Rabu, 28 November 2012

Goes to Kediri (part 2)


Festival Jalan Dhoho
Derasnya rinai hujan menyambut kedatangan kami di kota Gudang Garam ini. Di teras luar stasiun yang dibangun tahun 1882, kami menunggu kedatangan Arya dan Mbak Ema yang berjanji menjemput. Jam besar di dalam stasiun, yang sempat aku lihat, jarum pendeknya menunjuk angka tiga, dan jarum panjangnya bergelayut di angka delapan. 



Tak sampai 10 menit berdiri menikmati kucuran hujan dari atas atap teras toko di depan stasiun, mereka berdua datang berbalut jas hujan, masing-masing menunggang sepeda motor. “Kita ke depan (jalan raya). Nanti naik angkot ke rumah bulek-ku,” jelas Arya singkat, setelah sedikit berbasa-basi menyambut kami di kotanya.

Karena jadwal keberangkatan kami molor, terpaksa rencana liburan pun berubah. Sore ini, kami tidak kemana-mana, dan kebetulan memang hujan. “Nanti malam kita ke Festival Jalan Dhoho. Festivalnya dimulai hari malam ini sampai besok malam,” ujar Mbak Ema. “Oke mbak,” jawabku, sambil bertanya-tanya kenapa dinamakan Festival Jalan Dhoho. Selepas istirahat sejenak, makan sore, dan mencari pinjaman motor, kami pun menembus petang yang masih diguyur hujan. Tujuan kami adalah Festival Jalan Dhoho.

Saat menyusuri jalan yang telah disulap menjadi semacam pasar malam itu, Mbak Ema menjelaskan secuil informasi tentang Jalan Dhoho. Jalan yang terletak di pusat Kota Kediri ini hampir sama dengan Jalan Malioboro, Yogyakarta, yakni sentra niaga yang menjual berbagai kebutuhan sandang, makanan, juga hiburan. Jalan ini tak pernah sepi. Apa lagi pada malam ini. puluhan kios berderet memanjang di tengah jalan, dan 4 panggung digelar. Salah satu panggung menampilkan tari-tarian tradisional dan satu panggung lagi memberi suguhan semacam wayang kulit kontemporer yang disebut Jemblung. Tujuan perhelatan festival ini ialah memberi wahana bagi UKM-UKM di Kediri mempromosikan produknya, sekaligus menampilkan khasanah budaya dan tradisi yang masih bertahan di Kediri. 

Nama Dhoho, mungkin diambil dari kisah Ki Ageng Dhoho, patih dari Sri Aji Jayabhaya, yang dikenal setia, teguh, dan jujur, dan sebagai penjaga Kediri. Kata Dhoho kemungkinan besar berasal dari kata Daha, yang diambil dari kata Dahanapura, yang berarti “kota api.” Karena lidah orang Jawa yang melafalkan “a” menjadi “o” maka, Daha menjadi Dhoho. Daha sendiri merupakan kota tempat kerajaan Panjalu berkuasa, yang nantinya jadi cikal bakal Kerajaan Kediri.

Kerajaan Kediri, sendiri terbentuk karena adanya pemisahan Kerajaan Mataram yang dilakukan oleh Airlangga, guna menghindari perselisihan anak-anak selirnya, menjadi dua, yakni Kerajaan Jenggala dan Panjalu, di tahun 1042 masehi. Kerajaan Jenggala berpusat di Kahuripan, yang meliputi wilayah (dulu) sampai Surabaya dan Malang, sedangkan Panjalu di Daha, meliputi wilayah Kediri dan Madiun. Salah satu raja ternama Kediri adalah Jayabhaya, yang terkenal dengan ramalan-ramalannya. 

Kerajaan Kediri runtuh pada pemerintahan Raja Kertajaya (1185-1222), melalui Perang Tumapel, dikalahkan Ken Arok, yang kemudian hari membangun Kerajaan Singasari. Kini Kediri telah berkembang menjadi salah satu daerah terpenting di Jawa Timur. Kediri terdiri dari kota & kabupaten. Boleh dibilang, kini Kota Kediri adalah kota besar keempat di Jawa Timur setelah Surabaya, Malang, dan Jember. Kota ini menjadi kiblat bagi kabupaten di sekitarnya, seperti Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, Tulungagung, Pacitan, dan Blitar. Bukan hanya pesat sebagai kota perdagangan, Kediri pun tumbuh menjadi kota industri, seperti adanya pabrik rokok dan besi baja, juga kota pendidikan dengan banyaknya sekolah/akademi kesehatan. 


Kelenteng Makco Kebanjiran
Sayangnya, kemeriahan festival malam ini sedikit terusik hujan yang membuat pengunjung enggan berkeliaran. Kami pun bergeser menuju kelenteng yang tak jauh dari Jalan Dhoho. Kelenteng Tjoe Hwie Kiong, namanya. Hujan sedikit mereda, saat kami meminta izin masuk kepada petugas jaga. Setelah dibolehkan masuk, kami segera pasang aksi di depan kamera. “Boleh masuk tapi hanya di depan kuil saja ya. Malam ini gak boleh masuk ke dalam (ruang ibadahnya),” kata petugas jaga.

Aku sempat ngobrol singkat dengan umat yang sedang duduk-duduk santai di latar ruang ibadah. Menurut cerita tiga orang bapak-bapak yang usianya kuperkirakan di atas 60 tahun itu, kelenteng ini langganan banjir. Dulu, banjir akibat luapan Sungai Brantas, yang terletak persis di sisi barat kelenteng, masuk ke dalam kuil sampai semeter tingginya. Oh ya, Kediri adalah kota yang diapit oleh deretan gunung dan bukit, seperti Gunung Kelud, Klothok, dan Maskumambang. Di bagian tengah kota di belah oleh Sungai Brantas.

“Yang paling parah tahun 1955, 1965, dan 1975. Lalu kelenteng direnovasi dan ditinggikan. Sekarang kalau hujan deras masih banjir sedikit, tapi gak sampai masuk ke dalam,” ujar salah satu bapak yang kepalanya dipenuhi rambut putih.

Dewa yang dipuja oleh umat di kelenteng ini adalah dewa laut. Hal ini mengingat lokasi kelenteng yang dekat/menghadap Sungai Brantas. Dulu, di dekat kelenteng yang dibangun sekitar abad ke 17, ini ada pelabuhan dan banyak pemukiman nelayan. Sebutan dewa laut yang mereka hormati adalah Makco (Ma Cao), sehingga kelenteng ini pun disebut Kelenteng Makco.

Di salah satu sudut kelenteng terdapat patung Makco (Thian Siang Sing Boo) seberat 18,7 ton yang didatangkan dari Desa Buthien, China. Patung Makco yang menjadi perlambang welas asih dan ketentraman tersebut didatangkan tahun 2011 kameren. Kelenteng ini pun sudah terdaftar sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh Pemkot Kediri, sehingga tidak boleh sembarangan dibangun atau dirombak. “Tidak boleh direnovasi lagi, hanya boleh diperbaiki kalau ada yang rusak saja. Soalnya sudah jadi bangunan cagar budaya,” ujar salah satu bapak-bapak itu.


Privat Waterfall
Alarm ponsel berbunyi nyaring. “Ayo bangun, sudah jam 4,” kataku dengan malas. Hari ini kami harus bangun pagi. Sebab, rencananya, jam 05.30 kami akan berangkat ke air terjun Dolo, di Kecamatan Mojo, sekitar 1 jam dari Kota Kediri. Kantuk masih merambat di pelupuk mata. Langit pun masih gelap. Tapi kami harus bersiap-siap, karena pagi ini kami sekalian check-out dari rumah bulek-nya Arya.

Jam 05.00, lewat sedikit, mobil rental yang disewa sudah menunggu di luar pagar. Setelah pamitan, dan mendapat bekal sarapan, kami meluncur ke Dolo. Sejuknya udara pagi Kediri menyapa sepanjang perjalanan menuju lokasi wisata di ketinggian 1.200 dpl. Karena masih terlalu pagi, kami pun masuk ke lokasi wisata itu dengan leluasa. Belum ada petugas loket masuk yang berjaga di posnya.

Tantangan pertama yang harus kami lalui untuk mencapai air terjun Dolo adalah menuruni anak tangga yang jumlahnya mungkin lebih dari 1500 anak tangga. Setidaknya, 3 kali kami harus berhenti untuk menarik nafas karena beberapa teman merasa letih. “Ayo sedikit lagi. Sudah kedengearn kok suara air terjunnya,” ujar Dian menyemangati dirinya dan teman-teman yang lain.

Namun, keletihan menuruni ratusan anak tangga yang mengular itu pun terbayar. Air terjun setinggi lebih 25 meter itu menyapa kami dengan agungnya, meski debit air yang mengucur tidak terlalu besar. Air terjun Dolo serasa milik kami pribadi karena tak ada pengunjung lain yang tampak di sana. Kami pun merasa bebas tertawa dan bermaian di bawah guyuran air terjun itu. Dan yang tak ketinggalan adalah sesi pemotretan ala-ala model majalah dewasa, hehehe...

Puas bermandi deburan air terjun, kami pun menyudahinya. Dan bersiap menghadapi tantangan selanjutnya, yakni menapaki lagi ratusan anak tangga ini untuk menuju ke parkiran. Lebih dari 10 kali rombongan terpaksa berhenti untuk mengatur denyut jantung dan melemaskan otot betis yang menegang. Sampai-sampai, Nana muntah karena tidak kuat menahan letih. Bau minyak kayu putih yang dioleskan di perut, tengkuk, dahi, dan leher untuk mengusir rasa mual akibat keletihan, pun beramburan di udara. 

Walau aku tidak muntah, tapi nasib sial menghampiri. Seekor lintah menempel di jari tengah tangan kiriku, saat kami duduk beristirahat di deretan anak tangga. Lintah yang mulai gemuk oleh darah itu pun aku tarik paksa, sehingga darah segar membanjiri dari jariku. “Wah ini kalau ini ada Bella (Twillight), darahku pasti sudah dihisap habis,” khayalku berimajinasi. Lubang kecil 1 milimeter bekas gigitan lintah itu terus mengucurkan darah sampai 10 jam kemudian. (Bekas gigitan lintah bisa mengucurkan darah sampai 48 jam). “Lain kali bawa tembakau atau garam deh, antisipasi lintah atau pacet,” ujar seorang teman.

Sedikit info soal lintah, atau nama latinnya Hirudo medicinalis, adalah hewan hermaprodit pengisap darah yang memiliki enzim dalam mulutnya yang membuat darah encer (anti-beku darah), sehingga setelah dicabut darah akan terus mengucur. Gigitan lintah yang hidupnya di air menggenang, itu seperti gigitan nyamuk, dan dia mampu menyedot 5ml-15ml darah korbannya. Jika sudah gemuk, lintah susah sekali dilepas atau dicabut. Agar lebih mudah dilepas, taburi dengan tembakau atau minyak kayu putih di sekitar gigitan lintah. Cuci luka, lalu tutup dengan perban atau plester untuk menghentikan pendarahan. Periksa berulang luka itu, dan ganti dengan perban baru sampai darah berhenti menetes.  

Bersambung...
Soal Gunung Kelud dan oleh-oleh khas Kediri, aku bakal cerita di episode selanjutnya. jadi kalau penasaran, baca yang part 3 yah... :)

-yuda thant-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar