(tulisan ini adalah pengalaman unik yang aku rasakan di sebuah pulau kecil berpenduduk kurang dari 100 keluarga, di negeri cenderawasih, dimana nafas ramadhan terasa hangat menyelimuti kedamaian hidup beragama)
“Pukul satu setengah dua, pukul tiga hampir siang. Masak nasi berpanas
kuah, orang puasa kita semua,” suara remaja lelaki bergema di tengah malam. Tak sampai lima detik, balasan sajak berima pun terlontar dari suara remaja laki-laki lainnya. “Bulan
ramadhan bulan yang mulia, umatnya islam wajib berpuasa. Sebulan lamanya
menahan dahaga, lapar dan haus napsu amarah.”
Seperti itulah, puisi-puisi Arguni yang disajakkan oleh belasan remaja kampung untuk membangunkan warga Kampung Arguni, di Fakfak, Papua Barat, bulan puasa tahun lalu. Suara rebana dan tifa yang dipukuli penuh semangat, menambah gairah balas pantun itu. Tidak
hanya berkoar-koar kata“sahur”, tapi mereka berbalas pantun dengan indahnya.
Saling
bersahutan, dan diselingi shalawat nabi dengan iringan rampak rebana. Cara pantun yang didendangkan ternyata mirip seperti lantunan
pantun melayu di Aceh. Mendayu-dayu dan cengkoknya sangat khas. Bagi mereka, berpantun bak menyanyi koor tanpa pembagian nada kaku itu adalah bentuk ibadah menambah pahala bulan ramadhan, sekaligus pelestarian tradisi kampung agar tak susut oleh zaman.
“Lagunya (pantun) ada 20-an lebih, tapi dorang
(kami/saya) hanya hapal sebagian saja. Yang dorang tahu, itu yang dinyanyikan,” kata Haris
Patiran, salah seorang remaja yang bertugas mendendangkan syair pantun.
Menurut
Raja Arguni (pemimpin adat di kampung itu), Hanafi Paus Paus, tradisi pantun sahur sudah berlangsung ratusan
tahun. Tidak tahu bagaimana muasalnya, namun sejak dia belum lahir, kata orang
tuanya, sudah dilagukan saat bulan puasa. Syair yang dipantunkan adalah ayat
dan hadist dalam Al’quran, dan ajaran-ajaran islam juga kaidan
berpuasa.
Dulu,
para pelantun pantun sahur berdiri di beberapa rumah. Setelah
mengetok pintu, dimulailah pantun pertama dari rumah paling ujung kampung. Pantun
berlanjut dinyanyikan oleh pelantun yang ada berdiri di rumah sebelahnya.
Bahkan, jika pemilik rumah tahu atau hapal syair pantunnya, dia bisa ikut berbalas pantunnya. Tapi sekarang, cara itu tak lagi diterapkan. Repot mungkin.
Sekarang, bahasa yang dipakai bukan bahasa
daerah, tapi bahasa Indonesia. Bahkan, tak banyak lagi yang hapal pantun-pantunnya karena tidak dipelajari secara khusus. “Dulu kan orang pandai
mengaji, jadi mereka bisa membalas pantunnya,” ujar Machmud Paus Paus, sesepuh
adat Kampung Arguni.
Meski
memudar, tradisi pantun sahur Arguni tetap dilakoni.
Tradisi ini sebenarnya juga ada lho di Kampung Baru dan Kampung Kokas, sekitar 15-30 menit jarak tempuhnya dari Pulau Arguni, dengan menggunakan perahu kayu kecil yang disebut katingting. Menurut Siti Iha, warga Kampung Baru, cara
membangunan orang sahur semacam itu sudah turun temurun.
Sayangnya, beberapa tahun terakhir tak ada. Gak tahu apa penyebabnya.
Machmud bercerita, tradisi ini disebut malam damar. Dilihat dari kaca mata adat,
malam damar bermaksud untuk menerangi jalan leluhur yang kuburannya telah
dibersihkan. Bukan hanya leluhur, tapi nyala api obor yang diletakkan di depan
tiap rumah untuk menerangi sekaligus menuntun umat islam di malam-malam ramadhan. Minimal, tiap rumah memasang dua obor sebagai perlambang pasangan hidup dalam satu
keluarga. Dulunya, bukan minyak tanah yang dipakai untuk bahan bakar, tapi getak pohon damar.
Soal
mengapa harus menunggu adzan empat muadzin, konon begutulah tradisinya. Empat muadzin melambangkan pilar-pilar pada kabah dan empat
elemen kehidupan di bumi, yaitu air, api, angin, dan tanah, yang saling
bersahabat. Sedangkan soal pembakaran
kemenyan, itu sih bentuk ritual untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal. “Bakar kemenyan itu tradisi bangsa Arab yang masuk ke Papua dalam penyebaran agama islam,” tambah kakek yang pernah merantau dan bekerja di Jawa selama beberapa tahun saat masih muda.
Sensasi berpuasa di tiap daerah tentulah berbeda-beda, demikian pula di kampung
nelayan Pulau Arguni. Yang penting niatnya. Seperti dendang pantun sahur ini yang dinyanyikan Haris bersama teman-temannya,
“Jika puasa kita selamat, mendapat kemenangan bangkit kiamat. Di bawah bendera
Nabi Muhammad, mendapat Tuhan yang penuh rahmat.”
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar