Kamis, 06 April 2017

Menjadi Manusia dengan Menjadi Pengusaha

Braakk! Pintu taksi aku tutup. "Sudah pak? Kita jalan sekarang?" Tanya Pak Tri, sopir taksi burung biru dengan sopannya kepada aku.
"Iya pak, kita langsung ke airport ya. Pesawat saya jam 1 siang, di terminal 3," balas saya pun dengan sopan.

Mobil pun melaju melewati rumah toko, perumahan, dan jalan-jalan selebar 6 meter sebelum akhirnya menembus ke jalan tol. Sepanjang perjalanan kami pun berbincang tentang dua hal, dan salah satu yang menarik adalah bagaimana menjadi seorang pengusaha.

Pak Tri mengisahkan hidupnya. Dulu saat masih berjaya, dia adalah bos pengembangan produk tekstil di salah satu pabrik tekstil besar di Jawa Barat. Dia bekerja di bidangnya, sesuai keahliannya, sebab dia adalah lulusan salah satu sekolah tekstil yang ada di Indonesia.

Hidupnya berkecukupan, meski tidak kaya raya. Setidaknya, dia memiliki satu rumah dan mobil, sebagai penanda bahwa dia berkecukupan. Namun, sejalannya waktu, dan rosa tekstil mengalami penyurutan, dia pun terkena imbasnya. Pabrik yang dikelolanya kolaps, di saat usianya menuju senja, hampir 45 tahun.

Di usia semacam ini, masuk ke dalam perusahaan baru sangat kecil peluangnya. Terlalu banyak pesaing dengan usia dan kinerja yang mungkin jauh lebih baik darinya. Keputusan cepat yang dia ambil pun adalah menjadi pengemudi transportasi umum. "Yang penting keluarga masih terus bias makan mas," ujarnya.

Satu hal yang dia lupa lakukan, - bahkan dia sesali saat ini, - sewaktu masih berjaya adalah memulai menjadi pengusaha bagi dirinya sendiri. Dulu, dia memiliki peluang untuk mendapatkan barang sisa-sisa tekstil kualitas bagus untuk dijual kembali di pasar lokal. Atau mengolah "barang sampah" itu menjadi produk olahan tekstil yang dibutuhkan pasar. "Saya dulu berpikiran, masak sih boss ngerjain hal remeh kayak gitu. Bersaing sama anak buah saya dong yang memunguti sisa-sisa kain tersebut," kata Tri.

Jika saja ego-nya dulu mampu dikendalikan oleh akal sehat dan rasional, apa yang ada di depan mata pasti dapat menjadi ladang bisnis. Kain-kain bekas itu bisa dia jual atau dibuat baju dan tas murah yang laku di pasar. Namun, semua sudah jauh berlalu. Sekarang, anak-anak buahnya yang dulu "memunguti" kain bekas di pabrik, bertahan menjadi penjual kain dan pengolah kain bekas, bahkan berpenghasilan cukup. Lebih cukup dari upah seorang pengemudi taksi.

"Dari situ saya belajar mas. Bahwa, kita itu perlu menjadi pengusaha untuk bisa menjadi manusia. Kalo kayak gini-gini aja ya kita gak akan berkembang. Dengan jadi pengusaha, kita menentukan sendiri nasib hidup kita. Kalau mau makin sukses, ya berarti kudu kerja yang keras lagi. Iya kan?" tegas dia.

Mendengarkan cerita Pak Tri, aku berpikir jauh ke depan. Mau sampai kapan aku menjadi "buruh" di sebuah perusahaan ini? Kerja yang berdasarkan kontrak yang diperbarui setiap setahun sekali. Kerja yang sewaktu-waktu bisa diganti dengan angkatan-angkatan kerja yang lebih fresh dan energic. Kerja yang hanya menunggu gaji di akhir bulan, yang nilainya selalu sama dari bulan ke bulan.

Apakah aku tidak ingin lebih? -- bukan serakah, namun hanya ingin mendapatkan yang lebih layak lagi.

Otak pun mulai berkelana sembari telinga mendengarkan kicauan Pak Tri dan bibir mengomentari ceritanya. Ada peluang apa yang dapat aku lakukan agar diri ini bisa menjadi pengusaha dan memeroleh income lebih. Sederet daftar pertanyaan pun muncul.

1) Aset (fisik/materi) apa yang aku miliki?
2) Keterampilan apa yang aku kuasai dan dapat "dijual"?
3) Jaringan (koneksi) apa yang aku punyai?
4) Kesukaan (hobi) apa yang aku gemari dan tak akan bosan aku lakukan?
5) Tren (minat) pasar saat ini seperti apa?

Hmmm, seeprtinya sudah banyak pertanyaan yang muncul. Saatnya menjawabnya. Pertama..., "Pak, kita sudah sampai di terminal 3. Saya berhenti di depan sedikit ya," kata Pak Tri. "Oh iya Pak, di depan tidak apa-apa," aku spontan menjawab, lalu mencari dompet dan mengambil uang senilai Rupiah yang tertera di argometer taksi.

"Kembaliannya ambil saja Pak buat parkir dan tol balik," kataku. "Wah terima kasih mas. Terima kasih ya," balasnya. Dan braakkk!..., aku menutup pintu taksi lalu bergegas menuju pintu masuk.

(thant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar