(part one)
“Sleeping bag sudah masuk. Baju ganti, senter, jaket, kamera,
tripod, sarung, dan peta juga sudah. Apa lagi yang belum yah?” gumanku, mengecek
isi ransel yang bakal dibawa berpetualang kali ini. “Ahh, obat-obatan! Ini dia
yang belum masuk,” plastik putih berisi obat antiseptik, plester, minyak angin,
dan salep pereda nyeri otot, pun segera kumasukkan ke kantong ransel.
Episode petualangan kali
ini adalah Kawah ijen, sebuah kawah yang terletak di gugusan gunung berapi di Jawa
Timur. Letaknya dekat Gunung Merapi, di perbatasan 2 kabupaten, Banyuwangi
dan Bondowoso. Dari Surabaya, jaraknya sekitar 270 km sampai di pos
peristirahatan, Paltuding. Serunya, perjalanan ke kawah belerang itu bakal aku
tempuh dengan kuda besiku, si govinda.
Pagi sudah berlalu,
jam menunjukkan pukul 07.40. Perjalanan panjang menanti di depan. Rencana awalnya
memang berangkat pukul 09.00, tapi terpaksa di-delay 2 jam karena harus “menjernihkan
hati” lebih dulu. Meski gagal mengajak sohib perjalananku, karena mendadak
kakaknya berkunjung ke Surabaya, aku tetap bertekad berangkat. Tepat jam 11.05,
mesin motor kunyalakan, petualangan pun dimulai.
Dengan kecepatan 40-60
km/jam, motor ini melaju membelah Kota Surabaya yang beranjak ditinggal oleh
penduduknya yang mudik, Jumat (17/8). Dengan kecepatan seperti itu, aku
memperkirakan waktu tempuh sampai ke Ijen adalah 8 jam, atau sekitar jam 7
malam. Sudah termasuk waktu untuk istirahat makan, berhenti meluruskan punggung
juga memberi nafas bokong yang semakin tepos ini.
Perjalanan Surabaya-Besuki
(Situbondo) relatif ramai lancar. Tidak ada simpul kemacetan. Mungkin karena
hari ini libur, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, dan puasa, jadi orang
memilih tetap di rumah. “Wuih, jalan-jalan kali ini boleh dong dibilang
petualangan kemerdekaan, soalnya pas tanggal 17 Agustus, hehe..,” aku senyum-senyum
sendiri dalam perjalanan.
Rute selanjutnya dari
Besuki adalah Kota Bondowoso lalu ke Kecamatan Wonosari, lanjut Kecamatan
Sempol. Besuki-Bondowoso-Wonosari jaraknya sekitar 40 km. Kondisi jalan mulus,
berkelok-kelok, dan naik turun, terutama di kawasan hutan sebulan masuk ke
Bondowoso. Pemandangan lumayyan indah, apa lagi ada sinar jingga matahari sore
menembus di sela-sela pohon jati.
Nah, yang butuh konsentrasi
tingkat tinggi adalah di rute Wonosari-Sempol. Jaraknya sekitar 55 km, sebagian
besar beraspal, tapi sekitar 15 km mendekati Sempol, jalannya rusak. Jalan
rusak terparah sekitar 2 km. Kondisinya berbatu, dengan kemiringan jalan
tanjakan sekitar 25-30 meter. Kebetulan, aku sampai di jalan rusak itu sudah
gelap, sekitar jam 17.30.
Busyet...! Benar-benar
perjuangan demi kawah Ijen. Gelap, sendiri, dan tanjakan jalan rusak. Klop
sudah. Gak kebayang kalo “salah langkah” terus jatuh, hehe.. “Postive
thinking... bisa... bisa... bisa...” kata-kata itu yang jadi penyemangat supaya tetap hati-hati. Perasaan sedikit lega saat beberapa
kali mobil pick-up pengangkut sayur turun menuju Wonosari. Satu-dua, sepeda
motor juga melintas. “Berarti daerah ini aman. Gak usah mikir macem-macem
deh,” otak kecil memerintah untuk terus fokus pada jalan.
Akhirnya, jalan mulai
membaik setelah mendekati pos pengamanan pertama di Sempol. Tepatnya, ada tigga
pos pengamanan yang akan dilewati dari Sempol ke Paltuding. Maklumlah, sebagian
besar lahan di dataran tinggi Ijen ini adalah kawasan perkebunan kopi, dan
terdapat pabrik kopi milik PT Perkebunan Nasional XII. Jadi, wajarlah pengawasannya
sedikit ketat. Tapi, gak perlu cemas. Asalkan kita bukan teroris dan gak punya
niat jahat, pasti boleh lewat kok. (Nah, kalo yang punya tampang kayak teroris,
itu derita lu deh, hehe..)
Jam di pos pengamanan
menunjukkan pukul 18.20. Tiga petugasnya menyambut saya dengan ramah dan
memberi informasi-informasi lumayan penting tentang Ijen. Bahkan, mereka
menawari aku makan malam, dengan menu nasi jagung dan ikan pindang. Wah, pas
perut lapar, ada yang nawarin makanan. Memang nasib lagi baik nih. “Makasih ya
pak,” jawabku penuh sumringah. Mereka sebenarnya menawarkan agar aku tidur di
pos saja, lalu berangkat ke sana pukul 03.00 pagi, dari pada tidur di
Paltuding. Sebab, di sana lebih dingin jika tengah malam. Tapi, karena takut
telat bangun, aku pun memilih melanjutkan perjalanan ke garis start kedua
di Paltuding.
Makanya, setelah 1,5
jam nongkrong dan ngobrol dengan ketiga bapak penjaga, itu aku pun pamitan. Ditemani
taburan bintang di langit nan gelap tanpa bulan, aku menyusuri jalan aspal yang
membelah kebun kopi. Udara makin terasa dingin. “Setelah lewat Kampung Baru ada
makam, ambil jalan yang ke kanan ya,” kata salah seorang petugas keamanan itu.
(Lho kok serem, pake lewat kuburan segala?!?! Moga-moga gak ada setan iseng nangkring di pinggir jalan lalu nyetopin aku minta nebeng mau ikut ke
Paltuding...#$&##@!!! )
(bersambung..)
-
yuda thant -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar