Senin, 30 Juli 2012

Mengintip Jaga Bayan

Malam sudah pekat. Dentang lonceng 12 kali baru saja lewat. Sinar jingga lampu jalan di atas kepala mengiringi tiap langkah menyusuri sisi kota tua. Toko-toko yang berimpit-padat nan riuh kala siang benderang, terdiam sunyi menutup diri saat bulan menari di langit tinggi. Meskipun tak ingin berhenti, sudah waktunya laskar menyudahi perjalanan singkatnya mengintipi sejarah di kampung sarat histori.
Surabaya memang “Kota Pahlawan.” Tiap sudut, sisi, dan petak di kota ini meninggalkan kisah sejarah yang sayang dilewatkan. Kota yang terkenal dengan semangat juang arek-areknya, perobekan bendera “merah-putih-biru” (Belanda) menjadi dwi warna, “merah-putih” di atas Hotel Majapahit, hingga semboyan “merdaka ataoe mati” ini terus melekat hingga  kini.
Namun, banyak kisah-kisah heroik yang melekat pada sejarah perjuangan dan pergerakan arek-arek Surabaya itu tak terungkap atau terpublikasikan pada buku sejarah. Cerita itu pun menjadi dongeng, atau terekam pada buku-buku tua nan tebal, tak jarang berbahasa asing, khususnya bahasa Belanda. Terbukti pada vakansi yang aku iringi Sabtu (28/7) malam lalu, bersama dengan teman-teman dari Roodebrug Soerabaia.
Acap kali aku melintasi Jalan Kramat Gantung dan Bubutan, yang posisinya sejajar, di sebelah selatan Tugu Pahlawan. Namun, baru kali ini aku tahu bahwa kawasan itu menyimpan kisah sejarah tak terungkap. Kramat Gantung, misalnya, merupakan kawasan pecinan yang masih mempertahankan eksistensi tradisi budaya leluhurnya hingga kini. Daerah tersebut dinamakan “kramat” karena dulunya ialah pemukiman para tokoh pemerintahan. Sehingga, nama-nama kampungnya dinamai seperti nama status jabatan, seperti Jaga Bayan (carik desa) dan Kepatian (patih). Konon, daerah Kramat Gantung dan Bubutan merupakan kawasan keraton Surabaya.
Sebagian rumah dan bangunan di kedua kawasan itu masih terawat keotentikannya. Mulai dari bentuk tembok, atap rumah, pintu dan jendela, hingga gembok pintu yang dipasang, masih ada yang antik. Di beberapa kampung, terlihat juga semacam pos jaga (ronda) yang terletak di atas gapura pintu masuk gang (jalan kampung). Diletakkan di atas gapura mungkin agar supaya pengawasannya lebih seksama, dan tidak sekadar formalitas seperti pos kamling yang banyak dibuat di kampung-kampung modern.
Di Jalan Bubutan, aku baru tahu ada Monumen Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, yang terletak di sisi kiri kantor cabang NU Surabaya. Menurut pengurus, yang juga cucu dari pelaku sejarah di Kota Surabaya, sebagian besar bangunan dan interior kantor itu masih asli, dan diperkirakan sudah berusia 100 tahun. Terlihat dari lantai marmernya yang terpasang bak karpet batik juga joglo dan bagian atapnya. Seperti kebanyakan rumah tinggal jaman dulu, selalu disediakan pintu samping yang sempit dengan lorong gang panjang. Katanya, pintu ini digunakan para perempuan yang hendak keluar rumah, sebab zaman dulu, perempuan jarang diperbolehkan lewat pintu utama, terlebih pada malam hari.
Berdasarkan kisah kakeknya, si pengurus NU itu bercerita, Bubutan adalah kawasan santri di Surabaya pada tahun 1940-an. Para santrilah yang ikut berjuang membantu tentara dan patriot mempertahankan kota ikan Sura dan Buaya ini dari agresi tentara Sekutu. Mereka jugalah yang ikut menumpahkan darah pada pertempuran 10 November 1945. Tak hanya itu, para kiai di kawasan santri ternyata memompa semangat juang Bung Tomo, penggerak perjuangan arek-arek Suroboyo. Termasuk ikut membantu merebut stasiun radio milik Jepang,  untuk menyiarkan kemerdekaan RI ke kawat dunia.
Satu fakta menarik lagi. Ternyata, sebagian pasukan Gurkha yang merupakan bala tentara pihak Sekutu membelot dan malah membela pejuang Surabaya. Tentara Gurkha yang membelot adalah yang berasal dari Pakistan, sedangkan yang dari Nepal tetap membantu Inggris. “Kalau saja tidak dibantu tentara Gurkha dari Pakistan, mungkin tentara kita akan kewalahan,” tambahnya. Oleh sebab itu, di kawasan itu banyak dijumpai warga keturunan Pakistan, yang merupakan anak-cucu tentara Gurkha yang akhirnya menetap di Surabaya.  


 
foto’s notes : (serah jarum jam, mulai dari pojok kanan atas)
1.      Kantor cabang Nahdlatul Ulama Surabaya, diperkirakan dibangun tahun 1901
2.      Monumen Perjuangan 10 November, di Taman Centhong
3.      Aktivitas santri sedang mengaji di dalam Kantor cabang Nahdlatul Ulama Surabaya
4.      Jembatan tua di atas Sungai Kalimas di Peneleh, dibangun semasa dengan Jembatan Merah
5.      Rumah tua dengan gaya Eropa di daerah Peneleh
6.      Salah satu rumah jaga di atas gapura gang, di Jalan Kramat Gantung (sewaktu ngambil gambar hampir disambar ama bus kota--red)
7.      Kampung Kepatian, di Jalan Kramat Gantung
8.      Rumah HOS Tjokroaminoto, di Jalan Peneleh VII, yang kini menjadi gedung cagar budaya

 Perjalanan berlanjut. Di ujung pertemuan Jalan Kramat Gantung-Bubutan, terdapat Monumen Centong. Dinamakan centong, sebab taman tempat berdirinya patung seorang pejuang membawa bambu runcing bentuknya seperti sendok nasi. Dulunya, sebelum hancur berantakan oleh bombardir tentara Sekutu, monumen itu berupa tugu biasa untuk menghormati pengorbanan seorang relawan red cross Inggris di Aceh. Sekarang monumen yang dibangun tahun 1970 itu untuk menghormati semangat juang arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945.
Berjalan sekitar 100 meter dan menyeberangi jembatan tua, tibalah di Kampung Peneleh (Peneleh gang VII). Di sana terdapat rumah joglo khas Surabaya milik Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, bernomor 29-31, bercat hijau dan masih terawat rapi. Sayang, penjelajahan ini dilakukan malam hari sehingga tak bisa melihat kondisi di dalam rumah itu. Di rumah inilah, Ir Soekarno dan Dr Soetomo pernah “nge-kos” dan menimba ilmu dari pemilik rumah, yang juga tokoh penting Sarikat Islam. Konon, pemuda bernama Soekarno pernah menaruh hati pada putri HOS Tjokroaminoto, namun sayang cinta mereka bertepuk sebelah tangan. (Jadi bertanya-tanya, apa dulu Soekarno sempat merasa galau gak sih karena cintanya ditolak??) 
Yah.., akhirnya perjalanan selama dua jam ini harus berakhir. Sudah lewat jam malam, begitu seloroh seorang peserta 3 in 1 on the road Roodebrug Soerabaia. Tapi jangan khawatir, vakansi selanjutnya pasti akan lebih seru.
Bak musafir merindukan air karena dahaga, begitulah rasa ingin tahu yang kini tercipta. Sejarah memang tak pernah habis bercerita, karena tiap jengkalnya punya makna. Biarpun malam bertambah gelap, biarkanlah aku tidak terlelap, karena ku tak ingin malam ini berlalu sekejap.
-yuda thant-


1 komentar:

  1. Ternyata gema takbir yang dikumandangkan oleh Bung Tomo dan Arek2 Suroboyo berhasil menggetarkan dinding qalbu pasukan Gurkha terutama yang berasal dari Pakistan, sehingga mereka membelot karena sadar bahwa yang sedang mereka hadapi sebetulnya adalah saudara mereka sendiri....Alhamdulillah.....

    BalasHapus