Senin, 20 Agustus 2012

Ijen to Ijen (part one)


(part one)

Sleeping bag sudah masuk. Baju ganti, senter, jaket, kamera, tripod, sarung, dan peta juga sudah. Apa lagi yang belum yah?” gumanku, mengecek isi ransel yang bakal dibawa berpetualang kali ini. “Ahh, obat-obatan! Ini dia yang belum masuk,” plastik putih berisi obat antiseptik, plester, minyak angin, dan salep pereda nyeri otot, pun segera kumasukkan ke kantong ransel.

Episode petualangan kali ini adalah Kawah ijen, sebuah kawah yang terletak di gugusan gunung berapi di Jawa Timur. Letaknya dekat Gunung Merapi, di perbatasan 2 kabupaten, Banyuwangi dan Bondowoso. Dari Surabaya, jaraknya sekitar 270 km sampai di pos peristirahatan, Paltuding. Serunya, perjalanan ke kawah belerang itu bakal aku tempuh dengan kuda besiku, si govinda.  


Pagi sudah berlalu, jam menunjukkan pukul 07.40. Perjalanan panjang menanti di depan. Rencana awalnya memang berangkat pukul 09.00, tapi terpaksa di-delay 2 jam karena harus “menjernihkan hati” lebih dulu. Meski gagal mengajak sohib perjalananku, karena mendadak kakaknya berkunjung ke Surabaya, aku tetap bertekad berangkat. Tepat jam 11.05, mesin motor kunyalakan, petualangan pun dimulai.

Dengan kecepatan 40-60 km/jam, motor ini melaju membelah Kota Surabaya yang beranjak ditinggal oleh penduduknya yang mudik, Jumat (17/8). Dengan kecepatan seperti itu, aku memperkirakan waktu tempuh sampai ke Ijen adalah 8 jam, atau sekitar jam 7 malam. Sudah termasuk waktu untuk istirahat makan, berhenti meluruskan punggung juga memberi nafas bokong yang semakin tepos ini.

Perjalanan Surabaya-Besuki (Situbondo) relatif ramai lancar. Tidak ada simpul kemacetan. Mungkin karena hari ini libur, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, dan puasa, jadi orang memilih tetap di rumah. “Wuih, jalan-jalan kali ini boleh dong dibilang petualangan kemerdekaan, soalnya pas tanggal 17 Agustus, hehe..,” aku senyum-senyum sendiri dalam perjalanan.  

Rute selanjutnya dari Besuki adalah Kota Bondowoso lalu ke Kecamatan Wonosari, lanjut Kecamatan Sempol. Besuki-Bondowoso-Wonosari jaraknya sekitar 40 km. Kondisi jalan mulus, berkelok-kelok, dan naik turun, terutama di kawasan hutan sebulan masuk ke Bondowoso. Pemandangan lumayyan indah, apa lagi ada sinar jingga matahari sore menembus di sela-sela pohon jati.

Nah, yang butuh konsentrasi tingkat tinggi adalah di rute Wonosari-Sempol. Jaraknya sekitar 55 km, sebagian besar beraspal, tapi sekitar 15 km mendekati Sempol, jalannya rusak. Jalan rusak terparah sekitar 2 km. Kondisinya berbatu, dengan kemiringan jalan tanjakan sekitar 25-30 meter. Kebetulan, aku sampai di jalan rusak itu sudah gelap, sekitar jam 17.30.

Busyet...! Benar-benar perjuangan demi kawah Ijen. Gelap, sendiri, dan tanjakan jalan rusak. Klop sudah. Gak kebayang kalo “salah langkah” terus jatuh, hehe.. “Postive thinking... bisa... bisa... bisa...” kata-kata itu yang jadi penyemangat supaya tetap hati-hati. Perasaan sedikit lega saat beberapa kali mobil pick-up pengangkut sayur turun menuju Wonosari. Satu-dua, sepeda motor juga melintas. “Berarti daerah ini aman. Gak usah mikir macem-macem deh,” otak kecil memerintah untuk terus fokus pada jalan.

Akhirnya, jalan mulai membaik setelah mendekati pos pengamanan pertama di Sempol. Tepatnya, ada tigga pos pengamanan yang akan dilewati dari Sempol ke Paltuding. Maklumlah, sebagian besar lahan di dataran tinggi Ijen ini adalah kawasan perkebunan kopi, dan terdapat pabrik kopi milik PT Perkebunan Nasional XII. Jadi, wajarlah pengawasannya sedikit ketat. Tapi, gak perlu cemas. Asalkan kita bukan teroris dan gak punya niat jahat, pasti boleh lewat kok. (Nah, kalo yang punya tampang kayak teroris, itu derita lu deh, hehe..) 

Jam di pos pengamanan menunjukkan pukul 18.20. Tiga petugasnya menyambut saya dengan ramah dan memberi informasi-informasi lumayan penting tentang Ijen. Bahkan, mereka menawari aku makan malam, dengan menu nasi jagung dan ikan pindang. Wah, pas perut lapar, ada yang nawarin makanan. Memang nasib lagi baik nih. “Makasih ya pak,” jawabku penuh sumringah. Mereka sebenarnya menawarkan agar aku tidur di pos saja, lalu berangkat ke sana pukul 03.00 pagi, dari pada tidur di Paltuding. Sebab, di sana lebih dingin jika tengah malam. Tapi, karena takut telat bangun, aku pun memilih melanjutkan perjalanan ke garis start kedua di Paltuding. 

Makanya, setelah 1,5 jam nongkrong dan ngobrol dengan ketiga bapak penjaga, itu aku pun pamitan. Ditemani taburan bintang di langit nan gelap tanpa bulan, aku menyusuri jalan aspal yang membelah kebun kopi. Udara makin terasa dingin. “Setelah lewat Kampung Baru ada makam, ambil jalan yang ke kanan ya,” kata salah seorang petugas keamanan itu. (Lho kok serem, pake lewat kuburan segala?!?! Moga-moga gak ada setan iseng nangkring di pinggir jalan lalu nyetopin aku minta nebeng mau ikut ke Paltuding...#$&##@!!! )

(bersambung..)

-    yuda thant -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar