Senin, 12 November 2012

Mandiri = Bukan Kopi Instan

Apakah aku sudah mandiri? 

It's a Simple question but hard to answer. Pertanyaan ini kerap muncul dalam pikiran aku, dan malah mungkin juga pada diri kamu. Pertanyaan yang penuh jebakan. Salah arti, maka bisa salah memberi jawaban.

"Mandiri dalam arti apa nih? Harus spesifik dulu dong," tanya Kristian, salah seorang kawan di kampus. "Apa ajalah. Bebas," jawabku singkat. 

Tapi, benar juga kata Kristian. Mandiri dalam hal apa. Semua orang bisa ngomongin arti mandiri dan kemandirian. Namun, kadang susah menjelaskan apa dan bagaimana, juga parameter mandiri itu sendiri. 

"Oke. Kalau ukurannya duit, mungkin sudah mandiri. Karena saat pertama kali kerja, dan punya penghasilan sendiri, itulah saat pertama kali aku merasa mandiri. Menurutku, aku sudah mandiri, soalnya selama ini apa yang jadi tugasku, aku kerjakan sendiri. Gak pernah minta bantuan orang lain, kecuali kalau sudah mentok. Aku gak pernah njagain (tergantung) orang lain. Jadi mandiri itu artinya, berdiri sendiri dan gak tergantung sama orang lain. Malah mungkin mandiri itu ya gak (selalu) minta tolong sama orang lain," kata Kristian, yang bekerja sambilan sebagai guru privat. 

Sama halnya dengan Kristian, Helyn, kawan ku satu lagi, juga berkata hampir senada. Jika patokannya adalah uang, dia bisa dibilang sudah mandiri, karena sudah lebih 5 tahun mengabdi sebagai pegawai negeri sipil di Mojokerto. "Mandiri itu artinya, I can do it by myself, sesuai dengan kemampuanku. Kalau dari segi penghasilan aku sudah mandiri. Tapi, dari segi yang lainnya, aku akui, aku belum mandiri," jelas ibu tiga bocah yang masih lucu-lucu itu. 

Nah lho... Dari sisi pendapatan sudah mandiri, tapi kok merasa belum mandiri? Kok bisa? Itu karena Helyn merasa, untuk urusan selain duit, dirinya masih tergantung dengan si suami yang dalam hal ini sangat memanjakannya. "Aku itu dianggap seperti ratu, jadi kalau mau apa-apa, harus bilang dulu, atau malah dia yang ngerajin. Jadinya, aku ngerasa tergantung banget sama suamiku," ungkap Helyn. 

Tapi jangan salah lho. Tambahnya, aku gak punya pembantu di rumah. Semua urusan teras, dapur, sampai kamar tidur, aku dan suami yang ngurus. Itu berarti, keluarga kami keluarga yang mandiri. "Jadi gimana yah..., aku aslinya mandiri, tapi kadang merasa gak mandiri gitu deh," timpalnya lagi. 



Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, (sempat mengintip untuk memastikan benar atau tidaknya), mandiri dan kemandirian adalah sikap atau keadaan yang mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Maka, seseorang itu dapat dikatakan mandiri apa bila secara pribadi mampu mengatasi masalahnya sendiri, punya inisiatif dan kreativitas mengurai hambatan, dan berperilaku bebas (tanpa bergantung pada orang lain) dalam menentukan sikapnya mencapai tujuan yang diinginkan. Meski kadar dan nilai ukur kemandirian gak signifikan, tapi jika orang itu bisa mengerjakan sendiri, bahkan mampu berhasil memenuhi keinginannya, boleh lah dipastikan dia sudah mandiri, dalam satu hal tertentu. 


"Kapan pertama kali kamu merasa mandiri Kris?" tanyaku lagi. "Mungkin pas mulai kuliah, aku bener-bener merasa diriku ini mandiri. Soalnya semua tugas aku kerjain sendiri. Tapi, kalau dilihat kebelakang lagi, sebenarnya sejak aku kecil sudah belajar mandiri. Gak ada yang mengajari, terjadi begitu saja," jelasnya. "Kok bisa?" tanyaku penasaran. "Kalau mau apa-apa di rumah, ya aku kerjain sendiri. Soalnya bapak sama ibu kerja, kakakku selisih umurnya jauh, dan dia cowok, cenderung cuek orangnya. Karena dari kecil sudah apa-apa sendiri, jadi terbawa deh sampai sekarang," paparnya. 

"Aku mandiri karena mami sudah ngajarin hidup mandiri sejak anak-anaknya masih kecil. Kebetulan anak-anaknya mami banyak, ada empat orang, aku anak pertama, jadi aku juga ikut ngurusin adik-adikku. Mami yang paling keras ngajarin anak-anaknya hidup mandiri. Mulai dari cuci ama setrika baju, anak-anaknya harus bisa ngelakuin sendiri," jelas Helyn. "Model mengasuh seperti itu yang akhirnya aku terapkan di rumah, pada anak-anakku," tambahnya, yang dulu (sewaktu kecil) pernah merasa mami-nya bersikap kejam karena mendidik dia dan adik-adiknya kelewat mandiri, yang pada akhirnya malah membuat dia menjadi lebih tangguh. 

Baik Kritian dan Helyn, sama-sama menggaris-bawahi, sikap dan perilaku mandiri mereka sudah terbentuk sejak kecil. Entah itu sengaja dibentuk oleh orang tua (keluarga) atau oleh keadaan yang mengharuskan kita mandiri sejak dini.So, in my brief summary, mandiri itu bukan hal yang tiba-tiba, genetika, keturunan, atau kecelakaan. Tapi, sikap mandiri dan kemandirian itu terbentuk oleh proses. Bukan keturunan tapi bisa diturunkan. Bukan genetika, tapi bisa direkayasa genetika, dan bukan tiba-tiba karena bisa diprogramkan. 

Sejak masih kecil, Helyn sudah diajak dan dipaksa berperilaku mandiri menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah. Di satu sisi, dia dipaksa juga oleh tuntutan sebagai kakak yang harus ngemong adik-adikanya. Demikian pula Kristian, yang mau tak mau harus bersikap mandiri jika ingin memenuhi  keinginannya. "Kalau aku lapar, dulu waktu kecil, ya bikin mie sendiri boss. Gak ada pembantu di rumah," ujar Kris sambil memencet-mencet tuts di laptopnya. 

Perilaku mandiri bisa ditanamkan, seperti menanamkan micro chip dalam mini laptop kita. Mulai kecil, anak-anak harus dikenalkan dan dibiasakan hidup berdikari. Bahwa sesuatu yang dilakukan sendiri, akan memberi keuntungan lebih besar nantinya. Mulailah dari hal sepele, seperti meletakkan sepatu/mainan/buku/sepeda kembali ke tempat semula setelah digunakan. Mandi hingga berpakaian sendiri sebelum berangkat ke sekolah. Hingga tugas bersih-bersih di rumah, mereka juga dilibatkan. (Tentu saja jangan yang berat-berat dan membahayakan yah, hehehe..)

Terus apa manfaatnya? Ya kalau jangka pendek memang gak langsung terlihat. Paling kondisi rumah jadi lebih rapi dan bersih. Tapi jangka panjang, dan saat anak-anak itu dewasa, dan lepas dari rumah, mereka akan menjadi sosok yang mandiri dan lebih siap menghadapi masalah yang muncul. Sebab, sejak belia, mereka dikenalkan dan dilatih disiplin dan bertanggung jawab. Ini adalah dua modal untuk mencapai titik kesuksesan hidup. Mereka pun akan jadi pribadi yang lebih kreatif, malah inovatif, untuk mencari celah nyelesaiin problem yang dihadapi. Masalahnya, (tetap selalu ada masalah), kadang orang tua, mungkin kita sendiri, bersikap memanjakan anak secara berlebih. Mungkin awalnya gak ada niat memanjakan mereka, tapi karena kita yang terlalu iba dan gak mau anak-anak merasa menderita, malah melenakan mereka hidup berketergantungan alias dependent. 

Efeknya, saat kita gak punya bekal kemandirian yang bertanggung jawab dan disiplin, kita cenderung jadi pribadi yang malah, oportunis, dan parasit. (Parasitnya tipe benalu atau enceng gondok) Inginnya ada yang meladeni dan memudahkan. Gak mau terima yang susah sedikit. Begitu ada "kerikil" masalah sepele, langsung kocar kacir kalang kabut bingung seperti pantat terbakar api kompor. Mereka bisa memecahkan problem, tapi harus nunggu dituntun lebih dulu. Kalau satu dua orang sih gak masalah, lha kalo satu kampung, setengah penduduk kota, atau malah seperempat warga Indonesia gak mandiri, apa jadinya nasib awak ke depan??


Aku pun jadi teringat perkataan seorang dosen dulu. Ada kecenderungan, semakin kaya seseorang, kadang dia malah semakin cacad. (Lho kok bisa bro?) "Cacad" yang dimaksud di sini adalah sikap mandiri yang telah hilang. Ketika orang sudah kaya dan berkuasa, dan terlalu menikmatinya, kadang dia lupa untuk hidup mandiri. Apa-apa harus orang lain yang ngerjain. Mulai bukain pintu di hotel/kantornya, mencetin nomor telponnya, kipasin dan usapin kerinngatnya jika peluh bercucuran. Si orang kaya dan berkuasa itu jadi manja, dan malah kekanak-kanakan. Jangan-jangan, makan pun harus disuapin. 


Proses memandirikan seseorang tidak mengenal kata terlambat. Namun itu gak bisa cepat dan tentunya butuh daya juang yang besar banget. Kemandirian gak bisa seperti mendadak dangdut, yang ujug-ujug "cling" abrakadabra, jadi berdikari. Tapi seperti kata pepatah, biar lambat asal selamat. Biar telat, yang penting berusaha mandiri masbro.
Seperti membuat kopi, begitulah mandiri itu terbentuk. Mulai dari menyeduh air panah, memasukkan kopi sesuai selera, mau light coffee or dark coffee, gula 1 atau 2 sendok, dan mau ditambah creamer atau susu. Semua sesuai selera dan melewati proses yang ditakar, untuk mendapatkan kopi yang dimaui. Bukan seperti minum kopi saset instan, yang tinggal sobek (bungkusnya) lalu tambahkan air panas. Voila, inilah kopi cappuccino instan yang sudah seperempat gelas aku seruput.



-yuda thant-




"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.“

1 komentar:

  1. good mas.. gimana mas dengan yang mandiri identik dengan individualis? hehehe (yachhh hidupkan sepaket kalau mau terima baiknya, yaa.. harus mau juga terima buruknya,hehehe)

    BalasHapus