. “Kalau nilainya kurang, nanti dibantu oleh gurunya,” ujar seorang wali murid yang kecewa dengan sikap apatis sejumlah guru di sekolah anaknya. 


Soal sikap apatis guru, jangankan di daerah terpencil, di daerah kota pun masih sering dijumpai. Keponakanku yang duduk di bangku SMA di Pasuruan, Jawa Timur, berseloroh, “Santai aja om, soal ulangan (Bahasa Indonesia) sudah diberi tahu sama gurunya. Asal menghapalkan semua kisi-kisinya pasti nilainya bagus. Gak perlu belajar semua materi, toh gurunya juga gak pernah ngajarin materi-materi yang ada di buku,” ujarnya. Lho kok gini ya?!?!?!, aku menggerutu sendiri.
Memang sih tidak semua guru apatis. Masih banyak kok guru yang peduli dengan pendidikan anak didiknya. Tapi, bagaimana nasib pendidikan di daerah, khusunya daerah pinggiran, dimana sistem kontrol dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah daerahnya relatif sangat lemah. Tak ada yang mengontrol kerja guru, (maaf) yang tak ikhlas dan berkomitmen mendidik muridnya.
Lalu, mengapa masih ada saja guru yang apatis dan cuek dengan kualitas pendidikan? Padahal, dampaknya panjang bak deretan kartu domino yang berdiri sejajar dan sewaktu-waktu bisa rubuh tertiup angin. Seperti, angka kelulusan yang rendah dengan syarat kelulusan yang mencekik leher, atau kualitas lulusan yang tak mampu bersaing dengan siswa lain saat duduk di jenjang pendidikan lebih tinggi. Ujung-ujungnya, mimpi dan masa depan anak-anak didik tersebut pun kabur menguap tanpa arah yang jelas.
Mungkinkah para pendidik ini sudah enggan bersikap ikhlas, kreatif, dan malas belajar, sehingga mereka hanya menjalankan kewajiban seperti mesin (robot) sesuai menu kurikulum yang diorder. Mungkin juga tak adanya reward and punishment yang diberlakukan sehingga  rasa tanggung jawab mereka terkikis pelan-pelan. Ataukah gaji yang tak sepadan dengan pengorbanan?
Dan, memang tidak mudah menjadi pendidik yang ikhlas. Yang tak terjebak dalam tujuan mengejar pangkat, honor, atau status. Sebab, ikhlas berarti pendidik harus bisa jujur, tegar dalam menghadapi jutaan masalah belajar-mengajar, sabar dan berniat pada satu tujuan, yakni mencerdaskan sekaligus mencerahkan anak-anak didiknya. Hal ini tak segampang membalikkan mangkuk kosong, tapi tak ada salahnya kita mulai dari sekarang. Sebab, pendidiklah (guru) yang membangun pondasi mimpi besar tiap anak-anak didiknya. 

-yuda thant- 

(Tulisan ini untuk Mengikuti Kompetisi Blog Sampoerna School of Education)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar