Minggu, 20 Juli 2014

Chang Chang Chang “The Kingdom of Elephants”

Seri 1st “student exchange-trip to Thailand”

What is on your mind if I ask you about Thailand?
Jawaban paling cepat yang biasanya keluar dari bibir kita adalah Pattaya, Gajah Putih, Phuket, Sungai Chaupraya, Seks, atau juga Lady Boys. Hehehe... Tapi mas bro and mbak bro, Thailand gak cuman itu doang. Banyak destinasi yang disuguhkan di kerajaan gajah ini, yang sayang sekali jika dilewatkan. Mulai dari alamnya, makanannya, sampai keramah tamahan orang-orangnya yang mungkin melebihi orang Indonesia. Those are what I got when I went to “The White Chang Kingdom” on last March.

The City of Royal Lotus Flower
Horee..., ke Thailand!! Tapi jangan seneng dulu mas bro. Soalnya perjalanan kali ini bukan murni liburan. (langsung deh, wajah ditekuk tiga lapis, hehe..) Trip 8 hari ke “land of elephants” ini berkaitan dengan students exchange. Kebetulan, aku dan dua temanku, Dian dan Hadiyah, mewakili fakultas bertukar pengalaman dengan mahasiswa pascasarjana di Ubon Ratchathani Rajabath University (UBRU) Thailand. Kebetulan juga, fakultas kami sedang melakukan joint research dengan Fakultas Public Health di UBRU.

Tidak hanya kami bertiga yang berangkat, tapi juga dua dosen yang melakukan joint research, yaitu Mr Ato dan Mr Shoim. Mereka berdua nanti akan memberikan kuliah kepada mahasiswa master degree di UBRU. Jadi, mau gak mau harus sedikit jaim, alias jaga image biar gak malu-maluin dosen en kampus. Salah satu agenda kami adalah menghadiri konferensi riset internasional yang dihelat UBRU. Ditambah lagi masih ada a bucket of list agenda dari Ketua Prodi, Ibu Dien, yang harus kami dilakukan selama di sana. Wuiihh.., padet banget sepertinya chiingg!!

Kami terpaksa berangkat dengan waktu dan jadwal penerbangan terpisah. Ini karena paspor Hadiyah belum jadi, sehingga Hadiyah dan Dian harus menyusul dengan flight dan rute yang berbeda. Aku dan dua dosen berangkat naik Air Asia, transit di Bangkok 10 jam, lanjut dengan Air Asia ke Ubon. Sedangkan Dian dan Hadiyah berangkat pada hari yang sama dengan Tiger, transit di Singapore selama 10 jam, transit di Bangkok 7 jam, dan lanjut ke Ubon. Akibatnya, mereka melewatkan agenda di hari pertama.

Dalam bayangan awal, sebelum berangkat, kota tujuan kami akan sama seperti Bangkok; padat dan berisik. Ternyata Ubon tidak seperti itu. Ubon Ratchathani adalah sebuah kota (provinsi) yang tenang, bersih, rapi, dan teratur. Jarang sekali orang membunyikan kelakson saat di jalan raya. Tidak ada orang yang menyeberang jalan sembarangan. semuanya tampak teratur dan rapi. Ubon sendiri adalah provinsi yang berjarak sekitar 700 km ke arah timur laut dari Bangkok. Jika naik pesawat hanya sekitar 1 jam, tapi jika menumpang kereta bisa sekitar 8-10 jam.

Kunjungan kami ke UBRU juga atas undangan dr. Tuk, salah satu dosen yang melakukan joint research dengan Mr Ato dan Mr Shoim. Dulu dia pernah ke Unair, dan kebetulan aku dan Dian sempat jadi liaison officer alias pemandu lapangan yang menemaninya selama sehari mengunjungi Dolly, the biggest red district in Indonesia. Nah, sekarang, dia dan beberapa mahasiswanya yang mendampingi kami sepanjang minggu di Ubon. Oh ya, nama Ubon Ratchathani kalau diartikan adalah the royal city of lotus flower, atau kota praja bunga teratai. Makanya, lambang provinsi ini adalah bunga teratai yang mekar indah di sebuah kolam.

Tiga hari pertama, kami habiskan di kampus dan hotel, lokasi konferensi riset dilangsungkan dan tempat kami menginap. Hotel dengan arsitektur khas Thailand ini adalah hotel milik UBRU. Hotel ini merupakan salah satu aset kampus memeroleh dana untuk menjalankan roda pendidikan di kampus. Selain itu, kalau tidak salah, kampus juga punya lapangan bola dan area camping yang disewakan. Sayangnya, ide entreprenurship semacam ini gak banyak dilakukan oleh  lembaga pendidikan di Indonesia. Kalau begini kan kampus gak perlu khawatir kekurangan duit buat men-support mahasiswa dan dosen-dosennya melakukan riset atau kegiatan-kegiatan adukasi lainnya.

Thai Food
Di dekat hotel, ada semacam gelanggang remaja yang di dalamnya terdapat beberapa kios cendera mata, dan di depannya ada arena food court. Hampir setiap hari kami ke sana, untuk mencoba menu makanan Thailand, yang kami asumsikan halal, seperti mi goreng atau nasi goreng sea food, hehe.. di dekat situ juga ada dua kedai kopi yang enak banget buat nongkrong. Salah satunya adalah kedai kopi "Varisa House" yang dikelola oleh Narm, James, dan Nan, yang terlihat di foto sebelah kanan ini. 

Makanan Thailand sangat kaya bumbu, hampir sama dengan makanan dari Aceh atau Sumatera yang bermain dengan rempah-rempah. Beberapa menu makanan yang sempat kami coba adalah macam-macam  sup, yang biasa disebut “Tom.” Beberapa menunya, adalah “fish salad,” tom sam, dan lan moan. Bahan baku utama ikannya adalah ikan patin atau ikan lele. Jangan bayangin pecel lele yang biasa kamu beli yah. Pengolahan yang apik, membuat daging ikan patin terasa empuk dan saat dikunyah di mulut, semua bumbu terasa bercampur dengan pas. (#waduh, nelan ludah deh jadinya, gara-gara ngebayangin, srrruuppp...)

Thailand juga dikenal dengan menu akstrim, salah satuya adalah menu serangga dan “tetangganya”. Sewaktu menginap di hotel dekat Bandara Don Mueang, pedagang kaki lima menjajakan menu serangga bakar dan goreng yang siap santap sebagai kudapan atau camilan sambil jalan-jalan. Salah satu serangga yang ditawarkan adalah kalajengking, wuih mantab... Sayangnya, gak ada teman buat nyobain menu itu, karena dua dosen tampak ragu untuk mencoba.

Untungnya, menu serangga juga ditawarkan di warung dan restoran. Seingatku, aku dua kali menyantap menu serangga ini. Pertama di tepi Sungai Mun, dan yang kedua di tepi Sungai Mekong. Salah satu menu serangga yang aku santap adalah semut rangrang besar atau disebut "mod daeng". Satu genggam serangga itu disangrai dengan bumbu rempah, lalu ditaburi semacam daun bawang dan cabai hijau. Serangga itu disajikan dalam pincuk daun jati. Dan rasanya, wuueeenaaakk..., aku bahkan bawa satu bungkus untuk dimakan di perjalan (gambar di atas, foto tengah atas), hahaha...

Satu lagi menu favoritku ada ketan mangga atau sticky rice with mango. Mangga yang matang, manis, dan berwana orange dipotong ukuran sedang. Taburi dengan santan kental, lalu disantap bersama dengan ketan putih yang manis. Ketan itu juga direbus dengan sedikit air santan, jadi ada rasa gurih dan manis. Hmm...., mantab deh pokoknya. Bule-bule pun doyan kok menyantap menu ini. Dijamin kalian juga pasti doyan deh...., 100% guaranty.

Sebenarnya masih pengen cobain menu-menu lain yang ekstrem dan gak ada di Indonesia, tapi aku gak ada partner buat coba-cobain. Soalnya semua temen trip kali ini pada “hati-hati” dengan menu yang disantap. Selama di Thailand, kami dibuat kenyang dan puas dengan makanan Thailand yang sangat lezat dan nikmat alias “maknyuss” oleh dr.Tuk. Thank you dr.Tuk  “kha pun khab dr.Tuk”


Lesson Learned
“Menuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Oke karena duit kita masih pas-pasan, jadi ke Thailan aja dulu yah belajarnya, hehehe... Banyak pembelajaran yang bisa aku share selama di negeri gajah putih ini. Di UBRU, penghargaan terhadap ilmu dan pengobatan tradisional begitu diperhatikan. Sampai-sampai, mereka punya satu fakultas khusus pengobatan tradisional. Di situ, mahasiswa belajar tentang berbagai macam bentuk pengobatan, terapi, dan penyembuhan yang berasal dari akar budaya sebagai alternatif pengobatan modern. Mahasiswa juga diajarkan memijat lho, tapi bukan pijat plus-plus. Kalo itu beda area yah..., kapan-kapan aku ceritain yang itu, hehehe...

Mahasiswa juga belajar membuat ramuan dan memproduksinya untuk umum. Salah satunya adalah krim untuk pijat, minyak semacam pelega pernafasan, juga minuman, atau kalo boleh dibilang semacam jamu, yang dikemas lebih modern dan nikmat diminum. Semua aku coba, dan ternyata, seru rasanya. Uniknya, mahasiswa kesehatan masyarakat di UBRU boleh melakukan tindakan medis, sedangkan di Indonesia tidak. 

Mahasiswa di sana sangat disiplin. Mereka juga pakai seragam lho mas bro. Ada guyonan semacam ini. “Jika kamu ingin tahu mereka mahasiswi tingkat berapa,  lihat saja roknya. Kalo rok yang dipake makin pendek, berarti semakin tinggi tingkatan mereka, hehehe...” #mulai deh berburu roknya mbak-mbak mahasiswa yang seliweran di depan kampus ^_^ sambil senyum-senyum sendiri nebak kalo mbak yang dari tadi berdiri di depan ini  pasti bentar lagi lulus kuliah, hehehe... 

Ke sebuah negara tanpa belajar bahasa lokal, itu namanya kamu belum menikmati arti traveling ke luar negeri. Tulisan Thailand emang ruwet, tapi kalo ngomongnya gak susah-susah amat kok. Paling gampang belajar bahasa adalah dimulai dari belajar angka. "ne song sam..." artinya 1,2,3. Kalimat itu pasti diucapkan kalo mau motret seseorang, jadi lama-lama hapal juga. Pengucapan angka lima adalah "ha" sehingga dalam kalimat sms atau FB, biasanya untuk mengungkapkan pernyataan tertawa, cukup ditulis dengan angka 5 sebanyak 3x. (555 = hahaha...).

Belajar bahasa Thai juga bisa lewat lagu. Dengan senang hati, dr.Tuk mengajari kami lagu Thai yang terkanal, yaitu lagu anak-anak tentang Gajah. ohh...tidaakk...!! Tapi, it's oke, mungkin lavel bahasa Thai kami yang masih 0 besar, makanya kami diajirin lagu anak-anak, hehehe.. "Chang..chang..chang..." begitulah dr.Tuk mulai menyanyi. Chang itu artinya gajah lho. Berikut beberapa kata sederhana yang mungkin bermanfaat. 
mai artinya tidak;                             chai artinya iya, 
di artinya baik/bagus;                        mai dii artinya jelek 
sway artinya cantik                          loh artinya tampan
(dek) puying artinya perempuan         (dek) pushai artinya laki-laki 

Oh ya, ada perbedaan di akhir kalimat jika yang mengucapkan itu adalah laki-laki atau perempuan. kalo perempuan berakhiran "ka" sedangkan laki-laki berakhiran "kap." Misalnya, sawadhikap.. (kalimat itu aku - karena laki-laki - ucapkan untuk memberi salam kepada orang lain). Yang buat aku heran, ternyata tone suara orang Thai itu sengau semua, hehehe... jadi kalo ngomong cuaranya "cempreng" gak ada yang nge-bas kayak mas bro Sandhy Sandoro. 

Di luar kampus, masyarakat di Ubon juga sangat tertib dan peduli kesehatan. Sangat jarang sampah berserakan di jalan. Orang sepertinya malu buang sampah sembarangan. Di pasar tradisional juga demikian. Gak ada yang namanya sampah itu “telecekan” alias berceceran di mana-mana. Pedagang sudah memilah sampah-sampah mereka, dan menempatkan pada tempat sampah yang diharuskan. Jadinya, pasar itu bersih dan nyaman buat belanja. Hmmm...., seandainya semua pasar tradisional di negara kita seperti itu yah...!



Pada malam terakhir acara konferensi, panitia menggelar semacam acara pentas seni keakraban. Tuan rumah menyuguhkan tarian dan lagu-lagu tradisional yang biasa mereka pentaskan pada acara bahagia, panen raya, atau ritual bahagia lainnya. Tarian Thailand, sekilas tidak serumit tarian tradisional di Indonesia. Tidak banyak gerak tangan, kaki, pinggul, kepala, atau bahu yang sulit dilakukan oleh pemula. Gerakannya simple, tidak rumit, dan mudah diikuti. Jadi begitu lihat, pasti bisa deh. 


@yudathant

note: Tulisan berikutnya, aku bakal jelasin soal sisi wisata lain di Thailand. Lanjut yah bacanya di next story.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar