Masih melekat dalam kotak
memoriku, ironisnya pendidikan di daerah pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk
kota besar. Bukan hanya di luar Pulau Jawa, kadang realita yang menguras rasa
pedih di hati ini pun terpampang di desa yang jaraknya kurang dari 100 km dari
ibu kota kabupaten/provinsi.
Aku beruntung, atau
mungkin malah tidak, karena diberi kesempatan melihat sendiri ketidak-adilan
yang terjadi itu, saat bekerja di tanah Cenderawasih selama 1,5 tahun. Mataku
terbelalak dan hatiku perih. Bayangkan, sistem pendidikan yang berlangsung di
kampung-kampung dan kebanyakan distrik (kecamatan) yang jauh dari pusat
kabupaten/kota, ternyata lebih parah dibandingkan sistem pendidikan yang aku nikmati
sewaktu duduk di bangku sekolah dasar dulu, 20 tahun yang lalu.
Bagi murid, minusnya
fasilitas sekolah, ketiadaan buku pelajaran, bahkan absennya guru mengajar
merupakan hal wajar saat mereka mencicipi ilmu pengetahuan. Jangan harap
melihat papan tulis yang bagus, bangku yang kokoh, guru yang hadir tiap hari,
atau alat-alat peraga yang membantu penyampaian materi pelajaran yang lengkap. Sekadar
peta Indonesia atau tabel perkalian dasar pun tak terpasang di dinding. Padahal,
semangat belajar mereka menggelora. Jadi, jangan heran apabila menjumpai
beberapa anak-anak sekolah dasar kelas IV hingga VI yang belum lancar berhitung
dan membaca.
Seperti beberapa siswa di
Kampung Mokwam, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, yang kutemui setahun lalu.
Waktu itu, kebetulan sebulan menjelang ujian nasional, aku berkunjung ke
sekolah dasar yang tiap kelas hanya berisi 5-12 anak saja. Aku menawarkan diri
membantu seorang guru bantu, yang lulusan SMA, memberi pelajaran tambahan
berupa soal-soal latihan ujian, seperti yang biasa diperoleh anak-anak di kota
besar. Saat aku minta salah seorang anak itu membaca soal, apa yang aku dapati?
Bocah perempuan yang berusia sekitar 12
tahun itu terbata-bata membacanya. Demikian pula saat aku minta anak-anak
mengitung menjumlahan angka ratusan, butuh waktu 10 menit untuk
menyelesaikannya. Cara menghitungnya pun masih dengan menderetkan pagar lidi di
kertas atau mejanya. Hebat! Gumanku dengan perasaan miris sekaligus sedih.
“Di sini hanya ada lima
guru tetap (pegawai negeri sipil), tapi mereka jarang masuk. Yang sering
mengajar malah guru bantu yang jumlahnya dua orang,” kata guru bantu yang
berusia 20-an tahun itu. Tak jarang, guru harus menggabungkan murid dari dua
kelas menjadi satu, seperti kelas V dan VI digabung jadi satu, atau kelas 1 dan
kelas 2. Sementara di sekolah setingkat SMP, malah kekurangan guru, sehingga
beberapa mata pelajaran penting, seperti fisika, bahasa inggris, dan
matematika, diajarkan oleh guru bidang studi lain.
Hal serupa pun aku jumpai
di Kampung Siboru, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, terletak di tanjung kecil,
yang harus ditempuh dengan perahu untuk sampai ke sana. Waktu itu, aku
berkunjung ke tempat pengabdian seorang kawan yang menjadi guru sukarelawan
selama setahun. Dilihat dari fisik gedung dan fasilitas memang mencukupi, tapi
kehadiran gurunya malah lebih sering absen dari pada muridnya. Banyak sekali
alasan guru pergi meninggalkan tanggung jawabnya mengajar, seperti urusan
keluarga atau pergi ke kota urusan dinas, tapi baru kembali lagi seminggu atau
malah sebulan kemudian.
Seringnya guru yang
absennya sempat diakui oleh wali murid, bahkan oleh kepal dinas pendidikan di
kabupaten itu. Meski meresahkan, tapi belum ada sanksi tegas bagi para pendidik
itu karena tenaga mereka memang benar-benar dibutuhkan. Perbandingan sekolah
dengan ketersediaan guru belum sebanding. Sebuah dilema. Sayangnya, tak banyak
guru yang benar-benar iklas dan punya semangat sebagai pendidik. Sebagian hanya
melihatnya semata-mata profesi yang kesejahteraan hidupnya dijamin oleh negara.
Aku pun jadi gemas
sendiri. “Mana itu pahlawan tanpa tanda jasa?!,” pikiranku menggugat realita
pahit ini. Kemana mereka? Dimana mereka saat murid-murid ini butuh diasuh,
diajar, dan dididik dengan segudang ilmu pengetahuan. Jangankan hadir di
sekolah, cara mengajarnya pun sekenanya saja. Asalkan sesuai kurikulum atau
silabus dinas pendidikan, tak sadar kalau anak didiknya belum lancar membaca
dan berhitung. “Kalau nilainya kurang, nanti dibantu oleh gurunya,” ujar
seorang wali murid yang kecewa dengan sikap apatis sejumlah guru di sekolah
anaknya.
Soal sikap apatis guru,
jangankan di daerah terpencil, di daerah kota pun masih sering dijumpai.
Keponakanku yang duduk di bangku SMA di Pasuruan, Jawa Timur, berseloroh,
“Santai aja om, soal ulangan (Bahasa Indonesia) sudah diberi tahu sama gurunya.
Asal menghapalkan semua kisi-kisinya pasti nilainya bagus. Gak perlu belajar
semua materi, toh gurunya juga gak pernah ngajarin materi-materi yang ada di
buku,” ujarnya. Lho kok gini ya?!?!?!, aku menggerutu sendiri.
Memang sih tidak semua
guru apatis. Masih banyak kok guru yang peduli dengan pendidikan anak didiknya.
Tapi, bagaimana nasib pendidikan di daerah, khusunya daerah pinggiran, dimana
sistem kontrol dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah daerahnya relatif
sangat lemah. Tak ada yang mengontrol kerja guru, (maaf) yang tak ikhlas dan
berkomitmen mendidik muridnya.
Lalu, mengapa masih ada
saja guru yang apatis dan cuek dengan kualitas pendidikan? Padahal, dampaknya
panjang bak deretan kartu domino yang berdiri sejajar dan sewaktu-waktu bisa
rubuh tertiup angin. Seperti, angka kelulusan yang rendah dengan syarat
kelulusan yang mencekik leher, atau kualitas lulusan yang tak mampu bersaing
dengan siswa lain saat duduk di jenjang pendidikan lebih tinggi.
Ujung-ujungnya, mimpi dan masa depan anak-anak didik tersebut pun kabur menguap
tanpa arah yang jelas.
Mungkinkah para pendidik
ini sudah enggan bersikap ikhlas, kreatif, dan malas belajar, sehingga mereka
hanya menjalankan kewajiban seperti mesin (robot) sesuai menu kurikulum yang
diorder. Mungkin juga tak adanya reward and punishment yang diberlakukan sehingga rasa tanggung jawab mereka terkikis
pelan-pelan. Ataukah gaji yang tak sepadan dengan pengorbanan?
Dan, memang tidak mudah
menjadi pendidik yang ikhlas. Yang tak terjebak dalam tujuan mengejar pangkat,
honor, atau status. Sebab, ikhlas berarti pendidik harus bisa jujur, tegar
dalam menghadapi jutaan masalah belajar-mengajar, sabar dan berniat pada satu
tujuan, yakni mencerdaskan sekaligus mencerahkan anak-anak didiknya. Hal ini
tak segampang membalikkan mangkuk kosong, tapi tak ada salahnya kita mulai dari
sekarang. Sebab, pendidiklah (guru) yang membangun pondasi mimpi besar tiap
anak-anak didiknya.
-yuda thant-
(Tulisan ini untuk Mengikuti Kompetisi Blog Sampoerna School of Education)
(Tulisan ini untuk Mengikuti Kompetisi Blog Sampoerna School of Education)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar