Senin, 13 Agustus 2012

"Lek, Apa Kita Sudah Merdeka?"


   “Lek, opo kene wis merdeka yo?” tanya bocah laki-laki sambil beringsut di bawah selimut kardusnya menutupi tubuhnya yang kurus-dekil digigiti nyamuk-nyamuk sungai.
   “Ya tentu ae wis tho le. Lihatan ae, nang ndhi-endhi gendero merah putih wis dipasang. Ndek pinggir dalan, ndek sekolahan, ndek omah-omah. Saiki yo wis gak ono perang tho” jawab lelaki yang lebih dewasa, duduk di sampingnya dengan membersihkan botol-botol bekas supaya bisa diuangkan esok paginya.
   “Tapi lek, kok awak dhewe sik melarat yo? Aku gak sekolah, Paklek gerah tapi gak iso tuku obat nang rumah sakit. Opo bener kene wis merdeka Lek?” tambah si bocah lagi.
   Sesaat, hanya nyanyian jangkrik di larut malam dan desingan cepat motor bebek yang melintas di atas jembatan, tempat kedua kerabat itu bernaung. 
   “Halah, kowe iki takone kok macem-macem. Wis ndang turu. Sesuk, ngotes maneh, golek botol plastik sing akeh,” kilah si Paklek (paman dari adik ayah/ibu) sekenanya karena tak tahu harus menjawab apa pertanyaan ponokannya.

***

Terlempar jauh dari pahitnya kehidupan si bocah dan Paklek-nya, serentet romantika kemerdekaan diceritakan penuh antusias oleh tiga laki-laki yang usianya sudah di atas 70 tahun. Garis kerutan dan lipatan kulit mereka menjadi saksi kerasnya perjuangan. Dan, bekas-bekas luka tembak yang mebuat mereka berjalan pincang, merupakan bukti semangat juangnya tak pernah padam.
 
Mbah atau eyang, tampaknya panggilan yang paling pas jika aku menyapa mereka bertiga, mantan pejuang yang merupakan anggota dari Korps Cacad Veteran RI, cabang Surabaya. Mbah Ismunandar (sekitar 70 tahun), Mbah Amari (80 tahun), dan Mbah Moekari (84 tahun), berbagi pengalamannya kepada gerombolan muda-mudi pecinta sejarah yang tergabung dalam Roodebrug Soerabaia. Suka derita mempertahankan kemerdekaan, mereka tuturkan di kantor KCVRI Surabaya, Jalan Rajawali, pada Minggu (12/8) siang yang panas.


Mbah Moekari, yang mantan pasukan polisi istimewa, atau cikal bakal Brimob, sempat menitikkan air mata saat mengenang rekan-rekannya tewas dihujani peluru. Hanya dua dari 15 orang tentara, salah satunya dirinya, yang berhasil selamat saat disergap tentara Belanda. Lalu Mbah Amari bercerita tentang minimnya obat-obatan untuk menyembuhkan luka perang bagi tentara Indonesia. Hanya diberi asupan kacang hijau dan nasi, agar cepat sembuh.  

Kami (para veteran) sepertinya rame ing gawe sepi ing pamrih” ugkap Mbah Ismunandar, sedikit menyimpulkan. Jika ditelaah, maksudnya mungkin, ketika berjuang yang terpenting bagi mereka hanyalah semangat mempertahankan kedaulatan RI dan membela tanah air, tanpa melihat berapa besar penghargaan atau rupiah yang akan dikantongi. Bukannya sibuk mencari kedudukan-jabatan, seperti yang banyak disibukkan pejabat dan pembesar yang mengaku-aku “pahlawan” di masa kini.

Seorang pejuang, kala itu, kata Mbah Moekri, harus bersikap nrimo ing pandum, atau menerima apa saja yang Tuhan berikan, yang dimilikinya, tapi tetap berjuang. Walaupun tak punya markas, harus menumpang dan berpindah-pindah, dibayar rendah, hanya Rp 15/bulan, bukan alasan menyurutkan gelora perjuangan kemerdekaan. Mereka menyadari, veteran, apa lagi yang mengalami cacad perang, adalah "tumbal negara." Tumbal yang dikorbankan demi mencapai podium kemerdekaan. Satu lagi yang terpenting kata Mbah Moekri, meski kita perang tapi harus tetap jujur dan sportif. Biarpun rasa dendam berkecamuk karena Belanda telah membunuh teman-temannya, tetap saja jika ada tentara Belanda tertangkap tak bisa dimain hakim sendiri.

Mereka bertiga merupakan saksi sejarah yang mewakili ratusan veteran yang kini masih bertahan hidup menyaksikan 67 tahun kemerdekaan RI. Merekalah yang merintis tangga kemerdekaan yang kita nikmati sekarang. Namun, bukan berarti kehidupan mereka layak. Di Asrama KCVRI Surabaya atau dulunya bernama “Asrama Invalide”adalah tempat tinggal bagi veteran, janda dan keturunan veteran yang cacad perang. Petak-petak rumah saling berimpitan, dengan kamar mandi umum.

Lilis (46) putri Mbah Misroe Harmiyanto (alm), mantan kepala, mengatakan dulu tinggal 30 keluarga veteran cacad dalam rumah yang tersekat-sekat tembok dan papan. Tapi kini, tersisa 14 janda serta keturunan veteran. “Sudah agak lebih lega, karena penghuninya makin sedikit dibandingkan dulu,” ujar Lilis yang lahir dan besar di asrama itu.

Menariknya, sebuah bungker yang separuh bangunannya terendam tanah, juga disulap jadi tempat tinggal bagi dua keluarga. Kediaman ibu Hadi dan ibu Wardoyo. Luas bungker dengan tebal dinding luarnya sekitar 65 cm, dan tebal atapnya sekitar 120 cm, tak lebih dari 30 meter persegi. Ada empat ruang yang terhubung dengan tiga pintu besi. Pintu-pintu, atap kayu jati, dan bagian dalam bunker masih utuh keasliannnya.

Biar di luar panas, tapi kalau di dalam dingin kok. Orang di dalam bisa dengar suara di luar, tapi orang luar tidak akan dengar orang bicara apa di dalam bunker,” jelas warga asrama. “Wow.., tidur di bunker tapi bukan karena perang. Tidur di bunker padahal zaman sudah merdeka,” celotehku riuh dalam otak sendiri.

Aku pun jadi berpikir sama seperti Tole. Apa benar kita sudah merdeka? Atau hanya sebagian orang yang sudah merdeka, sedangkan yang lain masih tetap terjajah? Parahanya, mereka terjajah oleh bangsanya sendiri. Dan anehnya, yang terjajah malah pasrah. Hidup menyerah tanpa asa, menurut apa saja kata si penguasa. Bahkan, si terjajah linglung sehingga gampang digulung. Sementara si penjajah semakin agung di atas kapal limbung.

Katanya merdeka, tapi sekolah aja kok mahalnya minta ampun. Katanya merdeka, tapi rumah masih di kolong jembatan. Katanya merdeka, tapi kok berobat aja harus ngemis dulu sama rumah sakit. Katanya merdeka, tapi jujur sedikit, langsung diprotes. “Huuhh.., merdeka atau setengah merdeka? Kalau telur setengah matang sih enak, tapi kalau setengah merdeka sih sama aja bohong om..!!” 


 
***

   “Lek, besok sarapan ikan asin opo tempe?” tanya si bocah sembari menguap lebar melepaskan kantuk yang amat dalam. 
   “Sarapan?! Bocah semprul. Wong bengi iki ae kita cuman mangan angin karo teh tawar. Wis gak usah dipikir sesuk mangan opo, sing penting kowe isih iso ambeg-an ae iku lak yo wis untung-untungan,” timpal Paklek yang lalu meniup mati api lampu ublik (lampu tempel) yang nyalanya temaram.


--yuda thant--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar