Wajah Wina cemberut, saat kedua kakaknya, Rama dan Arma, menerima dua
amplop putih berisi uang dari kerabat yang datang ke rumah neneknya. Wajahnya sontak
berubah kecut dan selalu membuang muka sewaktu digodai mamanya. Bocah berusia
empat tahun ini protes karena dia tak menerima uang sepeser pun dari para tamu
undangan, seperti kedua kakak laki-lakinya yang pagi tadi dikhitan.
Ekspresi polos kecemburuan Wina membuatku tersenyum berulang kali. Tak ada
topeng di wajahnya. Dia hanya menyuarakan kecemburuan isi hatinya. “Aku juga
ingin dapat duit seperti Kakak,” pikirnya, meski dia sendiri tak tahu untuk punya
uang banyak-banyak.
Banyak hal yang kita petik dari masa kecil dulu. Pelajaran berharga, pengalaman, kejujuran, keterbukaan, keceriaan, kesetiaan, hingga yang paling menyakitkan seperti kebencian dan kegelisahan. Semua menumpuk lapis demi lapis, membentuk seperti kita saat ini.
Masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan dan penuh kenangan. Saat-saat
dimana kita (atau mungkin saya) tak memikirkan banyak hal. Yang ada di dalam
otak hanyalah bermain dan bersenang-senang, meski itu bermain dengan segala kesederhanaan
dan bergembira sengan segala keterbatasan. Tiap hari hanya berpikir bagaimana
caranya bisa kejar-kejaran dan main go-back-shot-door
(galasin) dengan teman-teman di lapangan, naik sepeda keliling kampung,
mengejar layangan putus (walaupun tak
piawai bermain layangan), dan jajan sepuasnya dengan uang Rp 100.
Aku tak pernah memikirkan punya uang atau tidak. Aku tak memusingkan nanti
malam makan apa. Aku tak bersedih hati apakah aku ini anak yatim atau anak
piatu. Aku juga tak stres harus menikah dengan siapa nantinya. Karena aku tidak
punya tanggung jawab dan keharusan untuk memikirkan itu semua. Yang kutahu
(saat itu, sewaktu usia TK-SD), aku ingin bermain, bermain, dan bermain.
Lain lagi dengan sahabatku, TYR. Masa kanak-kanak yang membekas dalam
kenangan indahnya adalah menunggu kehadiran ayahnya yang pulang kerja tiap sore,
apalagi setelah pulang tugas dari luar kota dalam waktu yang lama. Maklum,
ayahnya seorang perwira Angkatan Darat yang kerap mengemban tugas membela
negara di luar daerah sampai berhari-hari. “Rebutan salaman dan mengambil tas
ayah sama adik sewaktu ayah pulang dari dinas luar kota,” kenang TYR terhadap
sosok ayahnya yang sabar dan membuatnya nyaman.
Demikian pula dengan RIN, temanku satu lagi yang asli Pasuruan. Saat
digendong dan diciumi ayah dan ibu, juga menunggu kedatangan ayahnya, adalah
hal-hal manis yang mengingatkannya pada masa kecilnya yang bahagia. Terkadang, dia
ingin kembali ke moment-moment masa lalu itu. Mengenang masa indah bersama
(almarhum) ayahnya yang selalu menjadi penjaga dan pelindungnya.
Setiap orang dewasa pasti punya kenangan manis saat masih anak-anak. Meski kadar
kemanisannya berbeda-beda. Namun ternyata, tidak semua anak punya kesempatan
yang indah untuk menikmati masa anak-anaknya. Masih banyak anak-anak yang
kehilangan haknya mencicipi manisnya dunia anak-anak yang tanpa beban dan tanpa
tugas berat. Mereka bahkan kehilangan hak dasarnya sebagai anak-anak.
Salah satu dari mereka yang kehilangan haknya adalah anak-anak jalanan. Data
yang pernah dirilis (dulu) Depatemen Sosial, jumlah anak jalanan yang tersebar
di Indonesia diperkirakan sekitar 150.000-200.000 anak. Rata-rata, mereka
kehilangan hak bersekolah, mendapatkan pelayanan kesehatan, dan tak jarang
sering mendapatkan kekerasan dan diskriminasi. Bukan hanya anak jalanan,
anak-anak dari keluarga miskin, pun banyak yang tak mendapatkan haknya. Sehingga,
kenangan manis apa yang akan mereka simpan saat dewasa nanti.
Mengacu pada UU Nomor 23/2002, yang dimaksud dengan anak-anak adalah
manusia yang berusia kurang dari 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan
seorang ibu. Mereka memiliki hak untuk punya nama sebagai identitas diri,
mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, bahkan waktu luang untuk bermain
dan rekreasi. Bahkan, untuk bekerja pun mereka sebenarnya dibatasi. Namun,
banyak dari mereka yang (tanpa sadar) telah tereksploitasi hanya untuk
mendapatkan kehidupan layak.
Hak dasar mengenyam pendidikan, ternyata belum dinikmati oleh semua anak di
Indonesia. Data tahun 2010 saja menunjukkan 1,3 juta anak-anak usia 7-15 tahun dari
keluarga miskin terancam putus sekolah, atau hampir tiap menit 4 anak-anak
putus sekolah di Indonesia. Begitu pula soal kesehatan dasar. Jangankan kesempatan
untuk berobat dan sembuh dari sakit, “jatah” imunisasi dasar seperti imunisasi
polis, BCG, dan campak, belum terlayani dengan baik. Penyebabnya, fasilitas dan
tenaga medis yang terbatas, serta perhatian orang tua dan pemerintah lokal yang
minus.
Tak sedikit pula anak-anak yang dibuang atau terbuang. Mereka diasingkan karena sisa rasa malu orang tua dan keluarganya, atau perbedaan fisik yang dinilai tak normal atau sama laiknya orang kebanyakan. Anak-anak yang kehilangan penghargaan inilah yang merasakan alpanya hak yang sepatutnya mereka terima.
Seorang teman menuliskan kalimat cukup bijak di jejaring sosialnya. "JIka anak dibesarkan dengan dorongan dan rasa berbagi, dia akan belajar percaya diri dan dermawan. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan persahabatan dia akan belajar kebenaran dan menemukan cinta. Namun, jika anak dibesarkan dengan celaan dan permusuhan, dia akan belajar memaki dan berkelahi. Dan, jika anak dibesarkan dengan ketakutan dan olok, dia akan belajar gelisah dan rendah diri.
Huh..., ternyata masalah anak-anak tak sesederhana seperti yang dibayangkan. Tapi,
itu bukan tanggung jawab anak-anak untuk mengurusinya. Orang tua, orang dewasa,
dan lembaga pemerintahan dan swasta adalah yang bertanggung jawab penuh kepada
anak-anak. Sebab, di tangan dan mimpi anak-anak inilah nasib kita di masa depan
nanti. Hargailah anak-anak yang ada di sekeliling kita, seperti kita menghargai
masa kanak-kanak kita yang manis, yang tak ingin terenggut oleh derita dan problematika
pelik.
Selamat hari Anak Nasional...
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar