“Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai dan melestarikan tradisi budayanya.” Begitulah kutipan
yang sering terdengar dari pidato-pidato yang biasa disampaikan oleh pejabat
pemerintahan atau statement public figure. Pernyataan itu memang klasik, tapi
100 persen benar adanya. Kok bisa sih?
Di tengah era globalisasi,
keterbukaan informasi, dan pasar bebas, lalu lintas budaya (culture) sulit
dibendung. Siapa saja bisa mencari tahu, mengakses, mengadopsi, dan meniru
sebuah budaya yang dianggap sesuai dengan identitasnya. Tak jarang, budaya yang diaplikasikannya, berlawanan
bahkan menyimpang dari tradisi budaya tanah airnya.
Tren semacam ini akan
makin menjamur dan ditiru oleh publik, khususnya generasi muda, yang tak
memiliki pengenalan, pengetahuan, dan pencintaan yang cukup pada budaya
leluhurnya. Sikap acuh, wabah galau, dan kurangnya presentasi tradisi budaya
dalam kehidupan harian anak-anak muda ini, kian membuat mereka jauh dengan
budayanya. Akibatnya, mereka lebih hafal dan nyaman dengan gaya atau budaya impor,
atau yang bisa disebut pop culture.
Kiblatnya bukan lagi
Amerika, seperti tahun 1980-an sampai 1990-an. Tapi, sudah bergeser ke Eropa,
seperti Inggirs (British pop), atau juga ke wilayah Asia, seperti Jepang dan
Korea. Komik dan kartun Jepang (manga) mencekoki imajinasi anak-anak, serta
gaya hidup, busana, dan percintaan para remaja yang berkiblat pada selebritis
Korea.
Makanya, alih-alih suka
dengan budaya kampung halaman, yang ada mereka malah mencemooh dan menganggap “katrok”
jika ada acara pagelaran budaya di kotanya. Ambil contoh gampangnya saat ada
pertunjukan boy band Korea, Super Junior, betapa ribuan remaja rela mengantre
dan berebut tiket konser boy band itu. Diperkirakan jumlah penontonnya 28.000
orang yang membayar tiket mulai dari Rp 500 ribu sampai Rp 1,7 juta.
Akan tetapi apa yang
terjadi pada pertunjukan tradisional (folk culture)? Jangan bayangkan antrean
panjang, penonton histeris dan jatuh pingsan, atau ruangan penuh sesak penonton.
Di pertunjukan dan pentas budaya cenderung sepi. Terbukti pada sejumlah pertunjukkan
tari-tarian di acara Temu Karya Taman Budaya, 11-15 Juli kemarin, di Taman
Budaya Jawa Timur, Surabaya. Meski gratis, aula pertunjukan masih terlihat
longgar, Sabtu (14/7) malam.
Padahal, menu pertunjukan
yang disajikan selama empat hari itu terbilang menarik, dan tidak saban minggu
bisa dinikmati di Surabaya. Maklum, yang tarian yang ditampilkan berasal dari 28
provinsi yang punya Taman Budaya. Diantaranya, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua,
Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, Bali, dan
tuan rumah Jawa Timur.
Saya hanya berkesempatan
menonton pada hari Sabtu dan Minggu, sayang pada dua hari itu, menu yang
disajikan lebih sedikit dari dua hari sebelumnya. Padahal, Sabtu dan Minggu
adalah hari libur, kemungkinan mendatangkan penonton lebih ramai dari pada hari
kerja. Meski demikian, kami cukup puas.
Dari sekitar 10 penampilan
yang sempat kami tonton selama dua hari, pengetahuan dan informasi tentang
budaya dari provinsi lain pun bertambah. Khasanah musik melayu dari Bangka
Belitung yang mengiringi tarian Alu, yang kental dengan akordion-nya, benar-benar
membuat kepala dan badan saya bergoyang.
Demikian pula saat 12
laki-laki penari dari Jawa Timur beratraksi menarikan Kiprah Glipang (dari
Kabupaten Probolinggo) membuat penonton bersorak sorai. Tepuk tangan meriah pun
dihaturkan kepada penari-penari dari tanah Cenderawasih yang menampilkan tarian
Pangkur Sagu. Sedangkan lantunan lagu para sinden dari Jawa Tengah, Jawa Barat,
dan Jawa Timur, sempat menghipnotis saya karena membuat hati terenyuh.
Dan, yang paling membuat kami kagum adalah tarian garapan berjudul Panji Remeng. Selain memperhatikan detail, konsep cerita dan interaksi dengan penonton membuat tarian ini serasa tak berjarak. Tarian ini sedikit menyindir realitas kehidupan masyarakat yanng dipenuhi dengan kedok (topeng). Tiap orang memiliki kedok dalam tiap suasana dan habitatnya. Tak jarang, ada yang berjuang mati-matian untuk membeli kedok itu agar terlihat statusnya. "Rai.. rai (wajah, dalam bahasa Jawa).., kedok.. kedok..., siapa yang mau beli kedok," ujar salah seorang penari menjajakan topengnya kepada penonton.
Jadi, sebenarnya seni dan
tradisi budaya nenek moyang kita pun, jika dinikmati dengan sungguh-sungguh,
akan terasa indah dan megah. Tak sekadar berjoged kanan-kiri, karena tiap gerak
yang diperagakan dan lagu yang dituturkan, itu bermakna dalam. Ayo kita
ramai-rame nonton pentas dan pertunjukan kesenian tradisional.
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar