Hampir seminggu aku tenggelam
dalam buku fiksi bersampul merah
tua-coklat gelap bergambar lorong perpustakaan antik. Judulnya “Libri di Luca.”
Novel karangan Mikkel Birkegaard, penulis asal Denmark, ini membuat aku terbius
dan menyadari bahwa buku merupakan wujud pengejawantahan imajinasi liar otak. Sebab,
segala persepsi, histori, mimpi, bercampur imajinasi, akan muncul saat kita membaca
dan membayangkan perjalanan cerita isi bukunya. Namun, bukan isi atau
menariknya buku itu yang hendak aku celotehkan.
Di novel itu, ada satu
karakter pendukung, Katherina namanya, gadis berambut merah penjaga toko buku
antik yang menderita disleksia (dyslexia). Meski tak lancar membaca, dia bisa
melayani pembeli hanya dengan “membaca” judul yang dibaca pembelinya, meski itu
dalam hati si pembeli.
Nah, gangguan kesehatan ini yang
membuatku tertarik karena aku pernah merasa mengidap penyakit disleksia. Sebab,
acap kali aku merasa kesulitan mendapatkan konsentrasi untuk mengerjakan
sesuatu, termasuk itu membaca. Kadang, aku harus membaca berulang kali sebuah
paragraf karena aku belum memahami maknanya, meski aku bisa membaca tiap
katanya dengan lancar. Tapi, terkadang kata-kata yang aku baca pun terselip
atau terlewat, sehingga menjadi kalimat yang kacau.
“Waduh gawat, sepertinya aku
menderita disleksia. Parah gak ya?” pikirku.
Suatu waktu, saat di Jakarta,
aku menyempatkan mampir ke sebuah sekolah khusus bagi penderita disleksia. Aku
menemuai seorang gurunya, bahkan diajak masuk ke dalam kelas untuk melihat
aktivitas belajar-mengajar anak-anak yang menderita gangguan kesulitan
konsentrasi membaca dan berhitung. Dan, memang benar. Di kelas yang hanya
berisi kurang dari 10 anak berusia sekitar 7-9 tahun, anak-anaknya terlihat
hiperaktif dan sulit sekali jika diminta fokus dan serius mengikuti pelajaran
dari bu guru yang di depan kelas.
Kepada aku, bu guru
menjelaskan, tidak semua anak di dalam kelas ini punya masalah yang sama. Ada anak
yang kesulitan membaca, ada yang kesulitan berhitung, dan ada kesulitan
menghapalkan bentuk benda. Saat itu, aku melihat kelucuan dan hiperaktif
anak-anak itu bukan sebagai gangguan, tapi sebuah keunikan yang menarik jika
ditelaah.
Disleksia, dislessia, atau dyslexia,
sebuah ketidakmampuan anak-anak (bahkan orang dewasa) untuk belajar akibat kesulitan saat mengeja, membaca,
menulis, dan sebagian lagi berhitung. Menurut pemaparan ahli dalam Asosiasi
Disleksia Indonesia, disleksia akibat kelainan neurobiologis yang ditandai
kesulitan mengenal kata dengan tepat/akurat dalam pengejaan serta kemampuan
mengodekan simbol-simbol. Kalau mengacu pada bahasa aslinya, bahasa Yunani, dys (kesulitan) dan lexix (leksikal/huruf) – sumber wikepedia –
Dilihat dari penyebabnya, ada
dua, yakni developmental dyslexia
(bahawan lahir/keturunan) serta acquired
dyslexia (gangguan/cidera otak kiri). Berdasarkan penelitian, 70 persen
penderita disleksia karena faktor genetis, sisanya karena cidera saat beranjak
dewasa. Diperkirakan, disleksia terjangkit pada 15 persen populasi di
masyarakat, dan laki-laki dua kali lebih banyak menderita. (jeng jenggg...!!)
Ciri-ciri disleksia bisa dideteksi
saat tumbuh kembang anak-anak. Biasanya, mereka kesulitan membaca dan
membedakan huruf (d/b/q/p/f/v/u/n/m), membedakan kata-kata yang bunyinya mirip atau
huruf-hurufnya saling terbalik (palu/malu, nakal/kanal, kepala/kelapa), bahkan
kesulitan mengeja furuh dari kata yang disebutkannya. Sehingga, membuat
anak-anak ini malas belajar membbaca dan menulis.
Beberapa ciri lainnya:
mencatat yang tertulis di papan tulis, mengingat kata-kata dan ingatan jangka
pendek, sehingga besar kemungkinan tidak menyelesaikan tugas/pesan yang
disampaikan berurutan. Beberapa anak akan kesulitan memperkirakan waktu dan
uang, tidak sabaran melakukan kegiatan motorik halus (memegang benang dan
jarum). Akibatnya, anak-anak penderita disleksian kerap kali disebut anak
bodoh, bahkan idiot. Tak jarang, mereka terlambat dideteksi. Padahal, banyak
anak-anak penderita disleksia memiliki IQ di atas rata-rata, dan banyak yang menjadi
orang besar dan ternama, seperti Walt Disney dan Einstein.
Kebanyakan, orang tua tak acuh
dengan yang dialami anaknya, dan melihat anaknya bodoh. Sebaliknya, orang tua,
kakak, om, atau tante, harus lebih peka pada adik-adik dan anak-anak. Belum tentu
mereka bodoh, namun mengalami kesulitan membaca. Jadi, jika aku atau ada
keluarga yang menderita disleksia itu belum kiamat man!!
Salah satu solusinya adalah
memberikan pendidikan atau sekolah khusus yang sesuai kebutuhan si bocah. Belajarnya
tidak bisa dicampur dengan anak-anak biasa, agar selanjutnya setelah beranjak
remaja/dewasa mereka bisa berbaur dengan masyarakat. Dan tak jarang, kemampuan
mereka di atas rata-rata anak-anak biasa. Cara belajar anak-anak penderita
disleksia bisa dilakukan melalui metode dan pendekatan multisensor, seperti visual,
auditorial, dan perabaan. Memberikan instruksi yang pendek, tidak bertubi-tubi,
mengajarkan kata-kata bukan sekadar melafalkan keras tapi juga memberikan rasa
pada tiap katanya, dan jika sempat membacakan buku sebagai pengantar anak-anak
tidur. Namun yang terpenting, bersikaplah positif.
Akhirnya, aku mengembalikan scene disleksia ini pada novel “Libri di
Luca,” yang memberi tautan cukup besar. Jon Campelli, tumbuh besar dengan buku-buku
dan cerita yang dibacakan oleh ayahnya, Luca Campelli. Dari membaca, tiap jendela informasi serta imaji terbuka semua. Membaca adalah terapi, membaca adalah relaksasi, dan membaca adalah tempatku berlari. Berlari mengejar mimpi, mengejar hari sampai esok nanti...
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar