Kamis, 25 Oktober 2012

Bajakan


Di sebuah kios toko buku ukuran 2m x 2m, di lantai dasar pasar yang sedikit pengap dengan aroma campur aduk antara bau makanan dan bau yang apek dan lapuk. 

thant : Berapa harga bukunya pak
seller : Harganya Rp 20.000 
thant : Berapa pak? (antara kaget dan gak yakin)
seller : Rp 20.000 mas 
thant : Gak bisa kurang pak? Rp 15.000 ya pak? (meski tahu harganya sudah super murah, tapi tetap nawar supaya bisa dapat harga yang lebih murah)
seller : Hmm, gak bisa. Harganya pas 
thant : Segitu ya pak..., hmm.. (sambil pura-pura mikir, biar meyakinkan kalo duitnya pas-pasan) 
kris    : Rp 20.000 lho mas. Murah banget (sambil berbisik, dan antusias) Tadi buku yang ini harganya di toko yang tadi sekitar Rp 50.000. Tahu gini aku beli di sini (keluh kris yang baru saja membeli 2 buku yang harga totalnya hampir Rp 100.000)
thant : Iya yah.., (sambil membolak-balik buku setebal 2cm yang masih terbungkus plastik) Emang murah si boss (mengiyakan statement si kris) 
kris    : Nek aku belum beli dulu mas. Bulan depan ae. Duitnya wis habis buat beli buku di toko tadi (dengan nada sedikit mengeluh)
thant : Iya pak, aku jadi beli bukunya (sambil membuka dompet dan mengambil satu-satunya uang bergambar I Gusti Ngurah Rai di dalamnya, lalu menyerahkan kepada si penjual)
seller : Ini mas bukunya, ini kembaliannya.


Transaksi jual-beli buku pun berakhir. Lalu muncul pertanyaan. Mengapa harga buku yang sama, -- judul, pengarang, gambar sampul, dan isinya -- harga jualnya bisa beda. Di toko buku Manyar Jaya, harganya sekitar Rp 40.000-Rp 50.000, itu pun sudah dapat diskon 25 persen, sedangkan di salah satu lapak kios buku di Pasar Blauran, harganya hanya Rp 20.000. Hmmm...., kok bisa ya??? 



The answer is simple, "bajakan". Yup, buku yang baru saja aku beli adalah buku bajakan. It's hundred percent pirated.

Selintas, kalau dari cover, buku yang aku beli emang mirip dengan aslinya. Tapi setelah dicermati, harga emang gak bisa bohong. Kualitas kertas dan cetakan pada buku yang lebih murah itu memang jauh dari sempurna. Kertasnya tipis, tulisan yang tercetak di halaman-halaman putihnya itu kabur, miring-miring gak jelas, dan seperti hasil fotocopy-an. 


Tapi gimana lagi yah..., namanya juga mahasiswa yang "tak berpenghasilan" buku bajakan sepertinya jadi solusi terbaik. Maklumlah, kalo harus beli buku yang asli, seperti yang sebelumnya aku lakukan, kerasa banget beratnya. Sebelumnya, aku dah sempat beli buku untuk bacaan tambahan materi kuliah. Udah hampir Rp 300.000 uang aku keluarin dari dompet, tapi cuma dapat 6 buku. Waduh..., kalau ini diteruskan, bisa-bisa bangkrut nih bandar. 



Fenomena buku bajakan, honestly, sudah aku kenal 12 tahun lalu, sejak kuliah di Jogja. Di kota pendidikan itu, buku-buku bajakan bertebaran dengan maraknya. "Shopping", sebuah pasar dekat Pasar Bringharjo/Malioboro, adalah salah stau tempat favorit untuk belanja buku bajakan. Selain itu ada juga di toko-toko buku kecil di daerah Gejayan. Buku bajakan, adalah alternatif buat kita punya buku bacaan selain memfotocopy buku perpustakaan. 


 
Selepas kuliah, dan sudah mulai kerja, dan tentunya beruang, buku bajakan pun keluar dari daftar belanjaan. Tempat belanja buku juga "pilih-pilih." Cari yang nyaman dan lengkap. Soalnya sekalian buat window shopping. Tapi, di tengah jalan, karier harus distop sementara untuk kuliah lagi. Karena tidak lagi menerima "dana segar" tiap bulan, terpaksa lah, buku bajakan jadi pilihan tepat untuk sementara waktu. 



"Penyakit endemik" yang sudah ada sejak jaman dulu, mungkin begitulah realita buku bajakan. Hal ini terasa banget di kota-kota besar yang banyak terdapat kampus dan perguruan tinggi. Harga buku-buku yang ditawarkan di pasar buku bajakan, bisa sampai 70 persen lebih murah dari harga buku aslinya. Jadi, tak heran, buku bajakan masih menjadi magnet bagi mahasiswa atau penikmat buku yang berkantong cekak. Salah satunya adalah aku. Tidak ada asap jika tidak ada api. Adanya permintaan buku bajakan muncul karena harga buku yang melangit. Tiap saat, harga buku terus saja naik. Makin lama makin tak terbeli. Itu buku-buku lokal, gimana dengan buku-buku impor? Wuiiihhhh.., tambah mahal cingg...

 

Namanya juga bajakan, pasti ilegal, murah, tapi melanggar aturan yang udah dibuat. Bicara soal aturan, hal-hal terkait pembajakan itu sebenarnya melanggar hak cipta sebuah karya, yang termaktub dalam UU Hak Cipta nomor 12 tahun 1997. Hukumannya pun gak tanggung-tanggung, sampai 7 tahun penjara atau denda Rp 5 miliar. (Waduuuhhhh..., lha kok besar yah dendanya..!!!) 



Di satu sisi, saat kita membeli produk bajakan, --entah itu buku, film, baju, sepatu, sampai celana dalam-- sebenarnya kita sudah melakukan sikap tidak menghargai karya orang lain. Sebab, karya yang dihargai dengan nilai rupiah itu adalah kerja keras mereka (khususnya karya dan produk intelektual) yang gak sehari-dua hari proses ngebuatnya. Jika tabiat tak menghargai ini dibudayakan, jangan heran kalau kita gak akan pernah dihargai dan dihormati oleh orang lain. 


 
Impitan ekonomi berbenturan dengan kebutuhan intelektual yang "menggila." Di satu sisi, budaya membaca pada sebagian masyarakat kian meningkat. Tapi, status eknomi mereka membuat keterbatasan dan kemampuan membeli buku yang diinginkan. Meski sudah ada perpustakaan, bukan berarti kita bisa membaca semua buku yang (benar-benar) diinginkan. Selain harus mengantre, belum tentu buku itu selalu ada saat dibutuhkan. Akan beda jika kita memiliki sendiri buku-buku favorit yang sudah kita incar. Rasanya seperti memiliki harta yang tak ternilai.


Jadi ini salah siapa? Aku harus bagaimana?


"Sing penting iso diwoco mas. Wislah..., Bajakan gak opo-opolah. Kan sing penting isine," ujar kris yang masih kesal karena terkena winner's curse (kutukan pemenang). 








 








-yuda thant-
 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar