(part two)
Me : Pak, kalau Paltuding sebelah mana ya? (tanyaku
kepada bapak-bapak di dekat sebuah warung.
Man : Ini
Paltuding mas. Masnya mau kemana? (tanya dia balik).
Me : Ke kawah
Ijen pak. Lewat mana kalau mau ke kawah?
Man : Oh kalau ke kawah lewat situ (menunjuk
jalan tanah yang samar-samar terlihat karena gelap). Tapi baru bisa besok pagi
kesananya.
Me : Kalau tempat buat nginap di mana pak? Kok
sepi ya, gak ada orang-orang yang mau naik ke kawah?
Man : Menginap di sana bisa (menunjuk beberapa
pondok kayu). Jam segini belum banyak yang datang, tapi besok pagi jam 2 mulai
banyak turis yang datang. Sudah istirahat di sini (warung) saja dulu.
Me : Jual minuman hangat kan pak? tanyaku
sekali lagi
Man : Iya jual. Masuk aja ke belakang
(menunjukkan dapur di belakang warungnya). Motor mas diparkir di sini saja
dulu.
Di dalam
dapur itu ternyata ada beberapa orang yang membuat setengah lingkaran di depan tungku
yang mengobarkan api merah menyala. “Sini mas, biar hangat,” ujar bapak-bapak
berbaju tentara, yang duduk di antara empat laki-laki lain. Setelah saling
berkenalan, kami mulai mengobrol panjang tentang segala hal. Mulai politik,
sampai cerita lucu turis-turis asing yang datang ke kawah ijen. Mas Konik, salah
seorang penjaga di kantor rest point
Paltuding, adalah biang kelucuan. Dia bercerita, nama Paltuding adalah gabungan
dari kata “pal” (pembatas) dan “tuding” (menunjuk). Bahasa sederhananya, di
sini adalah perbatasan dua wilayah, Banyuwangi dan Bondowoso. “orang dulu kan
kalau kasih nama daerah seadanya,” selorohnya.
Kawah ini
dinamakan Ijen, katanya, karena hanya kawah ini sendiri yang memiliki danau
hijau dan menghasilkan belerang. Ijen dalam bahasa Jawa artinya
sendiri/tunggal. Sedangkan dua kawah lain yang
dekat dengan kawah ijen (Kawah Wurung, satu lagi aku lupa namanya),
hanya berupa padang pasir dan savana. Sejak bulan Juni, status kawah ijen
menjadi Siaga, yang berarti sebagain kawah terbatas bagi wisatawan. Terutama,
di area penambangan belerang. Petualang juga dilarang camping di dekat kawah. “Waduh, sayang banget deh. Gak bisa lihat
dan motret orang lagi nambang belerang. Padahal aktivitas itu yang seru,”
sesalku dalam hati.
Saat terbaik
untuk merapat ke kawah adalah pukul 02.00, karena turis dan petualang harus mendaki
sekitar 500 meter dengan berjalan sepanjang 3 km. Jadi, rata-rata butuh waktu
1,5 jam berjalan dari Paltuding yang berada di ketinggian 1.850 mdpl (meter di
atas permukaan laut) menuju kawah ijen berketinggian 2.386 mdpl. Maksud mendaki
dini hari agar bisa lihat nyala biru langit proses matahari terbit, yang
katanya indah sekali jika tak ada mendung dan kabut. Meski suhunya paling
dingin, Agustus bulan terbaik untuk bertandang ke Ijen sebab jarang turun
hujan. Turis Eropa, paling banyak datang ke ijen, khususnya turis Perancis.
Karena
listrik berasal dari genset, sehingga nyala listrik dibatasi. Dari sore sampai
jam 10 malam, dan dinyalakan lagi jam 2, saat turis berdatangan. Ini berarti saatnya
tidur, agar besok bisa bangun pagi. Setelah sleeping
bag aku gelar di teras tempat parkir, Mas Konik menawarkanku tidur di bilik
tempat dia dan teman penjaga lain tidur. Supaya tidak kedinginan katanya. Sebab,
bulan Agustus adalah bulan dengan suhu terendah di Ijen. Benar juga kata Mas
Konik. Meski sudah berbalut jaket dan sleeping bag, rasa dingin membuat sakit
sampai ke tulang. Kondisi ini malah membuat susah tidur. Harapan satu-satunya adalah
segera pagi.
Jam 4 aku
dibangunkan. Kantuk bercampur dingin membuatku malas bergerak. Untung, pemilik
warung menawarkan api dan kopi panas untuk menghangatkan badan. Sejam, tapak
kaki dan tangan masih terasa membeku. “Suhu hari ini sekitar 3 derajat. Ini masih
belum parah. Pernah sampai nol derajat. Jadi, muka juga terasa perih karena
terlalu dingin,” jelas pemilik warung. Mau tak mau aku harus berangkat meski
masih kedinginan. Siapa tahu kalau berjalan nanti rasa dingin di badan lenyap.
Berbekal nyala
senter, aku menyusuri jalan tanah. Langit beranjak terang saat aku sudah jalan
15 menit, dan track makin terasa
menanjak. Ternyata, capek! Nafas ngos-ngosan, serasa senin-kamis kehabisan
oksigen di lumbung oksigen. Beginilah kalau gak pernah jogging dan olah raga. Dikit-dikit
berhenti. Rasanya malu juga kalau membandingkan diri dengan turis-turis bule
yang berjalan mantap. Berkali-kali rombongan kecil turis bule, 2-4 orang,
menyalip aku yang menepi di pinggir track
sibuk mengatur nafas yang kembang kempis. Kalau mau gampang sih tinggal minta jasa
angkut dari para penambang. Biaya gendong seorang anak, biasanya penambang
meminta imbalan Rp 50.000. Sedangkan orang dewasa, bisa sampai Rp 400.000,
karena ditandu oleh 4 orang penambang. (Wah..., kalo sampai digendong sih bukan
berpetualang namanya, hehe..)
“Aduh.., seandainya sobatku ikut, kan pasti gak terasa capek karena bisa
saling menyemangati. Paling gak ada teman senasib-secapek,” keluhku.
“Satu kilo
(meter) lagi mas. Dikit lagi,” ujar penambang di pondok penimbangan belerang,
milik PT Candi Ngrimbi Banyuwangi. Di pondok itu, dekat bangunan jaman Belanda,
Pondok Bunder, penambang tradisional menimbang hasil galiannya dari kawah yang
mengandung belerang terasam, mendekati nol yang mampu melarutkan tubuh manusia
dengan singkat. Dari kawah, yang berjarak 200 meter dari dinding kaldera,
penambang memikul belerang seberat 70-80 kg yang ditumpuknya di dua keranjang bambu,
naik ke bibir tebing kaldera. Lalu dipikul turun ke Paltuding. Belerang mentah
(kotor) itu dihargai Rp 625 per kg. Paling tidak, satu rit, penambang bisa
membawa pulang Rp 50.000. “Paling sehari dua kali bolak-balik mas,” ujar
penambang lainnya yang rehat sejenak mengusir lelah di badan. Karena saban hari
mikul beban berat, pundak penambang itu banyak yang cidera dan melepuh. Gila!! hanya demi Rp 50.000 penambang ini bertaruh nyawa, bahkan berisiko keracunan pula. Beda banget sama para koruptor yang tinggal gesek. "Harusnya, koruptor itu gak usah dipenjara, tapi diberi sanksi sosial aja. Ngangkut belerang dari kawah sampe ke Paltuding. Biar tahu rasa mereka," ujar seorang teman perjalanan.
Benar juga,
15 menit kemudian, track menjadi
lebih landai. Pemandangnnya juga lebih indah. Semua capek saranya terbalaskan. Kepulan
asap dan bau belerang menyambut saat kaldera sudah di depan mata. Takjub, itu kata
yang tepat. Turis-turis berkerumun di bibir kaldera. Asik menikmati pemandangan
kawah, dan mengabadikannya lewat jepretan kamera. Tidak ketinggalan, ber-narsis
ria berlatar belakang kawah. Untuk mendapatkan gambar terbaik, harus sabar dengan
gangguan kepulan asap belerang yang menutupi pemandangan kawah.
“Seandainya kamu di sini sobat, bareng aku menikmati agungnya kawah ijen
ini,” harapku yang menyesali batalnya si sobat perjalanan ikut petualangan kali
ini. (Menyesal, soalnya kalau gak ada dia kan gak ada yang bisa motret aku yang
rada narsis, hehe..)
Tapi,
Tuhan selalu berbaik hati. Di bibir kaldera itu aku kenalan dengan kawan baru. Dua
perempuan petualang dari tanah dewata, Bali. Ayuck dan Amik. Satunya asli Bali,
yang satu lagi Medan tulen. Mereka ke Ijen juga naik motor, parahnya motor
metik, dari arah Banyuwangi melewati Kecamatan Licin. Jalan di Licin kondisinya
lebih parah dari pada di Sempol. Begitu kenalan kita langsung klik. Foto-foto
bareng, dan jalan kembali ke Paltuding pun barengan. Saling memberi semangat,
meski kaki sudah pegal-pegal dan rasanya mau copot dari sendi-sendinya. Kami pun
menyemangati turis-turis yang baru mendaki, yang tampak kelelahan, seperti yang
kami rasakan saat naik tadi pagi.
Sekadar saran,
lebih baik datang ke Ijen pagi hari, sebelum jam 6, atau datang malam menginap
di pondok-pondok yang ada di Paltuding, seharga Rp 100.000 kamar. Atau di 3
penginapan di Sempol, dengan harga sewa
mulai dar Rp 150.000. Tapi, banyak turis bule memilih menginap di Bondowoso
atau Banyuwangi dengan harga kamarnya di atas Rp 500.000, datang ke Paltuding naik
jeep atau mobil sewaan yang disediakan oleh jasa tour wisata. Tentu saja
harganya pasti mahal.
Untuk yang ingin ber-backpack-ria, bisa naik bus dari terminal
di Bondowoso ke Sempol, tarifnya Rp 15.000. Lanjut naik ojek ke Paltuding. Tiket
masuk ke kawah ijen Rp 4.000 bagi turis lokal, sedangkan turis bule kena charge Rp 30.000 per orang. Berhubung hobi melarat, makanya aku cari yang serba murah dan kalu bisa gratis, hehe.. Salah satunya dengan naik motor. Terbukti, kalau mau dihitung-hitung, bekal Rp 300.000 masih sisa kok. Any way, perjalanan ini gak berhenti sampai di Ijen aja lho, karena babak kedua "three day road trip with MbambungpackeR" akan berlanjut. Jadi, tetap lanjutin baca yah.
- yuda
thant -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar