Malam sudah pekat. Dentang
lonceng 12 kali baru saja lewat. Sinar jingga lampu jalan di atas kepala
mengiringi tiap langkah menyusuri sisi kota tua. Toko-toko yang berimpit-padat nan
riuh kala siang benderang, terdiam sunyi menutup diri saat bulan menari di
langit tinggi. Meskipun tak ingin berhenti, sudah waktunya laskar menyudahi
perjalanan singkatnya mengintipi sejarah di kampung sarat histori.
Surabaya memang “Kota Pahlawan.”
Tiap sudut, sisi, dan petak di kota ini meninggalkan kisah sejarah yang sayang
dilewatkan. Kota yang terkenal dengan semangat juang arek-areknya,
perobekan bendera “merah-putih-biru” (Belanda) menjadi dwi warna, “merah-putih”
di atas Hotel Majapahit, hingga semboyan “merdaka ataoe mati” ini terus melekat
hingga kini.
Namun, banyak kisah-kisah heroik
yang melekat pada sejarah perjuangan dan pergerakan arek-arek Surabaya itu tak
terungkap atau terpublikasikan pada buku sejarah. Cerita itu pun menjadi
dongeng, atau terekam pada buku-buku tua nan tebal, tak jarang berbahasa asing,
khususnya bahasa Belanda. Terbukti pada vakansi yang aku iringi Sabtu (28/7)
malam lalu, bersama dengan teman-teman dari Roodebrug Soerabaia.
Acap kali aku melintasi Jalan
Kramat Gantung dan Bubutan, yang posisinya sejajar, di sebelah selatan Tugu
Pahlawan. Namun, baru kali ini aku tahu bahwa kawasan itu menyimpan kisah
sejarah tak terungkap. Kramat Gantung, misalnya, merupakan kawasan pecinan yang
masih mempertahankan eksistensi tradisi budaya leluhurnya hingga kini. Daerah tersebut
dinamakan “kramat” karena dulunya ialah pemukiman para tokoh pemerintahan. Sehingga,
nama-nama kampungnya dinamai seperti nama status jabatan, seperti Jaga Bayan (carik
desa) dan Kepatian (patih). Konon, daerah Kramat Gantung dan Bubutan merupakan
kawasan keraton Surabaya.
Sebagian rumah dan bangunan di
kedua kawasan itu masih terawat keotentikannya. Mulai dari bentuk tembok, atap
rumah, pintu dan jendela, hingga gembok pintu yang dipasang, masih ada yang
antik. Di beberapa kampung, terlihat juga semacam pos jaga (ronda) yang
terletak di atas gapura pintu masuk gang (jalan kampung). Diletakkan di atas
gapura mungkin agar supaya pengawasannya lebih seksama, dan tidak sekadar
formalitas seperti pos kamling yang banyak dibuat di kampung-kampung modern.
Di Jalan Bubutan, aku baru tahu
ada Monumen Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, yang terletak di sisi kiri kantor
cabang NU Surabaya. Menurut pengurus, yang juga cucu dari pelaku sejarah di
Kota Surabaya, sebagian besar bangunan dan interior kantor itu masih asli, dan
diperkirakan sudah berusia 100 tahun. Terlihat dari lantai marmernya yang
terpasang bak karpet batik juga joglo dan bagian atapnya. Seperti kebanyakan
rumah tinggal jaman dulu, selalu disediakan pintu samping yang sempit dengan
lorong gang panjang. Katanya, pintu ini digunakan para perempuan yang hendak
keluar rumah, sebab zaman dulu, perempuan jarang diperbolehkan lewat pintu
utama, terlebih pada malam hari.
Berdasarkan kisah kakeknya, si
pengurus NU itu bercerita, Bubutan adalah kawasan santri di Surabaya pada tahun
1940-an. Para santrilah yang ikut berjuang membantu tentara dan patriot
mempertahankan kota ikan Sura dan Buaya ini dari agresi tentara Sekutu. Mereka jugalah
yang ikut menumpahkan darah pada pertempuran 10 November 1945. Tak hanya itu,
para kiai di kawasan santri ternyata memompa semangat juang Bung Tomo, penggerak
perjuangan arek-arek Suroboyo. Termasuk ikut membantu merebut stasiun radio
milik Jepang, untuk menyiarkan
kemerdekaan RI ke kawat dunia.
Satu fakta menarik lagi. Ternyata,
sebagian pasukan Gurkha yang merupakan bala tentara pihak Sekutu membelot dan
malah membela pejuang Surabaya. Tentara Gurkha yang membelot adalah yang
berasal dari Pakistan, sedangkan yang dari Nepal tetap membantu Inggris. “Kalau
saja tidak dibantu tentara Gurkha dari Pakistan, mungkin tentara kita akan
kewalahan,” tambahnya. Oleh sebab itu, di kawasan itu banyak dijumpai warga
keturunan Pakistan, yang merupakan anak-cucu tentara Gurkha yang akhirnya
menetap di Surabaya.
foto’s notes : (serah jarum jam,
mulai dari pojok kanan atas)
1.
Kantor cabang Nahdlatul Ulama Surabaya, diperkirakan
dibangun tahun 1901
2.
Monumen Perjuangan 10 November, di Taman Centhong
3.
Aktivitas santri sedang mengaji di dalam Kantor cabang
Nahdlatul Ulama Surabaya
4.
Jembatan tua di atas Sungai Kalimas di Peneleh, dibangun semasa dengan Jembatan Merah
5.
Rumah tua dengan gaya Eropa di daerah Peneleh
6.
Salah satu rumah jaga di atas gapura gang, di Jalan
Kramat Gantung (sewaktu ngambil gambar hampir disambar ama bus kota--red)
7.
Kampung Kepatian, di Jalan Kramat Gantung
8.
Rumah HOS Tjokroaminoto, di Jalan Peneleh VII, yang
kini menjadi gedung cagar budaya
Perjalanan berlanjut. Di ujung
pertemuan Jalan Kramat Gantung-Bubutan, terdapat Monumen Centong. Dinamakan centong,
sebab taman tempat berdirinya patung seorang pejuang membawa bambu runcing
bentuknya seperti sendok nasi. Dulunya, sebelum hancur berantakan oleh bombardir
tentara Sekutu, monumen itu berupa tugu biasa untuk menghormati pengorbanan
seorang relawan red cross Inggris di Aceh. Sekarang monumen yang dibangun tahun
1970 itu untuk menghormati semangat juang arek-arek Suroboyo dalam pertempuran
10 November 1945.
Berjalan sekitar 100 meter dan
menyeberangi jembatan tua, tibalah di Kampung Peneleh (Peneleh gang VII). Di sana
terdapat rumah joglo khas Surabaya milik Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, bernomor
29-31, bercat hijau dan masih terawat rapi. Sayang, penjelajahan ini dilakukan
malam hari sehingga tak bisa melihat kondisi di dalam rumah itu. Di rumah
inilah, Ir Soekarno dan Dr Soetomo pernah “nge-kos” dan menimba ilmu dari pemilik
rumah, yang juga tokoh penting Sarikat Islam. Konon, pemuda bernama Soekarno
pernah menaruh hati pada putri HOS Tjokroaminoto, namun sayang cinta mereka
bertepuk sebelah tangan. (Jadi bertanya-tanya, apa dulu Soekarno sempat merasa
galau gak sih karena cintanya ditolak??)
Yah.., akhirnya perjalanan selama
dua jam ini harus berakhir. Sudah lewat jam malam, begitu seloroh seorang
peserta 3 in 1 on the road Roodebrug Soerabaia. Tapi jangan khawatir, vakansi
selanjutnya pasti akan lebih seru.
Bak musafir merindukan air karena dahaga, begitulah rasa ingin tahu yang kini tercipta. Sejarah memang tak pernah habis bercerita, karena tiap jengkalnya punya
makna. Biarpun malam bertambah gelap, biarkanlah aku tidak terlelap, karena ku
tak ingin malam ini berlalu sekejap.
-yuda thant-
Ternyata gema takbir yang dikumandangkan oleh Bung Tomo dan Arek2 Suroboyo berhasil menggetarkan dinding qalbu pasukan Gurkha terutama yang berasal dari Pakistan, sehingga mereka membelot karena sadar bahwa yang sedang mereka hadapi sebetulnya adalah saudara mereka sendiri....Alhamdulillah.....
BalasHapus