Senin, 06 Agustus 2012

"Simpanan" 6 Tahun

Ternyata punya simpanan itu emang mengasyikan. Pantas aja, semua orang, gak itu laki-laki gak perempuan, gak muda, gak tua, semuanya doyan dan bergairah dengan yang namanya simpanan. Mulai simpanan tak bergerak, simpanan berkemilauan cahaya, sampai simpanan yang bisa mendesah "aagghhh..." sambil nyakar-nyakar bikin gemes. (waduh.., kok pada berkhayal yang macem-macem nih..!!)

Simpanan yang aku maksud kali ini adalah tabungan. Yakni tabungan yang tertanam rapi selama 6 tahun di sebuah lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah untuk menjamin kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia, PT Jamsostek. Simpanan yang nilainya tak seberapa itu terhimpun dalam salah satu produk Jamsostek, yakni "JHT" - jaminan hari tua.

Meski belum saatnya dipanen, karena umur belum sampai pada pijakan ke-55, terpaksa aku menuainya. Soalnya, aku kan baru keluar dari kantor yang lama, yang sudah jadi tempat aku belajar banyak hal, termasuk belajar hidup. Selain butuh duit buat bayar cicilan hutang, ada rencana duitnya juga mau dipakai modal. (yang jelas bukan modal kawin...)

4 bulan sudah berlalu sejak aku "pensiun dini" simpanan itu sudah boleh dicairkan. Menerut ketentuan sih, sebulan setelah "cabut" dari kantor sudah bisa dicairkan, asal masa mengabdi kita di kantor lebih dari 5 tahun. "Saatnya dicairkan nih," pikir aku selama beberapa hari terakhir. 

Sebelum berangkat ke Kantor Jamsostek Surabaya di Jalan Karimunjawa, sebelah RS Siloam (dulunya RS Budi Mulia), aku berselancar dulu di internet cari tahu apa saja syarat untuk menguangkan simpanan tersebut. Ternyata nggak susah, diantaranya :
1. Kartu Jamsostek (plus 1 fotocopy-nya) 
2. KTP (plus 2 fotocopy-nya 
3. KSK asli (plus 1 fotocopy-nya)
4. Surat Keterangan Kerja dari (mantan) Perusahaan kita (plus 1 fotocopy-nya) 
5. Buku Tabungan (plus 1 fotocopy-nya), jika ingin ditransfer via rekening

Semua persyarratan sudah komplit, aku pun berangkat naik si GovinDa, motor GL-Max ku yang sudah uzur umurnya. Jam 11.45 aku mendarat selamat di kantor yang gedungnya didominasi warna putih dan hijau itu. Saat membuka pintu kacanya, aku melihat ada 6 meja yang di belakangnya duduk mbak-mbak dan mas-mas yang memberikan pelayanan kepada konsumen Jamsotek. Sementara di kursi tunggu, sekitar 30 orang duduk dengan membawa amplop, formulir, atau nomor antrean. 

"Nah itu dia mesin antreannya," ujarku sambil merapat ke mesinnya. Setelah memencet kolom JHT/JK, sesuai tujuankua, nomor antrean yang keluar adalah 70. "Wuiihh.., lama nih. Soalnya, layar pengumuman menunjukkan nomor antrean yang sedang dilayani adalah nomor 52," aku bergumam sendiri. 

Baru saja pantat ini menyentuh kursi. Seorang bapak-bapak yang baru masuk bertanya kepada satpam yang berdiri dekat mesin antrean. (lho, kok tadi satpam itu gak ada di sana yah?!) Satpam yang kuperkirakan usianya hampir 50 tahun itu pun menjelaskan sopan prosedur dan prasyaratan untuk mencairkan simpanan JHT. Dan, harus mengisi formulir yang berkasnya ada di mejanya. 

Karena merasa belum dapat formulir itu, aku pun mendekati pak satpam itu. "Pak, saya belum dapat formulirnya. Boleh saya minta satu?" tanya saya. Dia memberikan selembar formulir, lalu bertanya "sudah dapat nomor antrean?". "Sudah pak," jawab saya singkat. Setelah kembali ke kursi, aku mencoba mencari bolpen untuk mengisi formulir. "Sial, lupa bawa bolpen," sambil celingukan mencari siapa orang di deretan kursi yang bawa bolpen dan bisa dipinjam. Mbak-mbak di sebelah aku pun menyarankan pinjam ke pak satpam di dekat mesin antrean. 

"Pak, boleh pinjam bolpen?" tanya saya lagi. "Oh, silahkan," balasnya sopan. Tak sampai 10 menit, formulir itu selesai aku isi, dan aku susun rapi di atas berkas-berkas syarat yang aku butuhkan. Termasuk nomor antrean yang aku klip di atas formulir. 

Saat mengembalikan bolpen, pak satpam memeriksa ulang berkas yang aku susun. Tanpa diminta, dia pun menawarkan nomor antrean lebih kecil. "Ini ada nomor antrean yang lebih duluan," katanya. Benar, nomornya 56, sedangkan nomor di layar antrean menunjukkan 55. Wah, pas banget, pikirku. "Makasih pak," balasku sumringah.Benar saja. Tak sampai 2 menit, nomor antreanku dipanggil ke meja 4.

Mbak-mbak yang menerima aku di meja nomor 4 menyapa dengan suara halus. (hmm.., suaranya memang lembut atau lemas menahan lapar karena puasa ya??). Tangannya lincah membilah-bilah berkas yang aku serahkan, lalu mengembalikan surat-surat yang asli dan menyimpan berkas fotocopy-annya. "Mau terima tunai, cek, atau rekening?" tanyanya. "Rekening saja," jawabku singat. "Kalau lewat rekning lima hari prosesnya? tidak apa-apa?" tanya dia lagi. "Oh tidak apa-apa, tidak terlalu buru-buru kok," balasku sekenanya sambil mengambil berkas yang dia kembalikan. 

Mantab, dua jempol ngangkat di udara. Proses pencairan dan pelayanan JHT tak belibet atau bertele-tele. Paling hanya 10 menit saja. Sambil membuat laporan pada rekam data di komputernya, aku menyempatkan diri bertanya. "Kartu jamsostek-nya diambil ya mbak? Seandainya nanti saya kerja lagi di perusahaan, apa saya daftar ulang ke sini lagi? tanyaku. 

"Ya mas, kartunya kami ambil dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Nanti, kalau masnya kerja lagi, HRD perusahaan yang biasanya mendaftarkan ke kami (Jamsostek), lalu  mas dapat nomor (keikutsertaan) Jamsostek yang baru. Nomor lama gak akan berpengaruh ke nomor yang baru, demikian juga nomor yang baru gak pengaruh ke nomor yang lama," jelasnya. "OOhhh.., gitu yah," gumamku sambil mengangguk-angguk. 

"Ok mas, ini jumlah uang yang akan kami transfer, lima hari-an yah. Nilainya kalau kurang dari seperti yang tercantum di sini, mas bisa komplain, tapi kalau lebih, itu berarti bunga yang diterima dari simpanan mas," tambah mbak-mbak itu dengan senyum sekadarnya. "Baik mbak. Makasih ya," balasku. "Terima kasih," balasnya lagi. 


Langkah pun terasa lebih ringan. Dan tiba-tiba, aku ingat dengan pak satpam di dekat mesin antrean, dan langsung berniat memberinya sedikit tip atas "kemudahan" yang telah dia berikan. Memberiku nomor antrean lebih kecil dari nomor antrean yang telah aku ambil dari mesin antrean. "Terima kasih pak," ucapku sambil menyodorkan tangan yang menggenggam uang Rp 20 ribu-an. Reflek pak satpam itu pun menyambut sodoran tanganku dan tersipu malu juga mengucapkan terima kasih. "Makasih ya mas," ujarnya tulus. 

Berjalan ke parkiran, sejuta gagasan di dalam otak beterbangan. Aduh, dipakai apa nih duit yah?? Kalau buat modal usaha, kira-kira mau usaha apa yah?? Dengan uang yang gak banyak ini usaha pa nih yang pas, profit, tapi aku enjoy ngejalaninnya??? (otak berpikir keras, sampai jadi ngantuk deh) "Ahhh..., pulang aja deh, lalu tidur di rumah. Mikirnya dilanjutin nanti ajah," akhirnya rasa malas yang menang, hehehe... 

"Greenggggg....," mesin motorku nyala, dan segera melaju di jalan aspal yang panas menuju rumah. 

-yuda thant-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar