“Lek, opo kene wis
merdeka yo?” tanya bocah laki-laki sambil beringsut di bawah selimut kardusnya
menutupi tubuhnya yang kurus-dekil digigiti nyamuk-nyamuk sungai.
“Ya tentu ae wis tho le.
Lihatan ae, nang ndhi-endhi gendero merah putih wis dipasang. Ndek pinggir
dalan, ndek sekolahan, ndek omah-omah. Saiki yo wis gak ono perang tho” jawab lelaki
yang lebih dewasa, duduk di sampingnya dengan membersihkan botol-botol bekas
supaya bisa diuangkan esok paginya.
“Tapi lek, kok awak
dhewe sik melarat yo? Aku gak sekolah, Paklek gerah tapi gak iso tuku obat nang
rumah sakit. Opo bener kene wis merdeka Lek?” tambah si bocah lagi.
Sesaat, hanya nyanyian
jangkrik di larut malam dan desingan cepat motor bebek yang melintas di atas
jembatan, tempat kedua kerabat itu bernaung.
“Halah, kowe iki takone kok
macem-macem. Wis ndang turu. Sesuk, ngotes maneh, golek botol plastik sing
akeh,” kilah si Paklek (paman dari adik ayah/ibu) sekenanya karena tak tahu harus menjawab apa pertanyaan
ponokannya.
***
Terlempar jauh dari pahitnya
kehidupan si bocah dan Paklek-nya, serentet romantika kemerdekaan diceritakan penuh
antusias oleh tiga laki-laki yang usianya sudah di atas 70 tahun. Garis kerutan
dan lipatan kulit mereka menjadi saksi kerasnya perjuangan. Dan, bekas-bekas
luka tembak yang mebuat mereka berjalan pincang, merupakan bukti semangat juangnya
tak pernah padam.
Mbah atau eyang, tampaknya
panggilan yang paling pas jika aku menyapa mereka bertiga, mantan pejuang yang merupakan
anggota dari Korps Cacad Veteran RI, cabang Surabaya. Mbah Ismunandar (sekitar
70 tahun), Mbah Amari (80 tahun), dan Mbah Moekari (84 tahun), berbagi
pengalamannya kepada gerombolan muda-mudi pecinta sejarah yang tergabung dalam
Roodebrug Soerabaia. Suka derita mempertahankan kemerdekaan, mereka tuturkan di
kantor KCVRI Surabaya, Jalan Rajawali, pada Minggu (12/8) siang yang panas.
Mbah Moekari, yang
mantan pasukan polisi istimewa, atau cikal bakal Brimob, sempat menitikkan air
mata saat mengenang rekan-rekannya tewas dihujani peluru. Hanya dua dari 15
orang tentara, salah satunya dirinya, yang berhasil selamat saat disergap
tentara Belanda. Lalu Mbah Amari bercerita tentang minimnya obat-obatan untuk
menyembuhkan luka perang bagi tentara Indonesia. Hanya diberi asupan kacang
hijau dan nasi, agar cepat sembuh.
“Kami (para veteran) sepertinya
rame ing gawe sepi ing pamrih” ugkap
Mbah Ismunandar, sedikit menyimpulkan. Jika ditelaah, maksudnya mungkin, ketika
berjuang yang terpenting bagi mereka hanyalah semangat mempertahankan
kedaulatan RI dan membela tanah air, tanpa melihat berapa besar penghargaan
atau rupiah yang akan dikantongi. Bukannya sibuk mencari kedudukan-jabatan,
seperti yang banyak disibukkan pejabat dan pembesar yang mengaku-aku “pahlawan”
di masa kini.
Seorang pejuang, kala
itu, kata Mbah Moekri, harus bersikap nrimo
ing pandum, atau menerima apa saja yang Tuhan berikan, yang dimilikinya, tapi
tetap berjuang. Walaupun tak punya markas, harus menumpang dan
berpindah-pindah, dibayar rendah, hanya Rp 15/bulan, bukan alasan menyurutkan gelora
perjuangan kemerdekaan. Mereka menyadari, veteran, apa lagi yang mengalami cacad perang, adalah "tumbal negara." Tumbal yang dikorbankan demi mencapai podium kemerdekaan. Satu lagi yang terpenting kata Mbah Moekri, meski kita
perang tapi harus tetap jujur dan sportif. Biarpun rasa dendam berkecamuk
karena Belanda telah membunuh teman-temannya, tetap saja jika ada tentara
Belanda tertangkap tak bisa dimain hakim sendiri.
Mereka bertiga merupakan
saksi sejarah yang mewakili ratusan veteran yang kini masih bertahan hidup
menyaksikan 67 tahun kemerdekaan RI. Merekalah yang merintis tangga kemerdekaan
yang kita nikmati sekarang. Namun, bukan berarti kehidupan mereka layak. Di Asrama
KCVRI Surabaya atau dulunya bernama “Asrama Invalide”adalah tempat tinggal bagi
veteran, janda dan keturunan veteran yang cacad perang. Petak-petak rumah
saling berimpitan, dengan kamar mandi umum.
Lilis (46) putri Mbah
Misroe Harmiyanto (alm), mantan kepala, mengatakan dulu tinggal 30 keluarga
veteran cacad dalam rumah yang tersekat-sekat tembok dan papan. Tapi kini,
tersisa 14 janda serta keturunan veteran. “Sudah agak lebih lega, karena
penghuninya makin sedikit dibandingkan dulu,” ujar Lilis yang lahir dan besar
di asrama itu.
Menariknya, sebuah
bungker yang separuh bangunannya terendam tanah, juga disulap jadi tempat
tinggal bagi dua keluarga. Kediaman ibu Hadi dan ibu Wardoyo. Luas bungker dengan
tebal dinding luarnya sekitar 65 cm, dan tebal atapnya sekitar 120 cm, tak
lebih dari 30 meter persegi. Ada empat ruang yang terhubung dengan tiga pintu
besi. Pintu-pintu, atap kayu jati, dan bagian dalam bunker masih utuh
keasliannnya.
“Biar di luar panas,
tapi kalau di dalam dingin kok. Orang di dalam bisa dengar suara di luar, tapi
orang luar tidak akan dengar orang bicara apa di dalam bunker,” jelas warga
asrama. “Wow.., tidur di bunker tapi bukan karena perang. Tidur di bunker
padahal zaman sudah merdeka,” celotehku riuh dalam otak sendiri.
Aku pun jadi berpikir
sama seperti Tole. Apa benar kita sudah merdeka? Atau hanya sebagian orang yang
sudah merdeka, sedangkan yang lain masih tetap terjajah? Parahanya, mereka
terjajah oleh bangsanya sendiri. Dan anehnya, yang terjajah malah pasrah. Hidup
menyerah tanpa asa, menurut apa saja kata si penguasa. Bahkan, si terjajah linglung
sehingga gampang digulung. Sementara si penjajah semakin agung di atas kapal
limbung.
Katanya merdeka, tapi
sekolah aja kok mahalnya minta ampun. Katanya merdeka, tapi rumah masih di kolong
jembatan. Katanya merdeka, tapi kok berobat aja harus ngemis dulu sama rumah
sakit. Katanya merdeka, tapi jujur sedikit, langsung diprotes. “Huuhh..,
merdeka atau setengah merdeka? Kalau telur setengah matang sih enak, tapi kalau
setengah merdeka sih sama aja bohong om..!!”
***
“Lek, besok sarapan
ikan asin opo tempe?” tanya si bocah sembari menguap lebar melepaskan kantuk yang amat dalam.
“Sarapan?! Bocah semprul.
Wong bengi iki ae kita cuman mangan angin karo teh tawar. Wis gak usah dipikir
sesuk mangan opo, sing penting kowe isih iso ambeg-an ae iku lak yo wis untung-untungan,” timpal
Paklek yang lalu meniup mati api lampu ublik
(lampu tempel) yang nyalanya temaram.
--yuda thant--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar