Sabtu, 23 Februari 2013

Meniti Khayangan Api

Wuah udah lama gak nge-bolang nih. Dan setelah bingung mau kemana, akhirnya ada tawaran juga buat maen ke Bojonegoro. Hmm..., ada apa ya di Bojonegoro?

***

Selama ini gak pernah denger apa yang menarik di Bojonegoro. Soalnya, Bojonegoro hanya kita kenal sebagai salah satu daerah pertambangan di Jawa Timur, selain Tuban dan Cepu yang masuk kawasan tambang gas dan minyak di pantai utara Jawa. Lalu ada obyek apa yang bisa dijelajahi di Bojonegoro? Ternyata di sana ada "jalan menuju khayangan"

Oke, sebelum sampai di jalan khayangan, kita mulai dulu perjalanan menyusuri Sungai Bengawan Solo.

Berangkat dari Stasiun Turi Surabaya dengan kereta ekonomi (KRD), kami tiba di Stasiun Babat, Lamongan. Babat adalah kecamatan yang terletak di perbatasan antara Bojonegoro dengan Lamongan. Malahan, jarak stasiun dengan jembatan perbatasan Bojonegoro gak sampai 10 menit. "Kok cepat? emang berangkat jam berapa?" tanya Mami Aris, teman kami yang menjadi tuan rumah liburan murah meriah kali ini.

"Naik KRD. Berangkat tadi jam 9.15 dan ternyata perjalanan cuma dua jam kurang. Murah, bayarnya cuma Rp 3.000," jawabku. "Iya, cepat lagi Bu Aris," timpal Arya, teman sekelas yang hari itu jadi temen seperjalanan mbambungpacker.

Dijemput dengan sepeda motor, kami meluncur ke salah satu titik pantau tinggi muka air Sungai bengawan Solo. "Sudah, kita di sini, di warung kakak ku. Kita makan siang. Nanti, jam 12 perahu akan datang menjemput kita," ujar Mami Aris.

Perahu? Kok naik perahu? Oh iya, kampung Mami Aris, yang mantan bidan desa, ini sering kebanjiran akibat luapan Sungai Bengawan Solo. Minggu lalu, desanya tergenang banjir selama dua hari. Setelah hari ketiga, banjir mulai surut, dan kebetulan, kami datang sewaktu banjir telah susut. Jadi, saat banjir, akses jalan desa menuju kampungnya tidak bisa dilewati kendaraan. Akhirnya, terpaksa menggunakan perahu untuk mencapai kampung yang terletak sekitar 3 km dari jalan besar.

Setelah mencicipi masakan udang goreng dan pepes ikan patin yang dibumbu kluwek, perahu dengan mesim motor tempel itu pun datang. Kami bergegas menaikinya dengan hati-hati, terutama si Arya, yang wajahnya sedikit gusar alias takut. Sepertinya dia baru pertama kali naik kapal di sungai yang besar dan dalam.

Dan ternyata, seru loh menyusuri salah satu ruas Sungai Bengawan Solo yang namanya sangat masyur di kenal banyak orang, bahkan sampai di Jepang. Warna sungai yang coklat pekat, tampak menyimpan sejuta misteri dan cerita. "Biasanya, perahu-perahu ini dipakai warga desa untuk nambang (mengambil) pasir sungai. Pasirnya dibawa ke tempat tadi, terus ada truk yang mengangkutnya di bawa ke kota," jelas Mami.

Setiap tahun pasti ada banjir. Soalnya tidak ada tanggul yang menahan air, bahkan tanah bantaran sungai terus terkikis, sehingga sungai ini makin melebar. Tak heran jika banjir terus menyapa tiap tahunnya. salah satu bannjir yang paling parah tahun 2007 lalu, sampai dua meter tingginya. (wadooowww..., kok dalam banget).

Selain petani, salah satu mata pencaharian warga di kampung ini adalah pencari daun pisang, atau yang mereka sebut "golek ron." Daun-daun pisang itu dijual ke kota Bojonegoro, bahkan ada yang sampai ke Surabaya. Jadi wajarlah kalau di sepanjang bantaran itu terlihat banyak pohon pisang. Padahal, kalau gak salah, seharusnya tanaman keras yang ditanam di sepanjang bantaran agar tanah tidak gampang erosi. Nah, kalo pisang yang ditanam, yah gimana tanah bisa kuat menahan gerusan air sungai yang deras, apalagi saat musim hujan.

Perlahan, perahu berwana hijau daun dengan alas duduk berupa susunan rapi bilah-bilah bambu, ini mendekati bibir sungai yang masih tertutup lumpur. Tidak ada tanggul untuk menepi. Tiga kapal tampak ditambatkan pada pohon pisang yang berjajar di tepian bantaran sungai. "Hati-hati licin," begitu ujar pemilik perahu mengingatkan kami licinnya jalan berlumpur itu.

Mami bercerita, kondisi kampungnya yang berpenghuni sekitar 300 KK itu masih belum sehat. Maklum, saking seringnya tergenang banjir, hampir di tiap rumah memiliki kubangan berisi air, yang disebut "jumblangan." Jumblangan ini sendiri terbentuk karena pemilik ruman meninggikan dasar rumahnya dan membuat "kolam alami" di sekeliling rumahnya agar saat air sungai meluap, rumahnya tidak terendam banjir. Padahal, kondisi semacam itu tidak sehat. Sebab, kubangan-kubangan itu akan menjadi sarang berkembang biaknya nyamuk ataupun penyakit lainnya. Tapi karena sudah berlangsung lama, dan belum ada solusi dari pemerintah mengatasi banjir yang permanen, yah..., jumblangan pun akan terus ada.

Sore harinya, kami singgah ke rumah kawan yang juga seorang bidan, tapi di lain desa, Mbak Lilik namanya. Suami Mbak Lilik ternyata seorang mantri, sehingga mereka membuka praktik saban sore di rumah mereka. Mbak Lilik memberi pelayanan terkait maternal, neonatal, kelahiran, dan KB, sementara suaminya memberi pelayanan penyakit lainnya. Mbak Lilik maupun Mami Aris mengisahkan perjuangan seorang bidan desa yang penuh suka duka.

Salah satu cerita mami yang aku ingat, sekitar 10 tahun lalu, saat jalan desa masih tanah belum diaspal/dibatako, dia harus mengantar ibu hendak melahirkan dengan ditandu, naik perahu, dan sampai di jalan aspal harus ditandu lagi. Infus pun diganti dengan air minum, supaya si ibu tidak kekurangan cairan. Wuihh.., ternyata seru juga jadi bidan desa, hehehe... Setelah ngobrol sedikit tentang kondisi dan masalah kesehatan di pedesaan Bojonegoro, kami pun menutup hari itu dengan membantu Mami meng-up-load foto-fotonya di FB. (Hehehe..., meski sudah berumur, mami masih narsis juga, wekekeke..)

"Mas bangun, jadi kan jalannya?," tanya Arya sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. Saat aku terbangun, rupanya mami sudah masak sarapan dan bersiap berangkat kerja. "Wadooww..., aku bangun kesiangan nih," sambil lihat jam di ponsel yang sudah menunjukkan sekitar pukul 07.00," celotehku.

Setelah sarapan, kami pun bergegas meluncur ke salah satu objek wisata unggulan di Bojonegoro, yakni Api Khayangan. "Lokasinya agak jauh dari sini. Arahnya kalau dari kota (Bojonegoro) itu ke Nganjuk. Nah, nanti kalau sudah sampai kota, tanya polisi ajah biar gak nyasar," jelas mami. Hmm.., dan ternyata gak susah kok menuju ke Api Khayangan, tidak seperti yang dikhawatirkan mami. Maklum, namanya juga ibu-ibu, pasti gampang khawatir.

Dari Babat, kami naik sepeda motor, dengan modal bensin Rp 15.000, sudah bisa pergi-pulang dari lokasi yang kami tuju. Sebelum masuk ke kota, kami melewati daerah Baureno, dengan aroma daun tembakau yang menyengat. Dan ternyata, di sepanjang jalan dari Baureno sampai kota. ternyata, banyak pabrik-pabrik rokok kretek bermerek lokal. Pantas saja. Menurut catatan Bea Cukai, setidaknya ada 46 pabrik rokok di Bojonegoro, 5 pabrik diantaranya perusahaan besar, dan 37 sisanya adalah pabrik skala rumahan/kecil. Bicara soal rokok dari Bojonegoro, salah satu yang terkenal kalo tidak salah bermerek "369." Konon, rokok kretek ini sudah ada sejak 20 tahun lalu, dengan model industri rumahan. Gak cuma dipasarkan lokal, usut punya usut, 369 tobacco ini katanya sampai ke luar negeri lho. Mantab (angkat jempol).

Setelah sampai di pusat kota, menyusuri jalan utamanya, sampailah di pertigaan. Ambil saja yang ke kiri, arah ke Nganjuk. Dari sana sekitar 15 km, bakal ketemu dengan Pasar Dander, dan di sebelah pasar akan ada gapura selamat datang di obyek wisata Khayangan Api. Dari pasar, yah.., sekitar 5 km lagi lah nyampe ke lokasi, dengan melewati deretan pohon jati di kawasan hutan lindung. Meski sedikit sepi, karena kebetulan kami datang pas hari kerja, jangan takut yah, karena ada pos polisi hutan atau dinas kehutanan kok di jalan menuju Khayangan Api.

"Taaaarraaaaa....." inilah Khayangan Api, yang terletak di Desa Sendang Harjo, Kecamatan Ngasem. Ohya, masuknya gak mahal kok, cuma Rp 3.000 per orang, dan untuk sepeda motor dikenai tarif Rp 2.000. Dari sisi luar, terlihat semacam empat candi kecil yang mengelilingi tumpukan batu-batu berwarna bata yang dipagari besi. Nah, itulah api abadi dari Khayangan Api. Memang tidak terlihat jelas kobaran apinya, karena ini siang hari, tapi kalau sore atau malam pasti lebih tampak jilatan-jilatan api berwarna merah. Tapi yang jelas, hawa panas dan bau belerang kental sekali terasa di sekitar pagar besi api abadi itu.

Konon, menurut legenda, Khayangan Api atau api jalan menuju khayangan adalah petilasan tempat Mpu Supagati a.k.a Ki Kriya Kusuma, seorang empu pembuat keris dari Zaman Majapahit. Di tempat itulah, Mpu Supagati bersemedi dan menempa keris-keris mahasakti yang dibuatnya. Bata-bata dari bekas reruntuhan padepokan Mpu Supagati juga masih ada, meski sudah tak berwujud bangunana. Menurut Pak Juli, juru kunci Khayangan Api, api abadi itu digunakan untuk menempa keris yang dibuat oleh Mpu Supaganti. Selain apinya stabil, api dari bara belerang itu ternyata baik dalam proses pembuatan keris.

Setelah ditempa dan dibentuk di api abadi, keris yang masih panah dicelupkan ke dalam sumur yang disebut "air blukutug" atau yang dulu disebut "palonan." "Disebut air blukutug itu biar gampang saja, karena ada gelembung-gelembung udara yang muncul dari dalam sumur mengandung gas belerang," jelas Juli. Uniknya, meski terkesan panas karena munculnya gelembung gas belerang, ternyata suhu air di sumur itu sangat dingin. Kalau tidak percaya, coba celupkan sendiri tangan kalian ke dalamnya. (nb: yang dicelup tangan ajah yah, jangan kaki, tidak sopan atau pamali).

Meski tidak terlihat, di kawasan khayangan api, termasuk air blukutug banyak sosok halus yang tak kentara tapi bisa terasa. "Ada penunggunya. Wujudnya macam-macam. Ada yang seperti bidadari, atau ada yang sosoknya seperti empu. Kadang, ada penampakan yang seperti keris," ujar Pak Juli, sambil menunjukkan foto-foto penampakan di sekitar khayangan api dari ponselnya. (Wadooowww..., kok serem yah, hahahaha...)

Dekat sumur yang berdiameter sekitar 1,5 meter dan dalamnya 2 meter, itu ada satu pohon dua akar yang membentuk gerbang. Menurut Pak Juli, dulu jalan masuk menuju ke padepokan Ki Kriya adalah lewat gerbang itu, yang disebut gerbang nogosari. Jalan setapak dari gerbang itu menghubungkan Desa Sendang Harjo dengan khayangan api. Hanya penduduk desa yang memakai jalan itu, sedangkan orang umum atau pengunjung biasanya lewat jalan yang sudah beraspal.

Di warungnya yang terletak di bawah pohon jati berusia ratusan tahun, Pak Juli berkisah lebih banyak lagi tentang hal-hal mistis di luar logika yang terjadi di sekitaran khayangan api. Tak ayal, saban hari-hari tertentu banyak orang bertirakat di sekitar petilasan yang sudah berusia lebih dari 600 tahun ini. Banyak juga yang minta air dari sumur air blukutug, yang dipakai untuk menyembuhkan berbagai penyakit. (Boleh percaya boleh enggak sih). 

Pastinya, di Khayangan Api, saban bulan Oktober tanggal 19, dilakukan acara pengambilan api abadi oleh pemerintah kabupaten sebagai simbol-simbol perayaan hari jadi kabupaten. Tempat ini juga ramai saat ritual sedekah bumi, yakni menjelang masa panen, yang dimeriahkan dengan kesenian tayuban atau waranggono. Ada keyakinan, bagi calon pejabat yang hatinya tidak bersih, jangan harap bisa "selamat" jika melewati khayangan api. Dulu, juga pernah dilakukan upacara Jumenengan Ngarsodalem Hamengku Buwono X, selain itu apu dari Khayangan Api juga diabil untuk menyalakan obor PON tahun 2000. 

Fenomena api abadi di Bojonegoro ini sekilas tak jauh beda dengan apai abadi Tak Kunjung Padam di Pamekasan Madura. Namun, Khayangan Api punya latar sejarah yang melekat erat, terutama dengan sejarah Majapahit. Bojonegoro yang berkali-kali pindah kekuasaan, dari di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, lalu Demak, Pajang, hingga Mataram. Biarpun secara logika fenomena api abadi ini uncul akibat semburan gas yang merembes dari celah tanah dan bebatuan, kisah sejarah dan legenda di balik Khayangan Api membuat obyek wisata ini pantas disinggahi jika kita ada di Bojonegoro. 

Weiitt.., sudah jam 11. Sudah waktunya pulang karena kereta KRD menuju ke Surabaya tiba di Stasiun Babat jam 13.25. Dan perjalanan dari Khayangan Api ke Babat sekitar 1 jam 45 menit dengan kecepatan laju motor sekitar 60 km/jam. Maklum yang jadi driver si Arya, yang nyetirnya pelan-pelan banget. "Ayo Ya kita balik, ntar ketinggalan kereta lho," ajakku. Dan kami pun ngacir dari khayangan... wusshh..wusshh.. (*serasa jadi bidadara yang kabur dari khayangan, hehehe) 



-yuda thant- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar