Minggu, 11 November 2012

Bertandang ke Sampang



Sudah 45 menit nunggu nih. Send. Semenit kemudian. Bentar lagi mas, ini nunggu Fifi. Udah mau otw. Bunyi pesan yang kuterima dari Fika.

Matahari merangkak naik. Peluh sudah menetes karena angin tak mendesir, padaha hari masih pagi. Jam di ponsel baru menunjukkan 07.45. Jaket sudah dilepas untuk mengusir gerah, tapi keringat tetap deras menetes. Akhirnya, yang ditunggu pun datang. Tiga kawan yang berencana silaturahmi ke kawan di pulau garam.

“Cuma bertiga aja?” tanyaku. “Satu lagi si Nana, mas. Kita jemput sekalian, karena kosan-nya deket kampus. Yang lain pada gak bisa,” jelas Fika. “Oke kalo gitu, kita berangkat,” sambil memasang jaket kembali ke badan. Setelah menjemput Nana, kami bergegas melaju ke Madura, melewati Jembatan Suramadu sepanjang 5,4 km.

Rencananya, kami akan berkunjung ke rumah Mas Alim, salah satu kawan di kampus. Dia asli orang Madura, bekerja dan tinggal di Kota Sampang, sekitar 70 km dari pangkal Jembatan Suramadu. Jadi, perjalanan yang akan ditempuh sekitar 2-2,5 jam. Tapi karena belum sarapan, kawan-kawan pun memutuskan sarapan dulu di RM Bebek Sinjay, arah Kota Bangkalan. Sedikit keluar jalur dari tujuan, yakni Sampang. Tapi karena populernya nama Bebek Sinjay, kita pun membelokkan motor ke kiri, dari pertigaan besar jalur bebas hambatan. 

Benar juga, rumah makan yang terletak di daerah Ketengan, Bangkalan, ini ramai sekali. Beda banget dengan beberapa rumah makan dengen menu bebek yang kita lewati, terlihat sepi atau tak seramai Bebek Sinjay. Fifi pun memesan lima porsi buat kita santap ramai-ramai. Hmm.., kalo dari rasa sih sebenarnya gak ada yang spesial dari bebek goreng ini. Rasanya cenderung biasa-biasa aja, seperti bebek-bebek goreng yang banyak aku jumpai di warung-warung Surabaya.

Tapi, yang beda adalah sambel pencit (mangga muda)-nya. Sebenarnya, rasa dari sambel juga kurang membuat aku puas. Kalau boleh memberi skala yah paling 6,5 dari 10. Enak tapi bukan yang wah gitu deh. Terus apa dong yang bikin nih bebek jadi heboh, bahkan deretan meja udah dipesan padahal yang mau makan belum datang. Sampai-sampai, tiga orang polisi turun tangan untuk mengatur lalu lintas di depan rumah makan ini, karena keluar masuknya mobil dan motor bikin macet. Hmm, jadi penasaran.

“Kalo saya sih gak mau makan di Bebek Sinjay,” ujar Mas Alim, sewaktu kita sampai di rumahnya. “Lho kenapa mas?” tanyaku penasaran. “Jadi gak enak ngomongnya. Tapi ini beneran, ini yang dilihat istri saya dan temannya,” kata Mas Alim. (nanti setelah baca jangan miss understanding atau bilang ini black campange yah, karena ini cuman rumor yang beredar dari pengunjung lho, dan gak ada maksud mencemarkan nama baik).

Katanya, di wajan penggorengan, disisipi darah supaya rasa bebek terasa lebih gurih. Terus, di depan papan tulisan “Sinjay” ada “makhluk halus” yang melambai2. (wah ini berbau mistik nih). Testimoni orang- orang yang pernah makan di sana soal "makhluk gaib" di tulisan Sinjay juga pernah didengar oleh Fifi. “Tapi mas, kan gak cuma Sinjay ajah. Kayaknya banyak deh warung-warung makan yang pake “gituan” (mistis) supaya dagangannya laris,” timpal Fifi. “Memang. Tapi karena istri saya yang lihat sendiri, jadi saya gak mau makan di sana,” balas Mas Alim dengan dialeg Maduranya yang kental. “Hehe.., ya udah deh. Sekali-sekali ajah makan di sana, kan gak sering-sering ini,” kata Fifi. Gerrr..., semua pun tertawa dengan menelan ludah ngeri masing-masing.

Lupakan Sinjay, kembali lagi ke Sampang. Terik matahari yang sudah aku rasakan sejak pagi, makin mencubit di pulau garam ini. Gerah campur panas, begitulah perjalanan yang kami tempuh. Karena tidak mengenakan sarung tangan, kedua punggung tanggan ku yang berwarna sawo (sawo busuk) langsung menggelap. Belang cing..!! Air minum pun terkuras, dan warung yang menjual minuman dingin pun jadi sasaran. Glek glek glek..., air fanta dingin pun membasahi tenggorokan. Dingin sekaligus membuat kepala pening, karena dari suhu yang panas langsung diguyur minuman dingin. Biarlah, terpaksa soalnya, hehehe... Makanya, next time kalo berkelana ke Madura, apa lagi naik motor, gunakan penutup badan yang full, plus sunblock, biar item-nya gak luntur masbro dan mbakbro.

Mendarat selamat di rumah Mas Alim, kita langsung selonjoran meluruskan pantat dan melepas gerah. Mas Alim yang  baik hati pun menyuguhkan es kelapa muda campur susu, srruuuppp..., 10 menit langsung amblas. Dasar anak-anak kuliahan, maklum juga anak kos-kosan, begitu ditawari makan siang sate ayam, gak pake ba-bi-bu, tancap gas. Nyam-nyam-nyam..., wuenak rek!

Selang setengah jam kemudian, cuaca berbaik hati. Sedikit awan mendung bergelayut di langit. Matahari tak sejudes tadi siang. Kota Sampang pun terlihat lebih ramah. Bicara soal Sampang, image yang terbayang adalah kerusuhan Sampang yang terjadi Agustus lalu, akibat perselisihan keyakinan di antara penduduk di sebuah kampung. Citra kurang sedap membayangi Sampang. “Serem gak sih di sana?” pertanyaan seperti itu pasti bermunculan di sejumlah benak yang belum pernah menginjak bumi Sampang.

Seperti kota-kota lain di Jawa Timur, Sampang tak ada bedanya. Masyarakatnya agamis, yah itulah citra yang tampak di mataku. Keras, itu memang karakter orang Madura. Tapi, gak semua orang Madura galak-galak kok, banyak juga yang hatinya lembut. Menurut data BPS, tahun 2012 tercatat 880.599 jiwa penduduk di Kabupaten Sampang, tersebar di 14 kecamatan, di luas wilayah 1.233 km persegi. Jumlah perempuan lebih banyak 5 persen, dari pada laki-lakinya, dengan pekerjaan utama adalah petani. 

Di Sampang memang gak banyak obyek wisatanya, yang boleh dikatakan menjanjikan. Tapi, salah satunya ada Pantai Camplong yang sempat kita kunjungi. Jaraknya sekitar 8 km dari pusat kota ke arah timur. Pantai pasir hitam ini banyak dikunjungi masyarakat lokal, terutama pada akhir pekan. Dasar pantai berbatu karang kecil-kecil dan lumut, kurang nyaman untuk main air. Ada nelayan yang menawarkan jasa kapal ke tengah laut, tawar saja harganya. Lebih untung kalau bisa bahasa Madura, bukan logat Madura lho! (bok abok.., taiye dheq..). Selain Pantai Camplong ada juga obyek  Raden Segoro Ruins, Hutan Monyet Nepa, Batu Ampar, dan Mandangin.

Istri Mas Alim berkomentar, di sini, makanan khasnya itu Kaldu, semacam sop/gulai kikil (urat kaki) sapi yang bercampur kacang hijau. Selain itu ada juga Bebek Songkem, yakni semacam pepes bebek. Bukan digoreng atau dibakar, tapi bebek yang sudah dibumbui dibungkus daun pisang lalu diungkep. Sayangnya, karena kita gak berencana menginap, dan harus pulang balik Surabaya sebelum malam, maklum naik motor bawa cewek-cewek, jadi kita batal mencicipi bebek songkem dan kaldu itu. (hiks hiks hiks.., jadi ngiler ngebayanginnya).

“Udah nginep ajah, baru besok pulangnya,” ujar istri Mas Alim menawari kami ramah. “Pingin nya sih nginep, tapi gak ada persiapan nih mbak,” ujar kawan-kawan. Jadi, sekitar jam 16.30 kami pun cabut balik ke Surabaya, berkejaran dengan petang yang kian menjelang. Au revoir Sampang, next time kita mampir lagi. Soon...


-yuda thant-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar