Besok, katanya Presiden SBY bakal sowan ke Kota Surabaya, untuk menghadiri peringatan Hari Pahlawan, 10 November. Pawai, doa bersama, dan pesta rakyat, katanya bakal digelar untuk mengenang perjuangan arek-arek Suroboyo yang sudah mati-matian alias pantang menyerah mempertahankan kotanya dari invasi para penjajah. "Merdeka ataoe Mati" begitu pekik semangat juang mereka.
Tak muluk lah jika Surabaya kita sebut Kota Pahlawan, atau setidaknya kampung pahlawan. Sebab, semangat juang arek-arek Suroboyo ini menginspirasi pergerakan kemerdekaan di kota dan daerah lain. Hebatnya, perjuangan ini bukan dilakukan sepenuhnya oleh tentara terlatih yang andal pegang senjata. Tapi sebagian besar rakyat dan penduduk kota yang tak ingin penjajah terus bercokol di jagad tanah air.
"Halah, baru kali ini lho bapak nyekel bedhil," kata seorang istri yang menyambut suaminya pulang berperang. "Gak bojone sampeyan thok sing jektas nyekel bedhil, awak-awak dhewe yo gak tau nyekel yu," ujar teman-teman si suami menimpali perkataan wanita tadi.
Begitulah secuil dialog dalam film Soerabaia 45, film karya Imam Tantowi yang dirilis tahun 1990. Film ini mengisahkan pergerakan rakyat dan tentara rakyat di Surabaya, mengusir tiap penjajah yang bertahan di kota ini. Mulai dari pasukan Jepang, Belanda, sampai tentara Sekutu Inggris yang datang mengambil alih dan menyerahkan lagi Surabaya ke Belanda.
Setting film ini berkisar tahun 1942-1945. Di awali berkuasanya Jepang dan penyerahan tanpa syarat mereka dengan desakan rakyat Surabaya yang terus mengepung markas-markas Jepang di Surabaya. Sepanjang 2 jam film ini tak pernah berhenti dari aksi tembak-tembakan, yang mungkin pada tahun 1990-an sudah keren banget. Kedatangan Tentara Sekutu yang membonceng NICA, membuat rakyat Surabaya makin gerah! (padahal Surabaya sendiri sudah panah minta ampun).
Penolakan terus dilakukan, dengan diplomasi maupun agresi yang dilakukan rakyat. Gelora semangat rakyat yang bosan hidup dalam kurungan penjajah berkecamuk dan berujung pada aksi penyerangan. Salah satu aksi heroik yang terus dikenang adalah perobekan bendera Belanda (merah-putih-biru), dirobek warna birunya, di Hotel Oranje (Yamato) yang kini dikenal dengan nama Hotel Majapahit, tanggal 18 September 1945, di dekat Tunjungan Plaza. Hanya berbekal 5-8 tangga bambu, belasan pemuda merambati tembok Hotel Oranje, menuju puncak atap, sedangkan ratusan pemuda lain bersorak-sorak di bawah, memekik kata "merdeka!"
"Londo edan..., Londo edan.., Londo edan... Mereka masang gendero dang Hotel Yamato," teriak sejumlah rakyat sebelum peristiwa perobekan bendera itu terjadi. (red-sebelumnya, tanggal 1 September 1945, ditetapkan bendera merah putih adalah bendera Indonesia).
Bermodal bambu runci, golok, parang, atau senjata tajam seadanya, rakyat tetap maju perang. "Merdeka atau mati," dan "Allahuakbar," itulah modal juang mereka. Agar mampu menghadapi tentara penjajah yang piawai memegang senjata, rakyat pun dilatih singkat tentang menembak, melempar granat, juga taktik perang sederhana.Namanya juga rakyat,
yang biasa pegang kemudi becak, jualan soto, manggul karung beras, atau
bercocok tanam, tiba-tiba diajak berperang. Banyak kelucuan campur keluguan dari rakyat yang berperang dipotret dalam film ini.
"Jancok, iki laopo seh?" begitu gerutu salah seorang rakyat yang sedikit tersiksa harus berlatih merangkak. Protes salah satu rakyat yang mengetahui ternyata senapan yang dipakainya buatan tahun 1989. "Gak ono sing anyar ta?" Atau kepanikan saat senapannya macet, padahal di tengah peperangn. "Paling bedhil mu kepanasan, makane macet. Wis uyuhono ae ben (adem) iso digawe maneh," ujar temannya memberi saran asal-asalan.
Satu lagi ikon perjuangan Surabaya adalah Bung Tomo, yang pidatonya mampu membakar semangat juag arek-arek Suroboyo tetap maju bertempur meski dalam keterbatasan dan jepitan penderitaan. Ada juga Gubernur Suryo, gubernur pertama Surabaya yang turut memompa perjuangan semua lapisan masyarakat di Surabaya. Tak ketinggalan, para ibu-ibu yang setia di dapur menyokong perjuangan dengan nasi bungkus bagi pejuang. (red-soal nasi bungkus ini pun terus berlanjut sampai sekarang, seperti dalam demo-demo revormasi di Jakarta beberapa tahun lalu).
Hebatnya film ini tak hanya bi-lingual, tapi tri-lingual, atau mungkin lebih. Dalam film ini, rakyat dan prajurit menggunakan bahasa Suroboyoan, sedangkan tentara dan pejuang Indonesia lainnya menggunakan bahasa Indonesia. Sementara tentara Jepang, Inggris, dan Belanda, menggunakan bahasa mereka masing-masing.
Well, kangen juga lihat film perjuangan kayak gini yang udah jarang dibuat apalagi ditayangin di bioskop dan tv. Untung ajah ada kesempatan nonton film Soerabaia 45 gratisan di BG Junction. Kalau gak salah, dulu ada sederet film perjuangan seperti Janur Kuning, Cut Nyak Dien, November 1928, sampai yang terakhir Gie. Tahun-tahun 1980-an sampai 1990-an, film bertema perjuangan cukup banyak dibuat. Gak seperti sekarang, produser dan sutradara lebih doyan bikin film horor atau seks-komedi, yang lebih deras duitnya.
Oke, balik lagi soal Surabaya kampungnya pahlawan. Semua orang emang bisa jadi pahlawan, termasuk rakyat yang kadang dipandang sebelah mata. Kita pun bisa jadi pahlawan. Gak usah muluk-muluk buat negara, tapi buat diri sendiri, orang tua, keluarga, atau masyarakat di sekitar kita. Dan apa yang kita lakukan pun gak harus yang super wah atau sampai harus bikin koprol dan semua orang bilang "wow". Cukuplah yang simple but usefully for others. Satu lagi, kalau udah jadi pahlawan, tentu aja jangan mengharapkan imbalan yah. Karena hasilnya bakal lebih hebat, hehe..
"Now, it's your time to be hero"
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar