Selasa, 27 November 2012

Goes to Kediri


Changing plan in last minutes, it was always happen

Awalnya, akhie pekan kemaren kita mau pergi ke Gunung Bromo, tapi dalam perencanaan tiba-tiba berubah.  “Khawatirnya, sekarang ini musim hujan. Percuma kalau kita ke Bromo, tapi gak bisa lihat sunrise. Sama juga bohong dong,” itulah yang jadi alasan trip “MbambungPacker” kali ini diubah dari Bromo ke Kediri.

Setelah Kediri ditasbihkan sebagai kota tujuan. Mulailah kita berlima (aku, Ade, Fika, Dian, dan Nana) membuat perencanaan. Namanya juga “mbambung” jadi gimana caranya, kita bisa liburan tapi gak menghabiskan duit. Aku dan Dian mulai berselancar mencari lokasi wisata, Nana, Ade, dan Fika mulai mencari tempat tumpangan untuk menginap selama 2 malam di Kediri. Setelah sms sana, bbm sini, dan telpon sana-sini teman-teman satu kelas yang asli Kediri, akhirnya kami dapat kepastian tempat transit dan menginap selama dua malam. (Asik, misi pertama sudah berhasil).

Mengutip kuliah Administrasi dan Manajemen, semua kegiatan butuh perencanaan agar tujuan bisa tercapai. Gimana caranya, cara yang dilakukan efisien dan efektif. Dalam hal ini, prinsip ekonomi pun ambil bagian, less expense more income, sedikit pengeluaran banyak penghasilan. Dengan rumah tumpangan selama dua hari, Jumat-Minggu, setidaknya kita bisa menghemat biaya hotel dan juga biaya sarapan pagi, hehehe...

Ada enam teman sekelas yang orang asli (berdomisili di) Kediri, yakni Arya, Ema, Mbak Galuh, Mbak Intan, Mbak Cucuk, dan Mas Maksun. Semuanya bersedia kami repotin, tapi setelah menimbang dan menilai, kami memutuskan bermalam di rumah Arya dan Mbak Intan. “Mas, tidurnya di rumah bude ku aja ya. Soalnya ada dua kamar kosong di sana, dan rumahnya agak besar. Gak apa-apa kan?” tanya Arya. Serempak kami pun menjawab, oke. Yang penting kita ada tempat buat tidur, dari pada tidur di masjid atau di stasiun.

Agar tidak ribet soal duit saat berlibur, sebaiknya ditunjuk seorang bendahara. Tugasnya, ngumpulin duit dan membayar semua keperluan, mulai dari tiket, makan, sampai duit toilet. Kalau bisa, teman yang ditunjuk jadi bendahara ini kudu teliti dan cerewet soal duit. Setiap hari, dia pun bikin laporan singkat buat kita, berapa uang yang sudah terpakai, dan berapa sisa duitnya. 

“Kita iuran berapa nih?” tanya Nana yang kami tunjuk jadi bendahara. “Sementara ini kita iuran Rp 150.000 aja gimana. Ntar kalau kurang kita tambah lagi,” kata Dian. “Oke,” jawab kami bergantian. Totalnya, kami berbekal Rp 900.000 untuk enam orang. Uang tersebut kami alokasikan untuk sewa mobil sehari selama di Kediri, tiket kereta, tiket masuk obyek wisata, makan selama hari, dll.

Plan B
“Dimana? Keretanya sudah mau datang. Kita beli tiket sekarang atau gimana?” tanya Fika di ujung telepon. “Sorry, ini ban bocor, lagi ditambal. Bentar lagi kita meluncur ke stasiun (Gubeng). Tunggu kita, jangan beli tiket dulu,” jawabku. Tak sampai 5 menit, tukang tambal ban sudah menyelesaikan pekerjaannya mengganti ban depan motorku yang sobek kena tusuk paku sepanjang 7 cm.

Jam ditangan Diyan, sudah menunjukkan 07.30 WIB. Sekitar 20 menit lagi, Kereta Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Blitar, bakal berangkat dari Stasiun Gubeng. Sedangkan waktu tempuh dari lokasi tambal ban ke stasiun sekitar 20-30 menit.

Govinda aku geber, aku ajak dia lari kencang, meski sedikit tersendat-sendat karena terjebak arus orang berangat kerja. Selama perjalanan ke stasiun, otak berpikir alternatif lain berangkat ke Kediri jika kami ketinggalan kereta. Naik motor atau naik kereta lain. Aku dan Diyan sampai di stasiun pukul 07.55, jalur 1 tidak ada kereta. Aku pun berpikir, kereta sudah berangkat. “Sial, telat nih” umpat aku. Tapi, kok teman-teman gak kelihatan. Sewaktu membuka ponsel, ada pesan. “Kami makan di warung depan stasiun,” bunyi sms itu.

Belum sempat menuju ke warung, terdengar pengumuman dari corong suara di lobi stasiun. “KA Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Kertosono-Blitar akan segera masuk stasiun, penumpang yang telah punya tiket dipersilahkan menunggu di jalur 1,” bunyi pengumuman itu. “Lho ternyata keretanya belum berangkat tho! Tapi teman-teman lagi makan, gak mungkin ini!” Aku sempat menelpon mereka, tapi mereka belum selesai makan. Ya sudah lah, terpaksa kami melewatkan kereta.

Kami akhirnya mengambil keputusan naik KA Rapih Dhoho jam 11.00 WIB. Itu berarti kami harus menunggu 3 jam lagi untuk berangkat ke Kediri. Konsekuensinya, waktu berlibur kami jadi sedikit berkurang. Terpaksa, ada perubahan rencana dan pengurangan lokasi tujuan berwisata di Kediri. Rencananya kami tiba di Kediri jam 12 siang, jadi mundur jam 3 siang, sehingga tujuan ke Air Terjun Dolo yang kami rencanakan Jumat sore, digeser besoknya.

Jam 11.00, kami meninggalkan Surabaya dengan berbekal tiket KA Rapih Dhoho tanpa tempat duduk. Ternyata, dari 5 kereta (gerbong), gerbong depan dan belakang disipakan bagi penumpang tanpa nomor tempat duduk. Beruntung, ada kursi kosong di gerbong belakang. Kami pun bergegas menjajah kursi-kursi kosong itu. Merasa beruntung, kami pun langsung bernarsis ria mengabadikan moment di dalak kereta ekonomi yang harga tiketnya Rp 5.500 dari Surabaya ke Kediri.

Cinta dalam Gerbong
Cinta memang tak bisa diduga kapan dan di mana dia datang. Begitlah cinta, muncul tanpa rencana yang tak disangka. Seperti adegan sebuah sinetron atau FTV di stasiun televisi swasta, Nana bertemu dengan kisah cintanya.

Berawal dari selembar tiket yang dihilangkannya, Nana terpaksa harus berurusan dengan kondektur kereta. Tapi, kesialan itu berujung keberuntungan. Mr kondektur KA Rapih Dhoho yang bertugas siang itu boleh dibilang good looking, alias berwajah rupawan (versi Nana). Negosiasi  soal tiket hilang antara Nana dan Mr Kondektur, yang setelah kami kenal namanya Taufiq, berlanjut dengan obrolan santai dan saling tukar nomor telepon dan pin BB. Meski harus membayar Rp 15.000 untuk mengganti tiket yang hilang, bagi Nana tak mengapa sebab dia bisa berkenalan dengan pria tampan, katanya.

Saling pandang, senyum dan goda sana-sini dengan malu-malu, begitulah adegan yang terekam dalam gerbong belakang KA Rapih Dhoho. Sayang, keintiman itu harus terhenti sesaat, karena stasiun tujuan kami sudah di depan mata. Adegan berikutnya adalah perpisahan di Stasiun Kediri. Peluit kecil yang ditiup Taufiq, memberi aba-aba kereta untuk berangkat.

Binar mata Nana terus tertuju pada lelaki berseragam dan bertopi tersebut. Dari ambang pintu gerbong kereta yang melaju perlahan, Taufiq melirik Nana yang terlihat sendu melepas kepergiannya. Nana pun membalas senyuman dengan memberi kode jari jempol kelingking tangan kanan menempel di telinga dan bibir, jangan lupa telpon, begitu kira-kira arti pesannya. Dan ternyata, pesan ini memang terwujud. Komunikasi mereka via BBM berlanjut selama kami di Kediri hingga kami balik ke Surabaya, bahkan sampai hari ini. “Mas Taufiq lagi di Jogja. Lagi di KA Mutiara Selatan, nanti baliknya tugas di KA Logawa,” ujar Nana dengan gayanya yang sedikit centil.

Bukan Parasit
Kalau ada yang bilang kami tak bermodal, itu memang benar. Tapi kalau Anda bilang kami parasit, eeiitt...! Anda keliru. Berlibur dengan menumpang di rumah kenalan bukan berarti kami parasit. Kami hanya memanfaatkan peluang yang ada, sekaligus mempererat silaturahmi antar teman, juga menambah kenalan baru, dengan keluarga/kerabat di rumah yang kami inapi. Untuk makan, kami masih bermodal lho. Kami beli makanan sendiri. Tapi, kalau ditawari sarapan, makan siang, dan makan malam, kami gak nolak kok.

Malam pertama, kami menginap di rumah milik Bulek-nya Arya. Rumahnya ada dua kamar kosong, milik anak-anaknya yang sudah tidak lagi tinggal di Kediri. Bulek dan Paklek-nya Arya sangat ramah dan gembira kami kunjungi. Kebetulan, karena mereka berdua baru pulang ibadah Haji, banyak kudapan yang bisa kita santap dengan lahap, hahaha... 

Di malam kedua, kami menginap di rumah Mbak Intan, di daerah Pesantren. Kami pun disuguhi gurame goreng, yang dipancing dari kolam di belakang rumah Mbak Intan. Alasan kami berpindah “tempat tidur” karena: 1) sungkan jika terlalu lama merepotkan orang. 2) tawaran baik dari teman jangan sampai ditolak. 3) ganti suasana biar gak bosen, hehe..

Jadi, gak ada salahnya kok kalau kita numpang di rumah saudara, teman, dan kerabat untuk berlibur murah meriah. Balik lagi, biarpun liburan prinsip ekonomi jangan sampai dilupakan. Makanya, mulai sekarang bikin list saudara, teman, atau kenalan yang kota-kota tujuan wisata. Sering-seringlah berkomunikasi meski sekadar menyapa mereka lewat SMS, FB, atau twitter, supaya saat Anda butuh mereka menjadi induk semang selama liburan Anda, itu bisa terwujud. Bukan hanya sahabat/teman di Indonesia, kalau perlu perluas jaringan sampai ke benua lain, siapa tahu next trip kita bisa ber-"MbambungPacker" ke Amerika atau Eropa. (dua jempol ke atas). 

Bersambung...

-yuda thant- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar