“Changing
plan in last minutes, it was always happen”
Awalnya,
akhie pekan kemaren kita mau pergi ke Gunung Bromo, tapi dalam perencanaan
tiba-tiba berubah. “Khawatirnya,
sekarang ini musim hujan. Percuma kalau kita ke Bromo, tapi gak bisa lihat
sunrise. Sama juga bohong dong,” itulah yang jadi alasan trip “MbambungPacker”
kali ini diubah dari Bromo ke Kediri.
Setelah Kediri ditasbihkan sebagai kota tujuan. Mulailah
kita berlima (aku, Ade, Fika, Dian, dan Nana) membuat perencanaan. Namanya juga
“mbambung” jadi gimana caranya, kita
bisa liburan tapi gak menghabiskan duit. Aku dan Dian mulai berselancar mencari
lokasi wisata, Nana, Ade, dan Fika mulai mencari tempat tumpangan untuk menginap
selama 2 malam di Kediri. Setelah sms sana, bbm sini, dan telpon sana-sini
teman-teman satu kelas yang asli Kediri, akhirnya kami dapat kepastian tempat
transit dan menginap selama dua malam. (Asik, misi pertama sudah berhasil).
Mengutip kuliah Administrasi dan Manajemen, semua
kegiatan butuh perencanaan agar tujuan bisa tercapai. Gimana caranya, cara yang
dilakukan efisien dan efektif. Dalam hal ini, prinsip ekonomi pun ambil bagian,
less expense more income, sedikit pengeluaran banyak penghasilan. Dengan rumah
tumpangan selama dua hari, Jumat-Minggu, setidaknya kita bisa menghemat biaya
hotel dan juga biaya sarapan pagi, hehehe...
Ada enam teman sekelas yang orang asli (berdomisili di)
Kediri, yakni Arya, Ema, Mbak Galuh, Mbak Intan, Mbak Cucuk, dan Mas Maksun.
Semuanya bersedia kami repotin, tapi setelah menimbang dan menilai, kami
memutuskan bermalam di rumah Arya dan Mbak Intan. “Mas, tidurnya di rumah bude
ku aja ya. Soalnya ada dua kamar kosong di sana, dan rumahnya agak besar. Gak
apa-apa kan?” tanya Arya. Serempak kami pun menjawab, oke. Yang penting kita
ada tempat buat tidur, dari pada tidur di masjid atau di stasiun.
Agar tidak ribet soal duit saat berlibur, sebaiknya
ditunjuk seorang bendahara. Tugasnya, ngumpulin duit dan membayar semua keperluan,
mulai dari tiket, makan, sampai duit toilet. Kalau bisa, teman yang ditunjuk
jadi bendahara ini kudu teliti dan cerewet soal duit. Setiap hari, dia pun
bikin laporan singkat buat kita, berapa uang yang sudah terpakai, dan berapa
sisa duitnya.
“Kita iuran berapa nih?” tanya Nana yang kami tunjuk jadi
bendahara. “Sementara ini kita iuran Rp 150.000 aja gimana. Ntar kalau kurang
kita tambah lagi,” kata Dian. “Oke,” jawab kami bergantian. Totalnya, kami
berbekal Rp 900.000 untuk enam orang. Uang tersebut kami alokasikan untuk sewa
mobil sehari selama di Kediri, tiket kereta, tiket masuk obyek wisata, makan
selama hari, dll.
Plan B
“Dimana? Keretanya sudah mau datang. Kita beli tiket
sekarang atau gimana?” tanya Fika di ujung telepon. “Sorry, ini ban bocor, lagi
ditambal. Bentar lagi kita meluncur ke stasiun (Gubeng). Tunggu kita, jangan
beli tiket dulu,” jawabku. Tak sampai 5 menit, tukang tambal ban sudah
menyelesaikan pekerjaannya mengganti ban depan motorku yang sobek kena tusuk
paku sepanjang 7 cm.
Jam ditangan Diyan, sudah menunjukkan 07.30 WIB. Sekitar
20 menit lagi, Kereta Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Blitar, bakal berangkat dari
Stasiun Gubeng. Sedangkan waktu tempuh dari lokasi tambal ban ke stasiun
sekitar 20-30 menit.
Govinda aku geber, aku ajak dia lari kencang, meski
sedikit tersendat-sendat karena terjebak arus orang berangat kerja. Selama
perjalanan ke stasiun, otak berpikir alternatif lain berangkat ke Kediri jika
kami ketinggalan kereta. Naik motor atau naik kereta lain. Aku dan Diyan sampai
di stasiun pukul 07.55, jalur 1 tidak ada kereta. Aku pun berpikir, kereta
sudah berangkat. “Sial, telat nih” umpat aku. Tapi, kok teman-teman gak
kelihatan. Sewaktu membuka ponsel, ada pesan. “Kami makan di warung depan stasiun,”
bunyi sms itu.
Belum sempat menuju ke warung, terdengar pengumuman dari
corong suara di lobi stasiun. “KA Rapih Dhoho tujuan Surabaya-Kertosono-Blitar
akan segera masuk stasiun, penumpang yang telah punya tiket dipersilahkan
menunggu di jalur 1,” bunyi pengumuman itu. “Lho ternyata keretanya belum
berangkat tho! Tapi teman-teman lagi makan, gak mungkin ini!” Aku sempat
menelpon mereka, tapi mereka belum selesai makan. Ya sudah lah, terpaksa kami
melewatkan kereta.
Kami akhirnya mengambil keputusan naik KA Rapih Dhoho jam
11.00 WIB. Itu berarti kami harus menunggu 3 jam lagi untuk berangkat ke
Kediri. Konsekuensinya, waktu berlibur kami jadi sedikit berkurang. Terpaksa,
ada perubahan rencana dan pengurangan lokasi tujuan berwisata di Kediri.
Rencananya kami tiba di Kediri jam 12 siang, jadi mundur jam 3 siang, sehingga
tujuan ke Air Terjun Dolo yang kami rencanakan Jumat sore, digeser besoknya.
Jam 11.00, kami meninggalkan Surabaya dengan berbekal
tiket KA Rapih Dhoho tanpa tempat duduk. Ternyata, dari 5 kereta (gerbong),
gerbong depan dan belakang disipakan bagi penumpang tanpa nomor tempat duduk.
Beruntung, ada kursi kosong di gerbong belakang. Kami pun bergegas menjajah
kursi-kursi kosong itu. Merasa beruntung, kami pun langsung bernarsis ria mengabadikan
moment di dalak kereta ekonomi yang harga tiketnya Rp 5.500 dari Surabaya ke
Kediri.
Cinta dalam Gerbong
Cinta memang tak bisa diduga kapan dan di mana dia
datang. Begitlah cinta, muncul tanpa rencana yang tak disangka. Seperti adegan
sebuah sinetron atau FTV di stasiun televisi swasta, Nana bertemu dengan kisah
cintanya.
Berawal dari selembar tiket yang dihilangkannya, Nana
terpaksa harus berurusan dengan kondektur kereta. Tapi, kesialan itu berujung
keberuntungan. Mr kondektur KA Rapih Dhoho yang bertugas siang itu boleh
dibilang good looking, alias berwajah rupawan (versi Nana). Negosiasi soal tiket hilang antara Nana dan Mr
Kondektur, yang setelah kami kenal namanya Taufiq, berlanjut dengan obrolan
santai dan saling tukar nomor telepon dan pin BB. Meski harus membayar Rp
15.000 untuk mengganti tiket yang hilang, bagi Nana tak mengapa sebab dia bisa
berkenalan dengan pria tampan, katanya.
Saling pandang, senyum dan goda sana-sini dengan
malu-malu, begitulah adegan yang terekam dalam gerbong belakang KA Rapih Dhoho.
Sayang, keintiman itu harus terhenti sesaat, karena stasiun tujuan kami sudah
di depan mata. Adegan berikutnya adalah perpisahan di Stasiun Kediri. Peluit
kecil yang ditiup Taufiq, memberi aba-aba kereta untuk berangkat.
Binar mata Nana terus tertuju pada lelaki berseragam dan
bertopi tersebut. Dari ambang pintu gerbong kereta yang melaju perlahan, Taufiq
melirik Nana yang terlihat sendu melepas kepergiannya. Nana pun membalas
senyuman dengan memberi kode jari jempol kelingking tangan kanan menempel di
telinga dan bibir, jangan lupa telpon, begitu kira-kira arti pesannya. Dan
ternyata, pesan ini memang terwujud. Komunikasi mereka via BBM berlanjut selama
kami di Kediri hingga kami balik ke Surabaya, bahkan sampai hari ini. “Mas
Taufiq lagi di Jogja. Lagi di KA Mutiara Selatan, nanti baliknya tugas di KA
Logawa,” ujar Nana dengan gayanya yang sedikit centil.
Bukan Parasit
Kalau ada yang bilang kami tak bermodal, itu memang
benar. Tapi kalau Anda bilang kami parasit, eeiitt...! Anda keliru. Berlibur
dengan menumpang di rumah kenalan bukan berarti kami parasit. Kami hanya
memanfaatkan peluang yang ada, sekaligus mempererat silaturahmi antar teman,
juga menambah kenalan baru, dengan keluarga/kerabat di rumah yang kami inapi.
Untuk makan, kami masih bermodal lho. Kami beli makanan sendiri. Tapi, kalau
ditawari sarapan, makan siang, dan makan malam, kami gak nolak kok.
Malam pertama, kami menginap di rumah milik Bulek-nya
Arya. Rumahnya ada dua kamar kosong, milik anak-anaknya yang sudah tidak lagi
tinggal di Kediri. Bulek dan Paklek-nya Arya sangat ramah dan gembira kami
kunjungi. Kebetulan, karena mereka berdua baru pulang ibadah Haji, banyak
kudapan yang bisa kita santap dengan lahap, hahaha...
Di malam kedua, kami
menginap di rumah Mbak Intan, di daerah Pesantren. Kami pun disuguhi gurame
goreng, yang dipancing dari kolam di belakang rumah Mbak Intan. Alasan kami
berpindah “tempat tidur” karena: 1) sungkan jika terlalu lama merepotkan orang.
2) tawaran baik dari teman jangan sampai ditolak. 3) ganti suasana biar gak
bosen, hehe..
Jadi, gak ada salahnya kok kalau kita numpang di rumah
saudara, teman, dan kerabat untuk berlibur murah meriah. Balik lagi, biarpun
liburan prinsip ekonomi jangan sampai dilupakan. Makanya, mulai sekarang bikin
list saudara, teman, atau kenalan yang kota-kota tujuan wisata.
Sering-seringlah berkomunikasi meski sekadar menyapa mereka lewat SMS, FB, atau
twitter, supaya saat Anda butuh mereka menjadi induk semang selama liburan
Anda, itu bisa terwujud. Bukan hanya sahabat/teman di Indonesia, kalau perlu perluas jaringan sampai ke benua lain, siapa tahu next trip kita bisa ber-"MbambungPacker" ke Amerika atau Eropa. (dua jempol ke atas).
Bersambung...
-yuda thant-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar