Kamis, 18 Juli 2013

Ujung Indonesia di "Maroka Ehe"


Setelah setahun lamanya, akhirnya aku kembali ke tanah Papua. Tepatnya 15 bulan aku meninggalkan bumi Cenderawasih ini. Yah, waktu yang tidak sebentar untuk sebuah cerita kehidupan seorang anak adam.

Kali ini, aku kembali tidak untuk sejenak. Rencananya hanya 4-5 hari saja, untuk membantu proyek seorang teman melakukan survei media di Papua bagian selatan. “Ada lima daerah yang rencananya kita mau datangin mas,” ujar Ika penuh semangat melalui teleponnya. Tapi ada kemungkinan tidak semua tempat akan kita datangi, lihat situasi dan kondisi juga sih,” tambahnya.

Setelah menentukan lokasi dan waktu keberangkat, Sabtu sore aku berangkat dari Juanda, Surabaya menuju ke Jakarta untuk bertemu Ika dan berangkat dari sana menuju ke Jayapura, Papua. Perjalanan Surabaya-Jakarta-Jayapura cukup melelahkan. Dari jam 4 sore berangkat, kemudian transit lima jam di Soekarno-Hatta, akhirnya pesawat Lion Air membawa kami menumpuh perjalanan lima jam di udara menuju Jayapura.

Sekitar pukul 07.00 waktu setempat kami berdua selamat tiba di Bandara Sentani, Papua. “Wuah.., aku menghirup udara dan menginjakkan kaki lagi di tanah Papua,” batin ku riang saat turun dari pesawat. Kondisi bandara sudah lebih bersih dan rapi dibandingkan 1,5 tahun lalu saat aku singgah di Bandara Sentani untuk menuju ke Merauke.

Projek Ika kali ini adalah menemui sejumlah jurnalis di tanah Papua untuk melakukan survei media. Jadi, aku akan membantunya mewawancara sekaligus menganalisis hasil wawancara mendalam kami. Gak terlalu susah, tapi gak gampang juga. Sebab, waktu untuk ketemu dengan para jurnalis ini tidak bisa pagi atau siang, sebab mereka sedang memburu berita. Jadi, kebanyakan bisa dilakukan siang menjelang sore, atau malam hari.

Terlepas dari proyek Ika, aku ingin berbagi sedikit tentang sejengkal tanah Papua yang kami sambangi kali ini. Dimulai dari Sentani dan berakhir di Merauke.

Sentani
Kota Sentani adalah salah satu kota teramai di Provinsi Papua. Distrik ini merupakan ibu kota dari Kabupaten Jayapura, yang letaknya sekitar 40 km dari Kota Jayapura. Sentani merupakan lokasi bandara utama di provinsi ini, dan sebelum mendarat di bandara, kita akan disuguhi keindahan Danau Sentani yang menakjubkan. “Jepret-jepret-jepret...,” jangan lupa memotret danau ini dari ketinggian.

Sialnya, saat kami datang, Festival Danau Sentani belum dimulai. Rencananya masih dua pekan lagi dari saat kami datang, yakni tanggal 19-22 Juni. Padahal, kami di Papua hanya 4-5 hari, jadi bakal tidak sempat menikmati salah festival budaya di Papua yang sudah menjadi agenda nasional di tiap bulan Juni ini.

Dalam FDS, akan ditampilkan beragam adat-istiadat unik suku yang tinggal di sekitar Danau Sentani, maupun suku lain di tanah Papua. Danau ini sendiri terletak di atas ketinggian 75 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan luasnya sekitar 245.000 ha dengan latar pemandanan Pegunungan Cycloops. Terdapat sekitar 22 pulau-pulau kecil yang tersebar di Danau Sentani dengan 24 kampung adat yang ada di sekitar danau. Perpaduan gunung dan danau inilah yang membuat keindahan Danau Sentani layak dikunjungi.

Tari-tarian, nyanyian, dan cerita rakyat adalah suguhan utama dalam FDS. Salah satu tarian yang jadi daya pikatnya adalah tarian perang felabhe. Namun yang tak kalah menarik adalah berlayar mengelilingi Danau Sentani. Wisatawan seperti kita bisa menginap di hotel atau penginapan di Kota Sentani, atau di Kota Abepura, yakni kota antara Sentani dan Jayapura. Di kedua kota ini sudah ramai pertokoan dan hotel, jadi tak perlu khawatir untuk mencari semua kebutuhan. Semua yang ada di tanah Jawa, bisa kita jumpai di Sentani maupun Abepura. Tarif hotel memang sedikit mahal, mulai dari Rp 400.000-an, untuk kamar dengan fasilitas bintang satu.  

Untuk bahan informasi. transportasi dari Jawa menuju Papua biayanya memang sedikit mahal. Beruntung kami kemarin dapat tiket dengan harga yang relatif murah sewaktu berangkat, yakni Rp 1,8 juta dari Jakarta-Merauke. Tapi, sewaktu pulang, tarif pesawatnya melonjak mencapai Rp 2,6 juta per orang (Merauke-Jakarta). Kadang, jika musim liburan, seperti natal dan lebaran, harga tiket bisa menembus Rp 3 juta sekali berangkat. Biaya transportasi memang paling menguras dompet jika plesir ke tanah Papua ini. Itu baru ongkos trasportasi Jakarta-Merauke. Untuk mencapai distrik dan kota-kota lain di Papua, 75 persen masih harus ditempuh dengan jalur udara, karena jalur daratnya belum tersambung. 




Merauke
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia..,” sebuah lagu nasional yang dulu sering aku nyanyikan saat masih duduk di bangku SD, tiba-tiba mencuat dalam memori ini kala kaki ini menginjak landasan Bandara Mopah, Merauke.

Yup.., kota kedua yang kami singgahi adalah Merauke. Sejak dai kecil, yang aku kenal dari Papua adalah Merauke. Karena Merauke-lah yang selalu berkumandang dalam lagu “Dari Sabang sampai Merauke” karya R Suharjo. Coba, kamu masih ingat gak sambungan dari lagu yang aku dendangkan di atas?? 

Konon, nama Merauke ini berasal dari kata "Maroka ehe," yang artinya ini sungai Maro, yakni nama sungai besar yang ada di Merauke. Kata itu muncul setelah terjadinya dialog antara orang Belanda yang pertama kali mendarat di Sungai Maro tahun 1902 dan bertemu dengan penduduk lokal. Mereka bertanya nama daerah ini, dan dijawab "Maroka ehe." 

Wilayah di ujung timur Indonesia ini menjadi destinasi kami. Dibandingkan dua tahun lalu, jelas banyak kemajuan yang terlihat. “Bupatinya sudah ganti. Yang sekarang lebih bagus,” ujar salah seorang rekan jurnalis. Ya. Kalau aku bandingkan dengan dua tahun lalu, sepertinya kondisi kota jauh lebih bersih dan ramai. Meski demikian, tidak banyak terlihat lalu lalang wisatwan di kota ini. Merauke mungkin saja belum semenarik Raja Ampat atau Danau Sentani. Namun, Merauke menawarkan keindahan alam savana dan rawa yang menantang nan eksotis di Taman Nasional Wasur.

Di TNW terdapat ribuan jenis burung, bahkan burung-burung dari Benua Australia yang bermigrasi untuk mencari makan di daratan Wasur. Buaya, rusa, dan walabi (sejenis kangguru tanah yang ada di tanah Papua) adalah satwa liar yang bisa dijumpai di TNW. Jadi, bagi Anda yang menyukai hobi mengamati burung dan satwa liar, Wasur adalah tempatnya. Untuk menjelajahinya, Anda butuh mobil dobel gardan yang banyak disewakan seharga sampai Rp 2 juta per hari, yang sudah termasuk sopirnya.

Salah satu yang unik lagi adalah Tugu Nol Kilometer, di Distrik Sota. Jika belum singgah ke tugu ini, berarti Anda belum sah datang ke Merauke. Jaraknya memang cukup jauh, sekitar 30 km, melintas sebagian kecil TNW, melintasi jalan trans Papua yang menuju Boven Digul. Di sepanjang perjalanan menuju Sota, mata Anda akan dimanjakan dengan deretan apartemen rumah semut, atau yang lazim disebut musamus. Aku sebut apartemen karena bentuknya memang mirip sekali dengan gedung apartem di kota-kota besar lengkap dengan kamar-kamar tempat tinggal semut dan labirin yang ruwet. Tinggi musamus ini ada yang sampai 2,5 meter. “Woowww...” Bayangkan, yang membuat itu semut lho!!

Setelah pantat sedikit panas, karena perjalanan 1,45 jam tanpa henti menuju Sota, akhirnya kami melihat tugu yang menjadi perbatasan Indonesia dengan Papua New Guine (PNG). Jangan bayangkan tugu yang dimaksud adalah tugu yang besar seperti tugu monas atau tugu jogja. Tugu ini sangat sederhana sekali. Jalan yang memisahkan Indonesia-PNG pun bukan jalan raya besar, tapi jalan kampung, sedangkan di wilayah PNG malah jalan setapak.

“Orang-orang PNG sering datang ke sini untuk belanja. Kalau bukan hari libur, biasanya pasar ramai,” ujar salah seorang bapak-bapak (penduduk lokal suku Marind) yang bertugas menjadi penjaga di kawasan tugu itu. Konon, banyak juga ojek sembako yang lalu lalang Indonesia-PNG. Ojek ini mengantar sembako dari Indonesia ke perkampungan-perkampungan di PNG. Tukang ojeknya kebanyakan orang Jawa, yang sudah lama menetap di Merauke.

Anyway , ada satu kalimat yang tertulis di bangku di perbatasan, yang menarik perhatianku. Yaitu “Izakod Bekai Izakod Kai,” yang artinya satu hati satu tujuan.  Kalimat sederhana, tapi sarat makna bagi bangsa kita yang saat ini sepertinya kehilangan rasa kesatuan untuk membangun bangsanya sendiri. (duh..., kok tiba-tiba jadi nasionalis yah, hehehe..)


Mengingat lagi lagu “Dari Sabang sampai Merauke,” aku jadi penasaran dengan Kota Sabang. Sebab, ujung timur Indonesia sudah aku datangi. Saatnya, ujung barat Indonesia menjadi destinasi berikutnya, hehehe... Sabang, here I come...!!

-yuda thant- 

Jumat, 05 Juli 2013

Menanti Matahari Terjaga di Puncak Bromo

   Urusanku menjadi tour guide untuk keluarga temanmu belum beres, padahal jam di tangan sopir bus sudah menunjukkan pukul 14.35. Waktuku kurang 25 menit sebelum jam 17.00, seperti janjiku kepada teman se-gank untuk mengambil mobil sewaan yang akan dibawa liburan akhir semester. "Sebentar lagi sampai kok mas," jawab Pak Widodo, sopir bus yang disewa mengantar kami jalan-jalan ke Madura setengah hari. 

   Selepas menurunkan tamu di Hotel Somerset, aku berpamitan kepada mereka, dan bergeas mencari taksi yang melintas di depan hotel, untuk menuju lokasi penjemputanku. Namun, di tengah jalan, rencana berubah. "Mobil kami yang ambil, kamu dijemput Ade, dianter pulang dulu, nanti kami jemput lagi," begitu bunyi SMS dari Fadil. Untunglah..., sebab, kamera belum aku isi baterainya dan aku belum mandi. Gerah rasanya badan ini. 

   Seperti janji mereka, sekitar jam 19.00, aku dijemput rombongan berisi tujuh orang di dalam mobil sewaan. Dari depan ke belakang, ada Fika, Fadil, Ade, Putri, Nana, Diyan, dan Ety. Kali ini giliran Fika yang jadi driver, sampai keluar dari Surabaya, selepas itu baru jatahku untuk jadi sopir liburan murah meriah ke destinasi paling terkenal di Jatim, yakni Gunung Bromo. Masuk ke daerah Juanda, giliran ku pun dimualai, dan aku dapat arus lalu lintas yang macet. Sialan! (ohya, ini kan Jumat malam, di akhir bulan Juni, orang-orang pasti juga mau liburan..!!) 

   Perjalanan dari Surabaya menuju Bromo, sekitar 150 km, atau waktu tempuhnya sekitar 4 jam. Tapi, perjalanan kami lamanya sekitar 5 jam, karena kami beberapa kali berhenti sekitar 30 menit untuk makan dan istirahat di SPBU. "Kita patungan Rp 100.000 dulu, nanti kalo kurang kita tambah lagi Rp 50.000 yah," ujar Nana, yang lagi-lagi berperan sebagai bendahara liburan. Totalnya, hingga akhir perjalanan berdelapan orang dengan mobil sewaan, terkumpul uang Rp 1,2 juta. Uang itu untuk sewa mobil, makan, sampai tiket masuk ke Bromo. 

  Tepat tengah malam, kami melintas daerah Tongas, Probolinggo. Suasana jalan yang sepi membuat penumpang terlelap. Hanya aku, Fadil, dan Fika yang terjaga menikmati udara yang perlahan menjadi lebih dingin. Makin dingin, dan makin dingin hawa yang merembes masuk ke dalam mobil. Satu per satu penumpang di dalam mobil mulai terbangun karena suhu yang dingin. Akhirnya, lewat pukul 01.30 kami tiba di pos terakhir parkiran mobil di daerah Tengger. "Delapan orang yah, Jadinya Rp 98.000," ujar petugas jaga di loket masuk. 

   Beberapa orang mendatangi mobil yang sudah aku parkir. Mereka menawarkan jasa mobil jeep menuju ke kaki Gunung Bromo. Dan Fadil pun beraksi. Tawar-menawar, tarik ulur, dan saling promosi bahwa kami bukan tamu baru di Bromo, menjadi jurus Fadil supaya menapat sewa jeep dengan harga murah. Voala..., berhasil! Dari harga sewa Rp 400.000 PP, kami bisa mendapatkan tarif hanya Rp 270.000 PP. Biasanya, turis-turis yang baru pertama kali ke Bromo atau turis asing, atau saat high season, harga sewa jeep memang mahal. 

   Sekitar pukul 03.00 jeep yang kami sewa mengantarkan kami melintasi gurun pasir yang hanya terlihat legam. Taburan bintang membentuk gugusan-gugusan rasi tampak seperti pasar malam yang menanti kami di atas langit. Rembulan yang seperti setengah kue moci, bersinar dengan indahnya. Rupanya, dewi malam berbaik hati, karena menuntun kami hingga di kaki Gunung Bromo. Namun, hawa dingin tak mau bersahabat. Semakin pagi, dinginnya angin gunung kian menusuk kulit kami. "Dingiiinnn...., brrrrrhh...," ujar mereka bersahutan. 

   "Jalan saja sekarang, supaya sampai dipuncak sebelum matahari terbit," begitu saran sopir jeep kepada kami. Tak mau rugi, kami pun bergegas menapaki pasir yang sedikit lembab karena diselimuti udara dingin. Saat kami mendaki, tampak beberapa orang sedang membuka lapak yang menjual makanan dan minuman hangat mulai dibuka. Api unggun yang mereka buat di tong, menggoda kami untuk mampir sekejap sekadar menghangatkan tubuh sekaligus beristirahat manghimpun napas yang hilang. 

   Anak tangga yang berjumlah sekitar 245 (menrut hitungan Ade) menyambut kami. Dengan tertatih-taih kami berlomba untuk mencapai puncak. "Ayo, pasti bisa, dikit lagi sampai." Dengan nafas masih ngos-ngosan, akhirnya aku duluan sampai di puncak. Di puncak, sudah ada empat rombongan kecil seperti kami yang sudah duduk mencari spot terbaik menanti kedatangan sang mentari. Aku pun bergegas mencari sisi bibir kawah yang paling nyaman untuk duduk dan mengambil foto panorama matahari terbit. 

   Sekitar jam 04.55 semburat jingga mulai menggaris cakrawala. Sedikit demi sedikit langit nan gulita dipenuhi warna jingga dan campuran biru muda-biru tua. Puluhan kamera dan telepon seluler berkali-kali mengabadikan kebangkitan sang mentari di horison Bromo. jepret.., jeprett.., jepreett..., tebaran lampu kilat pun menyambut sang surya. 

   
   Saat sang mentari sudah mulai merangkak ke singgasananya, kami pun turun dari puncak. Namun, makin banyak saja turis yang berdatangan menikmati keindahan Bromo. 


   Tiba-tiba, akal dan hati kecilku teringat kepada "angin" yang selalu aku rindukan. Seperti sepucuk "daun thyme" di gurun yang menanti hembusan sang angin. Tak pernah sedikit pun daun berpaling dari angin yang entah berkelana kemana saat ini. "angin, berhembuslah dan terpalah diriku sekali lagi..."

   "Ayo kita foto dulu di depan jeep, biar kelihatan keren," pinta teman-teman untuk menutup petualangan singkat kami sehari-semalam liburan akhir semester kali ini. Semester depan kita ke mana ya? Naik gunung apa lagi kita? Semeru?? Ayooo.....

-yuda thant-