Rabu, 08 Agustus 2012

Dislessia su Libri di Luca

Hampir seminggu aku tenggelam dalam buku fiksi  bersampul merah tua-coklat gelap bergambar lorong perpustakaan antik. Judulnya “Libri di Luca.” Novel karangan Mikkel Birkegaard, penulis asal Denmark, ini membuat aku terbius dan menyadari bahwa buku merupakan wujud pengejawantahan imajinasi liar otak. Sebab, segala persepsi, histori, mimpi, bercampur imajinasi, akan muncul saat kita membaca dan membayangkan perjalanan cerita isi bukunya. Namun, bukan isi atau menariknya buku itu yang hendak aku celotehkan. 

Di novel itu, ada satu karakter pendukung, Katherina namanya, gadis berambut merah penjaga toko buku antik yang menderita disleksia (dyslexia). Meski tak lancar membaca, dia bisa melayani pembeli hanya dengan “membaca” judul yang dibaca pembelinya, meski itu dalam hati si pembeli. 

Nah, gangguan kesehatan ini yang membuatku tertarik karena aku pernah merasa mengidap penyakit disleksia. Sebab, acap kali aku merasa kesulitan mendapatkan konsentrasi untuk mengerjakan sesuatu, termasuk itu membaca. Kadang, aku harus membaca berulang kali sebuah paragraf karena aku belum memahami maknanya, meski aku bisa membaca tiap katanya dengan lancar. Tapi, terkadang kata-kata yang aku baca pun terselip atau terlewat, sehingga menjadi kalimat yang kacau. 

Waduh gawat, sepertinya aku menderita disleksia. Parah gak ya?” pikirku.

Suatu waktu, saat di Jakarta, aku menyempatkan mampir ke sebuah sekolah khusus bagi penderita disleksia. Aku menemuai seorang gurunya, bahkan diajak masuk ke dalam kelas untuk melihat aktivitas belajar-mengajar anak-anak yang menderita gangguan kesulitan konsentrasi membaca dan berhitung. Dan, memang benar. Di kelas yang hanya berisi kurang dari 10 anak berusia sekitar 7-9 tahun, anak-anaknya terlihat hiperaktif dan sulit sekali jika diminta fokus dan serius mengikuti pelajaran dari bu guru yang di depan kelas. 

Kepada aku, bu guru menjelaskan, tidak semua anak di dalam kelas ini punya masalah yang sama. Ada anak yang kesulitan membaca, ada yang kesulitan berhitung, dan ada kesulitan menghapalkan bentuk benda. Saat itu, aku melihat kelucuan dan hiperaktif anak-anak itu bukan sebagai gangguan, tapi sebuah keunikan yang menarik jika ditelaah. 

Disleksia, dislessia, atau dyslexia, sebuah ketidakmampuan anak-anak (bahkan orang dewasa) untuk belajar  akibat kesulitan saat mengeja, membaca, menulis, dan sebagian lagi berhitung. Menurut pemaparan ahli dalam Asosiasi Disleksia Indonesia, disleksia akibat kelainan neurobiologis yang ditandai kesulitan mengenal kata dengan tepat/akurat dalam pengejaan serta kemampuan mengodekan simbol-simbol. Kalau mengacu pada bahasa aslinya, bahasa Yunani, dys (kesulitan) dan lexix (leksikal/huruf) – sumber wikepedia – 

Dilihat dari penyebabnya, ada dua, yakni developmental dyslexia (bahawan lahir/keturunan) serta acquired dyslexia (gangguan/cidera otak kiri). Berdasarkan penelitian, 70 persen penderita disleksia karena faktor genetis, sisanya karena cidera saat beranjak dewasa. Diperkirakan, disleksia terjangkit pada 15 persen populasi di masyarakat, dan laki-laki dua kali lebih banyak menderita. (jeng jenggg...!!)

Ciri-ciri disleksia bisa dideteksi saat tumbuh kembang anak-anak. Biasanya, mereka kesulitan membaca dan membedakan huruf (d/b/q/p/f/v/u/n/m), membedakan kata-kata yang bunyinya mirip atau huruf-hurufnya saling terbalik (palu/malu, nakal/kanal, kepala/kelapa), bahkan kesulitan mengeja furuh dari kata yang disebutkannya. Sehingga, membuat anak-anak ini malas belajar membbaca dan menulis. 

Beberapa ciri lainnya: mencatat yang tertulis di papan tulis, mengingat kata-kata dan ingatan jangka pendek, sehingga besar kemungkinan tidak menyelesaikan tugas/pesan yang disampaikan berurutan. Beberapa anak akan kesulitan memperkirakan waktu dan uang, tidak sabaran melakukan kegiatan motorik halus (memegang benang dan jarum). Akibatnya, anak-anak penderita disleksian kerap kali disebut anak bodoh, bahkan idiot. Tak jarang, mereka terlambat dideteksi. Padahal, banyak anak-anak penderita disleksia memiliki IQ di atas rata-rata, dan banyak yang menjadi orang besar dan ternama, seperti Walt Disney dan Einstein.

Kebanyakan, orang tua tak acuh dengan yang dialami anaknya, dan melihat anaknya bodoh. Sebaliknya, orang tua, kakak, om, atau tante, harus lebih peka pada adik-adik dan anak-anak. Belum tentu mereka bodoh, namun mengalami kesulitan membaca. Jadi, jika aku atau ada keluarga yang menderita disleksia itu belum kiamat man!! 

Salah satu solusinya adalah memberikan pendidikan atau sekolah khusus yang sesuai kebutuhan si bocah. Belajarnya tidak bisa dicampur dengan anak-anak biasa, agar selanjutnya setelah beranjak remaja/dewasa mereka bisa berbaur dengan masyarakat. Dan tak jarang, kemampuan mereka di atas rata-rata anak-anak biasa. Cara belajar anak-anak penderita disleksia bisa dilakukan melalui metode dan pendekatan multisensor, seperti visual, auditorial, dan perabaan. Memberikan instruksi yang pendek, tidak bertubi-tubi, mengajarkan kata-kata bukan sekadar melafalkan keras tapi juga memberikan rasa pada tiap katanya, dan jika sempat membacakan buku sebagai pengantar anak-anak tidur. Namun yang terpenting, bersikaplah positif. 

Akhirnya, aku mengembalikan scene disleksia ini pada novel “Libri di Luca,” yang memberi tautan cukup besar. Jon Campelli, tumbuh besar dengan buku-buku dan cerita yang dibacakan oleh ayahnya, Luca Campelli. Dari membaca, tiap jendela informasi serta imaji terbuka semua. Membaca adalah terapi, membaca adalah relaksasi, dan membaca adalah tempatku berlari. Berlari mengejar mimpi, mengejar hari sampai esok nanti...

 -yuda thant-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar