Minggu, 20 Juli 2014

Chang Chang Chang - Part 2

“Start from Mun River and Finish on Chao Phraya River”


(Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”)

   Thailand merupakan destinasi terpadat di kawasan Asia. Thailand juga menjadi tujuan paling populer nomor dua, setelah Singapura, bagi pelancong-pelancong asal Indonesia. Tak heran jika penerbangan dari Indonesia ke Thailand selalu ramai. Sayangnya, sejak Mei Juni lalu, penerbangan dari Surabaya ke Bangkok, di-suspended, sehingga kalo sekarang mau ke Bangkok ya terpaksa lewat Jakarta. Dulu, selain Air Asia, ada Tiger, yang membawa penumpang dari Surabaya ke Bangkok. Sialnya juga, maskapai Tiger juga melakukan hal yang sama seperti Air Asia. 

   Biasanya, Air Asia sering memberikan tarif promo pada periode tertentu. Namun, harga normal  sekitar Rp 800.000, tapi kalo balik harganya lebih mahal, sekitar Rp 1 juta. Untuk biaya hidup di Thailand terbilang murah, hampir sama seperti biaya hidup di Jakarta atau Surabaya. 1 Bath sekitar Rp 250. Demikian juga dengan biaya hotel, ada yang terjangkau kok, sesuai kantong backpacker. Mulai dari Rp 300.000 per malam juga ada. Biaya bus atau kereta cepat juga terjangkau, sekali jalan gak sampe Rp 10.000. Jadi, kalo dihitung-hitung, bawa bekal Rp 1,5 juta saja udah bisa kok berwisata 2 hari di Bangkok dan sekitarnya.

   Karena kali ini aku adalah tamu undangan, jadi aku gak terlalu mikirin biaya akomodasi, hehehe...

   Setelah rentetan kegiatan akademis, akhirnya dr. Tuk mulai membawa kami berwisata ke sebuah kedai makan terapung di Sungai Mun (Mun River). Di sepanjang sungai berair coklat ini, terdapat beberapa restoran dan kedai makan yang dibangun di tepian atau di tengah sungai. Pengunjung bisa makan sambil main air atau berenang di sungai. Duduk santai menikmati angin yang berembus di bawah teriknya matahari, menyantap berbagai menu ikan dan serangga yang dibumbui sangat menyengat. Dan yang jelas enak, hehehe...

   Sebenarnya, area food court semacam ini isa saja dibangun di Sungai Bengawan Solo atau Sungai Berantas yang membentang di Pulau Jawa. Namun sayang, belum banyak pengusaha dan pemda yang mengembangkan potensi daerahnya menjadi obyek wisata yang layak didatangi. Lokasi Mun River mungkin hampir sama seperti di Indonesia, tetapi kualitas pelayan pengelola wisata di Thailand sangat diacungi jempol. Bersih dan nyaman, itu kuncinya. Bersih karena minim sampah. Nyaman karena tak ada pedagang kaki lima atau pengemis yang berkeliaran di lokasi wisata.

   Sehari sebelumnya, dr.Tuk menjamu kami di sebuah restoran rumahan, Moan Restaurant. Di restoran yang bentuknya seperti rumah, bahkan ruang makannya benar-benar seperti ruang makan di sebuah rumah yang sederhana, ini menyuguhkan menu makanan ikan dan udang.  Malamnya, setelah dari Mun River, dr.Tuk mengajak kami camping di salah satu taman nasional yang terkenal di Ubon, yaitu Phuchong Nayoi National Park. Perjalanan kami tempuh selama 3 jam, dari kota Ubon menuju ke taman nasional. Taman seluas 686 km2, merupakan salah satu taman nasional yang berbatasan dengan negara Kamboja.

  Bersama delapan mahasiswa dan juga suaminya, dr.Tuk menyiapkan barbeque party untuk kami. Mantab man..!!! Bakar-bakar daging di tengah hutan, ala-ala camping gitu deh. Kebetulan pula malam itu bulan berwajah bundar dan bersinar terang. Semalaman kami membakar ikan, udang, cumi, dan daging sapi untuk pesta makan malam. Kekenyangan dan perut sampai kepenuhan, itu yang terjadi. “Perutku dah gak muat lagi Mas,” kata Dian sambil mengelus perutnya yang membuncit kekenyangan.

  Di Nayoi, terdapat sebuah air terjun yang sangat indah. Tapi sayang, karena kami berkunjung pada musim kemarau, debit air terjun sangat kecil, sehingga keindahannya tidak mencuat. Kami harus menuruni ratusan anak tangga untuk mencapai dasar air terjun yang berpasir putih. Menurut salah seorang mahasiswi dr.Tuk, ada kebiasaan orang Ubon menyanggah atau memberdirikan ranting pohon diantara batuan besar atau tebing. Mereka percaya, dengan meletakkan ranting itu, suatu saat mereka akan datang kembali ke tempat yang dianggap indah dan menarik tersebut.  

  Perjalanan kami lanjutkan ke sebuah desa. Melihat kehidupan petani di Thailand. Kami juga mendatangi sebuah pasar desa (village market). Hal yang menarik di sana adalah, petani di Thailand hidup lebih sejahtera dibandingkan petani di Indonesia. Apa indikatornya? Pertama, hampir semua petani di sana punya mesin traktor dan mobil untuk mengangkut hasil taninya. Mobilnya pun bukan mobil pick-up yang butut, tapi mobil dobel gardan yang di Indonesia boleh dibilang mobil mewah.

Coba lihat foto pedagang di pasar desa, di belakangnya terparkir mobil mereka. Dan mereka adalah petani yang menjual hasil buminya. Kedua, ternyata gaya hidup petani di Thailand tidak konsumtif, berlagak ala “borjuis” atau belanja barang mewah yang tak penting. Hampir tidak ada terlihat petani dan konsumen yang belanja di pasar memakai perhiasan mewah, baju bagus, dan dandanan menor. Semuanya serba sederhana. Ini sepertinya yang membedakan dengan petani di desa-desa di Indonesia, yang bergaya dan menirukan pola hidup bak masyarakat metropolis.

Mekong River
  Lepas dari pasar tersebut, kami diantar dr.Tuk ke sisi timur Ubon, menuju sebuah cottage tepi sungai. Cottage ini terletak di tebing Sungai Mekong, sungai yang memisahkan Thailand dengan Laos. Kami tiba saat bulan purnama mulai duduk di singgasananya. Di seberang sungai, terlihat titik-titik api yang menyala. “Musim (kemarau) seperti ini memang sering terjadi kebakaran alang-alang. Tapi, itu bukan masalah,” ujar dr.Tuk. Keindahan dan pesona cottage di sisi Sungai Mekong ini baru bisa kami nikmati saat pagi hari. “Kalau lihat sungai ini jadi ingat film Rambo. Kan di film itu tentara Vietkong atau si Rambo terlihat menyeberangi sungai, persis seperti sungai ini,” kenang Mr Ato.

  Menjelang siang, kami brunch (breakfast ana lunch) di salah satu tepi sungai Mekong yang lain, di daerah Khong Chiam. Lagi-lagi dr Tuk menawari aku makan serangga, dan aku mengiyakan tawaran itu.

  Sebelum makan siang, seorang nelayan mendatangi kami dan menawarkan menyeberang sungai menuju Laos. Hanya dengan 400 Bath, kami ber-15 bisa menyeberang pulang-balik Thailand-Laos dengan kapal kayu bermesin motor. Setelah perut kenyang, kami pun bergegas menuju ke kapal si nelayan. Tak sampai 20 menit, kami pun sudah berada di Laos. Tanpa pasport dan tanpa urusan imigrasi. “Please don’t talk to much while crossing the border,” kata dr.Tuk. Dia berkata begitu agar kami tidak terlihat mencolok seperti turis.

  Penduduk Laos maupun Thailand di sisi Sungai Mekong saling melintas perbatasan negara itu cukup bebas setiap harinya. Tujuannya macam-macam, ada yang berdagang, sekolah, dan menjenguk sanak saudara. Bahasa yang mereka gunakan pun sama. Bahkan, pedagang souvenir di Laos pun menerima pembayarang dengan uang Bath. Sisi kampung di Laos yang kami datangi ini mirip sekali dengan kondisi di Indonesia timur. Gersang dan panas. Jarang sekali tampak warna hijau di sana. Yang terlihat hanya coklat, kuning, dan oranye. Tapi entah mengapa, sepertinya matahari di Laos lebih dari satu, sehingga siang itu kami semua merasa sangat sangat sangat kepanasan.

  Belanja oleh-oleh sudah, menginjak kaki di Laos juga sudah, maka kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kuil yang terletak di tepian Sungai Mekong. Di kuil ini kami melihat deretan patung Budha. Ada patung Budha dengan berbagai pose. Dari tujuh patung yang ditata rapi, tertuliskan tiap patung melambangkan nama hari. “Tiap patung diperuntukkan bagi orang yang lahir pada hari tertentu. Biasanya, orang yang lahir pada hari Jumat, akan berdoa pada patung yang bertuliskan hari Jumat, dan hari-hari lainnya,” jelas dr.Tuk. Karena penasaran, aku pun meminta izin untuk berdoa di patung yang bertuliskan hari kelahiranku. Setelah diizinkan, aku pun berdoa supaya aku selalu dibukakan jalan terbaik oleh Sang Khalik. (#mendadak religius) 

Chao Phraya River
  Bangkok adalah tujuan hari terakhir kami sebelum pulang ke Indonesia. Kami hanya punya waktu sekitar 7 jam di antara waktu transit, sebelum pesawat dari Bangkok terbang ke Surabaya. Kemana tujuan yang paling mudah dan merupakan ikon Thailand. Yap, Sungai Chao Phraya! Sungai sepanjang lebih dari 370 km ini adalah sungai terpenting di Thailand, khususnya Bangkok. Sungai ini adalah salah satu urat nadi kehidupan masyarakat  Bangkok.

  Dari Bandara Don Muaeng, kami menumpang bus lalu lanjut dengan kereta cepat. Kereta ini melintasi pusat kota, termasuk salah satu mall besar di Bangkok. Dari situ kami lanjut lagi dengan kereta cepat, turun di Saphan Taksin, atau dermaga utama wisata Sungai Chao Phraya. Untuk menjelajahi sungai ini kita bisa menggunakan tiket terusan dengan membayar 150 Bath, atau sekitar Rp 45.000. Dengan tiket terursan, kita bisa naik turun di mana saja, yang rupakan lokasi objek wisata. Banyak kuil dan istana indah juga pasar souvenir yang bisa kita kunjungi.

  Lagi-lagi, waktu adalah pembatas paling tegas dalam tiap perjalan. Tidak terasa, sudah pukul 15.00 waktu setempat. Pesawat kami akan berangkat sekitar 4,5 jam lagi, jadi paling tidak kami harus di bandara 2 jam lagi. Padahal, kami baru menikmati Wat Arun, salah satu landmark ikon Bangkok. Kuil ini bernama Arun, karena artinya senja. Sehingga, menikmati kuil ini bagusnya sore hari. Di belakang kuil ini, ada pasar souvenir yang sebagian penjualnya bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, mereka mau menerima uang Rupiah sebagai alat bayarnya. “Ayo..ayo.., baju murah harga murah,” begitu salah satu teriak pedagang menawarkan jualannya kepada pengunjung yang kebanyakan dari Indonesia.


@yudathant 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar