Jumat, 05 Juli 2013

Menanti Matahari Terjaga di Puncak Bromo

   Urusanku menjadi tour guide untuk keluarga temanmu belum beres, padahal jam di tangan sopir bus sudah menunjukkan pukul 14.35. Waktuku kurang 25 menit sebelum jam 17.00, seperti janjiku kepada teman se-gank untuk mengambil mobil sewaan yang akan dibawa liburan akhir semester. "Sebentar lagi sampai kok mas," jawab Pak Widodo, sopir bus yang disewa mengantar kami jalan-jalan ke Madura setengah hari. 

   Selepas menurunkan tamu di Hotel Somerset, aku berpamitan kepada mereka, dan bergeas mencari taksi yang melintas di depan hotel, untuk menuju lokasi penjemputanku. Namun, di tengah jalan, rencana berubah. "Mobil kami yang ambil, kamu dijemput Ade, dianter pulang dulu, nanti kami jemput lagi," begitu bunyi SMS dari Fadil. Untunglah..., sebab, kamera belum aku isi baterainya dan aku belum mandi. Gerah rasanya badan ini. 

   Seperti janji mereka, sekitar jam 19.00, aku dijemput rombongan berisi tujuh orang di dalam mobil sewaan. Dari depan ke belakang, ada Fika, Fadil, Ade, Putri, Nana, Diyan, dan Ety. Kali ini giliran Fika yang jadi driver, sampai keluar dari Surabaya, selepas itu baru jatahku untuk jadi sopir liburan murah meriah ke destinasi paling terkenal di Jatim, yakni Gunung Bromo. Masuk ke daerah Juanda, giliran ku pun dimualai, dan aku dapat arus lalu lintas yang macet. Sialan! (ohya, ini kan Jumat malam, di akhir bulan Juni, orang-orang pasti juga mau liburan..!!) 

   Perjalanan dari Surabaya menuju Bromo, sekitar 150 km, atau waktu tempuhnya sekitar 4 jam. Tapi, perjalanan kami lamanya sekitar 5 jam, karena kami beberapa kali berhenti sekitar 30 menit untuk makan dan istirahat di SPBU. "Kita patungan Rp 100.000 dulu, nanti kalo kurang kita tambah lagi Rp 50.000 yah," ujar Nana, yang lagi-lagi berperan sebagai bendahara liburan. Totalnya, hingga akhir perjalanan berdelapan orang dengan mobil sewaan, terkumpul uang Rp 1,2 juta. Uang itu untuk sewa mobil, makan, sampai tiket masuk ke Bromo. 

  Tepat tengah malam, kami melintas daerah Tongas, Probolinggo. Suasana jalan yang sepi membuat penumpang terlelap. Hanya aku, Fadil, dan Fika yang terjaga menikmati udara yang perlahan menjadi lebih dingin. Makin dingin, dan makin dingin hawa yang merembes masuk ke dalam mobil. Satu per satu penumpang di dalam mobil mulai terbangun karena suhu yang dingin. Akhirnya, lewat pukul 01.30 kami tiba di pos terakhir parkiran mobil di daerah Tengger. "Delapan orang yah, Jadinya Rp 98.000," ujar petugas jaga di loket masuk. 

   Beberapa orang mendatangi mobil yang sudah aku parkir. Mereka menawarkan jasa mobil jeep menuju ke kaki Gunung Bromo. Dan Fadil pun beraksi. Tawar-menawar, tarik ulur, dan saling promosi bahwa kami bukan tamu baru di Bromo, menjadi jurus Fadil supaya menapat sewa jeep dengan harga murah. Voala..., berhasil! Dari harga sewa Rp 400.000 PP, kami bisa mendapatkan tarif hanya Rp 270.000 PP. Biasanya, turis-turis yang baru pertama kali ke Bromo atau turis asing, atau saat high season, harga sewa jeep memang mahal. 

   Sekitar pukul 03.00 jeep yang kami sewa mengantarkan kami melintasi gurun pasir yang hanya terlihat legam. Taburan bintang membentuk gugusan-gugusan rasi tampak seperti pasar malam yang menanti kami di atas langit. Rembulan yang seperti setengah kue moci, bersinar dengan indahnya. Rupanya, dewi malam berbaik hati, karena menuntun kami hingga di kaki Gunung Bromo. Namun, hawa dingin tak mau bersahabat. Semakin pagi, dinginnya angin gunung kian menusuk kulit kami. "Dingiiinnn...., brrrrrhh...," ujar mereka bersahutan. 

   "Jalan saja sekarang, supaya sampai dipuncak sebelum matahari terbit," begitu saran sopir jeep kepada kami. Tak mau rugi, kami pun bergegas menapaki pasir yang sedikit lembab karena diselimuti udara dingin. Saat kami mendaki, tampak beberapa orang sedang membuka lapak yang menjual makanan dan minuman hangat mulai dibuka. Api unggun yang mereka buat di tong, menggoda kami untuk mampir sekejap sekadar menghangatkan tubuh sekaligus beristirahat manghimpun napas yang hilang. 

   Anak tangga yang berjumlah sekitar 245 (menrut hitungan Ade) menyambut kami. Dengan tertatih-taih kami berlomba untuk mencapai puncak. "Ayo, pasti bisa, dikit lagi sampai." Dengan nafas masih ngos-ngosan, akhirnya aku duluan sampai di puncak. Di puncak, sudah ada empat rombongan kecil seperti kami yang sudah duduk mencari spot terbaik menanti kedatangan sang mentari. Aku pun bergegas mencari sisi bibir kawah yang paling nyaman untuk duduk dan mengambil foto panorama matahari terbit. 

   Sekitar jam 04.55 semburat jingga mulai menggaris cakrawala. Sedikit demi sedikit langit nan gulita dipenuhi warna jingga dan campuran biru muda-biru tua. Puluhan kamera dan telepon seluler berkali-kali mengabadikan kebangkitan sang mentari di horison Bromo. jepret.., jeprett.., jepreett..., tebaran lampu kilat pun menyambut sang surya. 

   
   Saat sang mentari sudah mulai merangkak ke singgasananya, kami pun turun dari puncak. Namun, makin banyak saja turis yang berdatangan menikmati keindahan Bromo. 


   Tiba-tiba, akal dan hati kecilku teringat kepada "angin" yang selalu aku rindukan. Seperti sepucuk "daun thyme" di gurun yang menanti hembusan sang angin. Tak pernah sedikit pun daun berpaling dari angin yang entah berkelana kemana saat ini. "angin, berhembuslah dan terpalah diriku sekali lagi..."

   "Ayo kita foto dulu di depan jeep, biar kelihatan keren," pinta teman-teman untuk menutup petualangan singkat kami sehari-semalam liburan akhir semester kali ini. Semester depan kita ke mana ya? Naik gunung apa lagi kita? Semeru?? Ayooo.....

-yuda thant-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar